PERKEMBANGAN TAREKAT QADIRIYAH

January 30, 2018 | Author: Anonymous | Category: Seni & Humaniora, Religious Studies, Islam
Share Embed Donate


Short Description

Download PERKEMBANGAN TAREKAT QADIRIYAH...

Description

1

PERKEMBANGAN TAREKAT QADIRIYAH-NAQSABANDIYAH (Studi di Kuala Tungkal Tanjung Jabung Barat Jambi Indonesia) Ulya Fuhaidah, S.Hum, MSI Dosen Fakultas Syariah IAIN STS Jambi

Abstrak Tarekat adalah jalan yang ditempuh para sufi untuk mendekatkan diri kepada Ilahi. Tarekat yang berkembang dalam dunia Islam sangat beragam dengan metode wirid yang tidak seragam pula. Walaupun berbeda zikir maupun amalan antar tarekat, namun hakikatnya adalah satu yakni penyucian jiwa. Studi ini mengeksplorasi tentang Tarekat Qadiriyah-Naqsabandiyah di Indonesia pada umumnya dan Jambi pada khususnya. Tarekat ini berkembang sangat pesat dan memiliki pengikut yang tidak sedikit. Tarekat ini juga telah berperan penting dalam membangun tradisi keagamaan masyarakat Jambi, namun sayangnya sering tidak terekspos dinamikanya dalam kajian tarekat. Data yang digunakan diolah dari library research dan wawancara tidak terstruktur dengan analisis deskriptif. Sementara Pendekatan yang dipakai adalah pendekatan historis dimana dengan pendekatan ini menitikberatkan pada aspek kronologis kelahiran dan perkembangan tarekat. Studi ini menemukan kesimpulan bahwa Tarekat Qadiriyah Naqsabandiyah diperkenalkan pertama kali oleh Syeikh Ahmad Khatib Sambas di Indonesia, sedangkan untuk wilayah Kuala Tungkal Jambi diperkenalkan oleh Syeikh Ali Abdul Wahab sejak 1979. Tarekat ini kemudian berkembang pesat dan memiliki kontribusi positif terhadap perilaku keagamaan dan social, bahkan aspek ekonomi masyarakat. Keyword: syeikh, tarekat, zikir, qadiriyah, naqsabandiyah. A. PENDAHULUAN Tarekat adalah kata yang berasal dari bahasa Arab “Thariqah” yang secara etimologis berarti jalan. Jalan yang dimaksud adalah cara seseorang untuk mengenal Tuhannya agar menjadi hamba yang bertakwa. Sedangkan secara epistemologis, Said Aqil Siroj mendefinisikan tarekat yakni menjalankan ajaran Islam dengan sangat hati-hati dan teliti, menjalankan fadhailul a’mal, serta bersungguh-sungguh mengerjakan ibadah dan riyadhah.1 Meninggalkan perkara yang subhat adalah contoh kehatia-hatian seseorang dalam melaksanakan hukum Islam. Sementara menjalankan shalat fardhu maupun shalat rawatib merupakan bentuk fadhailul a’mal, dan aktif berzikir, istighfar, serta berpuasa sunah adalah bentuk dari riyadhah.

1 Said Aqil Siroj. Tasawuf Sebagai Kritik Sosial: Mengedepankan Islam sebagai Inspirasi Bukan Aspirasi (Bandung: Mizan, 2006), hlm. 97.

2 Tarekat merupakan bagian kecil dari tasawuf dimana ia berfungsi untuk membersihkan hati dari sifat-sifat kebendaan dan diisi oleh zikir, murakabah, mahabbah, ma’rifah, dan musyahadah kepada Allah sebagaimana yang tersurat dalam al-Quran Surah Jin ayat 16 yang artinya: “dan bahwasanya jikalau mereka tetap berjalan lurus di atas jalan itu (agama Islam), maka kami benar-benar akan memberi minum kepada mereka air yang segar”.2 Secara amaliah, tarekat sebenarnya telah berkembang sejak masa awal hijriyah dalam bentuk perilaku zuhud yang berdasarkan kepada Al-Quran dan hadis. Pada masa itu terdapat sekelompok sahabat yang mengamalkan perilaku zuhud, mengasingkan diri dari urusan dunia, dan tinggal di serambi masjid. Mereka ini dikenal sebagai ahli shuffah. Sehingga penyebutan sufi seringkali dinisbatkan kepada mereka.3 Perilaku tasawuf pada saat itu masih bersifat personal hingga sampai pada masa ketika Al-Ghazali menyatakan bahwa tasawuf bukanlah ajaran agama yang sesat yang tertuang dalam karyanya al-Munqiz min al-Dhalal. Beliau mengatakan:4 “tasawuf adalah menyucikan hati dari apa saja selain Allah. Aku simpulkan bahwa kaum sufi adalah para pencari di Jalan Allah dan perilaku mereka adalah perilaku yang terbaik, jalan mereka adalah jalan yang terbaik, dan pola hidup mereka adalah pola hidup yang tersucikan. Mereka telah membersihkan hati mereka dari berbagai hal selain Allah dan menjadikannya sebagai saluran tempat mengalirnya sungai-sungai yang membawa ilmu dari Allah”. Sejak saat itu, Al-Ghazali berhasil menunjukkan keterkaitan erat antara tasawuf dengan ajaran Islam itu sendiri, setelah sebelumnya tasawuf dianggap sebagai perkara bidah oleh kelompok tertentu.5 Tarekat kemudian berkembang sebagai sebuah organisasi dari para pengikut sufi besar yang bertujuan untuk melestarikan ajaran tasawuf guru-gurunya. Sejak abad VI dan VII Hijriyah, tarekat pun memulai jaringannya di seluruh dunia Islam melalui jaringan ulama yang menimba ilmu di Makkah.6 Tarekat yang dimaksud di antaranya adalah Qadiriyah, Naqsabandiyah, Tijaniyah, Syatariah, Sanusiah, Syuhrawardiyah, Syaziliyah, Rifaiyyah, Badawiyah, Khalwatiyah, dan lain-lain. Perbedaan masing-masing tarekat terletak pada perbedaan amalan zikir.

