kedokteran unram kedokteran unram

January 28, 2018 | Author: Anonymous | Category: Ilmu, Health Science
Share Embed Donate


Short Description

Download kedokteran unram kedokteran unram...

Description

Volume 2 Nomor 3 September 2013

ISSN : 2301-5970

RSI

M

AT

M

S

UN

VE

TA

I

JURNAL KEDOKTERAN UNRAM ARA

Tinjauan Pustaka : Kejang Demam Pada Anak Penelitian : Hubungan Antara Durasi Pemberian Haart (Highly Active Anti Retroviral Therapy) Dengan Peningkatan Level Cd4 Pada Pasien Hiv Dewasa Penelitian : Efektivitas Petidin 25 Mg Intravena Untuk Mencegah Menggigil Pasca Anestesi Umum Penelitian : Gambaran Hasil Pemeriksaan Hematologi Pada Pasien TB Paru yang Menjalani Rawat Inap Di RSUP NTB Tahun 2011-2012 Tinjauan Pustaka : Kajian Komprehensip Tentang Benda Asing Dalam Hidung Tinjauan Pustaka : The Risk Of Iron Deficiency Within Infants Who Are Exclusively Breast Fed For The First Six Months: Cases In Developed Countries Tinjauan Pustaka : Stress Hiperglikemia Tinjauan Pustaka : The Relationship Between Child Obesity And Bone Health

Volume 2 Nomor 3 September 2013

ISSN : 2301-5970

RSI

M

AT

M

S

UN

VE

TA

I

JURNAL KEDOKTERAN UNRAM ARA

Tinjauan Pustaka : Kejang Demam Pada Anak Penelitian : Hubungan Antara Durasi Pemberian Haart (Highly Active Anti Retroviral Therapy) Dengan Peningkatan Level Cd4 Pada Pasien Hiv Dewasa Penelitian : Efektivitas Petidin 25 Mg Intravena Untuk Mencegah Menggigil Pasca Anestesi Umum Penelitian : Gambaran Hasil Pemeriksaan Hematologi Pada Pasien TB Paru yang Menjalani Rawat Inap Di RSUP NTB Tahun 2011-2012 Tinjauan Pustaka : Kajian Komprehensip Tentang Benda Asing Dalam Hidung Tinjauan Pustaka : The Risk Of Iron Deficiency Within Infants Who Are Exclusively Breast Fed For The First Six Months: Cases In Developed Countries Tinjauan Pustaka : Stress Hiperglikemia Tinjauan Pustaka : The Relationship Between Child Obesity And Bone Health

Jurnal Kedokteran Unram

Penasehat Prof. Mulyanto Editor 

dr. Hamsu Kadriyan, SpTHT.,M.Kes.



dr. Yunita Sabrina, M.Sc.,Ph.D.



dr. Arfi Syamsun, SpKF., M.Si.Med.

Dewan Redaksi 

dr. Doddy Ario Kumboyo, SpOG (K)



dr. Erwin Kresnoadi, M.Si.Med.,SpAn.



dr. Ima Arum Lestarini, M.Si.Med,SpPK



dr. I G N Ommy Agustriadi, SpPD



dr. Ida Ayu Eka Widiastuti, M.Fis.



dr. Bambang Priyanto, SpBS



dr. Ardiana Ekawanti, M.Kes.



dr. Seto Priyambodo, M.Sc.



dr. Nurhidayati, M.Kes.



dr. Pandu Ishak Nandana, SpU



dr. Arif Zuhan, SpB



dr. Dewi Suryani, M.Infectdis(MedMicro)



dr. Fathul Djannah, SpPA



dr. Marie Yuni Andari, SpM



Siti Rahmatul Aini, SF.Apt.,M.Sc.



dr. Yunita Hapsari, M.Sc.SpKK



dr. Akhada Maulana, SpU



dr. Monalisa Nasrul, SpM



dr. Joko Anggoro, M.Sc.,SpPD



Agriana Rosmalina H., M.Farm., Apt

Mitra Bestari 

dr. I Made Jawi, M.Kes. (Bagian Farmakologi FK UNUD)



dr. Sofwan Dahlan, SpF (Bagian Bioetik FK UNDIP)

Sekretaris dr. Prima Belia Fathana

Layout dan Percetakan Syarief Roesmayadi

ISSN : 2301-5977 Jurnal Kedokteran Universitas Mataram Edisi 4, Volume 3, September 2013

DAFTAR ISI Tinjauan Pustaka : Kejang Demam Pada Anak Wayan Sulaksmana SP, Sukardi, Abdul Razak Dalimunte.........................................................

3

Penelitian : Hubungan Antara Durasi Pemberian Haart (Highly Active Anti Retroviral Therapy) Dengan Peningkatan Level Cd4 Pada Pasien Hiv Dewasa Eustachius Hagni Wardoyo, Teguh Sarry Hartono .................................................................... 12 Penelitian : Efektivitas Petidin 25 Mg Intravena Untuk Mencegah Menggigil Pasca Anestesi Umum Erwin Kresnoadi, Hadian Rahman, Wahyu Sulistya Affarah...................................................

16

Penelitian : Gambaran Hasil Pemeriksaan Hematologi Pada Pasien TB Paru yang Menjalani Rawat Inap Di RSUP NTB Tahun 2011-2012 Prima Belia Fathana, Gede Wira Buanayuda, Novia Andansari Putri ....................................... 27 Tinjauan Pustaka : Kajian Komprehensip Tentang Benda Asing Dalam Hidung Hamsu Kadriyan ........................................................................................................................

38

Tinjauan Pustaka : The Risk Of Iron Deficiency Within Infants Who Are Exclusively Breast Fed For The First Six Months: Cases In Developed Countries Rifana Cholidah ............................................................………................................................. 45 Tinjauan Pustaka : Stress Hiperglikemia Erwin Kresnoadi .........................………....................................................................................

51

Tinjauan Pustaka : The Relationship Between Child Obesity And Bone Health Rifana Cholidah .........................………....................................................................................

61

Pedoman Penulisan Naskah Artikel.........................................................................................

69

2

KEJANG DEMAM PADA ANAK

Wayan Sulaksmana SP, Sukardi, Abdul Razak Dalimunte Bagian Ilmu Kesehatan Anak FK-Unram/RSUP NTB Abstract: Febrile convultion is a neurological disorder that is often found in children. Fever is usually caused by an infection outside of the central nervous system such as : Upper respiratory tract infection,gastroenteritis, urinary tract infection, etc.Febrile siezures in general brief form : tonic, tonic-clonic,focal or partial. Febrile convultion should receive prompt and appropriate treatment because of delays and procedural errors would cause sequel and death. Appropriate education for parents about febrile convultion is unbelievably necessary to reduce anxiety. Keywords : seizure,fever,anticonvulsanst

Pendahuluan Kejang

Serangan kejang demam pada anak yang

merupakan

suatu manifestasi

satu

dengan

yang

lain

tidak

sama,

klinik lepas muatan listrik berlebihan dari sel-

tergantung dari nilai ambang kejang masing-

sel neuron di otak yang terganggu fungsinya.

masing.4,6 Setiap serangan kejang pada anak

Gangguan tersebut dapat disebabkan oleh

harus mendapat penanganan yang cepat

1

dan tepat apalagi pada kasus kejang yang

Pada sebagian besar kasus, gangguan

berlangsung lama dan berulang. Karena

fungsi sel neuron otak

keterlambatan dan kesalahan prosedur akan

kelainan anatomis, fisiologis, dan biokimia,

sementara. petanda

Kejang serius

hanya bersifat

dapat

suatu

merupakan

penyakit

mengakibatkan gejala sisa pada anak atau bahkan menyebabkan kematian.,3,5,6,8

yang

mendasarinya.2

Makalah

Kejang pada anak lebih sering terjadi

ini

bertujuan

membahas

beberapa aspek dan tatalaksana

karena kenaikan suhu tubuh. Demam sering

kejang

demam pada anak.

disebabkan oleh infeksi di luar sistem saraf Definisi

pusat seperti : infeksi saluran pernapasan atas, otitis media, gastroenteritis dan infeksi saluran

kemihdan

Consensus Seizures(1980),

lain-lain.

Statement

Kejang demam adalah bangkitan kejang

Menurut

of

Febrile

Kejang demam

biasanya

yang terjadi pada kenaikan suhu tubuh(suhu rectal)

Lebih dari 38oC, yang disebabkan

oleh suatu proses ekstrakranial.3,5,6

dapat terjadi pada usia antara 3 bulan dan 5

Kejang

Demam

Sederhana

adalah

tahun dan tidak pernah terbukti adanya

kejang demam yang terjadi pada umur

3

antara 6 bulan sampai 4 tahun, lama kejang

Pendapat lain mengatakan bahwa kejang

kurang dari 15 menit, kejang bersifat umum,

demam adalah suatu kejadian pada

frekuensi kejang kurang dari 4 kali dalam

infeksi intrakranial atau penyebab tertentu.

bayi

atau anak, biasanya terjadi antara umur 6 bulan

dan 5 tahun. Anak

setahun,

yang pernah

kejang

timbul

sesudah kenaikan suhu.

dalam

16

jam

6

mengalamin kejang tanpa demam dan bayi umur kurang dari 1 dalam kejang demam.

Patofisiologi

bulan tidak termasuk 3,4,8

Dasar

3

patofisiologi

terjadinya

kejang

demam adalah belum berfungsinya dengan

baru

terjadi

pada

suhu

diatas

40°C.

6

Terulangnya kejang demam lebih sering

Untuk mempertahankan hidupnya, sel otak

terjadi pada anak dengan ambang kejang

membutuhkan

rendah.4,6,8

baik susunan saraf pusat(korteks serebri).

glukosa

energi

yang

yaitu

senyawa

dari

proses

didapat

Kejang demam yang berlangsung singkat

metabolisme sel. Sel-sel otak dikelilingi oleh

umumnya

membran

meninggalkan gejala sisa. Tetapi kejang

yang

dalam

keadaan

normal

membran sel neuron dapat dilalui dengan

demam

+

mudah oleh ion Kalium (K ) dan sangat sulit dilalui oleh ion Natrium (Na ) dan elektrolit lain

kecuali

Clorida

(Cl ).

yang

menit“Status

+

-

tidak

berbahaya

berlangsung

epilepticus“

dan

tidak

lama

>15

adalah

suatu

keadaan darurat dan perlu tindakan segera

Akibatnya

karena

+

konsentrasi ion K di dalam sel neuron tinggi

bila

berlangsung

lama

akan

menyebabkan kerusakan neuron dengan

+

dan konsentrasi ion Na rendah. Keadaan

akibat kematian.

sebaliknya terjadi di luar sel neuron.Untuk

Bila

kejang

tidak

teratasi

(status

menjaga keseimbangan potensial membran

epileptikus) akan timbul keadaan

sel diperlukan energi dan enzim Na-K-ATP

jaringan otak dengan akibat permeabilitas

ase

yang

terdapat

Keseimbangan

di

potensial

hipoksia

permukaan

sel.

kapiler meninggi, terjadi edema otak dengan

membran

sel

tekanan intrakranial yang meninggi. Akibat

dipengaruhi oleh :1.Perubahan konsentrasi

edema otak

terjadi kerusakan sel dan

ion di ruang ekstraseluler. 2. Rangsangan

depressi

yang datangnya mendadak baik rangsangan

hipoksia. Kematian

pernapasan

yang

menambah

timbul kemudian

oleh

7

mekanis, kimiawi atau aliran listrik dari

kolaps sirkulasi. Bila kejang dapat diatasi,

sekitarnya. 3. Perubahan patofisiologi dari

anak bisa kembali normal atau sembuh

membran

dengan gejala sisa. Hal ini diduga kuat

karena

penyakit

atau

faktor

keturunan.

sebagai faktor yang bertanggung jawab terhadap terjadinya epilepsi.4

Pada keadaan demam, kenaikan suhu 10C

akan

mengakibatkan

kenaikan Manifestasi Klinik

metabolisme basal 10-15% dan peningkatan kebutuhan oksigen sampai 20%. Jadi pada kenaikan

suhu

tertentu

dapat

Terjadinya bangkitan kejang demam pada

terjadi

bayi

dan

anak

kebanyakan

bersamaan

perubahan keseimbangan dari membran dan

dengan kenaikan suhu badan yang tinggi

dalam waktu yang singkat terjadi difusi ion

dan cepat, yang disebabkan oleh infeksi di

Kalium dan Natrium melalui membran sel,

luar sistem saraf pusat, misalnya karena

akibat lepasnya muatan listrik yang demikian

tonsillitis, bronchitis atau otitis media akut.

besar keseluruh sel maupun ke membran sel

Serangan kejang biasanya terjadi dalam 24

tetangga dengan bantuan neurotransmitter

jam pertama sewaktu demam, berlangsung

terjadilah kejang. Pada anak degan ambang

singkat,

kejang yang rendah kenaikan suhu sampai

berbentuk tonik, klonik, tonik-klonik, fokal

38°C sudah terjadi kejang, namun pada anak

atau akinetik. Umumnya kejang berhenti

dengan ambang kejang yang tinggi, kejang

sendiri. Begitu kejang berhenti untuk sesaat

4

dengan

sifat

bangkitan

kejang

anak tidak memberikan reaksi apapun, tetapi

apakah Kejang Demam Sederhana

setelah beberapa detik atau menit anak akan

Kejang

terbangun dan sadar kembali tanpa ada

LivingStone membagi kriteria kejang

kelainan neurologi.

