Kearifan Lokal Membaca Bencana - E

January 8, 2018 | Author: Anonymous | Category: Ilmu, Ilmu kebumian, Seismologi
Share Embed Donate


Short Description

Download Kearifan Lokal Membaca Bencana - E...

Description

ANTARA/STR-MARIL GAFUR

Alam Terkembang Ibarat Guru:

Kearifan Lokal Membaca Bencana

ragam 28 ok.indd 47

5/12/12 6:47:14 PM

Tanggal 26 Desember 2004 tercatat sebagai saat yang paling menyesakkan bagi bangsa Indonesia. Hanya dalam hitungan menit, gempa besar dan gelombang tsunami memorak-porandakan sebagian wilayah Aceh dan Sumatera Utara. Tak hanya bangunan dan infrastruktur yang hancur, lebih dari 200.000 jiwa jadi korban bencana itu. Kedua kawasan itu, yang berdekatan dengan pertemuan Lempeng Eurasia dan Lempeng India-Australia, memang masuk wilayah rawan gempa. Di balik itu semua, masyarakat beberapa daerah di Aceh memiliki kearifan lokal yang dapat memperkecil dampak bencana itu terhadap kehidupan mereka. Berikut penelusuran Hendra Syahputra, koresponden Gatra di Banda Aceh, ihwal kearifan lokal di beberapa lokasi rawan bencana di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan disunting oleh Erwin Y. Salim 48

ragam 28 ok.indd 48

S

umatera merupakan satu dari sekian banyak pulau di dunia yang sering mengalami gempa bumi. Pasalnya, pulau ini berada di perbatasan dua lempeng tektonik aktif, Lempeng Indo-Australia dan Lempeng Eurasia, yang memanjang dari Andaman hingga selatan Pulau Jawa. Selain itu, di sini juga terdapat Patahan Sumatera yang memanjang mengikuti alur Bukit Barisan yang membagi dua wilayah daratannya. Wilayah patahan tersebut adalah kawasan yang kerap menjadi daerah gempa. Patahan itu menggambarkan posisi Patahan Sumatera dan tahuntahun terjadinya gempa bumi di sepanjang lempeng bumi tersebut. Aceh merupakan daerah yang berada di pertemuan tiga lempeng bumi, yakni Lempeng Hindia, Australia, dan Eurasia. Inilah yang menyebabkan posisi Aceh sangat rentan terguncang gempa. Belum lagi adanya Sesar Semangko yang lazim disebut Sesar Sumatera, yang saat ini masih bergerak aktif dan berpotensi menyebabkan terjadinya gempa darat. Ironisnya, daerah sepanjang Patahan Sumatera itu ternyata merupakan wilayah dengan tingkat hunian penduduk yang tinggi sejak dahulu. Kesultanan dan kerajaan dengan kekuasaan luas dan masyhur di Sumatera justru berlokasi di sepanjang patahan ini. Dua di antaranya adalah Kesultanan Aceh Darussalam dan Kerajaan Minangkabau. Bahkan Istana Pagaruyung, pusat pemerintahan Adityawarman, Raja Minangkabau yang termashyur itu, hanya berjarak beberapa kilometer dari Patahan Sumatera. Begitu juga Banda Aceh, yang dahulu dikenal dengan Kutaraja. Ibu kota Kesultanan Aceh Darussalam di masa Sultan Iskandar Muda ini terletak tidak jauh dari jalur Patahan Sumatera yang terpecah dua di wilayah Provinsi Aceh. Dua patahan itu dikenal sebagai “Patahan Darussalam” yang melewati Desa Darussalam dan “Patahan Darul Imarah” yang melewati Desa Darul Imarah. Sampai sekarang, daerah-daerah bekas kesultanan dan kerajaan itu tetap menjadi daerah dengan tingkat hunian penduduk cukup tinggi. Kondisi itu idealnya memaksa masyarakat setempat melengkapi diri dengan sistem peringatan dini (early

warning system) sebagai bagian dari upaya mitigasi bencana. Sistem peringatan dini yang paling sederhana dan paling mudah dipahami masyarakat sejatinya adalah tanda-tanda yang diberikan alam. Dan, bencana pada Ahad, 26 Desember 2004, itu mengajarkan kepada kita bahwa sebagian besar masyarakat modern telah melupakan alam sebagai pemberi sistem GATRA 23 MEI 2012

5/12/12 6:47:31 PM

REUTERS/AUSTRALIAN DEPARTMENT OF DEFENCE

Banda Aceh pasca-tsunami Desember 2004

peringatan dini yang paling sederhana dan mudah dipahami.