2

Ibid. Muhammad Hisyam Kabbani. Tasawuf dan Ihsan: Antivirus Kezaliman dan Kebatilan. Terjemahan Zaimul Am (Jakarta: Serambi, 2007), hlm. 24. 4 Ibid. 5 Haidar Baqir. Buku Saku Tasawuf (Bandung: Mizan, 2005), hlm. 32. 6 Kajian komprehensif tentang jaringan ulama lihat Azyumardi Azra. Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII Akar Pembaharuan Islam Indonesia (Jakarta: Kencana, 2004). 3

3 Zikir adalah amalan utama yang menjadi inti wirid dalam sebuah tarekat. Para ulama telah sepakat bahwa yang dimaksud dengan zikir adalah menyebut asma Allah dengan kalimah thayyibah yang telah ditentukan oleh ajaran Islam seperti membaca kalimah tauhid, tasbih, tahmid, takbir, dan tahlil. Selain membaca kalimah-kalimah tersebut, membaca AlQuran dan doa yang bersumber darinya juga termasuk dalam pengertian zikir. Para ahli tarekat telah mengamalkan zikir secara sistematis yang terbagi menjadi dua yakni zikir yang diucapkan dengan lisan (zikir jahr) dan zikir yang diingat dalam qalbu (zikir sir).7 Membahas tentang tarekat maka Tarekat Qadiriyah-Naqsabandiyah adalah salah satu cabang yang diakui muktabarah di Indonesia. Suatu tarekat dikatakan muktabarah jika memiliki kriteria: memperhatikan syariat Islam dalam pelaksanaannya, mengikat tarekat dan mengharuskannya berpegang teguh pada salah satu empat mazhab, mengikuti ahlu sunnah wal jamaah, dan mengikuti ijazah sanad muttasil.8 Banyak kajian yang sudah mengeksplorasi tentang tarekat ini, namun berdasarkan penelusuran penulis dinamika tarekat ini di wilayah Sumatera khususnya Jambi seringkali terabaikan. Padahal nama besar Syeikh Ali Abdul Wahab tidak bisa dilepaskan dari sejarah dan perkembangan tarekat ini. Beliau adalah ulama yang mempelopori dan mengembangkan ajaran tarekat yang dinisbatkan kepada tarekat Qadiriyah-Naqsabandiyah di wilayah Jambi. Penganut tarekat ini ribuan jumlahnya, tidak hanya meliputi wilayah Tanjung Jabung Barat saja tetapi juga menyebar ke seluruh pelosok Jambi bahkan Riau dan wilayah Asia Tenggara lainnya. Sampai saat ini pun sesudah Syeikh Ali Abdul Wahab wafat, para pengikutnya (murid) masih menjalankan amalan zikir maupun menyelenggarakan haul Syeikh Abdul Qadir Jilany yang dirangkaikan dengan haul Syeikh Nawawi Berjan sebagai acara tahunan untuk mengenang dan mendoakan beliau sekaligus membacakan manakib Syeikh Abdul Qadir Jilany. Berdasarkan permasalahan tersebut, maka tulisan ini berupaya mengeksplorasi tentang bagaimana sejarah dan silsilah Tarekat Qadiriyah-Naqsabandiyah yang diperkenalkan oleh beliau, perkembangan tarekat tersebut, dan bagaimana kontribusinya terhadap kehidupan masyarakat dari berbagai aspek.

7

Sokhi Huda. Tasawuf Kultural: Fenomena Shalawat Wahidiyah (Yogyakarta: LKiS, 2008), hlm. 66. Alwi Shihab. Islam Sufistik: Islam Pertama dan Pengaruhnya Hingga Kini di Indonesia (Bandung: Mizan, 2002), hlm. 176. 8

4 B. PEMBAHASAN Berkembangnya Tarekat Qadiriyah-Naqsabandiyah di Indonesia Masuk dan berkembangnya tarekat ke wilayah nusantara baru dimulai sejak abad ke 17 M walaupun sebenarnya tarekat itu sendiri sudah berkembang beberapa abad sebelumnya di wilayah Timur Tengah yang kemudian terpecah menjadi beberapa cabang dan tersebar di seluruh penjuru negeri muslim. Jejak tarekat di Indonesia diawali oleh Hamzah Fansuri (w.1610) dan Syamsuddin al-Sumatrani (w.1630), namun keduanya tidak meninggalkan tarekat yang dipraktekkan secara massif oleh masyarakat. Hamzah Fansuri dan muridnya, Syamsuddin al-Sumatrani ditengarai sebagai penganut Qadiriyah yang membawa konsep penyatuan manusia dan Tuhan (wihdatul wujud). Tokoh berikutnya yang mempraktekkan ajaran tarekat adalah Abdurauff ibn Ali Singkel dengan memperkenalkan Tarekat Syatariah di Aceh pada 1679 M 9 Hamzah Fansuri dan para muridnya tersebut merupakan ulama yang memiliki pengaruh kuat sejak masa Sultan Iskandar Muda Mahkota Alamsyah di Kesultanan Aceh. Namun ketika Sultan wafat, penggantinya Sultan Iskandar II mengangkat Nuruddin ar-Raniri menjadi mufti kerajaan. Usaha pertama yang dilakukannya adalah mengeluarkan fatwa tentang sesatnya paham tasawuf yang dipraktekkan para pengikut Hamzah Fansuri dan Syamsuddin al-Sumatrani. Dari periode ini, maka berakhirlah pengaruh tradisi tasawuf falsafi dan digantikan oleh tasawuf sunni, khususnya di wilayah Aceh.10 Ulama terkenal lainnya yang juga mengembangkan tarekat adalah Syeikh Yusuf Tajul Khalwati (1621-1689) yang lebih dikenal dengan sebutan Syeikh Yusuf Makassari. Ulama ini menerima baiat dari berbagai macam tarekat yakni Qadiriyah dari Nuruddin ar-Raniri, Naqsabandiyah dari Muhammad Abdul Baqi, Syatariah dari Burhanudin al-Mula ibn Ibrahim, dan Khalwatiah dari Abdul Barakat Ayyub ibn Ahmad.11 Tarekat awal yang berkembang adalah tasawuf yang bercorak filosofis dan menekankan pada ajaran wihdatul wujud. Ajaran ini meyakini bahwa tidak ada sesuatu pun selain Allah dan segala sesuatu yang selain Allah itu tidak lain merupakan wujud nyata dari hakikat adanya Allah. Tokoh utama penggagas ajaran ini adalah Ibn al-Arabi yang beristidlal dari ayat al-Quran QS An-Nisa ayat 64 dan 110, QS An-Nur ayat 39.12