3,5,8

Demam

Kompleks.

atau Dahulu

Kejang dapat diikuti

menjadi dua golongan, yaitu: Kejang Demam

hemiparesis sementara (hemiparesis Todd)

Sederhana (simple febrile convulsion) dan

yang berlangsung beberapa jam sampai

Epilepsi

beberapa hari. Kejang unilateral yang lama

(epilepsy triggered of by fever). Klasifikasi ini

dapat diikuti oleh hemiparesis yang menetap.

tidak lagi digunakan karena studi prospektif

Bangkitan yang berlangsung lama lebih

epidemiologi

membuktikan

3

berkembang

epilepsi

sering terjadi pada kejang demam pertama.

yang

diprovokasi

atau

oleh

Demam

bahwa

resiko

berulangnya

kejang tidak sebanyak diperkirakan.3

Bila menghadapi penderita dengan kejang demam, pertanyaannya yang sering timbul

Gambar 1. Skematik patofisiologi pada Kejang

Unit Kerja Koordinasi Nerologi (UKK) IDAI

15 menit

2006 membuat Klasifikasi Kejang Demam pada anak menjadi :

b. Kejang

4,8

kejang

1. Kejang Demam Sederhana

(Simple

fokal umum

atau

parsial,

didahului

atau kejang

parsial

Febrile Seizure)

c.

a. Kejang berlangsung singkat kurang

Berulang lebih dari 1 kali dalam 24 jam (kejang multipel atau kejang

dari 15 menit

serial)

b. Kejang bersifat umum, tonik dan atau Deferensial Diagnosa

klonik c.

Tidak

berulang

dalam

24

jam

Menghadapi

(frekuensi 1 kali dalam 24 jam) 2. Kejang fibrile

Demam

Kompleks

seorang

anak

yang

menderita demam dengan kejang, harus

Complex

dipertimbangkan apakah penyebabnya dari

Seizure)

luar atau dari dalam susunan saraf pusat.

a. Kejang berlangsung lama lebih dari

Kelainan di dalam otak biasanya karena

5

infeksi, seperti: Meningitis, Encephalitis, atau

dapat dikerjakan : Pemeriksaan

abses otak

darah perifer, elektrolit dan gula

waspada

dll.

Oleh sebab itu

untuk

perlu

menyingkirkan

dahulu

darah

apakah ada kelainan organik di otak. Baru

b. Pungsi

sesudah itu dipikirkan apakah kejang demam sederhana atau kejang demam kompleks.

lumbal

untuk

pemeriksaan

3

cairan

serebrospinal dilakukan untuk menyingkirkan atau menegakan

Penegakkan Diagnosis:

4,8

diagnosis meningitis, dianjurkan

1. Anamnesis :

pada:

Dari anamnesis ditanyakan : a. Tampilan

1) Bayi kurang dari 12 bulan

kejang,umum

atau

sangat dianjurkan dilakukan

fokal dan berapa lama durasi

2) Bayi usia antara 12 bulan-18

kejangnya

bulan dianjurkan

b. Riwayat demam dan penyakit

3) Bayi usia> 18 bulan tidak

lain yang diderita oleh anak c.

rutin.

Riwayat penggunaan obat pada Prognosis

anak d. Riwayat kejang sebelumnnya, masalah

Dengan penanggulangan yang tepat dan

nerologik,

cepat,

prognosisnya

baik

dan

tidak

keterlambatan tumbuh kembang

menyebabkan

atau

berulangnya kejang berkisar antara 25 –

penyebab

lain

seperti

trauma

kematian.Frekuensi

50%. Resiko untuk mendapatkan epilepsy

e. Riwayat keluarga yang pernah

rendah

atau tidak mengalami kejang

ditemukan

2,9%

penderita kejang demam.

dari

semua

3

demam, epilepsy Penanggulangan

2. Pemeriksaan fisik dan nerologi Kesadaran,

suhu

rangsangan peningkatan

tubuh,

meningeal, tekanan

tanda

Anak yang mengalami Kejang Demam

tanda

Sederhana atau Kejang Demam Kompleks

intrakranial,

sebaiknya dirawat dirumah sakit

dan

dan tanda infeksi di luar Susunan

dilakukan pemeriksaan penunjang untuk

Saraf Pusat (SSP). Pada umumnya

mencegah terjadinya komplikasi yang lebih

tidak

lanjut.4

dijumpai

nerologis

adanya

termasuk

kelainan

tidak

ada

Dalam penanggulangan

kelumpuhan nervi kranialis.

kejang demam

pada anak, ada 4 faktor yang harus

3. Pemeriksaan penunjang

dilakukan, yaitu: A. Memberantas

a. Pemeriksaan laboratorium tidak

kejang

secepat

1,2,4,8

dilakukan secara rutin, namun

mungkin

untuk

mengevaluasi

Apabila penderita datang dalam keadaan

infeksi

penyebab demam atau

kejang,

segera

keadaan lain. Pemeriksaan yang

secara

rektal

sumber

6

diberikan dengan

diazepam dosis

:

Berat badan < 10 kg = 5 mg

Dosis phenobarbital :

Berat badan > 10 kg = 10 mg

loading dose secara intramuskuler :

(lihatgambar2). Bila kejang sudah teratasi

Neonatus

dengan

Anak usia 1 bulan – 1 tahun : 50 mg

diazepam

antikonvulsan

dapat

long

diberikan

acting

Phenobarbital, terutama

seperti

: 30 mg

Anak usia > 1 tahun

bila ada faktor

: 75 mg

Dilanjutkan 4 jam kemudian

dengan

resiko: kejang lama, kejang fokal atau

phenobarbital oral : 8 – 10 mg /kg bb/hari

parsial, adanya kelainan neurologis yang

dibagi 2 dosis selama 2 hari, selanjutnya

nyata,

3 – 5 mg/kg bb/hari dibagi 2 dosis selama

kejang

multipel,

dan

riwayat

epilepsi dalam keluarga.

demam.

Diazepam 510mg/rec max 2x Jarak 5 menit

Prehospital

0-10 menit

Monitoring

Hospital/ED

Airway Breathing Circulation

Diazepam 0,25-0,5 mg/kg/ IV (rate 2mg/menit,max dose 20 mg)

10-20 mnt

atau

Midazolam 0,2 mg/kg/IV bolus

Vital sign EKG gula Darah Serum Elektrolit Na, K, Ca, Mg, Cl analisa gas darah Koreksi Kelainan Pulse Oksimetri

atau

Lorazepam 0,0050,1 mg/kg/IV (rate5-10 menit, max 1gr)

Phenitoin 20mg/ kg/IV 20 menit/ 50 ml NS Max 1000mg

20-30 mnt

Blood Drug Level

30-60 menit

Refrakter

PentotalTiopental 24mg/kg/IV

Propofol 3-5mg/ kg/infusion

Gambar 2 Alogaritma tatalaksana kejang akut dan status epileptikus. ( PKB Ilmu Kesehatan Anak FK. Unud , Sanur 5-8 Juli 2012)

7

B. Pengobatan penunjang.5,6

Diazepam rectal setiap 8 jam (lihat

Sebelum memberantas kejang jangan

dosis rektal sesuai berat badan)

lupa dengan pengobatan penunjang yaitu :

Berikan penjelasan pada orang tua

1. Penderita sebaiknya dibebaskan dari

tentang

efek

samping

obat

semua pakaian, posisi kepala miring

diazepam yaitu : mengantuk, letargi,

yaitu untuk menghindari aspirasi.

iritabel dan ataksia. 2. Profilaksis jangka panjang.4,6,8

2. Penting sekali mengusahakan jalan nafas yang bebas agar oksigenasi

Pemberian

terjamim,

menerus

jika

diperlukan

dipasang

intubasi

trakheotomi.

Penghisapan

dilakukan

secara

dapat bahkan

teratur,

untuk

suhu

panjang

menjamin

terus

ditujukan

terdapatnya

dosis

terapeutik di dalam darah stabil dan

juga

cukup, guna mencegah berulangnya kejang di kemudian hari. Diberikan

3. Mengawasi secara ketat fungsi vital kesadaran,

jangka

profilaksis

lendir

diberikan oksigenasi yang memadai.

seperti

obat

pada keadaan :

tubuh,

a. Adanya kelainan nerologis yang

tekanan darah, pernafasan dan fungsi

nyata sebelum atau sesudah kejang

jantung.

seperti : hemiparesis, paresis todd,

4. Cairan intravena sebaiknya diberikan dengan monitor

palsi

kelainan metabolik

15 menit,

natrium dengan kadar tinggi tubuh

c. Kejang

masih

tinggi(

hiperpireksi ) diberikan

antipiretik

intravena

es

dan

kompres

fokal,

kejang

jam

atau

d. Anak usia < 12 bulan . e. Kejang demam kompleks berulang

C. Pengobatan profilaksis

4,6,8

profilaksis

lebih dari 4 kali dalam setahun. terhadap

Obat yang diberikan berupa :

berulangnya kejang demam dapat dibagi

1. Fenobarbital

dalam dua yaitu: 1. Profilaksis

bersifat

berulang lebih dari 2 kali dalam 24

alkohol.

Pengobatan

mental,

b. Bila kejang berlangsung lebih dari

tekanan intracranial jangan diberikan

suhu

retardasi

hidrosefalus/mikrosefali dll.

dan elektrolit. Bila ada kenaikan

5. Bila

serebral,

Dosis 4-5 mg/kgBB/hari intermiten pada waktu

Efek samping pemakaian jangka

demam.

panjang : hiperaktif, perubahan

a. Antipiretik :

siklus tidur, gangguan kognitif, dan

parasetamol 10-15 mg/kgbb tiap 4 –

gangguan fungsi luhur.

6 jam

2. Asam Valproat

Ibuprofen 5 – 10 mg/kgbb tiap 6 –

Dapat

8 jam

terulangnya

b. Obat antikonvulsan :

menurunkan

memuaskan

kejang bahkan

resiko dengan lebih

baik

Diazepam oral 0,3 mg/kgbb setiap 8

dibanding dengan fenobarbital.

jam saat

Dosis : 20-30 mg/kgBB/hari dalam

demam

atau

8

E. Edukasi Pada orang Tua. 4

3 dosis. Efek samping : mual, hepatotoxis

Kejang selalu merupakan peristiwa yang

dan pancreatitis.

menakutkan bagi orang tua, karena saat

Antikonvulsan pada profilaksis jangka

kejang

panjang

beranggapan

ini

kurangnya

diberikan

selama

1

sekurang-

sebagian

besar

bahwa

orang

anaknya

tua akan

tahun bebas

meninggal. Kecemasan tersebut harus

kejang. Penghentian pengobatan harus

dikurangi dengan edukasi yang tepat bagi

dilakukan

orang

dengan

off,dalam

waktu

cara 3-6

tapering

bulan

guna

Dan

Mengobati

seputarkejang

demam,

diantaranya :

menghindari rebound fenomena. D. Mencari

tua

1. meyakinkan bahwa kejang demam Faktor

umumnya

bukan

merupakan

Penyebab/Kausatif

penyakit yang serius tetapi tidak juga

Penyebab dari kejang demam baik kejang

dianggap ringan (berprognosis baik )

demam

sederhana

demam

2. Memberikan cara penanganan kejang

kompleks biasanya infeksi pada traktus

3. Memberikan informasi kemungkinan

respiratorius

/kejang

bagian atas, otitis media

kejang kembali( kejang berulang)

akut, gastrointestinal, saluran kemih dll.

4. Terapi memang efektif mencegah

Pemberian antibiotika yang tepat dan

rekurensi

adekuat

samping

akan

sangat

berguna

untuk

menurunkan demam yang pada gilirannya akan kejang.

menurunkan

resiko

Secara akademis,

terjadinya anak yang

Kesimpulan

dapat berhenti sendiri, sebagian lain tetap

infeksi

memerlukan pengobatan profilaksis jangka

Selanjutnya

panjang. Tatalaksana yang adekuat sangat

apabila menghadapi anak dengan kejang

penting untuk mencegah kejang lama(status

yang

epileptikus) dan kematian.

intrakranial

ini

perlu

Walaupun sebagian besar kejang demam

untuk

menyingkirkan

Hal

efek

mengurangi kejadian epilepsy

kali sebaiknya dilakukan pemeriksaan lumbal.

memiliki

5. Tidak ada bukti bahwa terapi akan

datang dengan kejang demam pertama

punksi

tetapi

kemungkinan (meningitis).

berlangsung

pemeriksaan

:

lama

punksi

diperlukan

lumbal,

darah

berhasil

diatasi,

lengkap, glukosa, elektrolit, EEG, Brain

pemeriksaan

Scan, MRI, Pneumo Ensefalografi dan

pemeriksaan

arteriografi.

3,4,5

dilakukan

klinis

Setelah kejang anamnesis,

neurologis,

penunjang

etiologi. Tentukan apakah

untuk

dan mecari

kejang demam

sederhana atau kejang demam kompleks. Daftar Pustaka 1. Suarba IG : Manajemen terkini kejang dan status epileptikus. Dalam : Penangan kegawat daruratan Neonatologi dan Anak pada fasilitas terbatas, PKB IKA Fk Unud/RSUP Sanglah , sanur 2012.

2. Widodo DP : Penatalaksanaan Kejang dan Status Epileptikus pada Bayi dan Anak. Dalam : Paediatric Neurology and Neuroemergency in Daily Practice. PKB XLIX IKA Fk.UI, Jakarta 2006. 3. Mansjoer, Suprohaita, Wahyu IW, Wiwik S. Editor : Kejang Demam. Kapita

9

Selekta Kedokteran, ed 3;2. Penerbit Media Aesculapius Fk.UI, 2000;434-7. 4. Prasasti AS. Kejang Demam pada Anak. Diakses 12 september 2012. Diunduh dari :http//asprasasti.blogspot.com/2011/05/ kejang demam pada anak.html. 5. Ismael S . Kejang Demam. Dalam : Sudaryat,Suwendra IP editor. Simposium Kedaruratan pada Anak. IKA Fk. Unud, Denpasar 1983. 6. Anonim : Kejang Demam pada Anak .

diakses 12 september 2012. Diunduh dari :http//medlinux.blogspot.com/2007/09/kej ang-demam-pada-anak.html. 7. Hendarto SK, Ismael S : Kejang Demam pada Anak. Dalam : Sulestea G,Steawati A, Mariana, Handoko T editor : Kumpulan Naskah KPPIK X. Fk.UI, Jakarta 1979. 8. Anonim : Kejang Demam . Pedomam Pelayanan Medis Kesehatan Anak. Bagian/SMF IKA. Fk. Unud/RSUP Sanglah Denpasar,2011.