Hadirnya Kesadaran Tradisional

Sistem mitigasi bencana berbasis alam itu sebenarnya merupakan bagian dari kearifan lokal yang berkembang di GATRA 23 MEI 2012

ragam 28 ok.indd 49

Indonesia dan sudah ada turun-temurun. Di Simeulue, misalnya, selain ada peringatan dini tsunami dalam bentuk budaya bertutur, juga berkembang sikap dan kesadaran masyarakat untuk menanam mangrove. Terbukti, saat tsunami menghantam pulau di Aceh Tenggara ini, tinggi gelombang yang sampai di daratan hanya dua hingga

empat meter. Berbeda dari ketinggian tsunami yang menerjang Meulaboh, Calang, dan Banda Aceh, yang mencapai 20 meter. Hal ini bisa terjadi, antara lain, karena pantai-pantai di Pulau Simeulue masih tertutup rapat oleh hutan mangrove alias hutan bakau. Secara tradisional, masyarakat Simeulue sudah

49

5/12/12 6:47:39 PM

komunitas lain yang menghadapi situasi serupa. Kedua, pemaduan kearifan lokal ke dalam praktek dan kebijakan yang ada akan mendorong partisipasi masyarakat yang terkena bencana untuk mengambil peran utama dalam semua kegiatan pengurangan risiko bencana. Lalu, yang ketiga, informasi yang terkandung dalam kearifan lokal dapat membantu meningkatkan pelaksanaan proyek dengan memberikan informasi yang berharga tentang konteks setempat. Terakhir, cara penyebarluasan kearifan lokal yang bersifat nonformal memberi contoh yang baik untuk upaya pendidikan lain dalam hal pengurangan risiko bencana.

Meminimalkan Dampak Bencana

Dalam penelitian yang dilakukan Koen Meyers dan Puteri Watson (Simeulue, Nias, dan Siberut, Indonesia Dongeng, Ritual, dan Arsitektur di Kawasan Sabuk Gunung Api) diungkapkan, praktek kearifan lokal terbukti dapat mengurangi dampak bencana alam di tiga pulau di Sumatera, yakni Simeulue, Nias, dan Siberut. Dengan kebudayaan yang berbeda, kasus di tiga pulau itu telah membuka mata dunia internasional ihwal praktek kearifan lokal yang sebelumnya luput dari perhatian. Praktek-praktek itu, antara lain,

ANTARA/AMPELSA

lama memahami hal ini. Kemudian secara ilmiah terbukti bahwa hutan bakau sanggup menghambat laju gelombang pasang, sekaligus melindungi pulau itu dari bencana besar. Kesadaran tradisional masyarakat Simeulue tentang fungsi alam mencegah mereka merusak hutan mangrove. Hal itu kemudian dikuatkan dengan terbitnya Qanun Nomor 30 Tahun 2003. Aturan formal ini hanyalah sebuah pengukuhan. Masyarakat sendiri sadar bahwa mereka hidup di daerah rawan bencana dan sudah lama tertanam kesadaran membangun harmonisasi dengan alam serta tidak merusak hutan bakau. Kesadaran secara massif inilah yang menyelamatkan mereka dari bencana yang lebih fatal menjelang tutup tahun 2004 itu. Cerita kearifan lokal masyarakat Simeulue dalam mitigasi bencana telah membangkitkan minat baru pada penggalian konsep kearifan lokal. Pada tahun-tahun belakangan ini, semakin banyak orang tertarik mempelajari hubungan antara kearifan lokal dan bencana alam. Dalam khazanah pengurangan risiko bencana, ada empat argumen dasar yang mendukung pentingnya kearifan lokal. Pertama, berbagai praktek dan strategi spesifik dalam kearifan lokal, yang terbukti sangat berharga dalam menghadapi bencana alam, dapat ditransfer dan diadaptasi komunitas-

mencakup sarana komunikasi tradisional, metode pembangunan, perencanaan hunian, dan upacara ritual yang terkait. Dalam delapan tahun terakhir, Simeulue, Nias, dan Siberut mengalami beberapa kejadian gempa bumi dan tsunami. Pada Desember 2004, tsunami melanda Simeulue dan Nias. Kendati demikian,