9

Ahmad Syafii Mufid. Tangklukan, Abangan, dan Tarekat: Kebangkitan Agama di Jawa (Jakarta: Yayasan Obor, 2006), hlm.60. 10 Mahsun Fuad. Hukum Islam Indonesia: Dari Nalar Partisipatoris Hingga Emansipatoris (Yogyakarta: LKIS, 2005), hlm. 36 11 Ahmad Syafii Mufid. Tangklukan, Abangan, dan Tarekat, hlm. 60. 12 Nor Ismah (ed.). Kisah Para Salik (Yogyakarta: LKiS, 2005), hlm. 9.

5 Adapun wujud dalam terminologi aliran ini adalah nama untuk tercapainya esensi sebagaimana berikut:13 1. wujud ilmu laduni yang memutuskan ilmu-ilmu zahir jika tercapai mukassafah terhadap al-Haqq 2. wujud Tuhan adalah wujud zat yang terputus atau terlepas dari pembebasan isyarat 3. wujud makam idhmihal atau tercapainya makam kefanaan wujud ke dalam-Nya dengan istighraq (larut) dalam azali. Para Syeikh penggagas lahirnya tarekat awal di Indonesia sebagaimana dijelaskan sebelumnya adalah ulama yang bukan berdarah Indonesia. Hamzah Fansuri misalnya adalah seorang cendekiawan dan guru tarekat berdarah Arab asal Fansur. Sedangkan Syamsuddin alSumatrani berasal dari Pasai sehingga sering disebut pula Syamsuddin Pasai. Beliau adalah seorang ulama yang sangat produktif menulis kitab baik dalam bahasa Melayu maupun Arab. Adapun Nuruddin al-Narini yang memiliki gelar al Allim Allama al Mursyid ila Thariq al Salma Maulana al Syeikh Nuruddin Muhammad ibn Ali Hasan ibn Muhammad Hamid al Quraisyi al Raniry adalah ulama keturunan India-Arab yang lahir di Gujarat pada 1568.14 Pada periode selanjutnya, barulah tarekat yang berkembang dipelopori oleh ulamaulama asli Indonesia yang menimba ilmu ke Makah yakni Syeikh Ismail al-Kholidi dari Minangkabau, Syeikh Muhammad Saleh az-Zawawi, dan Syeikh Ahmad Khatib Sambas. Tarekat yang dikembangkan oleh ketiga tokoh ulama ini adalah Tarekat Naqsabandiyah Kholidiyah, Naqsabandiyah Muzhariyah, dan Qadiriyah Naqsabandiyah. Tarekat QadiriyahNaqsabandiyah adalah sebuah tarekat yang menggabungkan sekaligus dua ajaran tarekat yakni tarekat Qadiriyah dan tarekat Naqsabandiyah di mana zikir diajarkan dalam satu versi baik dilafazkan dengan keras (jahar) maupun dilakukan di dalam hati (khafi).15 Nama Syeikh Ahmad Khatib Sambas sering disebut sebagai guru pertama yang membawa ajaran Tarekat Qadiriyah Naqsabandiyah masuk ke Indonesia. Beliau dilahirkan di daerah Kampung Dagang, Sambas, Kalimantan Barat, pada bulan shafar 1217 H bertepatan dengan tahun 1803 M dari seorang ayah bernama Abdul Ghaffar bin Abdullah bin Muhammad bin Jalaluddin. Ahmad Khatib terlahir dari sebuah keluarga perantau dari Kampung Sange Kalimantan Barat.16 13

Ibid. Komarudin Hidayat dan Putu Widjanarko (ed). Reinventing Indonesia: Menemukan Kembali Masa Depan Bangsa (Jakarta: Mizan, 2008), hlm. 667-681. 14

15 Sri Mulyati, Mengenal dan Memahami Tarekat-Tarekat Muktabarah di Indonesia (Jakarta: Kencana, 2011), hlm. 253. 16 Wikipedia diakses April 2016.