10

HUBUNGAN ANTARA DURASI PEMBERIAN HAART (HIGHLY ACTIVE ANTI RETROVIRAL THERAPY) DENGAN PENINGKATAN LEVEL CD4 PADA PASIEN HIV DEWASA Eustachius Hagni Wardoyo1 dan Teguh Sarry Hartono 2 Abstrak Latar Belakang: Dinamika CD4 dikaitkan dengan durasi pemberian HAART memiliki keberagaman antar individu, antar seting waktu dan tempat. Dinamika CD4 paska HAART merupakan faktor penting baik dalam evaluasi klinis pasien HIV dan kepentingan epidemiologis. Penelitian ini bertujuan melihat hubungan antara durasi pemberian HAART dengan peningkatan level CD4. Metodologi: Merupakan penelitian potong lintang dengan kriteria inklusi: 1. Usia pasien ≥18 tahun, pria dan wanita, 2. Memiliki angka CD4 pre ART (CD4 naïve) dan CD4 setelah ART, 3. Memiliki data CD4 naïve dan CD4 setelah HAART, 4. Memiliki selisih CD4 terakhir dengan CD4 naïve positif, dan 5. Memiliki kepatuhan berobat. Durasi pemberian HAART (bulan) dikelompokkan dalam kelompok waktu: 1) 0,05).

menunjukkan hasil berbeda yang bermakna Tabel 7.Efek samping pemberian obat pada ketiga kelompok perlakuan.

Efek Samping

Kelompok M (n = 24)

Kelompok S (n =24)

Pruritus

0

0

Mual Depresi nafas dan sedasi

5 2

0 0

Dari

Tabel

7

diatas terlihat

bahwa

kelompok

terdapat perbedaan yang bermakna pada efek

samping

obat

yang

timbul

p

0,006 0,002

Petidin

dibandingkan

pada

kelompok salin (p < 0,05).

pada

PEMBAHASAN

penderita mendapatkan petidin 25 mg secara

Telah dilakukan penelitian pada 48 orang

intra vena yang diberikan setelah nafas

penderita laki-laki dan perempuan yang

spontan

dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu kelompok S

kembali ada. Ekstubasi dilakukan 5 menit

(kontrol) 24 penderita mendapat injeksi NaCl

setelah perlakuan. TDS, TDD, TAR, LJ, SaO2

0,9% sebanyak 2,5 cc yang diberikan secara

dan suhu tubuh diukur dan dicatat segera

intravena dan kelompok P (perlakuan) 24

setelah dilakukan ekstubasi. TDS, TDD,

23

adekuat

dan

refleks

laringeal

TAR, LJ dan SaO2 diukur terus menerus

salin.Pada penelitian ini, durasi menggigil

setiap lima menit selama 30 menit. Pasca

pada kelompok salin terjadi dalam waktu

ekstubasi,

oksigen

hampir sama jika dibandingkan dengan

6L/menit dengan menggunakan sungkup

kelompok petidin. Hal ini dikarenakan setelah

muka.Berat ringannya menggigil dicatat, dan

terjadi menggigil, pada penderita langsung

dinilai pula lamanya menggigil.

diberikan

penderita

diberikan

Dari data karakteristik penderita yang

intervensi

berupa

pemberian

meperidin dosis 25 mg untuk terapi menggigil

meliputi umur, jenis kelamin, berat badan,

yang

tinggi badan, jenis operasi, lama operasi dan

penderita yang mengalami menggigil dengan

status fisik penderita serta karakteristik klinis

derajat

penderita lima menit sebelum induksi tidak

menggigil derajat 1 tidak diberikan intervensi

didapatkan perbedaan yang bermakna dari

pemberian meperidin. Oleh sebab itu durasi

kedua

menggigil

kelompok

perlakuan.

Dengan

terjadi,

2,

terutama

3

atau

pada

4.

diberikan

Untuk

pada

penderita

kelompok

kontrol

demikian dapat dikatakan homogen dan

berlangsung dalam waktu hampir sama. Hal

layak untuk diperbandingkan.

ini menunjukkan bahwa pemberian petidin

Hasil pengukuran tekanan darah sistolik

cukup efektif dalam mengurangi kejadian

dan laju jantung segera setelah ekstubasi

menggigil pasca anestesi umum, selain

menunjukkan perbedaan bermakna antara

untuk mengurangi terjadinya nyeri pasca

kelompok

pembedahan.

petidin

dengan

kelompok

24 20 16 12 8 4 0

MEPERIDIN Derajat 0

Derajat 1

Derajat 2

SALIN Derajat 3

Derajat 4

Grafik 1. Perbandingan kejadian dan derajat menggigil dari kedua kelompok perlakukan

Pada penelitian ini menunjukkan efek samping obat yang timbul akibat pemberian

24

meperidin

lebih

tinggi

pemberian

salin.Tidak

dibandingkan

ditemukan

efek

samping

pruritus

perlakuan.Pada

di

kedua

kelompok

kelompok

kejadian depresi nafas.Hal ini menunjukkan

meperidin,

berbeda kelompok

terdapat 5 pasien mengalami kejadian mual dan

2

orang

pasien

yang

bermakna

jika

salin

dibandingkan

(Grafik

2).

mengalami

8

6

4

2

0 MEPERIDIN Pruritus

Mual

SALIN Depresi nafas

Grafik 2. Efek samping obat pada kedua kelompok perlakuan

KESIMPULAN

2. Petidin mempunyai efek samping obat

1. Petidin mempunyai efektifitas yang baik

yaitu depresi nafas, mual yang lebih

dalam mencegah terjadinya menggigil

tinggi jika dibandingkan salin.

pasca anestesi umum.

DAFTAR PUSTAKA 1. Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ, Larson CP. Post anesthesia care. In : Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ, Larson CP. Clinical Anesthesiology. 4thed. New York : Lange Medical Books/McGraw-Hill Medical Publishing Edition, 2006 : 169 – 72. 2. Tsai YC, Chu KS. Anesthetic shivering in parturients. Anesth Analg 2001 ; 93:1288 – 92. 3. Schawarzkopt KR, Hoft H, Hartman M, Fritz HG. Treatment of postanesthetic shivering. Anesth Analg 2001 ; 95:257 – 60. 4. Piper Sn, Maleck WH, Bolt J, Suttner SW, Schmidt CC, Reich DGP. Preventing postanesthetic shivering. Anesth Analg 2000 ; 90:954 – 7. 5. Bigatella L. The post anesthesia care unit. In : Davidson JK, Eckhart WT,

6.

7.

8.

9.

10.

25

Perese DA, eds. Cinical anesthesia procedures of the massachusetts general hospital, 4th ed. Boston : Little Broun and Co, 1993 : 527 – 43. Horn EP. Physostigmin prevents post anesthetic shivering as does meperidine or clonidine. Anesthesiology, 1998 ; 88 : 108 – 13. Wang JJ, Ho ST, Lu SC, Liu YC. Treating postanesthetic shivering. Anesth Analg 1999 ; 88:686 – 9. Behringer EC. Postanesthesia care. In : Longnecker DE., Murphy FL (eds). Introduction to anesthesia. Philadelphia : W.B. Saunders Company, 1997 : 438-9. De Witte J., Sessler. D. Perioperative shivering: Physiology and Pharmacology. American Society of Anesthesiologists 2002; 96 : 467 – 84. Rosa G, Pinto G, Orsi P. Control of post anesthetic shivering. Acta

11.

12.

13.

14.

15.

16.

17.

18.

Anaesthesiologica Scandinavia 1995 ; 39 (1):90–5. Chan AMH, Ng KFJ, Tong EWN, Jan GSK. Control of shivering under general anesthesia. Can J Anesth 1999; 46: 253 – 8. Mathews S., Varghese PK,. Postanesthetic shivering. Anaesthesia 2000 ; 57 : 387 – 95. Bhatnagar S., Kannan TR., Panigrahi M. Pethidine for Post operative shivering. Anaesthesia and Intensive Care 2002 ; 32 : 294 – 305. Thaib MR, Harjanto E, George YWH. Comparative study of the effectiveness of pethidine for prevention of post anesthtetic shivering in general anesthesia. Asean Otorhinolaryngology Head & Neck Surgery Journal 1999 ; 3 :108 – 15. Mathews S., Al Mulia A., Varghese PK, Radim K, Mumtaz S. Pethidine for Postanesthetic shivering. Anaesthesia 2002;65 : 578 – 83. Kramer TH. Opioids in anesthesia practice. In : Longnecker DE., Murphy FL (eds). Introduction to anesthesia. Philadelphia : W.B. Saunders Company, 1997 : 100. Stoelting RK. Opioid agonist and antagonist. In : Stoelting RK. Pharmacology and physiology in anesthetic practice. 3rd ed. Philadelphia : JB Lippincott Company 1999 : 82 – 4. Kranke. P, Eberhart. H.L. Pharmacological treatment of

19.

20.

21.

22.

23.

24.

25.

26

perioperative shivering. Anesth. Analg. 2002; 94: 453 – 60. Candido KD, Collins VJ. Antagonist to narcortics. In : Collins VJ (ed). Physiologic and pharmacologic bases of anesthesia. Baltimore : William & Wilkins, 1996 : 582 –3. Stoelting RK. Alpha and beta adrenergic receptor antagonists. In : Stoelting RK. Pharmacology and physiology in anesthetic practice. 3rd ed. Philadelphia : JB Lippincott Company 1999 : 294 – 305. Akinci. B, Basgul. E, Aypar. U. Pharmacological modulation of shivering.Br. J. Anaesth. 1997: 613 – 7. Miller.R.D. Anesthesia. 6th edition. Philadelphia: Churchill Livingstone, 2005. 240 – 4 Harun SR, Putra ST, Wiharta AS, Chair I. Uji klinis. Dalam : Sastroasmoro S, Ismael S, eds. Dasar-dasar metodologi penelitian klinis edisi 2. Jakarta : Sagung Seto, 2002 : 144 – 64. Madiyono B, Moeslicjan S, Sastroasmoro S, Budiman I, Purwanto SH. Perkiraan besar sampel. Dalam : Sastroasmoro S, Ismael S, penyunting. Dasar-dasar metodologi penelitian klinis. Jakarta : Sagung Seto, 2002 : 260 - 9. Sastroasmoro S. Pemilihan subyek penelitian. Dalam : Sastroasmoro S, Ismael S, eds. Dasar-dasar metodologi penelitian klinis edisi 2. Jakarta : Sagung Seto, 2002 : 67 – 77.

HEMATOLOGIC EXAMINATION IN PULMONARY TUBERCULOSIS PATIENT ADDMITTED IN GENERAL HOSPITAL WEST NUSA TENGGARA BARAT PROVINCE IN 2011- 2012 Prima Belia Fathana, Gede Wira Buanayuda, Novia Andansari Putri Faculty of Medicine, Mataram University

ABSTRACT Backgrounds : Indonesia has position in the third rank over the world after India and Cina for Tb cases. Tuberculosis has many changes in hematological examination, which can affect both in plasma component and cell component. This hematological changes could be an valuable direction to diagnose, detection complication and giving specific therapy. Aim: to get description about result of hematological examination in pulmonary tuberculosis who admitted in General Hospital West Nusa Tenggara Barat Province in 2011 – 2012 Methods : This study was descriptive retrospective study with cross sectional approach. This study conduct in January until march 2013. The data collected from hematological laboratory examination in patient’s medical record Result : There were 61 sampel collected in this study. Anemia found in 78.2 % patient with micrositic hipocromi anemia as a dominant (81,48%). Leucosytosis found in 49,2 % patient with differentiation count monocytosis 54,1 % and limfopenia 13,1%. Normal platelet count found in 72,1 % and thrombocytosis found in 24,6 % patients. Conclusion : Microcytic anemia was the most anemia in this study (81,48%). Leukocytosis found in 49,2 % patient and thrombocytosis found in 24,6 %. Key words: Hematology examination, Pulmonary Tb, Micrositic hipocromic anemia ABSTRAK Latar Belakang: Indonesia masih menempati urutan ke 3 di dunia untuk jumlah kasus TB setelah India dan China. Tuberculosis dapat menyebabkan berbagai perubahan pada pemeriksaan hematologi, perubahan ini melibatkan komponen plasma dan komponen sel. Perubahan hematologi ini dapat menjadi petunjuk yang berharga untuk mendiagnosis, petunjuk terhadap adanya komplikasi dan petunjuk untuk memberikan terapi spesifik Tujuan :untuk mengetahui gambaran hasil pemeriksaan hematologi pada pasien tuberculosis paru yang menjalani rawat inap di RSUP NTB tahun 2011 sampai dengan 2012. Metode :merupakan penellitian deskriptif retrospektif dengan pendekatan cross sectional. Penelitian dilakukan selama periode januari sampai dengan maret 2013 dengan mengambil sampel hasil pemeriksaan hematologi pasien Tb paru yang diperoleh dari rekam medis. Hasil :Didapatkan 61 sampel yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi, dengan hasil 78.2 % penderita Tb paru mengalami anemia dan berdasarkan morfologinya anemia yang terbanyak diderita ialah Mikrositik hipokromik ( 81,48 %). Pada hasil penelitian juga didapatkan leukositosis sebanyak 49,2 %, monositosis sebanyak 54,1 % dan pasien yang mengalami limfopenia sebanyak 13.1%. Pada penghitungan trombosit didapatkan kadar trombosit normal sebanyak 72.1% dan trombositosis pada 24.6 % pasien Kesimpulan :anemia mikrositik hipokrom merupakan jenis anemia yang terbanyak dijumpai (81,48%), leukositosis didapatkan pada49,2 % pasien serta trombositosis didapatkan pada 24,6 % pasien Kata Kunci :Pemeriksaan Hematologi, Tb Paru, Anemia Mikrositik Hipokromik

