BAB II TINJAUAN PUSTAKA

January 12, 2018 | Author: Anonymous | Category: Ilmu, Ilmu kebumian, Seismologi
Share Embed Donate


Short Description

Download BAB II TINJAUAN PUSTAKA...

Description

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1

Definisi Tanah Dalam pengertian secara umum, tanah didefinisikan sebagai material yang

terdiri dari agregat (butiran) mineral – mineral padat yang tidak tersementasi (terikat secara kimia) satu sama lain dan dari bahan – bahan organik yang telah melapuk disertai dengan zat cair dan gas yang mengisi ruang kosong diantara partikel – partikel padat tersebut. Tanah berguna sebagai bahan bangunan pada berbagai macam pekerjaan teknik sipil, disamping itu tanah berfungsi juga sebagai pendukung pondasi dari bangunan. Ukuran partikel tanah beragam antara lebih besar dari 100 mm sampai dengan kurang dari 0.001 mm. Kebanyakan jenis tanah terdiri dari campuran dari beberapa ukuran dan biasanya lebih dari dua rentang ukuran. Secara umum, tanah disebut kohesif bila partikel – partikelnya saling melekat setelah dibasahi kemudian dikeringkan dan diperlukan gaya yang cukup besar untuk meremas tanah tersebut. Tanah non – kohesif apabila partikel tanah tidak mempunyai lekatan antar partikel. Ukuran partikel dari tanah adalah sangat beragam dengan variasi yang cukup besar. Tanah umunya dapat disebut sebagai kerikil (gravel), pasir (sand), lanau (silt), atau lempung (clay). Klasifikasi ini bergantung pada ukuran partikel yang paling dominan pada tanah tersebut. Untuk menerangkan tentang tanah berdasarkan

ukuran



ukuran

partikelnya,

beberapa

organisasi

telah

mengembangkan batasan – batasan ukuran golongan jenis tanah (soil-separatesize limits). Tabel berikut merupakan pengklasifikasian jenis tanah menurut beberapa organisasi :

3

Tabel 2.1 Batasan – batasan Ukuran Golongan Tanah Nama Golongan Massachusetts Institute of Techonology U.S. Departement of Agriculture

Ukuran butiran (mm) Kerikil

Pasir

Lanau

Lempung

>2

2 – 0.06

0.06 – 0.002

2

2 – 0.05

0.05 – 0.002

0.

8

Gambar 2.1 Kriteria Keruntuhan Mohr – Coloumb Sumber : Braja M. Das (2008)

2.4

Likuifaksi Likuifaksi adalah fenomena hilangnya kekuatan tanah yang terjadi di tanah

non-kohesif karena adanya penambahan tekanan pori akibat gempa bumi. Tegangan pori yang meningkat mengakibatkan penurunan dari kekuatan geser, dan bahkan dapat hilang sama sekali. Tanah yang kehilangan semua kekuatan gesernya akan berlaku seperti cairan vicious. Pada fenomena likuifaksi tanah akan menyerupai “pasir hisap”. Oleh karena „terhisapnya‟ bangunan ke dalam tanah dapat merusak struktur secara keseluruhan, missal : retak, miring pada bangunan, dan keruntuhan.

2.4.1

Definisi Likuifaksi Likuifaksi merupakan kondisi dimana tanah mendapat beban siklik,

misalnya beban yang diakibatkan oleh gempa bumi, sehingga mengakibatkan tanah tersebut berdeformasi dari solid menjadi cair (Liquefied). Dalam hal ini, tanah yang mengalami likuifaksi adalah tanah non-kohesif yang tersaturasi (celah – celah partikelnya terisi oleh air). Kandungan air tersebut akan memberikan tekanan pada partikel tanah sehingga menyebabkan hilangnya ikatan pada partikel – partikel tanah tersebut. Sebelum terjadi gempa tekanan air pori relatif rendah, namun guncangan dari gempa dapat memicu kenaikan tekanan air dalam tanah sampai pada titik dimana partikel – partikel tanah dapat saling bergerak atau kehilangan ikatannya.