6 Daerah kelahirannya ini dibangun pada tahun 1620 M oleh Raja Tengah (keturunan dari Raja Brunei Darussalam) yang lambat laun memproklamirkan diri sebagai sultan di wilayah ini. Oleh karena itu wilayah Sambas adalah daerah yang telah memiliki ciri-ciri keIslaman yang kuat khususnya sejak Raden Sulaiman yang bergelar Muhammad Tsafiuddin dinobatkan sebagai Sultan Sambas pertama.17 Pada waktu itu, rakyat Sambas hidup dari garis agraris dan nelayan. Hingga ditandatanganinya perjanjian antara Sultan Muhammad Ali Tsafiuddin (1815-1828) dengan pemerintahan kolonial Belanda pada tahun 1819 M. Perjanjian ini membentuk sebuah pola baru bagi masyarakat Sambas yakni, perdagangan maritim. Semasa kecil, Ahmad Khatib Sambas diasuh oleh pamannya yang terkenal sangat alim dan wara’ di wilayah tersebut. Ia menghabiskan masa remajanya untuk mempelajari ilmu-ilmu agama, ia berguru dari satu guru-ke guru lainnya di wilayah kesultanan Sambas. Salah satu gurunya yang terkenal di wilayah tersebut adalah, H. Nuruddin Musthafa, Imam Masjid Jami’ Kesultanan Sambas. Ahmad Khatib dikenal sebagai murid yang pandai dan cepat menguasai ilmu-ilmu agama Islam termasuk tasawuf sehingga kemudian ia dikirim oleh orang tuanya untuk meneruskan pendidikannya ke Makkah. Maka Ahmad Khatib Sambas pun berangkat ke tanah suci pada tahun 1820 M untuk memperdalam keilmuannya. Berikut ini adalah beberapa ulama yang menjadi gurunya yakni: Syeikh Daud bin Abdullah bin Idris (wafat sekitar 1843), Syeikh Syamsuddin, Syeikh Muhammad Arsyad Al-Banjari, Syeikh Abdussamad AlPalimbani, Syeikh Muhammad Salih Raya (mufti mazhab Syafii), Syeikh Umar bin Abdul Karim bin Abdul Rasul Al-Attar (wafat 1249/18340), Syeikh Abdul Hafiz Ajami (wafat 1235/1819). Selain berguru kepada para ulama tersebut, Syeikh Ahmad Khatib Sambas juga menghadiri kuliah yang diajarkan oleh para ulama terkemuka lainnya yakni Syeikh Bisri alJabati (seorang ulama Maliki), Sayyid Ahmad Marzuki (seorang ulama Hanafi), Sayyid Abdullah Muhammad al-Mirghani (wafat 1273/1856), dan Utsman bin Hasan al-Dimyati (wafat 1849).18 Dari para gurunya tersebut dapat dilihat bahwa Syeikh Ahmad Khatib Sambas adalah ulama yang menguasai fiqh secara matang dari sumber mazhab yang berbeda. Diriwayatkan pula bahwa beliau adalah seorang murid yang mampu mencapai tingkat tertinggi sehingga beliau ditunjuk sebagai Syeikh Mursid Kamil Mukamil.19 Saat menuntut ilmu di Makkah, 17

Ibid. Sri Mulyati, Mengenal dan Memahami Tarekat-Tarekat, hlm. 255. 19 Ibid. 18

7 teman seperguruannya adalah Syekh Muhammad bin Ali Sanusi (pendiri tarekat Sanusiah) dan Syekh Muhammad Usman al-Mirghani (pendiri tarekat Khatmiyah).20 Ahmad Khatib Sambas memutuskan untuk menetap di Makkah sampai wafat pada tahun 1875 M. Ajaran Syeikh Ahmad Khatib Sambas hingga saat ini dapat dikenali dari karyanya Fathul Arifin yang secara garis besar berisi gabungan dua unsur ajaran Qadiriyah dan Naqsabandiyah yang memuat tentang tata cara baiat, talqin, zikir, muqarobah dan silsilah Tarekat Qodiriyah-Naqsyabandiyah itu sendiri. Beliau menjelaskan juga tentang syarat yang harus dipenuhi oleh seseorang yang sedang berjalan menuju Allah yakni zikir diam dalam mengingat Allah, merasa selalu diawasi oleh Allah di dalam hatinya dan pengabdian kepada syeikh.21 Salah seorang muridnya, Muhammad Ismail bin Abdurrahim membuat notulensi dari ceramah-ceramahnya yang ditulis dan dibukukan di Makkah pada tahun 1295 H. Buku inilah yang hingga saat ini masih dijadikan pegangan oleh para mursyid dan pengikut Tarekat Qodiriyah- Naqsyabandiyah untuk melaksanakan prosesi-prosesi peribadahan khusus mereka. Dengan demikian maka tentu saja nama Syekh Ahmad Khatib Sambas selalu dikenang dan dipanjatkan dalam setiap doa dan munajah para pengikut tarekat ini. Amalan pokok wasilah tarekat ini secara garis besar dijelaskan sebagaimana berikut:22 Mengawali zikir dengan membaca istighfar sekurangnya 2 kali atau 22 kali Membaca shalawat nabi Membaca zikir kalimah tauhid yang dipanjangkan kalimah la Membaca shalawat ke atas Nabi, khususnya Tunjiyah Membaca Fatihah untuk baginda Nabi Muhammad, sahabatnya, masyayikh ahli TQN khususnya Syeikh Abdul Qadir al-Jilani, Syeikh Junaid alBaghdadi, dan Syeikh Ahmad Khatib. Martin van Bruinesen menyatakan bahwa zikir tersebut sama dengan aturan zikir nafi wa itsbat yang diajarkan para syeikh Qadiri di tempat lain. Ketika mengucapkan zikir, sang murid harus menghadirkan hati. Pengaruh Qadiriyah dalam zikir terlihat pada konsepsi lathaif dimana ketika berzikir, seseorang harus mensucikan kepada enam titik halus dalam badan yakni lathifah qalb, lathifah al-ruh, lathifah sir, lathifah al-khafi, lathifah al-akhfa, dan lathifah al-nafs al-natiqah.23

20

Knut S. Vikor. Sufi and Scholar on the Desert Edge: Muhammad bin Ali al Sanusi (London: Hurst & Company, 1995), hlm. 94. 21 Sri Mulyati, Mengenal dan Memahami Tarekat-Tarekat, hlm.258. 22 Martin van Bruinessen. Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat: Tradisi-tradisi Islam di Indonesia (Bandung: Mizan, 1999), hlm. 216. 23 Ibid.

8 Zikir Tarekat Qadiriyah selalu dilakukan dengan suara jahri, namun Syeikh Ahmad Khatib mengajarkan jika zikir juga dapat dilakukan secara sirr. Ini ditengarai merupakan adaptasi dari tarekat Naqsabandiyah. Perpaduan kedua cara zikir inilah yang diamalkan oleh para murid. Apabila diteliti maka akan terlihat dalam kitab Fathul Arifin bahwa pengaruh Naqsabandiyah dalam tarekat ini lebih dominan. Selain termasyhur sebagai sebagai seorang tokoh sufi, namun beliau juga menghasilkan karya dalam bidang ilmu fiqh yang berupa manusrkip risalah Jum’at. Naskah tulisan tangan ini dijumpai tahun 1986, koleksi Haji Manshur yang berasal dari Pulau Subi, Kepulauan Riau. Demikian menurut Wan Mohd. Shaghir Abdullah, seorang ulama penulis asal tanah Melayu. Kandungan manuskrip ini, membicarakan masalah seputar Jum’at, juga membahas mengenai hukum penyembelihan secara Islam. Pada bagian akhir naskah manuskrip, terdapat pula suatu nasihat panjang, manuskrip ini ditutup dengan beberapa amalan wirid selain amalan Tarekat Qodiriyah Naqsabandiyah. Adapun silsilah Tarekat Qadiriyah-Naqsabandiyah sebagaiman pemaparan kitab Fathul Arifin adalah sebagai berikut:24 1. Muhammad SAW 2. Ali ibn Abi Thalib