LATAR BELAKANG Tuberculosis (TB) merupakan penyakit

Laporan WHO tahun 2004 menyebutkan

infeksi yang masih menyebabkan angka

jumlah

kesakitan serta kematian yang tinggi di

Tenggara yaitu 625.000 orang atau angka

dunia. Menurut data dari WHO tahun 2004

mortalitas sebesar 39 orang per 100.000

terdapat 8,8 juta kasus baru tuberculosis

penduduk.

pada tahun 002 dimna 2,9 juta ialah kasus

urutan ke 3 di dunia untuk jumlah kasus TB

Basil Tahan Asam (BTA) positif. Diperkirakan

setelah

angka kematian akibat TB ialah 8000 setiap

terdapat 250.000 kasus baru TB dan sekitar

hari dan 2 sampai denga 3 juta kematian

140.000kematian akibat TB. Di Indonesia

setiap tahunnya

1,2,3,4

.

terbesar

TB

Indonesia

India

dan

terdapat

masih

di

Asia

menempati

China.Setiap

tahun

Tuberculosis adalah pembunuh nomer satu

27

diantara penyakit menular dan merupakan

menjalani rawat inap di RSUP NTB tahun

penyebab

2011 sampai dengan tahun 2012.

kematian

nomer

tiga

setelah

penyakit jantung dan penyakit pernafasan akut pada seluruh kalangan usia1,2,3,4. Tuberkulosis disebabkan

adalah

oleh

TINJAUAN PUSTAKA

penyakit

infeksi

DEFINISI

yang

Mycobacterium

Tuberculosis adalah penyakit menular

tuberculosis complex yang merupakan basil

yang

berbentuk

tuberculosis complex.Sebagian besar kuman

batang

melengkung, berkapsul.

lurus

tidak

atau

berspora

Bakteri

ini

sedikit

dan

memiliki

tidak

TB

struktur

disebabkan

menyerang

oleh

paru,

menyerang

Mycobacterium

tetpi

dapat

organ

juga tubuh

dinding sel yang kompleks sehingga bersifat

lainnya.Mycobacterium

tahan asam, yaitu apabila sekali diwarnai

tahan asam, yaitu apabila sekali diwarnai

akan

upaya

tetap tahan terhadap upaya penghilangan zat

penghilangan zat warna tersebut dengan

warna tersebut dengan larutan asam alcohol.

tetap

tahan

larutan asam alcohol

terhadap

1,2,3,4

.

Sifat

Diagnosis tuberculosis dapat ditegakkan berdasarkan

gejala

fisik/jasmani, radiologis

klinik,

pemeriksaan

dan

karena

Mycobacterium

dinding

sel

yang

pemeriksaan

kompleks yang terutama tersusun atas asam

bakteriologik,

mikolat1,2,5.

pemeriksaan

penunjang EPIDEMIOLOGI

dilakukan pada pasien TB ialah pemeriksaan rutin.

terjadi

tuberculosismemiliki

lainnya.Pemeriksaan tambahan yang sering

hematologi

ini

tuberculosisbersifat

Diperkirakan sekitar sepertiga penduduk

Tuberculosis

dapat

dunia telah terinfeksi oleh Mycobacterium

menyebabkan

berbagai perubahan

pada

tuberculosis.Pada tahun 1995, diperkirakan

pemeriksaan

hematologi,perubahan

ini

ada 9 juta pasien TB baru dan 3 juta

melibatkan

komponen

komponen

sel.Perubahan

plasma

dan

akibat

TB

diseluruh

dunia.

ini

Diperkirakan 95% kasus TB dan 98 %

dapat menjadi petunjuk yang berharga untuk

kematian akibat TB di dunia, terjadi pada

mendiagnosis, petunjuk terhadap adanya

Negara-negara berkembang,.Sekitar 75 %

komplikasi dan petunjuk untuk memberikan

pasien TB adalah kelompok usia yang paling

terapi spesifik, serta dapat mengingatkkan

produktif secara ekonomin ( 15 – 30 tahun).

klinisi

Diperkirakan seorang pasien TB dewasa

terhadap

hematologi

kematian

toksisitas

obat

serta

komplikasi dari pengobatan TB5,6.

akan kehilangan rata-rata waktu kerjanya 3 sampai

TUJUAN

berakibat

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran

hasil

hematologipada

pasien

paru

pada

4

bulan.

kehilangan

Hal

tersebut

pendapatan

tahunan rumah tangganya sekitar 20 -30 %1,2,3,4.

pemeriksaan Tb

dengan

yang

28

Di Indonesia, TB merupakan masalah

TB di dunia. Diperkirakan pada tahun 2004,

kesehatan masyarakat. Jumlah pasien TB di

setiap tahun ada 539.000 kasus baru dan

Indonesia merupakan ke-3 terbanyak di

kematian 101.000 orang.Insidensi kasus TB

dunia setelah India dan Cina dengan jumlah

BTA

pasien sekitar 10% dari total jumlah pasien

positif

penduduk

sekitar

110

per

100.000

1,2,3,4

.

(Sumber : PDPI, 2002). MANIFESTASI KLINIS

DIAGNOSIS

Gejala klinis tuberculosis dapat dibagi

Diagnosis tuberculosis paru ditegakkan

menjadi dua golongan yaitu gejala local dan

berdasarkan gejala klinis, hasil pemeriksaan

gejala sistemik, bila organ yang terkena

fisik, pemeriksaan laboratorium, radiologis

adalah paru maka gejala local ialah gejala

dan pemeriksaan penunjang lain.

respiratorik (gejala local sesuai dengan

a. Gejala klinis :

organ yang terlibat).Gejala respiratorik ini

Gejala

klinis

meliputi

gejala

local

sangat bervariasi, mulai dari tidak ada gejala

respiratorik dan gejala sistemik.Gejala local

sampai gejala yang cukup berat tergantung

terdiri dari batuk lebih dari 3 minggu,

dari luas lesi. Kadang pasien terdiagnosis

berdahak, sesak nafas, nyeri dada serta

pada saat medical check up. Bila bronkus

batuk darah. Untuk gejala sistemik meliputi

belum terlibat dalam proses penyakit, maka

demam, keringat malam, malaise, penurunan

pasien mungkin tidak memiliki gejala batuk.

berat badan1,2,3.

Batuk yang pertama terjadi karena iritasi

b. Pemeriksaan fisik :

bronkus dan selanjutnya batuk diperlukan untuk

local

dapat membantu untuk membedakan TB

respiartorik berupa batuk lebih dari 3 minggu,

dengan penyakit paru lain. Tanda fisik

berdahak, batuk darah, nyeri dada, sesak

tergantung

nafas. Sedangkan gejala sistemik berupa

luasnya

demam, keringat malam, malaise, nafsu

ditemukan tanda-tanda antara lain penarikan

makan

struktur

menurun

mmbuang

menurun,

dahak.Gejala

Tanda fisik penderita TB tidak khas, tidak

berat

serta

badan

1,2,3

.

pada

kelainan

sekitar,

lokasi struktur

suara

kelainan

serta

paru.

Dapat

nafas

bronkial,

amforik, ronki basah. Pada efusi pleura

29

didapatkan gerak nafas tertinggal, keredupan

hemoptysis berulang dan didapatkan hanya

dan suara nafas menurun sampai tidak

satu specimen BTA. Pemeriksaan radiologi

terdengar.

yang menjadi standar ialah foto thorax PA,

Bila

terdapat

limfadenitis

tuberkulosa didapatkan pembesaran kelenjar

pemeriksaan

limfe, sering di daerah leher, kadang disertai

dilakukan atas indikasi yaitu foto lateral, olik

adanya scofuloderma

1,2,3

.

dan

c. Pemeriksaan Laboratorium : Pemeriksaan

thoraks,

bakteriologis

berperan

dalam

CT

radiologi

scan.

lain

Pada

tuberculosis

yang

dapat

pemeriksaan dapat

foto

memberikan

gambaran bermacam-macam (multiform)1,2,3.

sangat

meneggakkan

Gambaran

diagnosis.Specimen dapat berupa dahak,

Radiologis

yang

dicurigai

sebagailesi TBAktif :

cairan pleura, cairan serebro spinalis, bilasan

1. Bayangan

berawan/

nodular

di

lambung, bronchovascular lavage, urin dan

segmen apical dan posterior lobus

jaringan biopsy.Pemeriksaan daha dilakukan

atas paru dan segmen superior lobus

sebanyak

bawah.

3

kali

(sewaktu/pagi/sewaktu).Bahan pemeriksaan/specimen

2. Kaviti, terutama

yang

berbentuk

lebih dari satu,

dikelilingi bayangan opak berawan

cairan dikumpulkan atau ditampung dalam

atau nodular

pot yang bermulut lebar, berpenampang 6

3. Bayangan bercak millier.

mm atau lebih dengan tutup berulir, tidak

4. Effusi pleura1,2,3.

mudah pecah atau bocor.Apabila tersedia

5. Gambaran Radiologis yang dicurigai

fasilitas, specimen dapat dibuat sediaan

TB inaktif:

pada apus pada gelas objek (difiksasi) sebelum

dikirim

ke

6. Fibrotik

laboratorium.

Pemeriksaan

dapat

dilakukan

mikroskopis

dan

biakan.Pemeriksaan

terutama

pada

segmen

apical dan atau posterior lobus atas

secara

dan atau segmen superior lobus bawah.

mikroskopis dilakukan dengan pewarnaan

7. Kalsifikasi

Zielhl

8. Penebalan pleura atau Schawrte1,2,3.

Nielhsen

atau

Kinyoun

Gabbet,

interprestasi pembacaan didasarkan atas

e. Pemeriksaan Khusus :

skala IUALTD atau bronkhorst.Diagnosis TB

Salah satu masalah dalam mendiagnosis

ditegakkan dengan ditemukannya basil tahan

pasti tuberculosis adalah lamanya waktu

asam pada pemeriksaan hapusan sputum

yang dibutuhkan untuk pembiakan kuman

secara

pemeriksaan

tuberculosis secara konvensional. Dalam

dinyatakan positif bila sedikitnya 2 dari 3

perkembangan kini ada beberapa tekhnik

mikroskopis.

Hasl

specimen dahak ditemukan BTA (+)

1,2,3

.

yang lebih baru yang dapat mengidentifikasi

d. Foto Thoraks :

kuman

Pada kasus dimana pada pemeriksaan sputum SPS positif, diperlukan

lagi.

Pada

secara

lebih

cepat.Pemeriksaan tersebut antara lain :

foto thoraks tidak beberapa

tuberculosis

1. Pemeriksaan Bactec

kasus

2. Polymerase chain reaction (PCR)

dengan hapusan positif perlu dilakuakan foto

3. Pemeriksaan serologi :

thoraks bila : curiga adanya komplikasi,

30

a. Enzym

linked

Immunosorbent

d. Anemia hemolysis autoimun

assay (ELISA) b. Uji

e. Anemia

Immunochromatographic

karena

tuberculosis (ICT Tuberculosis) c.

f.

d. Uji peroksidase anti peroksidase lain

yang

digunakan

untuk

metabolisme

Fibrosis sumsum tulang

g. Aplasia sumsum tulang

dapat

h. hipersplenisme

membantu

1.2 Meningkat (polisitemi), disebabkan

menegakkan diagnosis tuberculosis

karena :

ialah :

a. Tuberculosis ginjal menyebabkan

a. Analisis Cairan Pleura b. Pemeriksaan

peningkatan eritropoentin

Histopatologi

2. Kelainan Granulosit

Jaringan c.

gangguan

sekunder

B6

Mycodot

4. Pemeriksaan

sideroblastik

2.1 Menurun disebabkan karena :

Pemeriksaan Laju endap darah

d. Uji Tuberkulin

a.

1,2,3

.

Defisiensi karena

folat

sekunder

anoreksi

atau

peningkatan kebutuhan folat PERUBAHAN HEMATOLOGI PASIEN TB

b.

Fibrosis sumsum tulang

Darah adalah salah satu cairan tubuh

c.

Aplasia sumsum tulang

yang beredar dalam system pembuluh darah

d.

Infiltrasi

yang tertutup yang tersusun atas plasma dan

amyloid

sumsum tulang

sel. Volume darah umumnya 6 – 8 % dari

e.

Infeksi kronik

berat badan, dipengaruhioleh factor umur,

f.

hipersplenisme

status kesehatan, makanan, ukuran tubuh, laktasi, derajat aktivitas dan lingkungan

2.2 Meningkat disebabkan karena :

5,6,7,8

.

a. Respon inflamasi

Tuberkulosis dapat menimbulkan kelainan hematologi, maupun

baik

sel-sel

komponen

3.

3.1 Menurun disebabkan karena :

plasma.Kelainan-

a. Mekanisme immunologis

kompleks.Bermacam-macam yang

Kelainan Trombosit

hematopesis

kelainan tersebut sangat bervariasi dan

hematologi

dapat

b. Koagulasi

kelainan terjadi

intravaskuler

diseminata

pada

c.

Fibrosis sumsum tulang

tuberculosis adalah :

d. Aplasia sumsum tulang

1.

e. hipersplenisme

Kelainan Eritrosit 1.1 Menurun

(anemi),

disebabkan

3.2 Meningkat disebabkan karena :

karena:

a. Reaksi fase akut

a. Anemi penyakit kronis

4. Kelainan Limfosit

b. Defisiensi asam folat sekunder karena

anoreksia

4.1 Menurun disebabkan karena :

atau

a. Infeksi tuberkulosis

peningkatan pemakaian folat c.

pada

4.2 Meningkat disebabkan karena : a. Respon inflamasi.5,6,7,8

Defisiensi vitamin B12 sekunder karena keterlibatan ileum

31

3. Pasien TB paru yang memiliki hasil METODOLOGI PENELITIAN

pemeriksaan hematologi rutin :

Desain Penelitian :

a.