9

Beban yang bekerja merupakan beban siklik (dinamik) yang umumnya diakibatkan oleh gempa. Pada saat beban gempa bekerja dalam kondisi undrained sedangkan tanah berjenis pasir berada dalam kondisi tersaturasi, maka tegangan air pori akan naik, sehingga tanah tersebut akan kehilangan kekuatannya atau dalam kondisi extreme kekuatan gesernya dapat mencapai nol. Fenomena yang terkait dengan likuifaksi adalah flow liquefaction dan cyclic mobility. Keduanya sangat penting untuk diperhatikan dalam mengevaluasi bahaya likuifaksi. Flow liquefaction adalah peristiwwa dimana terjadi aliran – aliran tanah. Hal ini terjadi apabila teganan geser statis yang diperhitungkan untuk mencapai kesetimbangan pada suatu masa tanah jauh lebih besar daripada tegangan geser tanah dalam kondisi cair (liquefied). Dengan kata lain, deformasi yang terjadi merupakan akibat dari teganan geser statik (static shear stress). Pada peristiwa flow liquefaction ini, terdapat dua karakteristik yang dapat dilihat yaitu kecepatan aliran dan perpindahan material tanah yang sangat besar. Cyclic

mobility

merupakan

fenomena

lainnya

yang juga

dapat

menyebabkan deformasi permanen yang sangat besar akibat adanya guncangan gempa. Berbeda dengan flow liquefaction, dalam static mobility kondisinya adalah tekanan geser statis lebih kecil dibandingkan dengan tegangan geser tanah cair. Pada fenomena ini, deformasi yang terjadi diakibatkan oleh pembebanan siklik dan teganan geser statik. Dalam hal ini, deformasi yang terjadi adalah deformasi lateral (lateral spreading). Tercatat bahwa likuifaksi sebagai akibat dari gempa telah banyak terjadi di seluruh dunia. Beberapa diantaranya adalah gempa Alaska, AS (1964), Niigata, Jepang (1964) dan Kobe, Jepang (1995).

2.4.2

Faktor – faktor yang Mempengaruhi Likuifaksi Untuk dapat memahami likuifaksi, diperlukan pengenalan kondisi yang

terdapat pada tanah sebelum terjadinya gempa. Tanah terdiri dari partikel – partikel yang menyusunnya. Jika dilihat lebih dekat maka akan terlihat bahwa setiap partikel berhubungan dengan partikel – partikel yang lainnya. Karena adanya gaya berat dari partikel tanah, maka terdapatlah gaya antar partikel. Gaya

10

inilah yang membuat setiap partikel tanah dapat berada tetap pada posisinya sehingga ada yang dimaksud dengan kekuatan tanah. Likuifaksi terjadi apabila suatu pasir yang tersaturasi strukturnya terpecah akibat adanya pembebanan yang berlebihan dan terus – menerus. Karena strukturnya hancur, maka partikel – partikel penyusun pasir tersebut akan terus bergerak cenderung membentuk suatu konfigurasi baru yang lebih keras. Pada saat terjadinya gempa, air yang berada dalam pori – pori tanah non-kohesif tidak sempat mengalir keluar, dan terperangkap sehingga partikel – partikel tanah tidak dapat bergerak dan merapat untuk membentuk konfigurasi yang lebih padat. Dengan adanya pembebanan akibat gempa, tekanan air dalam tanah akan meningkat sehingga memperkecil gaya partikel tanah sehingga kekuatannya tanahnya menjadi menurun. Pada kasus – kasus yang ekstrim, tekanan air pori akan menjadi sangat tinggi sehingga partikel – partikel tanah kehilangan kontak satu sama lainnya. Jika hal itu terjadi, maka tanah akan kehilangan kekuatannya dan berlaku seperti cairan, maka peristiwa tersebut dinamakan likuifaksi. Adapun faktor – faktor yang mempengaruhi terjadinya likuifaksi pada tanah antara lain adalah jenis tanah, kedalaman air tanah, kepadatan tanah, umur dari deposit, fabrik dan gradasi partikel, riwayat tegangan, nilai Over Consolidation Ratio (OCR), kondisi tegangan in situ, bentuk dari partikel. Kepadatan dari tanah pasir dapat dinyatakan dengan nilai relative density (Dr). Semakin besar nilai Dr, maka akan semakin besar tahanannya terhadap bahaya likuifaksi. Likuifaksi umumnya terjadi pada tanah yang bergradasi seragam (uniformly graded soil). Sementara tanah yang bergradasi baik (well graded soil) umumnya mempunyai tahanan terhadap likuifaksi lebih besar dibandingkan dengan tanah bergradasi buruk. Hal ini disebabkan oleh partikel – partikel kecil yang terdapat pada tanah bergradasi baik akan dapat mengisi rongga yang ada diantara partikel yang besar, sehingga potensi untuk mengalami perubahan volume pada kondisi drain akan menjadi lebih kecil akibat undrained loading. Semakin tua umur deposit tanah maka akan semakin besar tahannya terhadap bahaya likuifaksi. Hal ini disebabkan antara lain karena adanya proses sementasi antara partikel. Semakin besar nilai OCR maka semakin besar nilai K o