Abu Bakar As-Shiddiq

3. Husain ibn Ali

Salman al-Farisi

4. Zany al-Abidin

Qasim ibn Muhammad bin Abu Bakar

5. Muhammad al-Baqir

Imam Ja’far as-Shiddiq

6. Ja’far as-Sidiq

Abu Yazid Al-Busthami

7. Musa al-Kazim

Abu Hasan al-Kharqani

8. Abu Hasan Ali ibn Musa al-Ridla

Abu Ali Farmadi

9. Ma’ruf al-Karkhi

Syeikh Yusuf al-Hamdani

10.

Sirri al-Saqati

Abdul Khaliq Guzdawani

11.

Abu Qasim Junaid al-Baghdadi

Arif Riya Qari

12.

Abu Bakar al-Shibli

Muhammad Anjiri

13.

Abdul Wahid al-Tamimi

Ali Ramli Tamimi

14.

Abu Faradj al-Tartusi

M. Baba Sammasi

15.

Abu Hasan Ali al-Hakkari

Amir Kulali

16.

Abu Said al-Makhzumi

Bahauddin Naqsabandi

17.

Abdul Qadir al-Jilany

M. Alauddin Attari

24 Zulkifli. Sufism in Java: The Role of Pesantren in The maintenance of Sufism in Java (Leiden: INIS, 2002), hlm. 17. Bandingkan dengan tqn-ppsurlayala.blogspot.co.id diakses April 2016

9 18.

Abdul Aziz

Ya’kub Jarehi

19.

Muhammad al-Hattak

Ubaidillah Ahrari

20.

Shams al-Din

M. Zahidi

21.

Sharif al-Din

Darwisi Muhammad Baqi Billah

22.

Nur al-Din

Faruqi al-Sirhindi

23.

Waly al-Din

Maksum al-Sirhindi

24.

Hisam al-Din

Saifuddin Afif Muhammad

25.

Yahya

Nur Muhammad Badawi

26.

Abu Bakar

Syamsuddin Habibullah Janjani

27.

Abdul Rahim

Abdullah al-Dahlawi

28.

Utsman

Abu Said al-Ahmadi

29.

Abdul Fattah

Ahmad Said

30.

Muhammad Murad

M.Jan al-Makki

31.

Shams al-Din

Khalil Hilmi

32.

Ahmad Khatib Sambas

Dari silsilah di atas dapat dilihat jika jalur baiah yang diterima oleh Syeikh Ahmad Khatib Sambas sehingga menjadi khalifah Tarekat Qadiriyah Naqsabandiyah berasal dari ijazah Syeikh Shams al-Din. Namun menurut Martin van Bruinessen, gurunya ini masih misterius karena tidak disebut dalam sumber lain sebagai ulama di Makkah. Kemungkinan namanya adalah gelar saja. Dengan demikian masih menunjukkan misteri juga apakah beliau menerima ijazah kedua tarekat dari satu guru.25 Meskipun demikian, sejak diperkenalkan oleh Syeikh Ahmad Khatib Sambas, tarekat ini kemudian berkembang pesat di beberapa wilayah di Indonesia. Syeikh Ahmad Khatib Sambas wafat pada 1878 M.26 Sepeninggalnya kepemimpinan tarekat digantikan oleh tiga muridnya yakni Syeikh Abdul Karim Banten, Syeikh Talhah Cirebon, dan Kiai Ahmad Hasbullah Madura sebagai khalifah tarekat ini.27 Empat pusat perkembangan tarekat ini di pulau Jawa pada tahun 70-an adalah Pesantren Rejoso yang dipimpin oleh Kiai Tamim, Pesantren Futuhiyyah Demak yang dipimpin oleh Kiai Muslih, Pesantren Surlayala yang diasuh oleh Kiai Sohibul Wafa Tajul Arifin (abah Anom), dan

25

Martin, Kitab Kuning, hlm. 217 Muhammad Solihin. Menyatu Diri Dengan Ilahi: Makrifat Ruhani Syaikh Abdul Qadir al-Jailani dan Perspektif Terhadap Paham Manunggaling Kawula Gusti (Yogyakarta: 2010), hlm. 181 27 Syeikh Abdul Karim Banten bahkan dikenal sebagai ulama tarekat yang mempelopori perlawanan terhadap pendudukan kolonial Belanda. Ahmad Syafii Mufid. Tangklukan, Abangan, dan Tarekat: Kebangkitan Agama di Jawa (Jakarta: Yayasan Obor, 2006), hlm.73 26