Kadar Hemoglobin (HB)

Penelitian ini merupakan suatu studi

b.

Jumlah Leukosit Total

observasional dengan rancangan deskriptif

c.

Jumlah Platelet

retrospektif. Pengambilan data dilakukan

d.

Kadar Hematocrit

hanya satu kali sehingga menggunakan

e.

Jumlah Eritrosit

pendekatan cross sectional.

f.

MCV

Tempat dan Waktu Penelitian

g.

MCH

h.

MCHC

dengan rentang waktu penelitian 3 bulan

i.

Jumlah Limfosit

yaitu antara periode bulan januari sampai

j.

Jumlah Monosit

dengan maret2013.

k.

Jumlah Granulosit

Penelitian dilakukan di RSUP Mataram

Populasi :

Kriteria Eksklusi

Populasi

penelitian

ini

dibatasi

oleh

Kriteria Eksklusi pada penelitian ini ialah :

tempat dan waktu (populasi terjangkau) yaitu semua

pasien

tuberculosis

paru

1.

yang

januari

2011

sampai

yang

mengalami

TB

ekstrapulmoner

menjalani rawat inap di RSUP mataram periode

Pasien

2.

dengan

Pasien TB anak (Usia dibawah 13

Tahun)

desember 2012.

3.

TB pada wanita hamil

Sampel Penelitian :

4.

TB pada pasien HIV/AIDS

5.

Tidak memiliki hasil pemeriksaan

Sampel pada penelitian ini ialah hasil pemeriksaan

hematologi

rutin

pasien

hematologi rutin

tuberculosis paru yang menjalani rawat inap

Cara

di RSUP Mataram periode januari 2011

Pengolahan Data :

sampai

dengan

desember

2012

yang

Pengumpulan

sampel

dan

Data dikumpulkan dari hasil pemeriksaan

diperoleh dari rekam medis pasien.

hematologi rutin pasien TB yang diperoleh

Kriteria Inklusi

dari

Kriteria inklusi pada penelitian ini ialah :

dikumpulkan diolah secara deskriptif dengan

1. Pasien

menggunakan

TB

menderita sputum

Paru TB

BTA

yang

melalui SPS

terdiagnosis pemeriksaan

dan

bila

rekam

medis

pasien.

tabel

Data

yang

frekuensi

dan

persentase. Definisi Operasional

hasil

pemeriksaan sputum BTA SPS negative

1. Kadar

Normal

Hemoglobin

ialah

13

dapat ditegakkan melalui pemeriksaan

sampai dengan 18 gr/dl bagi pria dan 12 –

Rontgen Thoraks positif menunjukkan

16 gr/dl bagi wanita. Untuk keperluan

gambaran TB aktif

penelitian

lapangan

maka

WHO

2. Pasien TB paru yang menjalani rawat

menetapkan nilai batas atau cut off point

inap di RSUP Mataram selama bulan

anemia adalah kurang dari 13 g/dl untuk

januari

laki-laki dewasa, kurang dari 12 g/dl untuk

2011

sampai

dengan

bulan

desember 2012.

32

wanita dewasa tidak hamil dan kurang dari 11 g/dl untuk wanita hamil

6. Kadar normal limfosit ialah 800 sampai

5,9,10

dengan 4000 sel/mm3. Bila kurang dari

.

2. Kadar normal MCV adalah 80 sampai

800

sel/mm3

disebut

dengan

dengan 100 fl, bila kurang dari 80 fl

limfositopenia dan bila lebih dari 4000

menunjukkan mikrositik dan bila lebih dari

sel/mm3 disebut dengan limfositosis5,9.

100 fl menunjukkan makrositik5,9.

7. Kadar normal monosit ialah 100 sampai

3. Kadar normal MCH ialah 28 sampai 34

dengan 800 sel/mm3. Bila kurang dari 100

Pg, bila kurang dari 28 menunjukkan

sel/mm3 disebut dengan monositopenia

hipokromik dan bila lebih dari 34 pg

dan bila lebih dari 800 sel/mm3 disebut

menunjukkan hiperkromik 5,9.

dengan monositosis 5,9.

4. Kadar normal MCHC adalah 32 sampai dengan 36 %

8. Kadar normal trombosit

5,9

ialah 150.000 3

.

sampai dengan 450.000 sel/mm . Bila 3200

kurang dari 150.000 sel/mm3 disebut

sampai dengan 10.000 sel/mm3. Bila

dengan trombositopenia dan bila lebih

5. Kadar

normal

leukosit

adalah

3

kurang dari 3200 sel/mm disebut dengan

dari 450.000 sel/mm3 disebut dengan

leukopenia dan bila lebih dari 10.000

trombositosis

3

sel/mm disebut dengan leukositosis

5,9

.

5,9

.

HASIL PENELITIAN Didapatkan 61 sampel yang memenuhi

Periode 2011 sampai dengan 2012. Dari

kriteria inklusi dari 105 penderita TB paru

sampel tersebut didapatkan hasil sebagai

yang menjalani rawat iniap di RSUP NTP

berikut :

Tabel 1. Hasil Pemeriksaan Hemoglobin

KETERANGAN

RATA-RATA (MEAN)

NILAI TERTINGGI

NILAI TERENDAH

Hemoglobin (Hb)

10.93 gr/dl

18.80 gr/dl

3.50 gr/dl

MCV

80.57 fl

94.50 fl

62.30 fl

MCH

25.29 pg

31.40 pg

14.20 pg

MCHC

31.19 %

37.80 %

22.70 %

33

Tabel 2. Jenis Anemia

KETERANGAN

JUMLAH SAMPEL

PERSENTASE

(ORANG)

(%)

STATUS ANEMIA : Tidak Anemia

13

21.3

Anemia

48

78.7

Total Sampel

61

100 %

Normositik Normokromik

8

19.52

Mikrositik Hipokromik

33

81.48

Makrositik Hipokromik

0

0

Total Sampel

41

100

JENIS ANEMIA :

Tabel 3. Hasil Pemeriksaan Leukosit

KETERANGAN

JUMLAH SAMPEL

PERSENTASE (%)

HITUNG JUMLAH LEUKOSIT : Leukosit Normal

30

49,2

Leukopenia

1

0

Leukositosis

30

49.2 3

Rerata (mean)

11492 sel/mm

Jumlah leukosit Tertinggi

51400 sel/mm3

Jumlah Leukosit Terendah

1080 sel/mm3 HITUNG JENIS LEUKOSIT

Hitung Jenis Limfosit Limfosit Normal

48

78.7

Limfositosis

5

8.2

Limfopenia

8

13.1 3

Rerata (Mean)

2489 sel/mm

Nilai Terendah

330 sel/mm3

Nilai Tertinggi

21400 sel/mm3

Hitung Jenis Monosit Monosit Normal

26

42.6

Monositosis

33

54.1

Monositopenia

2

3.3 3

Rerata

1276 sel/mm 3

Nilai Terendah

38 sel/mm

Nilai Tertinggi

9400 sel/mm3

34

TABEL. 4. Hasil Pemeriksaan Trombosit

KETERANGAN

JUMLAH

PERSENTASE

SAMPEL (orang)

(%)

Trombosit Normal

44

72.1 %

Trombositopenia

2

3.3

Trombositosis

15

24.6

Total Sampel

61

HITUNG JUMLAH TROMBOSIT

100 3

Rerata (mean)

373706 sel/mm

Kadar Trombosit Tertinggi

910000 sel/mm3

Kadar Trombosit Terendah

49700 sel/mm3

PEMBAHASAN Penyakit

Gambaran

merupakan gambaran yang dijumpai bagi

hasil

anemia defisiensi besi, thalassemia mayor,

pemeriksaan hematologi. Pada penelitian ini

anemia akibat penyakit kronik dan anemia

perubahana aspek hematologi yang diteliti

sideroblastik.Namun

dibatasi pada kadar hemoglobin (Hb) dan

hipokromik ini paling umum dijumpai pada

jenis anemia yang

ditimbulkan, leukosit

anemia defisiensi besi.Pada penderita Tb

termasuk didalamnya hitung jenis leukosit

terjadi gangguan metabolisme besi yang

serta trombosit.

disebabkan karena adanya pengikatan zat

yang

(TB)

hipokromik

memiliki

pengaruh

tuberculosis

mikrositik

besar

pada

Prevalensi anemia pada penelitian ini

gambaran

mikrositik

besi oleh laktoferin yang dihasilkan oleh

cukup yaitu 78,7 % hal serupa juga dijumpai

granulosit

pada penelitian-penelitian lainnya. Hal yang

kemudian terjadi sekuestrasi zat besi di

berbeda

Limpa.

dari

beberapa

penelitian

sebelumnya ialah jenis anemia terbanyak

Hasil

akibat

inflamasi

pemeriksaan

sehingga

leukosit

yang

yang dijumpai yaitu mikrositik hipokromik

didapatkan pada penelitian ini sama dengan

(81,48%)

yang didapatkan pada penelitian sebelumnya

diikuti

anemia

normositik

normokromik (19,52%). Pada penelitian yang

yaitu

dilakukan oleh Oehadian (2003), Rahman

penelitian ini didapatkan penderita TB yang

(2010) dan Krishnamurti didapatkan bahwa

mengalami

jenis anemia terbanyak yang dijumpai pada

Terjadinya leuositosis terutama disebabkan

pasien tuberculosis ialah anemia karena

oleh

penyakit kronis dengan gambaran normositik

(neutrofillia). Neutrofillia ini pada umumnya

normokromik hal ini disebabkan karena

berhubungan dengan reeaksi immunologis

deprsei

menurunnya

dengan mediator sel limfosit T, dimana

sensitifitas terhadap eritropoetin, depresi

kejadian ini dapat terjadi akibat penyebaran

produksi

masa

local akut dari infeksi TB pada meningitis TB

hidup eritrosit serta gangguan metabolism

atau dapat terjadi karena pecahnya focus

besi .

perkejuan pada bronkus atau rongga pleura.

eritropoesis

eritropetin,

dan

pemendekan

35

dapat

terjadi

leukositosis.

leukositosis

peningkatan

ialah

jumlah

Pada

49.2%.

neutrofil

Pada

penelitian

didapatkan

respon dari terjadinya perdarahan akut,

monositosis sebanyak 54.1%.dari penelitian

dimana pada pasien Tb perdarahan yang

terdahulu

Tb

sering terjadi ialah Hemoptysis.Penambahan

dari

jumlah trombosit pada peredaran darah pada

monositosis.Monosit memiliki peranan dalam

pasien hemoptysis merupakan suatu respon

respon

untuk menghentikan perdarahan.

telah

merupakan

ini

diketahui

penyebab

imun

utama

terhadap

tuberculosis.Sebagian Mycobacterium

bahwa

Mycobacterium dari

fosfolipid

tuberculosis

mengalami

KESIMPULAN

degradasi dalam monosit dan makrofag yang

Pada penelitian didapatkan 78.2 % (48

menyebabkan transformasi sel-sel tersebut

sampel)

penderita

menjadi sel epiteloid.Monosit merupakan sel

anemia,

dan

berdasarkan

utama dalam pembentukan tuberkel.Aktivitas

anemia

yang

terbanyak

pembentukan tuberkel ini dapat tergambar

Mikrositik hipokromik ( 81,48 %). Pada hasil

dengan adanya monositosis dalam darah.

penelitian

juga

Tb

paru

mengalami morfologinya

diderita

didapatkan

ialah

leukositosis

Trombositosis dijumpai sebanyak 25.6 %

sebanyak 49,2 % dengan hitung jenis

pada penelitian ini. Trombositosis merupakan

leukosit didapatkan peningkatan monosit

respon

terhadap inflamasidimana respon

(monositosis) sebanyak 54,1 % dan jumlah

inflamasi ini menyebabkan produksi platelet

limfosit normal sebanyak 78.7 % dan yang

stimulating

mengalami

factor

menstimulasi

yang

berperan

pengeluaran

tombosit

dalam

limfopenia

sebanyak

13.1%.

dari

Pada penghitungan trombosit didapatkan

sumsum tulang menuju peredaran darah.

kadar trombosit normal sebanyak 72.1% dan

Selain itu trombositosis dapat merupakan

trombositosis

DAFTAR PUSTAKA 1. Hasan H. Tuberkulosis Paru. Dalam : Alsagaff H, Wibisono M. J, dan Winariani. Buku Ajar Ilmu Penyakit Paru. Surabaya : Gramik FK UNAIR; 2010. 2. Anonim. Tuberkulosis “Pedoman Diagnosis & Penatalaksanaan Di Indonesia”. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Dikutip tanggal 5 Januari 2013. Diunduh dari : http://www.klikpdpi.com/konsesus/tb/tb.p df 3. Tuberkulosis dan Permasalahannya. Dalam : Aditama T. Y, Kamso S, Basri C, Surya A, editor. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis. Jakarta : Departemen Kesehatan Republik Indonesia; 2006. 4. Epidemiologi TB di Indonesia. Dalam : Dyah Erti Mustikawati, Asik Surya, editor. Strategi Nasional Pengendalian TB Di Indonesia 2010 – 2014. Jakarta : Kementrian Kesehatan Republik Indonesia Direktorat Jendral

5.

6.

7.

8.