Peringatan Dini Berjuluk Smong Angalinon ne mali Oek suruk sauli Maheya mihawali Fano me senga tenggi Ede smong kahanne (Jika gempanya kuat/ Disusul air yang surut/ Segera carilah tempat dataran tinggi agar selamat)

S

yair yang biasa disenandungkan dan diwariskan secara turun-temurun itu agaknya menjadi pemahaman bawah sadar orang Simeulue. Tak mengherankan, ketika gempa 8,9 pada skala Richter, yang disusul surutnya air laut sampai puluhan meter dan meninggalkan ribuan ikan yang menggelepar di pantai, masyarakat di sana tidak menangkapinya. Mereka, dipandu para tetua, malah memilih berlari ke arah sebaliknya, mencari dataran tinggi. Sambil berlarian, mereka

50

ragam 28 ok.indd 50

meneriakkan kata “smong”, yang sekaligus sebagai upaya peringatan dini kepada seluruh warga lainnya, termasuk para pendatang yang tidak paham dengan sistem peringatan dini tradisional itu. Dari kearifan tersebut, terbukti korban akibat tsunami sangat sedikit. Kabupaten Simeulue adalah kabupaten di tenggara Nanggroe Aceh Darussalam yang terpisah oleh Samudra Hindia. Pulau ini adalah salah satu kabupaten yang ikut dilanda gempa bumi dahsyat pada 26 Desember 2004. Pusat gempa besar dan tsunami itu hanya berjarak 40 mil di sebelah barat pulau. Meskipun demikian, menurut catatan yang ada, korban akibat gempa dahsyat tersebut hanya tujuh orang. Orang Simeulue sebelumnya tak mengenal secara jelas apa itu kata mitigasi. Tapi, secara tidak sadar, mereka telah melakukan

praktek mitigasi berbasis alam dan sistem peringatan dini yang diwariskan secara turuntemurun melalui jalur budaya bertutur. Sistem peringatan dini itu dikenal dengan nama smong. Sistem mitigasi bencana berbasis alam dan sistem peringatan dini smong menjadi instrumen penting penyelamatan preventif korban jiwa di kabupaten itu. Dari catatan dan wawancara dengan seorang warga Simeulue yang juga korban dalam peristiwa dahsyat tersebut, ketinggian tsunami mencapai empat hingga enam meter, berbeda dari ketinggian tsunami yang menerjang Meulaboh, Calang, dan Banda Aceh, yang mencapai 20 meter. Ada apa di balik ini? Zainal Abidin, warga setempat, mengata­ kan bahwa hal itu, antara lain, dise­babkan kon­ disi pantai Simeulue yang masih tertutup hutan

GATRA 23 MEI 2012

5/12/12 6:47:47 PM

Bersama-sama mengatur dan berbagi informasi

di Simeulue hanya jatuh sedikit korban bila dibandingkan dengan di daerah lainnya. Laporan resmi pemerintah setempat menyebutkan, hanya ada tujuh korban dari seluruh populasi yang jumlahnya sekitar 78.000 jiwa. Padahal, sebanyak 95% penduduknya hidup di wilayah pantai.

Ketika terjadi gempa pada 26 Desember 2004, penduduk Simeulue tahu bahwa mereka harus mengungsi ke tempat yang lebih tinggi karena ada kemungkinan terjadi tsunami. Reaksi ini telah meminimalkan dampak kerusakan akibat tsunami. Selain faktor kearifan lokal itu, topografi pulau yang

berbukit-bukit juga menjadi faktor penting lain yang memperkecil jumlah korban. Perbukitan hanya berjarak ratusan meter dari perkampungan dan garis pantai. Dalam penelitian tersebut, digambarkan pula Pulau Nias mengalami dampak serius akibat gempa 26 Desember 2004 dan tsunami yang terjadi setelahnya. Sebanyak 140 penduduk tewas dan ratusan lainnya kehilangan tempat tinggal. Beberapa bulan kemudian, tepatnya 28 Maret 2005, terjadi lagi gempa berkekuatan 8,7 pada skala Richter dan merenggut 839 jiwa. Dampak gempa sangat dahsyat sehingga di beberapa tempat menyebabkan tanah terangkat hingga lebih dari dua meter. Tidak itu saja, karang pantai ikut tersembul hingga 100 meter dari garis pantai semula. Kehidupan 90% penduduk terkena dampaknya, 15.000 rumah harus diperbaiki, dan 29.000 lainnya harus dibangun kembali.