10 Pesantren Pagentongan Bogor oleh Kiai Tohir Falak.28 Silsilah tarekat di beberapa pesantren tersebut berasal dari jalur khalifah yang berbeda yakni Syeikh Abdul Karim, Syeikh Talhah, dan Syeikh Ahmad Hasbullah. Adapun mursyid Syeikh Ahmad Khatib Sambas untuk wilayah luar Jawa yakni Kiai M. Ismail dari Bali, Kiai Yasin di Kalimantan Barat, Kiai Lampung, Kiai M. Ma’ruf dari Palembang, dan Kiai Nuruddin dari Sambas. Dari para guru inilah, tarekat menyebar semakin luas di wilayah luar Jawa. Berkembangnya Tarekat Qadiriyah-Naqsabandiyah di Jambi Syeikh Muhammad Ali Abdul Wahab (1934-2011) adalah salah satu tokoh ulama terkemuka di Kuala Tungkal yang memperkenalkan ajaran Tarekat Qadiriyah Naqsabandiyah di wilayah Jambi. Beliau adalah salah satu pengajar di Perguruan Hidayatul Islamiah (PHI) dan juga sebagai pengasuh Pondok Pesantren al Baqiyatush Sholihat yang terletak di Parit Gompong Kuala Tungkal Jambi. Beliau merupakan putra pertama dari empat bersaudara dari Tuan Guru Abdul Wahab (1880-1964) dan Hj. Ruqayyah. Beliau dilahirkan di Desa Pasar Arba Bram Itam Kanan Kuala Tungkal pada hari Sabtu tanggal 1 Maret 1934 bertepatan tanggal 11 Shofar 1354 H.29 Beliau dididik dan dibesarkan di tengah-tengah keluarga yang religius, sebab orang tua beliau adalah seorang ulama yang berpengaruh dan dikenal mempunyai ilmu agama yang dalam. Selanjutnya beliau diasuh dan dibesarkan di bawah pengawasan ayahandanya sehingga menjadi ulama masyhur. Orang tua beliau adalah Tuan Guru H. Abdul Wahab adalah anak kedua dari tujuh bersaudara yakni Hj. Sa'diah, Tuan Guru H. Hasbullah, Hj. Komala, Hj. Acil, Tuan Guru H. Ahmad Mughni, dan Tuan Guru H. Muhammad Syibli atau yang sering disebut sebut orang dengan gelaran Nenek Banjar khususnya di Kuala Tungkal. Masa kecilnya berkesempatan tinggal di Makkah al-Mukaramah pada kurun 1937-1939. Kemudian ketika kembali ke Kuala Tungkal melanjutkan pendidikan di madrasah ibtidaiyah alIstiqamah yang diselesaikannya pada tahun 1943. Kemudian pendidikan menengahnya ditempuh di Madrasah HidayatuI Islamiyah, Kuala Tungkal pada kurun 1950-1953. Pada tahun yang sama juga menimba ilmu di Madrasah Nurul Falah Kuala Tungkal (1950-1953). Selanjutnya beliau melanjutkan pendidikan di Pondok Pesantren Al As'ad Jambi (1953-1956) dan di Madrasah AdDiniyyatul Islamiyah Brabai Kalimantan Selatan (1956 1958).30

28

Martin. Kitab Kuning, hlm. 218 “Profil Ulama Kuala Tungkal: KH Muhammad Ali Wahab” dalam phi-kualatungkalblogspot.co.id diakses April 2016. 30 Ibid. 29

11 Sekembalinya dari pesantren, beliau aktif terlibat dalam aktivitas keagamaan sebagaimana terangkum dalam penjelasan berikut ini:31 Tahun 1950-an, mendirikan Tarbiyatul Mubalighin di Kuala Tungkal. Tahun 1962, mendirikan Tarbiyatudda' wah wal Mudzakaroh di Kuala Tungkal. Tahun 1979, mendirikan Tarekat Qodiriyah Naqsabandiyah di Kuala Tungkal. Tahun 1979, sebagai pendiri Majlis Ta’lim Al-Hidayah di Kuala Tungkal. Tahun 1992, sebagai anggota Mahkamah Syari'ah (Pengadilan Agama Kuala Tungkal) dan menjabat sebagai ketua Fatwa Majelis Ulama Kuala Tungkal. Tahun 1994, mendirikan Pondok Pesantren Al-Baqiyatush Sholihat Kuala Tungkal. Walaupun beliau selalu sibuk dalam bekerja, karena tenaga dan waktu beliau hampir semua tercurah untuh mengembangkan Madrasah Aliyah PHI, namun bukan berarti kesempatan menulis kitab untuk berda'wah lewat tulisan tertutup, terbukti ada beberapa karya beliau yang telah tersebar ke tangan masyarakat seperti:32 1. Kitab Tajhizul Mayyit 2. Jalaul Quluub 3. Idzhaarul Haq 4. Da'watul Haq 5. Fathul Mubin fi Fidayatish Sholati was Shawmi wal Yamiin 6. Terjemah Manaqib Syeikh Abdul Qodir Jailani 7. Attashuf Bima'na Huwath Thoriqoh 8. Al Fataawat Tunkalyah Al Juz Awwal wats Tsaany 9. Al 'Umdah fi Jawaazi Ta'khiiril Ihrom Ilaa Jiddah (I) 10. Al Mabadil 'Asyroh fith Thoriiqotil Qodiriyah wan Naqsyabandiyah 11. TuntunanToriqotwan Nahsyabandiyah 12. Ta'adduhul Jum'at Silsilah Tarekat Qadiriyah Naqsabandiyah yang diperkenalkan oleh beliau diambil dari jalur Syeikh Nawawi Berjan Purworejo Jawa Tengah. Syeikh Nawawi adalah mursyid generasi ketiga dalam tarekat ini. Beliau dibaiah menjadi mursyid menggantikan ayahandanya Kiai Siddiq yang wafat pada 1948. Kiai Siddiq sendiri mempelajari tarekat ini melalui ayahnya

31 32

Ibid Ibid.