36

pada

24.6

%

pasien

Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan. 2011. Oehadian A. Aspek Hematologi Tuberkulosis. 2003. Pustaka UNPAD. Dikutip tanggal 5 Januari 2013. Diunduh dari :http://pustaka.unpad.ac.id/archives/3302 3/. Sahju, P. Rahman. “Hematology Profile in Pulmonary Tuberculosis”. 2010. Dikutip tanggal 5 Jaunari 2013. Diunduh dari : http://hdl.handle.net/123456789/5632 Sinha, K.N.P, Krishnamurti, J.C. Chatterji. “Disseminated Tuberculosis and Abnormal Haemopoeitic Responses”. India Jurnal of Tuberculosis. Dikutip tanggal 5 Januari 2013. Diunduh dari : http://lrsitbrd.nic.in/IJTB/Year%201977/J uly%201977.pdf#page=7 Muhammad Obaid Al – muhammadi, Hayder Gali Al-Shammery.” Studying Some Haemotological Changes in Patients with Pulmonary Tuberculosis in

Babylon Governorate”.2011. Dikutip tanggal 5 Januari 2013. Diunduh dari : www.iasj.net/iasj 9. Anonim. Pedoman Interprestasi Data Klinik. Departemen Kesehatan Repubik Indonesia. Dikutip tanggal 5 januari 2013. Diunduh dari : www.perpustakaan.depkes.go.id

10. Bahar A, Amin Z. Tuberkulosis Paru. Dalam : Sudoyo A. W, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata B. K, dan Setiati S, editor. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi ke4. Jakarta : Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2006.

37

Tinjauan Pustaka KAJIAN KOMPREHENSIP TENTANG BENDA ASING DALAM HIDUNG Hamsu Kadriyan Bagian THT FK Unram/RSUP NTB Abstrak Latar belakang.Benda asing dalam hidung merupakan kasus yang dapat ditangani oleh dokter umum sampai tuntas berdasarkan standar kompetensi dokter Indonesia. Angka kejadiannya cukup sering dan terutama mengenai anak usia 2-5 tahun. Tujuan makalah ini adalah untuk memberikan gambaran komprehensip tentang benda asing di dalam hidung sehingga dapat menjadi rujukan dalam penatalaksanaan kasus-kasus benda asing di dalam hidung. Benda asing dihidung dapat berupa benda eksogen maupun benda endogen.Benda eksogen dapat berupa benda organik seperti kacang-kacangan, bunga, lintah dan lain-lain, sedangkan benda anorganik seperti batu, manik-manik, potongan mainan dan lain-lain. Benda asing endogen dapat berupa sekret kental, krusta, cairan amnion dan lain lain. Dalam penegakan diagnosis perlu dilakukan anamnesis dan pemeriksaan yang cermat untuk menentukan jenis dan lokasi benda asing, kalau perlu dapat dilakukan pemeriksaan tambahan dengan endoskopi atau pemeriksaan radiologis untuk memastikannya.Penatalaksanaan benda asing dalam hidung sangat tergantung pada jenis benda asingnya, ketersediaan peralatan dan keterampilan serta kenyamanan dokter untuk mengurangi resiko komplikasi. Simpulan.Kasus-kasus benda asing pada hidung perlu mendapatkan perhatian dari dokter baik dokter umum maupun dokter spesialis.Kasus benda asing merupakan kasus sederhana tetapi diperlukan keterampilan untuk mengeluarkannya dengan resiko komplikasi yang minimal. Kata kunci : Benda asing, kavum nasi, dokter Astract Background.Foriegn bodies in nasal cavity is a freuquent case, especially in children (2-5 years). According to standard competency of Indonesian docter‟s, a general practicioners should managing this cases completely. Aims of this review is to give comprehensive review about foreign bodies in nasal cavity, so it can be used as a refference. Foreign bodies in nasal cavity can be originated form endogen material as well as exogen material. Exogen material consist of organic material such as nuts, flower, leech, etc, on the other hand, anorganic material such as stone, pearl, part of toys, etc. Endogen material such as viscous mucous, crust, amnion liquid, etc. To diagnosed this case, it‟s necessary to take a history and perform the accurate phisical examination to determine the type and the location of foriegn bodies. In some cases, additional examination such as endoscopic and x-ray investigation are needed. In managing foriegn bodies in nasal cavities, it defend on type of foreign bodies, the equipment, skill and amenity of physician to minimized the complication. Conclusion.Foreigne bodies in nasal cavity is a simple but a skillfull cases, so physician should take care to this cases to minimized the complication. Key words : Foreign bodies, nasal cavity, physician Pendahuluan Benda asing jalan nafas merupakan

dokter yang melakukan tindakan tersebut.

masalah klinis yang memiliki tantangan

Berdasarkan

tersendiri, meskipun beberapa tahun terakhir

Indonesia tahun 2006, kasus benda asing di

terjadi kemajuan dalam teknik anestesi dan

hidung merupakan kompetensi dokter umum

instrumentasi.Ekstraksi benda asing jalan

sampai level 4 (dokter mampu melakukan

nafas, khususnya dalam hidung bukanlah

penegakan diagnosis dan mampu melakukan

prosedur

penatalaksanan sampai tuntas).1

yang

mudah

sehingga

tetap

memerlukan keterampilan serta pengalaman

38

standar

kompetensi

dokter

Angka

kejadian

benda

asing

Benda asing dalam hidung

dalam

hidung cukup sering ditemukan di poliklinik

Keberadaan benda asing dalam hidung

2

paling sering ditemukan pada anak-anak

menemukan benda asing dalam hidung

(usia 2-5 tahun). Benda asing umumnya

merupakan kasus terbanyak kedua dengan

ditemukan pada bagian anterior vestibulum

persentase 24,9% setelah benda asing di

atau pada meatus inferior di sepanjang dasar

telinga sebesar 68,6% dari total 1037 kasus

hidung (gambar 1).4,5

atau praktek swasta. Endican S dkk (2006)

benda asing di saluran nafas. Das pada

Benda asing dalam suatu organ adalah

tahun 1984 menemukan 0,3 % kasus benda

benda yang berasalah dari luar tubuh atau

asing

dari

di

hidung

dibandingkan

seluruh

dalam

tubuh

sendiri,

yang

dalam

kunjungan di salah satu rumah sakit di India.

keadaan normal tidak ada dalam organ

Kasus paling banyak ditemukan pada usia 2-

tersebut.Benda asing yang berasal dari luar

5 tahun.

3

tubuh

Benda asing yang masuk ke dalam hidung

cukup

bervariasi,

baik

disebut

benda

asing

eksogen,

sedangkan yang berasal dari dalam tubuh disebut benda asing endogen.4,6

endogen

maupun eksogen, dapat berupa benda hidup

Benda

asing

eksogen

dapat

berupa

maupun benda mati.Masing-masing memiliki

benda padat, cair atau gas.Benda asing

ciri khas dan tindakan yang dilakukan juga

padat dapat dibagi lagi menjadi benda padat

sangat tergantung dari jenis benda asing

organik dan anorganik.Benda padat organik

tersebut. Setiap benda asing yang masuk ke

yang

dalam hidung tidak boleh dibiarkan menetap

kacangan, bunga, lintah dan lain-lain.Benda

karena dapat menimbulkan nekrosis atau

padat anorganik yang sering ditemukan

infeksi

kemungkinan

anatara lain paku, jarum, peniti, batu, manik-

terjadinya aspirasi ke dalam saluran nafas

manik, potongan busa, baterai dan lain-lain.

sekunder

bagian bawah.

serta

4

sering

ditemukan

seperti

kacang-

Benda asing cair biasanya bersifat iritatif seperti zat kimia.4,6

Berdasarkan hal tersebut, perlu dilakukan pembahasan tentang hal tersebut secara

Benda

asing

endogen

yang

sering

lebih mendetail untuk mengurangi risiko

ditemukan antara lain sekret kental, darah

buruk akibat bendas asing.

atau bekuan darah, nanah, krusta, cairan amnion

dan

cairan amnion

mekonium.

Mekonium dan

dapat masuk ke dalam

saluran nafas bayi saat proses persalinan.

39

4,6

Gambar 1. Lokasi tersering benda asing dalam hidung 5 (Sumber : Fischer, JI (2011). Dalam Medscape Reference)

Gambaran Klinis

dokter dengan keluhan rinorea unilateral

Benda asing terutama ditemukan pada

dengan atau tanpa adanya obstruksi nasi

anak-anak sehingga hal ini menyebabkan

unilateral.Rinorea

benda asing sulit terdiagnosis sejak awal,

mukopurulen tergantung pada adanya infeksi

bahkan bisa menetap di dalam hidung

sekunder atau tidak.Kadang-kadang sekret

sampai bertahun-tahun.Orang tua biasanya

bercampur darah bila terjadi luka akibat

membawa

benda asing tersebut. Gejala lainnya dapat

anaknya

ke

dokter

dengan

dapat

bersifat

mukoid,

berupa epistaksi, sakit kepala dan epifora.4

keluhan pilek berbau pada salah satu sisi hidung. Tanda ini merupakan gejala khas

Pada kasus benda asing dengan bahan

pada benda asing dalam hidung pada

iritan seperti baterai, seringkali menyebabkan

anak.

4,6

nekrosis pada jaringan sekitar hidung. Loh

Pada tahap awal, benda asing dalam hidung

tidak

menunjukkan

gejala

dkk (2003) menemukan beberapa kasus

yang

baterai di dalam hidung, gejalanya dapat

spesifik.Anak mungkin sering memasukkan

berupa krusta, nekrosis luas pada jaringan

jari ke dalam hidungnya tapi hal ini tidak

hidung dan perforasi septum nasi.

disadari sebagai sebuah gejala oleh orang

7

Untuk benda asing organik, keluahan

tua pasien.Umumnya pasien datang ke

pasien

40

biasanya

hidung

tersumbat

dan

rinorea bilateral. Benda asing organik lebih

Terdapat berbagai teknik pengeluaran benda

sering

dan

asing dalam hidung.Metode yang dipilih

menimbulkan juga gejala sistemik seperti

tergantung pada jenis benda asingnya, alat-

demam.

mengenai

orang

dewasa

4

alat yang tersedia serta kenyamanan dokter dengan metode yang digunakan. Beberapa

Diagnosis

langkah harus dilakukan agar benda asing

Diagnosis benda asing di dalam hidung

dapat

dikeluarkan

dengan

menimbulkan

4,6

dilakukan secara cermat melalui beberapa

komplikasi yang minimal.

tahapan,

a. Perencanaan (pre treatment)

antara

pemeriksaan

lain

fisik,

anamnesis,

pemeriksaan

status

Perencanaan

yang

baik

dapat

lokalis. Bila perlu dilakukan pemeriksaan

mengurangi tindakan yang dilakukan secara

penunjang

berulang, karena tindakan secara berulang

seperti

pemeriksaan

endoskopi dan radiologis.

dengan

6

lebih

Pada anamnesis akan ditemukan keluhan

berisiko

menimbulkan

komplikasi

dibandingkan tindakan yang dilakukan sekali

seperti pada gejala klinis di atas. Pada

saja.Berdasarkan

pemeriksaan fisik umumnya akan ditemukan

dilakukan perencanaan agar pengeluaran

normal kecuali pada benda asing hidup

benda

seperti

kesempatan

lintah

atau

cacing

yang

dapat

menimbulkan kondisi umum pasien yang agak menurun.

dapat

tersebut

dilakukan

pertama.Alat-alat

perlu

pada yang

dibutuhkan perlu diletakkan di meja dokter

6

Pemeriksaan

asing

hal

yang mudah terjangkau, sebaiknya perlu status

lokalils

sangat

juga menyiapkan alat pernafasan darurat

menentukan untuk memastikan benda asing

untuk

di dalam hidung.Untuk pasien anak-anak

aspirasi benda asing ke saluran nafas

diperlukan

bawah.

fiksasi

yang

baik

untuk

menjaga

kemungkinan

memudahkan visualisasi kavum nasi.Bila

Obat-obat

masih

topikal dapat memfasilitasi baik pemeriksaan

ragu-ragu

pemeriksaan

dapat

dilakukan

endoskopi

untuk

maupun

vasokonstriktor

terjadinya

pengeluaran

(dekongestan)

benda

asing.

memvisualisasi dengan lebih baik. Kesulitan

Vasokonstriktor topikal dan anestesi topikal

muncul

dapat diberikan secara bersamaan, misalnya

bila

ditemukan

udem,

jaringan

granulasi, krusta atau sekret yang telah menyelimuti benda asing tersebut. Pemeriksaan

radiologis

lidokain 1% ditambah fenilefrin 0,5%.

6,8

Pada

pasien

anak-anak,

fiksasi

pasien

biasanya

sangat penting untuk dilakukan, hal ini

digunakan untuk benda asing yang bersifat

bertujuan untuk mengurangi gerakan yang

logam.

untuk

tiba-tiba yang dapat menimbulkan risiko

adanya

perdarahan.Pasien diposisikan duduk tegak

Rontgen

menentukan

juga

dilakukan

kemungkinan

komplikasi ke sinus.