11

yang mana akan menaikkan tegangan eketif rata – rata. Tahanan terhadap likuifaksi akan meningkat dengan meningkatnya tegangan efektif confining. Suatu daerah dimana level muka airnya tinggi atau dekat ke permukaan akan lebih mudah mengalami proses likuifaksi dibandingkan dengan daerah dimana muka air terdapat pada posisi yang cukup dalam. Tanah dengan partikel yang berbentuk bundar akan lebih mudah mengalami likuifaksi dibandingkan dengan tanah dengan partiket bersudut. Hal ini disebabkan tanah dengan partikel berbentuk bundar lebih mudah untuk dipadatkan.

2.5

Gempa Bumi

2.5.1

Teori Lempeng Tektonik Teori lempeng tektonik yang dikembangkan sejak tahun 1960-an

merupakan teori yang menggambarkan bagaimana gempa bumi terjadi. Menurut teori lempeng tektonik, permukaan bumi terdiri dari lempeng – lempeng tektonik yang berbeda – beda, biasa disebut dengan lempeng lithosphere, dengan masing – masing pelat memiliki kerak atau lapisan dan bagian yang lebih kaku pada mantel terluar. Lempeng – lempeng tektonik ini bergerak aktif dan menimbulkan pelepasan energi akibat tekanan yang dihasilkan oleh pergerakan lempeng – lempeng tersebut. Tekanan tersebut kian membesar dan mencapai keadaan dimana tekanan tersebut tidak dapat ditahan oleh pinggiran lempeng, pada saat itulah gempa bumi terjadi. Gempa bumi biasanya terjadi di perbatasan – perbatasan lempeng tersebut. Batas lempeng (plate boundaries) dibedakan menjadi tiga jenis berdasarkan cara lempengan tersebut bergerak relatif satu sama lain. Tiga jenis lempeng tersebut adalah : a) Batas Divergen (Divergent Boundaries) Batas Divergen terjadi ketika dua lempeng bergerak saling menjauhi satu sama lain. Magma panas yang keluar ke permukaan akibat pergerakan dua lempeng ini akan mengalami proses pendinginan dan membentuk punggung – punggung bukit. Gempa bumi yang terjadi akibat pembentukkan punggung bukit ini hanya terjadi di sekitar puncak bukit,

12

pada saat kerak baru terbentuk. Gempa ini relatif kecil dan terjadi pada kedalaman yang dangkal b) Batas Kovergen (Covergent Boundaries) Berbeda dengan batas Divergen, batas Covergent ini terjadi ketika dua lempeng bergerak bergesekan saling mendekati satu sama lain sehingga membentuk zona subduksi (subduction zone) ketika salah satu lempeng bergerak di bawah lempeng lainnya. c) Batas Transform (Transform Boundaries) Batas transform atau biasa disebut Patahan (Fault) terjadi pada saat lempeng bergerak dan mengalami gesekan satu sama lain tanpa menimbulkan efek konstruktif ataupun destruktif pada lapisan bumi seperti yang terjadi pada Batas Divergen dan Kovergen. Pada saat pergerakan relatif kedua lempeng sejajar satu sama lain, zona patahan strike-slip (strike-slip fault zone) terbentuk pada Batas Transform.