12 Syeikh Zarkasyi (1830-1917) yang langsung mendapat ijazah dari Syeikh Abdul Karim Banten sebagai khalifah pasca wafatnya Syeikh Ahmad Khatib Sambas.33 Syeikh Zarkasyi adalah ulama pertama yang mendirikan Pesantren Berjan pada sekitar tahun 1870. Pesantren ini terletak di wilayah Gebang Kabupaten Purworejo Jawa Tengah. Pada waktu itu pesantren Berjan menjadi pusat pengajaran Tarekat Qadiriyah Naqsabandiyah dimana pesantren juga menjadi institusi pendidikan bagi para santri yang mengaji beberapa kitab kuning khas pesantren. Kemajuan pesat pesantren Berjan ini dicapai pada masa kepemimpinan Syeikh Nawawi. Kemasyhurannya menarik banyak santri untuk mukim dan menjadi murid tarekat. Sesudah beliau wafat, maka mursyid tarekat dilanjutkan oleh putranya yakni Kyai Chalwani Nawawi sejak 1980 sampai sekarang. Sampai tahun 2006, anggota tarekat ini mencapai jumlah lebih dari sepuluh ribu.34 Saat ini, pesantren ini telah menjelma menjadi pesantren modern yang memadukan pendidikan formal maupun informal. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa Pesantren An-Nawawi Berjan menjadi pusat pengajaran dan persebaran murid tarekat ini di Jawa Tengah bagian selatan. Terkait dengan jalur silsilah tarekat ke Syeikh Nawawi Berjan, seorang murid tarekat (Haji Hudari) menceritakan bahwa awal mula sejarah baiah tarekat Qadiriyah Naqsabandiyah Kuala Tungkal tidak terlepas dari peran Kiai Tauhid, salah seorang teman sejawat Syeikh Ali Abdul Wahab dalam mengajar di pesantren Perguruan Hidayatul Islamiah Kuala Tungkal. Kiai ini memperkenalkannya dengan Kiai Kurnain yang kemudian menghubungkannya dengan Syeikh Nawawi Berjan. Dari perkenalan awal ini pada akhirnya dibaiatlah beberapa tokoh ulama di Kuala Tungkal seperti Haji Said Ismail, Haji Hayun Abduh, Haji Kursani, Haji Hudari, dan beberapa tokoh lainnya yang berjumlah sekitar 20 orang untuk menjadi muridnya. Syeikh Ali Abdul Wahab ini kemudian ditunjuk sebagai mursyid untuk wilayah propinsi Jambi. Peristiwa pembaiatan ini terjadi sekitar tahun 1979. Setelah pembaiatan ini lambat laun anggota tarekat menjadi banyak dan bahkan mencapai ribuan murid. Para murid kemudian mengamalkan ajaran tarekat ini di wilayahnya masing-masing.35 Syeikh Ali Abdul Wahab dikenal sebagai sosok pribadi yang istimewa, arif bijaksana, disiplin, dan tawadlu. Sikapnya ini dapat dilihat dalam 10 pesan beliau kepada seluruh murid untuk dapat menjadi manusia sebagai berikut: 4. Mentatai perintah Allah dan menjauhi larangannya 5. Tidak membuat perkara yang memecah belah umat Islam 33

Amelia Fauzia. Faith and the State: A History of Islamic Philanthropy in Indonesia (Leiden: Brill, 2013), hlm. 123 34 Ibid. 35 Wawancara dengan H.Hudari dan H. Anwar Sadat pada April 2016.

13 6. Tidak memiliki prasangka buruk 7. Menanamkan ukhuwah Islamiyah yang tinggi 8. Memiliki mahabbah yang tinggi kepada umat Islam 9. Dalam berbuat dan bertindak maupun berbicara dan menjawab masalah-masalah agama hendaknya didasarkan pada kitab-kitab muktabar yang dilakukan dengan penuh kajian dan tidak tergesa-gesa 10.

Mengutamakan musyawarah dalam memecahkan persoalan

11.

Menyampaikan dakwah maupun amalan tidak secara berlebihan maupun kurang

12.

Selalu berpegang kepada Al-Quran dan hadis.

13.

Jika ada orang yang memusuhi, maka hendaknya tidak membalas dengan perbuatan

tercela namun meningkatkan ketakwaan diri, sabar, dan bertaubat.36 Dalam kesempatan yang lain, beliau juga menuliskan pesan khusus bagi para murid tarekat apabila hendak masuk pada jalan tarekat Aulia Allah, maka hendaknya para murid mengamalkan wasiat 9 yakni:37 1. Taubat dari segala dosa baik besar maupun kecil 2. Ikhlas 3. Taubat 4. Mempelajari ilmu syara yaitu ilmu tauhid, ilmu fiqh, dan ilmu tasawuf 5. Memiliki sikap qanaah 6. Memelihara dan mengamalkan sunah 7. Zuhud 8. Uzlah yakni menjauhi segala sifat jahat manusia 9. Hifdul auqat yaitu memelihara segala waktu dan memalingkan diri pada seluruh ibadah agar tidak terbuang sia-sia. Kegiatan rutin Tarekat Qadiriyah Naqsabandiyah di Kuala Tungkal adalah pengajian yang diselenggarakan setiap seminggu dua kali yakni pada senin malam dan jumah pagi di masjid Agung al-Istiqomah. Pada setiap pengajian akan didahului zikir tarekat terlebih dahulu dan disusul dengan kajian sebuah kitab tasawuf yang dibacakan oleh mursyidnya yakni Syeikh Ali Abdul Wahab. Masyarakat maupun murid tarekat selalu datang mengikuti majelis zikir ini. Adapun kegiatan puncak tarekat adalah penyelenggaraan peringatan haul Syeikh Abdul Qadir Jilany yang dirangkai dengan haul Syeikh Nawawi Berjan. Kegiatan tersebut sebagai 36 Dikutip dari kumpulan tulisan dan zikir KH M. Ali Bin Syeikh KH Abdul Wahab yang dibukukan oleh Dinas Pemuda dan Olah Raga Kabupaten Kuala Tungkal 2014, hlm 1. 37 Ibid., hlm. 2-3