8

dengan kepala sedikit mendongak agar dasar rongga hidung bisa terlihat dengan

Penatalaksanaan Penatalaksanaan

jelas. Bila pada pasien yang gelisah dan sulit benda

asing

dalam

untuk difiksasi sebaiknya dilakukan bius total.

hidung adalah dengan mengeluarkannya.

b. Instrumentasi langsung

41

Pengeluaran forsep

secara

(aligator

mekanis dengan

atau

bayonet)

dalam

dapat

penelitiannya

menemukan

keberhasilan dengan

teknik ini

angka sebesar

dilakukan untuk mengeluarkan benda asing

64,3% dari 30 pasien yang ikut dalam

yang permukaannya dapat digenggam dan

penelitian tersebut.9

terletak

d. Alat penghisap (suction pump)

di

bagian

anterior

rongga

hidung.Untuk benda asing yang bulat dan

Benda asing yang lembut dan susah

licin dapat digunakan alat pengait bulat yang

digenggam dengan forsep dapat diekstraksi

tidak tajam untuk mengurangi taruma pada

dengan

jaringan

dapat

Ujung kanul penghisap harus diletakkan

dimodifikasi dari berbagai bahan bila tidak

dengan hati-hati pada permukaan benda

tersedia

asing lalu ditarik perlahan-lahan. Bila ditarik

hidung.alat

pengait

dalam bentuk

dimasukkan

ini

jadi.Alat

menelusuri

pengait

permukaan

penggunaan

kanula

penghisap.

atas

terlalu cepat biasanya benda asing akan

benda asing sampai melewati bagian paling

mudah terlepas. Pada benda asing yang

belakang benda asing, lalu alat pengait

diameternya lebih besar dari nares anterior

tersebut dibelokkan ke arah dasar hidung

juga

sambil menggerakkannnya secara perlahan

penghisap.

ke bagian anterior sampai benda asingnya

e. Kateter balon

keluar. c.

sulit

keluar

dengan

alat

Kateter yang biasa digunakan di bidang

Tekanan udara positif

urologi seperti foley kateter dapat digunakan

Pada orang dewasa atau pasien yang lebih

sering

kooperatif,

pada

yang dilakukan diawali dengan melumasi

pengeluaran benda asing dapat dilakukan

kateter dengan jelly, lalu masukkan ke dalam

dengan menutup rongga hidung yang tidak

hidung samapi melewati tepi posterior benda

ada benda asingnya, lalu dengan mulut

asing,

tertutup

nafas

supinasi.Setelah itu, balon dikembangkan

dengan kencang.Hal ini dapat membantu

dengan udara atau 3-5 ml air dan ditarik

pengeluaran benda asing.

secara perlahan-lahan bersamaan dengan

Pada pasien yang lebih muda atau anak-

keluarnya benda asing dari dalam hidung.

anak yang tidak kooperatif, metode “parent

f.

pasien

usaha

awal

untuk mengeluarkan benda asing.Prosedur

menghembuskan

kiss” dapat diterapkan. Anak di pegang pada posisi

senyaman

berhadapan

dengan

mungkin orang

di

posisikan

tidur

Lem perekat Metode ini ideal untuk benda asing yang

sehingga tua,

pasien

bulat, lembut dan sulit dipegang dengan

lalu

forsep.Permukaan benda asing harus kering

meletakkan mulut anak persis di depan mulut

untuk

penolong.

udara

perekat.Tindakan ini lebih sering berhasil

dengan kencang sambil menutup hidung

pada benda asing ditelinga dibandingkan

yang tidak berisi benda asing sehingga akan

benda asing di hidung.Tekniknya adalah

terjadi tekanan positif yang kembali ke

dengan

daerah hidung. Hal ini juga dapat membantu

cyanoacrilic pada sebuah aplikator kayu atau

pengeluaran benda asing terutama seperti

plastik kemudian ditekankan pada asing

Penolong

meniupkan

sekret yang mengental. Purohit dkk (2008)

42

memudahkan

menempelnya

menempelkan

lem

lem

perekat

selama

60

detik

kemudian

dikeluarkan

masuk ke dalam hidung.Benda asing dengan

secara perlahan-lahan.

kandungan zat kimia seperti baterai berisiko

g. Magnet

menimbulkan komplikasi lebih berat.Loh dkk

Tindakan

ini

dapat

dilakukan

untuk

(2003)

menemukan

berbagai

komplikasi

mengeluarkan benda asing berbentuk logam

akibat benda asing baterai di dalam hidung

seperti baterai kecil atau mainan anak-anak

seperti perforasi septum, timbulnya jaringan

yang berasal dari logam. Tindakan ini

granulasi

dilakukan dengan meletakkan magnet yang

Benda asing yang tertinggal dalam waktu

kuat di nares anterior sehingga benda asing

lama berpotensi menimbulkan sinusitis pada

akan bergerak ke luar dan menempel di

penderitanya. Hal ini seperti dilaporkan oleh

magnet tersebut.

Kelesidis pada tahun 2010.8

h. Posterior displacment

pada

hidung

dan

epistaksis. 7

Komplikasi akibat tindakan pengambilan

Pada kasus-kasus tertentu benda asing

benda asing di hidung yang sering dilaporkan

dapat terfiksasi di daerah posterior kavum

antara lain perdarahan hidung, laserasi

nasi.Pada keadaan demikian, pilihan untuk

konka dan septum atau terjadi perforasi pada

mengeluarkan benda asing ke arah orofaring

hidung.6

dapat digunakan, tetapi teknik ini sebaiknya Simpulan

dilakukan dengan anestesia umum untuk mencegah terjadinya aspirasi.

Kasus-kasus benda asing pada hidung perlu mendapatkan perhatian dari dokter baik

Komplikasi

dokter umum maupun dokter spesialis.Kasus

Komplikasi yang terjadi akibat adanya

benda asing merupakan kasus sederhana

benda asing di kavum nasi dapat dibagi

tetapi

menjadi

mengeluarkannya dengan resiko komplikasi

komplikasi

akibat

benda

asing

langsung dan dapat juga disebabkan oleh

diperlukan

keterampilan

untuk

yang minimal.

tindakan ekstraksinya.Komplikasi langsung sangat tergantung dari jenis material yang Referensi 1. Konsil Kedokteran Indonesia. Standar Kompetensi Dokter Indonesia. 2006. 2. Endican S, Garap JP, Dubey SP. Ear nose and throat foreigne bodies in Melanesian children: An analysis of 1037 cases. Internat J Ped Otorhinolaryngol 2006;70 (9): 1539-1545 3. Das, SK. Aetiological study of foreigne bodies in ear and nose (a clinical studies). J Laryngol Otol 1984;98(10):989-991 4. Kalan A, Tariq M. Foreign bodies in the nasal cavities: a comprehensive review of aetiology, diagnotic pointers, and therapeutic measures. Postgrad Med J 2000;76:484-487

5. Fischer JI, Dronen SC. Nasal foreign Bodies. Medscape Reference. Update 2011. 6. Davies PH, Benger JR. Foreign bodies in the nose and ear: review of technique for removal in the emergency departemetn. J Accid Emerg Med 2000;17:91-94. 7. Loh WS, Leong JL, Tan HK. Hazardous foreign bodies: complications and management of button batteries in nose. Ann Otol Rhinol Laryngol 2003;112:379383. 8. Kelesidis T, Osman S, Dinerman H. An unusual foreign body as cause of chronic sinusitis; a case report. J Med Case Reports 2010, 4:157. 9. Purohit N, Ray S, Wilson T, Chawla OP. The „parent‟s kiss‟; an effective way to

43

remove paediatric nasal foriegn bodies. Ann R Coll Surg Engl. 2008 July; 90(5):

420–422.

44

A REVIEW: THE RISK OF IRON DEFICIENCY WITHIN INFANTS WHO ARE EXCLUSIVELY BREAST FED FOR THE FIRST SIX MONTHS: CASES IN DEVELOPED COUNTRIES

Rifana Cholidah Faculty of Medicine, Mataram University

Abstract This review aims to discuss about the risk of iron deficiency within infants who are exclusively breast fed for the first six months after birth, especially in developed countries. It is well documented that iron deficiency is one of the most common nutritional disease among babies and young children. This commonly occurs during an increased need of iron supply particularly in the first period of life. The WHO and many health authorities recommend to exclusively breast fed babies for the first six months of their life for the best achievement on growth, health and development, and no adverse outcome on growth have been reported for breastfeeding babies exclusively for six months. However, a lower level of iron has been identified in some developing country settings.There have been few studies specifically to examine the relationship between infants who are exclusively breast fed for the first six months after birth and the prevalence of iron deficiency in developed countries. Based on the evidence, there are several factors may affect iron stores depletion of babies and toddlers such as dietary intake, socioeconomic, low iron concentration of weaning foods, cow‟s milk consumption and prolonged duration of breastfeeding. Most studies that have been carried out have concluded that there is little risk of iron deficiency and iron deficiency anaemia in infants who are exclusively breast fed for the first six months after birth. It seems that only infants with unusual low iron stores at birth are at risk of deficiency if breast fed exclusively for six months. Introduction

The WHO has recommended for mothers

Iron deficiency (ID) is the most common

to exclusively breastfeed infants for the first

nutritional disorder among infants and young

six months of their life for the best optimum

children in both developed and developing

growth, development and health. Further, the

country, particularly in the period of rapid

latest WHO systemic review‟s findings advise

growth during the first year of life, due to a

to breastfeed infants exclusively for six

high demand for iron supply for the synthesis

months with only breast milk, without other

of blood, muscle, and other tissues. In

complementary foods or liquids. This has

addition,

common

numerous benefits compared to the 3-4

contributor to many cases in anaemia,

months exclusive breastfeeding followed by

although some other factors may result in

mixed

anaemia. Oti-Boateng et al (1998) shows that

outcomes on growth have been reported for

an estimated more than 25% infants and

breastfeeding babies exclusively for six

young

in

month. However, a lower level of iron has

developing countries and around 3% infants

been identified in some developing country

in

settings 16.

Iron

deficiency is

children

industrialised

aged

a

6-24

months

countries

deficiency anaemia (IDA)

have

iron

breast

feeding.

No

detrimental

1,2,4,10,11

.

Recommendations about breast feeding

Many

health

authorities

suggest

to

exclusively breastfeed infants for 4-6 months,

45

a consideration to prevent the progress of

identified

iron deficiency anaemia in healthy full-term

as

iron

deficiency anaemia

4

infants .

deficiency

and

iron

14

.

A similar finding was demonstrated by Duncan et al (1985) who conducted a study

Prevalence of iron deficiency in breast fed

in Arizona, USA, examining iron status on

babies

infants who were exclusively breast-fed from

In some western countries, researchers

birth up to the first six months of life. From

identified that prolonged breastfed infants

this study, among thirty three healthy full-

and infants who have early introduction or

term babies who were exclusively breast fed,

high consumption of cow‟s milk have a higher

without any supplemental formula, solid

risk of iron deficiency among babies and

foods,

young children in countries such as Australia,

developed iron deficiency anaemia though

Canada and the United Kingdom. Grant et al

two of 33 infants (7%) indicated iron stores

(2007) notes that iron deficiency have been

depletion by the indicator of low serum ferritin

identified to be prevalent in New Zealand

levels. This data demonstrated that babies

young children and it varies with ethnicity,

exclusively breast fed for the first six months

4

however, not with social deprivation .

vitamins,

and

minerals,

none

of life are not at increased risk of the iron

Vendt (2008) carried out a study to

deficiency anaemia or iron depletion during that time 5.

investigate the prevalence of iron deficiency and iron deficiency anaemia in infants aged

Another study about iron deficiency in

9-12 months in Estonia. In the first study of

exclusively breast-fed infants was carried out

three series of research experiments, there

by Siimes et al (1984) in Helsinki, Finland.

were

Thirty-six

171

babies

involved

in

this

young

children

who

were

epidemiological study, thirty six infants (21%)

exclusively breast fed, were studied for nine

were exclusively breast-fed until six months.

months. The author used the control group of

Researcher used the iron deficiency criteria

thirty-two babies who were fully weaned

with infants who had serum ferritin 200

Hiperglikemia

mg/dl akan menimbulkan disfungsi lekosit.

prakondisi iskemia yaitu suatu mekanisme

56

pada

sistem

kardiovaskular.

menimbulkan

gangguan

proteksi terhadap ancaman iskemia.Pada

pengaruh

organ yang mengalami iskemia, area yang

penumbra, yaitu area yang mengelilingi

mengalami infark dapat menjadi lebih luas

pusat iskemia.Selama perkembangan dari

pada kondisi hiperglikemia.Beberapa peneliti

stroke yang terjadi, area penumbra dapat

juga memperlihatkan timbulnya penurunan

turut mengalami infark atau justru kembali

aliran darah pada kolateral arteri koroner

pulih

pada kondisi hiperglikemia sedang-berat.

Mekanisme utama yang menghubungkan

Hiperglikemia akut dapat memicu kematian

antara hiperglikemia dan bertambah luasnya

sel miokardium melalui proses apoptosis,

daerah otak yang mengalami kerusakan

memperbesar

saat

akibat iskemia adalah peningkatan asidosis

reperfusi iskemia. Konsekwensi vaskular lain

jaringan dan kadar laktat akibat peningkatan

pada

relevan

kadar glukosa. Laktat berhubungan dengan

terhadap outcome dari pasien rawat meliputi

kerusakan pada neurons, astrosit dan sel

perubahan

endotel. Parson dkk. memperlihatkan bahwa

kerusakan

hiperglikemia

pada

yang

darah,

abnormalitas

perubahan

peningkatan platelet,

elektrofisiologi.

dkk.melaporkan tekanan darah peningkatan

akut

tekanan

katekolamin,

sel

adanya

jaringan

yang

area

sehat.

rasio laktat terhadap kolin berguna untuk

Marfella

memprediksi outcome klinis dan luas area

peningkatan

endotelin

menjadi

adalah

dan

infark

sistolik dan diastolik dan kadar

hiperglikemia

pada

stroke

akut.