Kearifan Lokal Lewat Keluarga

Seperti diketahui, pada 12 September 2007, gempa berkekuatan 7,9 pada skala Richter terjadi di dekat Siberut. Namun hanya jatuh satu korban jiwa. Salah satu sebab kecilnya angka korban ini, karena semua orang,

Daerah pesisir Pulau Simeulue

TRAVEL.DETIK.COM

mangrove atau dikenal juga dengan bakau. Dalam penelusuran tersebut terungkap, warga sudah lama paham bahwa mangrove bermanfaat untuk menghambat gelombang besar dan melindungi pulau cantik itu. Kesadaran masyarakat Simeulue tersebut, yang dikelola secara tradisional dengan syair smong dan pemahaman tentang fungsi mangrove, mencegah mereka merusak alam sekitar. Tak tanggungtanggung, Pemerintah Simeulue akhirnya memberikan dukungan formal, dengan mengeluarkan Qanun Nomor 30 Tahun 2003. Peringatan dini berjuluk smong dan pemahaman tradisional ihwal pentingnya hutan bakau itu pun resmi menjadi perilaku berkekuatan hukum bagi masyarakat Simeulue.

GATRA 23 MEI 2012

ragam 28 ok.indd 51

51

5/12/12 6:47:55 PM

ANTARA/AMPELSA

begitu merasakan gempa, bergegas meninggalkan rumah dan lari ke tempat terbuka. Reaksi yang kompak semacam ini dimungkinkan, antara lain, karena adanya pengetahuan masyarakat yang dikomunikasikan melalui dongeng dan legenda. Kearifan lokal lainnya untuk membaca dan menghindari dampak bencana ada juga di Desa Arul Item, Kabupaten Aceh Tengah. Di situ, masyarakat mengamati suara orangutan sebagai tanda akan munculnya hujan deras dan banjir serta tanah longsor. Mereka memainkan peran penting dalam kesiapsiagaan bencana, manajemen risiko, dan pengentasan kemiskinan masyarakat di sekitar wilayah yang dianggap rentan. Dalam perbincangan dengan pemuka Desa Arul Item, tersibaklah pengalaman-pengalaman yang menguatkan penularan kearifan lokal di tengah masyarakat. Penguatan itu biasanya dimulai dari lingkaran keluarga. Setiap kelompok terdiri dari empat sampai lima rumah tangga. Mereka bersama-sama mengatur dan berbagi informasi. Demikian pula untuk menghindari risiko, mengatur pertemuan, dan membuat keputusan bila terjadi bencana, seperti tanah longsor atau banjir bandang. Untuk pencegahan bencana tanah longsor, misalnya. kelompok ini mempersiapkan rencana darurat bersama dan mengatur gerakan mungamol (berkumpul) untuk mengatasi masalah

52

ragam 28 ok.indd 52

jika keadaan darurat muncul setelah hujan deras. Seperti kerja sama antarrumah tangga di tempat dan wilayah lain, perilaku ini dapat membantu mengurangi risiko bencana untuk rumah tangga. Pelajaran yang paling mendasar dari pengetahuan ekologi tradisional adalah mengenai pandangan dunia dan keyakinan mereka. Sistem kepercayaan dapat membantu menciptakan sikap budaya bersama dan semangat masyarakat, yang pada gilirannya dapat membantu masyarakat untuk menahan bahaya alam dan risiko bencana. Kegiatan desa secara kolektif, bahkan mungkin menyimulasikan unsur bencana alam melalui tindakan simbolis, bisa menjadi peristiwa katarsis (pemantik) bagi seluruh masyarakat.