2.5.2

Sumber Gempa Pada prinsipnya gempa merupakan suatu peristiwwa pelepasan energi

pada perbatasan lempeng lempeng tektonik, oleh karena itu lokasi sumber gempa umunya berada pada perbatasan pelat – pelat tektonik yang mengalami patahan atau gesekan. Berikut merupakan istilah – istilah yang sering terkait dengan sumber gempa a) Tempat sumber gempa didalam bumi disebut focus atau hypocenter b) Titik di permukaan bumi yang letaknya tepat diatas sumber gempa disebut epicenter c) Jarak antara sumber gempa dengan tempat di permukaan bumi yang terlanda gempa disebut jarak hypocenter

13

2.5.3

Besaran Kekuatan Gempa Terdapat dua cara dalam mengukur kekuatan gempa, yaitu berdasarkan

magnitude gempa (earthquake magnitude) dan berdasarkan intensitas kerusakan yang diakibatkan (earthquake intensity). Magnitude gempa tidak bergantung pada kepadatan populasi suatu wilayah, maupun jenis konstruksi suatu bangunan yang ada di wilayah tersebut, sedangkan intensitas mengukur bahaya kerusakan yang diakibatkan oleh gempa pada bangunan dan reaksi orang – orang di suatu wilayah. a) Local Earthquake Magnitude Pada tahun 1935, Prof. Charles Richter mengembangkan skala besaran gempa untuk gempa dangkal serta memiliki episentrum berjarak kurang dari 600 km. Skala besaran gempa ini dikembangakan sebagai skala besaran Richter. Karena skala besaran ini dikembangkan untuk gempa dangkal dan lokal, skala ini juga dikenal sebagai Local Magnitude Scale (ML). Richter mendefinisikian magnitude lokal gempa sebagai logaritma berbasis 10 dari amplitude gelombang gempa maksimum dalam mikron direkam menggunakan seismograf Wood-Anderson yang terletak pada jarak 100 km dari episentrum gempa ML = log A – log Ao = log A/Ao

(2.7)

Dengan : ML

: Besaran Gempa

A

: Amplitudo jejak gempa maksimum (mm) yang direkam seismograf

Ao

: 0,001 mm (skala gempa lokal nol yang berhubungan dengan besaran gempa terkecil yang pernah direkam)

Pengaruh gempa di permukaan tanah tidak hanya berpengaruh dari jumlah energi yang dilepaskan (Gempa Skala Richter), akan tetapi juga bergantung dari jarak episenter gempa dan jarak hypocentre gempa. Gempa yang melepaskan energi sangat bersar tetapi kadang

14

– kadang kurang terasa di permukaan tanah karena jarak sumber gempa yang sangat jauh di dalam bumi.

b) Earthquake Intensity Ukuran gempa yang dapat langsung mempengaruhi struktur adalah intensitas lokal gempa yaitu besar kecilnya getaran di permukaan tanah di daerah yang dilanda gempa. Karena besar atau intensitas getaran tanah pada saat dilanda gempa tidak sama maka disebut intensitas lokal. Intensitas gempa lokal berhubungan langsung dengan percepatan tanah maksimum yang berarti berhubungan pula dengan besar kecilnya kerusakan bangunan. Untuk skala standar internasional digunakan skala Modified Mercalli dan dinyatakan dalam symbol MM. Skala Modified Mercalli terdiri dari 12 tingkatan.