Peneliti

lain

menemukan bahwa terdapat korelasi positif

pada

antara peningkatan kadar glukosa dengan

hiperglikemia akut penderita diabetes tipe 2.

produksi laktat. Melalui mekanisme inilah

Peneliti lain menemukan bahwa paparan

hiperglikemia menjadi penyebab jaringan

hiperglikemia

yang mengalami hipoperfusi berkembang

(270 mg/dl) selama 2 jam

pada subyek yang sehat mengakibatkan

menjadi infark.

peningkatan tekanan darah sistolik-diastolik,

Beberapa

peningkatan laju nadi ,peningkatan kadar

memperlihatkan

katekolamin, dan pemanjangan interval QT.

hiperglikemia dengan beragam konsekwensi

Hiperglikemia akut juga berkaitan dengan

akut lainnya yang kemungkinan menjadi

peningkatan viskositas, tekanan darah, dan

perantara timbulnya outcome yang tidak

kadar peptida natriuretik.

menguntungkan.Sebagai hiperglikemia

3. Hiperglikemia dan otak Kondisi

hiperglikemia

4

akut

akumulasi berkaitan

penelitian adanya

pada

hewan

kaitan

antara

contoh,

menyebabkan

glutamat

timbulnya

ekstraselluler

neokorteks.Peningkatan

glutamat

pada terjadi

dengan bertambah banyaknya sel syaraf

sebagai akibat adanya kerusakan sel syaraf.

yang mengalami kerusakan pada otak yang

Hiperglikemia

mengalami iskemia. Dari hasil penelitian

fragmentasi DNA, gangguan terhadap sawar

pada hewan didapatkan petunjuk bahwa

darah otak, dan repolarisasi yang lebih cepat

iskemia yang bersifat

pada

irreversibel atau

area

juga

berkaitan

penumbra

iskemia pada end arteri tidak terpengaruh

mengalami

oleh hiperglikemia. Porsi utama otak yang

protein

rentan

superoksida pada jaringan otak.

mengalami

kerusakan

akibat

57

hipoperfusi

jaringan

prekursor

dengan

yang

berat,peningkatan

β-amyloid

dan

kadar

Terdapat

banyak

faktor

yang

telah

aggregasi

platelet

yang

disebutkan sebelumnya berperan sebagai

pengikisan

matriks

mata

Hiperglikemia

akut

rantai

yang

menghubungkanantara

dipicu

ekstra

yang

oleh

selluler.

terjadi

selama

hiperglikemia dan outcome pada kasus

minimal 4 jam akan meningkatkan aktivasi

kardiovaskular

platelet pada diabetes tpe 2. Hiperglikemia

ternyata

berkontribusi

terhadap

juga

turut

outcome

kasus

juga

menyebabkan

peningkatan

antigen

cerebrovaskular akut.Secara spesifik, pada

faktor von willebrand, aktivitas faktor von

model otak yang iskemia kemudian terpapar

willebrand, dan 11-dehydro-thromboxane B2

oleh

radikal

di urin (suatu ukuran terhadap produksi

bebas hidroksil berkorelasi positif dengan

tromboksan A2).Perubahan ini tidak terjadi

timbulnya kerusakan jaringan.Begitu juga

pada kondisi euglikemia.

hiperglikemia,

antioksidan

peningkatan

memiliki

efek

Hiperreaktivitas platelet yang dipicu oleh

neuroprotektif.Kadar glukosa yang meningkat

hiperglikemia terutama terbukti pada kondisi

berkaitan

stress

dengan

hambatan

terhadap

high-shear,

dapat

menjelaskan

pembentukan nitrit oksida, peningkatan IL-6

peningkatan kejadian trombosis yang sering

mRNA, penurunan aliran darah otak dan

ditemukan

kerusakan pada endotelial vaskular.

dirawat.

4. Hiperglikemia dan trombosis4

5. Hiperglikemia dan Inflamasi4

Telah banyak terdapat penelitian yang mengidentifikasi

bahwa

berhubungan dengan hemostasis contoh,

pada

pasien

diabetes

yang

Hubungan antara hiperglikemia akut dan

hiperglikemia

modifikasi vaskular kemungkinan melibatkan

abnormalitas pada

perubahan derajat inflamasi. Kultur dari sel

trombosis.Sebagai

mono nuklir darah perifer yang diinkubasi

terutama hiperglikemia

secara

cepat

pada media berkadar glukosa tinggi (594

menurunkan aktivitas fibrinolitik plasma dan

mg/dl) selama 6 jam akan menghasilkan

aktivator

dan

peningkatan kadar IL-6 dan TNF-α. TNF-α

aktivitas

juga berperan dalam produksi IL-6.Upaya

penghambat aktivator plasminogen (PAI)-1

untuk menghambat aktivitas TNF-α dengan

pada tikus.Pada pasien diabetes tipe 2

menggunakan

menunjukkan adanya hiperreaktivitas dari

monoclonalakan menghambat efek stimulasi

platelet

glukosa terhadap produksi IL-6. Beberapa

plasminogen

sebaliknya

yang

peningkatan

jaringan

meningkatkan

ditandai

dengan

biosintesis

adanya

tromboksan.

penelitian

in

antibodi

vitro

anti

lainnya

TNF

menunjukkan

Biosntesis tromboksan akan menurun jika

bahwa glukosa dapat memicu peningkatan

kadar

IL-6,TNF-α,dan beberapa faktor lainnya yang

glukosa

diturunkan.

Hiperglikemia

memicu peningkatan

kadar IL-6 yang

berhubungan dengan

peningkatan kadar

menjadi penyebab inflamasi akut. Pada

manusia,

peningkatan

kadar

fibrinogen plasma dan fibrinogen mRNA.

glukosa dalam batas moderat hingga 270

Pada penderita dengan diabetes terjadi

mg/dl selama lima jam berkaitan dengan

peningkatan

peningkatan IL-6,IL-18 dan TNF-α. Adanya

aktivitas

platelet

yang

ditunjukkan dengan timbulnya adhesi dan

peningkatan

58

berbagai

faktor

inflamasi

berhubungan dengan timbulnya efek yang

kadar yang sering terdapat pada pasien yang

merusak vaskular. Sebagai contoh, TNF-α

di

dapat memperluas area yang mengalami

menimbulkan

nekrosis setelah ligasi arteri koroner cabang

Hiperglikemia

left anterior descending pada kelinci. Pada

mengganggu fungsi sel endotel dengan

manusia, peningkatan kadar TNF-α yang

menimbulkan inaktivasi nitrit oksida secara

terjadi pada kasus infark miokard akut

kimiawi.Mekanisme lainnya adalah menjadi

berkorelasi

penyebab

dengan

beratnya

disfungsi

jantung yang timbul. TNF-α juga berperan

rumah

sakit

(142-300

mg/dl)

disfungsi dapat

endotel.

secara

langsung

dapat

langsung

produksi

spesies

oksigen reaktif (ROS).

pada kasus cedera ginjal iskemik dan gagal jantung

kongestif.IL-18

dalam

menyebabkan

diduga

7. Hiperglikemia dan Stress oksidatif 4

berperan

kondisi

plak

Stress oksidatif muncul jika pembentukan

atherosklerotik menjadi tidak stabil yang

ROS melebihi kemampuan tubuh untuk

sewaktu-waktu dapat menimbulkan sindroma

memetabolismenya.

iskemik akut.

mengidentifikasi

mekanisme

menyatukan 6. Hiperglikemia endotel

dan

disfungsi

sel

hiperglikemia

4

Upaya dasar

beragam akut

untuk yang

pengaruh

adalah

kemampuan

hiperglikemia memproduksi stress oksidatif.

Hubungan

antara

hiperglikemia

dan

Eksperimen

untuk

menimbulkan

outcome kardiovaskular yang buruk adalah

hiperglikemia akut pada kadar yang sering

akibat pengaruh hiperglikemia pada vaskular

didapatkan pada pasien yg dirawat memicu

endotel. Sel endotel vaskular selain berfungsi

pembentukan

sebagai barrier antara darah dan jaringan

terpapar hiperglikemia secara in vitroakan

juga

fungsi

merubah produksi nitrit oksida menjadi anion

hemostasis. Pada kondisi sehat, endotel

superoksida.Peningkatan pembentukan ROS

vaskular

menyebabkan

berperan

penting

berfungsi

dalam

mempertahankan

ROS.

Sel

aktivasi

endotel

faktor

yang

transkripsi,

pembuluh darah tetap relaks, anti trombosis,

faktor pertumbuhan dan mediator sekunder.

antioksidan, dan anti adhesive.Pada kondisi

Melalui cedera jaringan secara langsung

sakit,

atau

terjadi

disregulasi,

disfungsi,

aktivasi

mediator

sekunder

ini,

insuffisiensi dan kegagalan pada endotel

hiperglikemia akan memicu stress oksidatif

vaskuler.Disfungsi

dan

dengan

sel

endotel

dikaitkan

peningkatan

adhesi

seluler,

penelitian, abnormalitas yang terjadi dapat

peningkatan

diperbaiki dengan pemberian antioksidan

gangguan

angiogenesis,

permeabilitas

sel,

inflamasi

dan

kerusakan

jaringan.

Pada

semua

atau mengembalikan menjadi euglikemia.

trombosis.Biasanya fungsi endotelial dinilai Ringkasan

dengan mengukur vasodilatasi dependentendotelial, paling sering diamati pada arteri

Secara

tradisional

hiperglikemia

brakialis. Penelitian in vivo pada manusia

didefinisikan jika kadar glukosa darah ≥ 200

dengan

ini

mg/dl. Sejak tahun 2010, American Diabetes

memastikan bahwa hiperglikemia akut pada

Association dalam Standards of Medical

memanfaatkan

parameter

59

Care

in

mendefinisikan

kerusakan sel pada saat reperfusi iskemia.

hiperglikemia pada pasien yang dirawat

Hiperglikemia akut juga berkaitan dengan

adalah jika kadar glukosa

peningkatan viskositas, tekanan darah, dan

10

mg/dl .

Diabetes

Stress

darah >140 adalah

kadar peptida natriuretik. Hiperglikemia dapat

saat

secara langsung mengganggu fungsi sel

seseorang menderita sakit dimana pada

endotel dengan menimbulkan inaktivasi nitrit

individu tersebut terbukti tidak menderita

oksida

diabetes sebelumnya. Hiperglikemia akut

muncul jika pembentukan ROS melebihi

dapat memicu kematian sel miokardium

kemampuan

melalui

memetabolismenya.

hiperglikemia

hiperglikemia

yang

proses

timbul

apoptosis,

pada

memperbesar

Daftar Pustaka 1. Dungan KM, Braithwaite SS, Preiser JC. Stress hyperglycaemia. Lancet 2009; 373:1798-807. 2. Clement S, Braithwaite SS, Magee MF,et al. Management of diabetes and hyperglycemia in hospitals. Diabetes Care 2004; 27:553-91. 3. Egi M, Bellomo R, Stachowski E,et al. Blood glucose concentration and outcome of critical illness: the impact of diabetes.Crit Care Med 2008;36:2249-55. 4. Shepherd PR, Kahn BB. Glucose transporters and insulin actionimplications for insulin resistance and diabetes mellitus. N Engl J Med 1999; 341: 248-57.

60

secara

kimiawi.

Stress

tubuh

oksidatif

untuk

THE RELATIONSHIP BETWEEN CHILD OBESITY AND BONE HEALTH

Rifana Cholidah Faculty of Medicine, Mataram University Abstract Since early childhood obesity has increased dramatically in the recent year, many researchers observe the relationship of excess fat mass during childhood and many health consequences including with bone health. This review aims to examine the relationship between childhood obesity and bone health. The results are conflicting. Several results show that fat mass have a strong positive relationship with increase bone mass and bone area, while other studies found obesity may increase the risk of fracture and may be detrimental on bone health. By these findings, further studies should be conducted to examine the effect of childhood obesity and bone health, also to evaluate the mechanisms how excess fat mass may increase or reduce bone growth.

Introduction

mass might result a negative effect on bone

Obesity has become an epidemic in many

mass in young population. Adipose tissue

countries over the recent decade. World

has a high aromatase activity, and high

Health Organization notes that over one

amount of fat will contribute to increased

billion adults throughout the world are

serum steroid levels which might suppress

overweight, of whom around 300 million are

periosteal

obese.

increased leptin concentration secondary to

Also,

suggested

the

several

published

increased

studies

prevalence

of

elevated

bone

fat

growth.

mass

has

Moreover,

the

antiosteogenic

obesity among children and adolescent

function by decreasing bone mass via

1,14,18,19,22,23

stimulation of sympathetic activity. Thus,

.

Overweight and obese children have a

hormones, growth factors, or inflammatory

larger body mass and require stronger and

agents produced in adipose tissue may affect

denser bones to carry their weight than their

the suppression of bone growth

3,13

.

normal-weight peers. However, the effect of

On the other hand, higher fat mass might

childhood obesity on bone health, particularly

stimulate increases in bone size. Fat mass

bone mineral accrual during growth periods

may promote skeletal growth through direct

7,12

.

and indirect actions, a direct action on

Several recent studies report a positive

increasing lean body mass in obese children

relationship between total body fat mass and

and indirect action on timing of pubertal

bone mass and bone area in young children.

events 2,6.

is poorly understood

While other studies suggest that childhood

Obese children may have puberty earlier

obesity during growth does not increase

than their leaner counterparts due to higher

bone mass and bone area to balance the

estradiol and leptin levels. Puberty has a vital

excess weight. Furthermore, a study reported

role in bone development since bone mass

that higher body weight increased the risk of

approximately

new fractures among young girls

2,5,6,7,12

.

doubles

by

the

end

of

adolescence. The main factors of pubertal

Regarding this concern, several possible

gain in bone mass are the sex steroids,

mechanisms are described that body fat

growth hormones, insulin like growth factors

61

and vitamin D. Therefore, it remains unclear

on bone mass.

whether obesity in childhood has positive or

authors did not consider some confounding

negative effects on bone mass and mineral

factors that may influence skeletal mass and

accrual. This review aims to determine the

area such as nutritional diet and physical

effect of childhood obesity on bone health

20

.

Also, it seems that the

activity levels of the participants. In 2003, Ellis et al carried out a study

Studies which have noted a positive

examining the relationship of bone mineral

relationship between total fat mass and

content and proportion of body fatness in 865

bone mass and/or bone area

children.

The

study shows

that

obese

Leonard et al (2004) have investigated the

children with the percentage of fat >30%, had

effect of childhood obesity on bone mass and

higher BMC compared with children with

dimensions in males and females relative to

normal adiposity (percentage of fat 30% had higher BMC compared with children with normal adiposity (fat
View more...

Comments

Copyright � 2017 NANOPDF Inc.
SUPPORT NANOPDF