Peringatan Dini Perilaku Hewan

Di Desa Arol Item, misalnya, ada istilah kenduri mungerje. Masyarakat desa ini menanyakan terlebih dahulu kepada tetue (sesepuh), hari apa yang baik dan tidak musim hujan lebat. Menurut kepercayaan mereka, sesepuh di desa itu memahami tanda-tanda hujan lebat dan longsor. Lalu para sesepuh bersama timnya menggelar ritual mumenge leng Imo. Bersama masyarakat desa, para tetua dan timnya menuruni bukit serta mendengar suara orangutan (imo)

REUTERS/BEAWIHARTA

Kampanye mitigasi bencana bagi siswa sekolah dasar

Detektor gempa dan tsunami di pantai Lok Kruet, Aceh Besar

yang berteriak bersahutan. Jika suara orangutan terdengar semakin lama dan panjang, itu pertanda akan turun hujan lebat dan mengakibatkan longsor. Biasanya mereka tidak mengadakan acara kenduri pada saat seperti itu. Dalam penelusuran di Pidie Jaya, Bukhari Hisyam, salah satu masyarakat di Desa Kleng, menceritakan bahwa gempa bumi dengan magnitude besar terjadi setiap 75 sampai 100 tahun dan magnitude ringan satu kali setiap 50 tahun. Di daerah ini, menurut dia, pengamatan perubahan perilaku ular menjadi sinyal peringatan dini untuk gempa bumi yang digunakan para leluhurnya. Hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa ular merasakan getaran bumi sebelum manusia merasakannya. Hewan-hewan melata itu keluar dari lubang mereka. Perilaku hewan dalam beberapa kasus memang terbukti cukup GATRA 23 MEI 2012

5/12/12 6:48:08 PM

ANTARA/STR-AMPELSA

Kegiatan penghijauan dengan pohon bakau di Syiah Kuala, Banda Aceh

GATRA 23 MEI 2012

ragam 28 ok.indd 53

fungsional sebagai sistem peringatan dini bencana. Hewan-hewan tertentu, seperti kelelawar, ternyata memiliki indra pendengaran dengan rentang pendengaran yang sampai pada gelombang ultrasonik. Dengan demikian, hewan ini diyakini dapat mendengar suara gemuruh reruntuhan di bawah tanah yang menjadi tanda awal terjadinya gempa. Menurut Mustafa Ibrahim, tetua masyarakat di daerah Blang Mangat, Lhokseumawe, hewan-hewan itu secara naluriah menjadi gelisah dan berusaha menjauhi sumber suara yang bagi mereka terasa sangat bising. Saat terjadi gempa besar yang diikuti tsunami, 26 Desember 2004, ia menemukan berbagai perilaku anomali hewan yang terbukti dapat berfungsi sebagai sistem peringatan dini. Menurut dia, menjelang datangnya tsunami, burung-burung bangau putih menunjukkan perilaku tidak seperti lazimnya. Burung-burung itu berbondong-bondong pulang menuju daratan pada siang hari dalam jumlah besar. Padahal, lazimnya, perilaku seperti itu hanya terjadi saat-saat senja, menjelang matahari terbenam. Sementara itu, dalam penelusuran di Kecamatan Tangse, Kabupaten Pidie, masyarakat setempat terkesan fatalistis dalam menghadapi bencana. Di sini, banyak dilaporkan bahwa masyarakat meninggalkan rumah ketika bencana datang sebagai pilihan terakhir hanya karena takut pencuri. Fatalisme ini terungkap dari cerita seorang warga bernama Nur Azman, yang tinggal di desa yang rawan banjir bandang di Kecamatan Tangse. Suatu ketika, desanya diterjang banjir. Nur dan istrinya ikut lari meninggalkan rumah. Di tengah jalan, sang istri memutuskan kembali ke rumah hanya untuk mengambil kerudung yang tertinggal. Perempuan itu terjebak di dalam rumah. Untunglah, ia selamat dari terjangan air bah. Nur percaya betul bahwa sang istri selamat karena jilbab itu. Bercermin pada apa yang terjadi di Aceh selama ini, kearifan lokal yang hidup dan masih dihidupkan di beberapa daerahnya ternyata mampu menjawab penanggulangan bencana. Bila dikombinasikan dengan ilmu pengetahuan dan teknologi yang makin canggih, upaya mitigasi bencana tentu akan kian lengkap dan memadai.

53

5/12/12 6:48:17 PM

View more...

Comments

Copyright � 2017 NANOPDF Inc.
SUPPORT NANOPDF