2.6 Tes CPT (Cone Penetrometer Test) Tes CPT (Cone Penetrometer Test) atau yang lebih sering disebut tes sondir merupakan penetrometer statis yang dipakai secara luas di Indonesia. Alat ini berasal dari negeri Belanda dan dikenal dengan sebutan Dutch-cone Penetrometer Test. Prinsip kerja alat ini adalah menekan ujung penetrometer (konus) ke bawah dengan mesin penekan yang dijangkarkan pada tanah. Ada dua macam ujung penetrometer yang biasa dipakai, yaitu konus (standard type) dan bikonus (friction sleeve atau adhesion jacket type). Konus ini berupa kerucut dengan sudut 60° dengan luas penampang 2

10cm , yang dipasang pada suatu rangkaian stang dalam dan selubung luar. Pada tipe standar, hasil pengukuran berupa perlawanan ujung saja (nilai konus). Hal ini didapatkan dengan cara menekan hanya pada stang dalam saja. Gaya yang diperlukan untuk menekan ujung konus diukur dengan alat pengukur tekanan yang diapasang pada mesin penekan. Pengukuran dilakukan pada kedalaman – kedalaman tertentu yang telah ditetapkan dan biasanya dilakukan setiap kedalaman 20cm. Setelah pengukuran pada suatu kedalaman dilakukan, maka selubung luar ditekan sampai kedalaman berikutnya, kemudian pengukuran

15

selanjutnya dilakukan dengan cara menekan stang dalam dan gaya yang diperlukan diukur dengan membaca alat pengukur tekanan. Pada tipe bikonus, hasil pengukuran yang didapat adalah nilai konus dan nilai hambatan lekat, yang dilakukan dengan dengan cara menekan stang dalam. Pada awalnya, penekanan stang dalam hanya menyebabkan masuknya ujung konus, sehingga dengan demikian hanya nilai konus yang diukur. Setelah konus ditekan sedalam 4cm,maka penekanan selanjutnya akan menyebabkan tertekannya konus dan selubung lekatan (friction sleeve) secara bersama – sama, sedalam 4cm. Jadi nilai yang terbaca pada alat pengukur tekanan adalah jumlah dari nilai konus dan hambatan lekat. Nilai hambatan lekat didapatkan dengan mengurangkan nilai konus dari jumlah nilai konus dan hambatan lekat. Untuk mendapatkan pembacaan berikutnya, selubung luar ditekan, sehingga konus, setang dalam dan selubung lekatan akan tertekan bersama – sama. Selanjutnya setang dalam ditekan, dan prosesnya berulang seperti yang telah dijelaskan diatas. Ada dua jenis mesin penekan, yaitu tipe menengah dan tipe berat. Tipe menengah dapat mengukur tekanan sampai 150kg/cm2, sedangkan tipe berat dapat mengukur sampai 400kg/cm2. Kedalaman penetrasi dapat mencapai 30m bisa lapisan berupa lapisan tanah lunak.

2.7

Tes SPT (Standard Penetration Test) Uji penetrasi standar (SPT) adalah uji yang dilaksanakan bersamaan

dengan pengeboran untuk mengetahui baik perlawanan dinamik tanah maupun pengambilan contoh terganggu dengan teknik penumbukan. Kelebihan dan alasan utama tes ini digunakan secara luas karena tes ini murah dan sederhana. Parameter kekuatan tanah yang didapat adalah perkiraan, tetapi dapat memberikan panduan yang berguna dalam kondisi tanah dimana tidak memungkinkan untuk mendapatkan sampel bor yang kualitasnya memadai. Prosedur tes SPT di Indonesia mengacu pada SNI 4153 – 2008. Uji SPT terdiri atas uji pemukulan tabung belah dinding tebal ke dalam tanah dan disertai pengukuran jumlah pukulan untuk memasukkan tabung belah sedalam 300 mm (1 ft) vertikal. Uji penetrasi standar (SPT) dilaksanakan bersamaan dengan pengeboran untuk mengetahui baik perlawanan dinamik tanah maupun pengambilan contoh

16

terganggu dengan teknik penumbukan. Uji SPT terdiri atas uji pemukulan tabung belah dinding tebal ke dalam tanah dan disertai pengukuran jumlah pukulan untuk memasukkan tabung belah sedalam 300 mm (1 ft) vertikal. Dalam sistem beban jatuh ini digunakan palu dengan berat 63,5 kg (140 lb) yang dijatuhkan secara berulang dengan tinggi 0,76 m (30 in). Pelaksanaan pengujian dibagi dalam tiga tahap, yaitu berturut-turut setebal 150 mm (6 in) untuk masing – masing tahap. Tahap pertama dicatat sebagai dudukan, sementara jumlah pukulan untuk memasukkan tahap kedua dan ketiga dijumlahkan untuk memperoleh nilai pukulan N atau perlawanan SPT (dinyatakan dalam pukulan /0,3 m atau pukulan per feet). Uji SPT dilakukan pada setiap 2 meter pengeboran dan dihentikan pada saat uji SPT N diatas 60 N berturut turut sebanyak 3 kali. Dari data/informasi yang diperoleh dapat digunakan untuk menggambarkan profil daya dukung tanah yang di gambarkan pada grafik SPT.

2.8

Metode Untuk Mengevaluasi Potensi Likuifaksi Dalam menganalisis potensi likuifaksi dapat dilakukan dengan 2 cara yaitu

tes uji laboratorium dan pendekatan perhitungan dari tes uji lapangan. Tugas akhir ini bertujuan untuk mendapatkan hasil nilai potensi likuifaksi dari hasil uji lapangan yaitu dengan data CPT (sondir) dan SPT serta membandingkan nilai CRR yang didapat dari masing – masing data. Adapun untuk menganalisis potensi likuifaksi dibutuhkan nilai rasio tegangan siklik (CSR) dan nilai rasio tahanan siklik (CRR) yang bisa didapat dari nilai SPT dan CPT Metode untuk mengevaluasi potensi likuifaksi adalah dengan cara mendapatkan nilai faktor keamanan dari hasil perbandingan nilai CRR (Cyclic Resistance Ratio) yaitu nilai yang mencerminkan kekuatan terhadap beban siklik yang diakibatkan oleh gempa bumi dengan nilai CSR (Cyclic Stress Ratio) yaitu nilai tegangan yang disebabkan oleh gempa bumi. Faktor keamanan yang digunakan tidak boleh kurang dari satu, karena jika kurang dari satu maka tanah akan mengalami likuifaksi.

FS=

17

Dimana :

jika FS = 1 (kondisi kritis) jika FS > 1 (tidak terjadi likuifaksi) jika FS < 1 (terjadi likuifaksi)

2.8.1

Metode Evaluasi CSR Pada tahun 1971 Seed dan Idriss memformulasikan persamaan untuk rasio

tegangan siklik sebagai berikut :

(

)(

) rd

(2.8)

Dimana : amax

: akselerasi puncak horizontal pada permukaan tanah yang disebabkan oleh gempa

g

: gravitasi

σv

: tegangan overburden vertikal dan tegangan overburden vertikal efektif

σvo

: tegangan overburden vertikal efektif

rd

: koefisien tegangan reduksi Idriss (1999) menunjukan bahwa nilai rd menunjukkan fungsi dari

kedalaman dan earthquake magnitude (Mw). Dan persamaan berikut menunjukkan hasil dari analisis tersebut rd = exp ( α(z) + β(z) M)

(2.9)

α(z) = -1.012 – 1.126 sin ( ((z)/11.73) + 5.133)

(2.10)

β(z) = 0.106 + 0.118 sin ( ((z)/11.38) + 5.412)

(2.11)

Dimana : z

: kedalaman dalam meter

Mw

: Momen magnitude

18

Persamaan diatas secara matematik dapat diterapkan pada kedalaman < 34m. Namun ketidakpastian nilai rd dengan meningkatnya kedalaman, maka persamaan diatas sebenarnya hanya bisa diterapkan pada kedalaman kurang dari 20m.

2.8.2

Metode Evaluasi CRR Dalam mengevaluasi nilai CRR dilakukan pendekatan perhitungan CRR

yang diambil dari consensus NCEER tentang ketahanan tanah terhadap Likuifaksi tahun 1998 mengenai analisis likuifkasi dan literatur buku yang dibuat oleh I.M. Idriss dan R.W. Boulanger yang berjudul “Soil Liquefaction During Earthquake” tahun 2008 Beberapa uji lapangan telah memperoleh penggunaan umum untuk evaluasi potensi likuifaksi, termasuk tes penetrasi standar (SPT), cone penetration tes(CPT), kecepatan gelombang geser pengukuran (Vs), dan tes BPT. Namun batasan pada tulisan ini hanya pada evaluasi data dari CPT dan SPT

2.8.2.1 Metode Evaluasi CRR Berdasarkan Data SPT Diambil dari sebuah consensus NCEER tentang ketahanan tanah terhadap Likuifkasi tahun 1998 mengenai analisis likuifkasi didapatkan metode evaluasi CRR dengan kriteria untuk evaluasi tahanan likuifaksi berdasarkan nilai SPT telah digunakan selama bertahun – tahun. Kriteria tersebut sebagian besar diwujudkan dalam plot kurva antara nilai SPT terkoreksi (N1)60 dan nilai CSR.

Gambar 2.2 Kurva Hubungan CRR dengan nilai SPT terkoreksi dengan M=7.5 Sumber : Idriss dan Boulanger (2008)

19

Kurva CRR pada grafik ini adalah diposisikan untuk memisahkan daerah dengan data indikasi likuifaksi dengan data yang menunjukkan non-likuifaksi. Kurva dikembangkan untuk tanah dengan fines content (FC) sebesar 5%. Kurva CRR untuk fines content 35%

β = 1.0

untuk FC < 5%

β = [0.99 + (FC1.5/1,00)]

untuk 5% < FC < 35%

β = 1.2

untuk FC > 35%

Adapun faktor koreksi lainnya yang dibutuhkan untuk perhitungan (N1)60. (N1)60 = NMCNCECBCRCS

(2.13)

Dimana : NM

: Nilai tahanan penetrasi standar

CN

: Faktor normalisasi Nm terhadapt tegangan overburden pada umumnya

CE

: Koreksi ratio energy hammer (ER)

CB

: Koreksi untuk diameter lubang bor

CR

: Faktor koreksi dari panjang batang

CS

: Koreksi untuk sampel

20

Berikut adalah tabel koreksi SPT yang dimodifikasi dari Skempton (1986).

Tabel 2.2 Nilai Koreksi untuk Nilai N SPT

Sumber Idriss dan Boulanger (2008)

I.M. Idriss dan R.W. Boulanger tahun 2008 telah memodifikasi nilai dari beberapa parameter seperti (N1)60 , ∆(N1)60 dan CRR7.5 yang terangkum dalam persamaan – persamaan berikut : (N1)60 cs = (N1)60 + ∆ (N1)60 ∆ (N1)60 =

(2.14) –(

)

(2.15)

21

CRR7.5=

(

(

) – (

)

(

)

) (2.16)

2.8.2.2 Metode Evaluasi CRR Berdasarkan Data CPT Keuntungan utama dari test CPT adalah tahanan penetrasi profil tanah yang terus menerus dapat dikembangkan menjadi interpretasi statigrafi. Data yang dihasilkan oleh CPT umumnya lebih konsisten dan memiliki repeatability yang baik sehingga data yang didapat relatif mendekati satu sama lain. Statigrafi yang didapatkan dari CPT memiliki kemampuan lebih dalam interpretasi data tahanan likuifakasi dibandingkan SPT. Korelasi empiris telah dikembangkan antara tipe tanah dengan nilai CPT. Jadi tipe dari tanah dapat ditentukan tanpa menggambil sampel tanah. Gambar2.3 merupakan kurva empiris yang mengkategorikan tanah menjadi sembilan perilaku tanah yang berbeda.

Gambar 2.3 Grafik Klasifikasi Tanah Berdasarkan qc dan Fr Sumber Idriss dan Boulanger (2008)

Dalam buku Soil Liquefaction During Earthquake karangan I.M. Idriss dan R.W. Boulanger diketahui bahwa nilai CRR7.5 sebagai berikut :

22

(

CRR7.5 =

(

)

(

)

(

)

) (2.17)

Jika nilai qc1Ncs < 211 CRR7.5 = 2 Jika nilai qc1Ncs > 211 Normalisasi dari tahanan cone penetration didapatkan sebagai berikut :

qc1N = CN

(2.18)

CN = (

(2.19)

)

Dimana : CN

: Faktor Normalisasi tahanan ujung konus

n

: eksponen yang bergantung pada jenis tanah

qc

: tahanan ujung konus Korelasi empiris telah dikembangkan antara tipe tanah dengan nilai CPT.

Jadi tipe dari tanah dapat ditentukan tanpa menggambil sampel tanah. Gambar .. merupakan kurva empiris yang mengkatgorikan tanah menjadi sembilan perilaku tanah yang berbeda. Rasio friksi CPT (fs) umumnya meningkat dengan meningkatnya fines content dan sifat plastisitas tanah, yang memungkinkan perkiraan kasar dari jenis tanah dan finest content dapat ditentukan dari data CPT. Robertson dan Wride (1998) membuat kembali dengan penyempurnaan grafik sebelumnya untuk mengestimasi jenis tanah. Batasan antara jenis tanah 2 – 7 dapat diperkirakan dari lingkaran konsentrik dan dapat digunakan untuk memperhitungkan pengaruh karakteristik tanah terhadap qc1n dan CRR. Jari – jari lingkaran tersebut, biasa didefinisikan indeks tipe perilaku tanah Ic dihitung dari persamaan berikut : Ic = [(3.47 – log Q)2 + (1.22 + log F)2]0.5

(2.20)

Q=(

)(

(2.21)

F=(

)

)

(2.22)

23

Dimana : Ic

: Indek Perilaku Tipe Tanah

Q

: Tahanan Konus Ternormalisasi

F

: Friction Ratio

fs

: Friction Sleeve Perhitungan nilai ekuivalen normalisasi CPT (qc1N)cs dapat ditentukan

dengan persamaan berikut : qc1Ncs = qc1N + ∆qc1N ∆qc1N = (

(2.23)

)

(

(

) )

FC = 2.8 Ic2.6

(2.24) (2.25)

2.8.3 Faktor Koreksi Untuk data CRR Pada perhitungan CRR, baik menggunakan data SPT atau CPT, data yang diperoleh merupakan perhitungan CRR pada Mw=7.5 dan tekanan 1atm (100KPa). Jika perencanaan menggunakan gempa rencana selain dari momen magnitude gempa 7.5 maka diperlukan faktor koreksi yaitu Magnitude Scaling Factor (MSF). CRR juga harus dikoreksi terhadap Overburden Correction Factor, yaitu faktor koreksi terhadap tegangan overburden sebesar 1atm.

2.8.3.1 Magnitude Scaling Factor (MSF) Magnitude Scaling Factor digunakan untuk menyesuaikan perhitungan CRR dengan gempa rencana yang ditentukan dengan nilai CRR 7.5. Perhitungan nilai MSF dapatkan dari persamaan berikut :

MSF =

(

)

(2.26)

Dengan nilai MSF ≤ 1.8. Nilai MSF yang didapatkan pada rumus diatas diperlihatkan pada gambar 2.4

24

Gambar 2.4 Magnitude Scaling Factor yang dikembangkan oleh beberapa peneliti Sumber : Idriss dan Boulanger (2008)

2.8.3.2 Overburden Correction Factor (Kσ) Overburden correction factor (Kσ) telah diterangkan oleh Seed(1983) untuk menyesuaikan nilai CRR tegangan overburden yang didapat dari pengujian tanah dengan nilai CRR dengan nilai tegangan overburden 1atm (100KPa). Nilai dari Kσ yang dianjurkan dihitung dengan persamaan berikut :

(

Kσ =

)

(2.27)

Dimana nilai dari koefisien Cσ bisa didapatkan dari Dr (kerapatan relatif) atau nilai N penetrasi standar yang telah terkoreksi N1(60).

(2.28) √

(2.29)

25

Gambar 2.5 Korelasi nilai Kσ dengan tegangan vertikal efektif Sumber : Idriss dan Boulanger (2008)

26

View more...

Comments

Copyright � 2017 NANOPDF Inc.
SUPPORT NANOPDF