14 agenda tahunan yang didukung penuh oleh pemerintah daerah Kuala Tungkal Jambi. Antusisme masyarakat mengikuti acara ini pun sangat tinggi terbukti dengan padatnya area masjid alIstiqomah dan jalan di sekitarnya penuh sesak oleh lautan manusia. Murid tarekat yang hadir pada peringatan haul diperkirakan mencapai jumlah 25 ribu orang yang separuhnya adalah pengamal tarekat. Syeikh Ali Abdul Wahab wafat pada ahad 15 Mei 2011 pada usia 78 tahun. Beliau adalah ulama kharismatik yang menghabiskan seluruh usianya sebagai pelayan umat. Pada hari wafatnya, bahkan terdapat fenomena alam yang tidak biasa. Tulisan asma Allah menghiasi langit Kuala Tungkal beberapa menit. Banyak murid tarekat yang menyaksikan kejadian itu dan beranggapan bahwa munculnya lafaz Allah adalah tidak terlepas dari berpulangnya ulama besar dari Jambi ini. Masyarakat larut dalam zikir kalimah thayibah yang tiada putus. Tak hanya jamaah ahli tarekat yang ingin memberikan penghormatan terakhir bagi beliau, namun penziarah datang dari berbagai daerah.38 Setelah Syeikh Ali Abdul Wahab wafat, mursyid tarekat Qadiriyah Naqsabandiyah diteruskan oleh puteranya. Penyelenggaraan haul tahunan kemudian dirangkai menjadi peringatan haul Syeikh Abdul Qadir Jilany, Syeikh Nawawi Berjan, dan Syeikh Ali Abdul Wahab. Pada perkembangannya, tarekat ini memiliki kontribusi positif bagi kehidupan sosial maupun keagamaan masyarakat. Kontribusi utamanya adalah bertemunya alim ulama, ahli zikir, dan ahli ibadah serta kaum muslimin dan muslimat dari berbagai penjuru daerah. Hal ini berarti bahwa terjalinnya ukhuwah Islamiyah dan silaturahim antar sesama umat Islam. Pada momen itu juga merupakan kesempatan yang baik bagi orang-orang alim untuk menyampaikan dakwah kepada umat Islam. Sementara pada aspek ekonomi, penyelenggaraan peringatan haul tahunan yang diselenggarakan rutin setiap satu tahun sekali ini selalu mendatangkan keuntungan bagi masyarakat lokal seperti penuhnya penginapan, rumah makan, dan tingginya permintaan alat transportasi baik darat maupun laut. Sedangkan kontribusi ekonomi bagi internal organisasi tarekat adalah sokongan terhadap pembangunan pesantren al Baqiyatus Shalihat. Pada setiap peringatan haul, dana wakaf yang terkumpul dari para murid tarekat mencapai angka ratusan juta tepatnya 120 juta.39 Dana ini kemudian dimanfaatkan untuk menyokong pembangunan fisik pesantren. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa secara tidak langsung tarekat menyumbang kemajuan pesantren di mana dengan fasilitas yang lengkap banyak orang tua yang kemudian mempercayakan pendidikan putra putrinya di pesantren tersebut. 38 39

Arpai15.wordpress.com Wawancara dengan H. Anwar Sadat pada 9 April 2016

15 Selain kontribusi dana, tarekat ini juga memiliki kontribusi positif bagi para murid tarekat yakni latihan pendidikan rohani bagi mereka yang masih merasa berat untuk melakukan riyadhah. Dengan demikian memiliki ghirrah untuk meningkatkan iman, takwa, ma’rifah, dan keistiqamahan dalam bertarekat. Kontribusi positif lain bagi para murid adalah terbukanya lapangan kerja bagi mereka di daerah-daerah pelosok Jambi. Contoh kongkrit kegiatan itu adalah murid dapat menjadi ustaz yang memberikan penyuluhan di daerah terpencil. Dengan penyuluhan ini, tarekat semakin berkembang pesat dan zikirnya diamalkan secara luas oleh masyarakat.

C. KESIMPULAN Tarekat adalah jalan yang ditempuh oleh seorang hamba untuk menyucikan jiwa agar mencapai maqam insan kamil. Para pengikut tarekat ini adalah salik yang bergabung dan menjadi murid seorang mursyid dalam mengamalkan ajaran tarekat. Perkembangan tarekat di Indonesia berkembang sangat cepat dan memiliki bermacam cabang. Salah satu yang muktabarah adalah Tarekat Qadiriyah Naqsabandiyah. Tarekat ini didirikan oleh Syeikh Ahmad Khatib Sambas pada abad 18. Disebut tarekat Qadiriyah Naqsabandiyah karena memadukan sekaligus dua jenis zikir baik dengan cara jahr maupun sir. Mursyid tarekat ini di wilayah Jambi adalah Syeikh Ali Abdul Wahab yang mengambil ijazah dari jalur silsilah Syeikh Nawawi Berjan Purworejo. Syeikh Nawawi adalah mursyid generasi ketiga dalam tarekat ini. Beliau dibaiah menjadi mursyid menggantikan ayahandanya Kyai Siddiq yang wafat pada 1948. Kyai Siddiq sendiri mempelajari tarekat ini melalui ayahnya Syeikh Zarkasyi (1830-1917) yang langsung mendapat ijazah dari Syeikh Abdul Karim Banten sebagai khalifah sepeninggal Syeikh Ahmad Khatib Sambas Eksistensi tarekat membawa kontribusi positif bagi para murid baik secara internal maupun eksternal. Makna internal dapat dilihat ketika tarekat mampu melatih diri agar senantiasa melakukan afdhailul a’mal dan riyadhah. Sementara secara eksternal, konsep sedekah dan wakaf dari para murid pada peringatan haul yang diselenggarakan setiap tahun di Kuala Tungkal memiliki dampak positif terhadap kemajuan pendidikan pesantren dan meningkatnya perekonomian masyarakat setempat.

16

DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Syafii Mufid. Tangklukan, Abangan, dan Tarekat: Kebangkitan Agama di Jawa. Jakarta: Yayasan Obor, 2006. Alwi Shihab. Islam Sufistik: Islam Pertama dan Pengaruhnya Hingga Kini di Indonesia. Bandung: Mizan, 2002 Amelia Fauzia. Faith and the State: A History of Islamic Philanthropy in Indonesia. Leiden: Bril, 2013. Anonym. KH M. Ali Bin Syeikh KH Abdul Wahab. Jambi: Dinas Pemuda dan Olah Raga Kabupaten Kuala Tungkal, 2014. Azyumardi Azra. Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII Akar Pembaharuan Islam Indonesia. Jakarta: Kencana, 2004. Haidar Baqir. Buku Saku Tasawuf. Bandung: Mizan, 2005. Knut S. Vikor. Sufi and Scholar on the Desert Edge: Muhammad bin Ali al Sanusi. London: Hurst & Company, 1995. Komarudin Hidayat dan Putu Widjanarko (ed). Reinventing Indonesia: Menemukan Kembali Masa Depan Bangsa. Jakarta: Mizan, 2008. Mahsun Fuad. Hukum Islam Indonesia: Dari Nalar Partisipatoris Hingga Emansipatoris. Yogyakarta: LKIS, 2005. Martin Van Bruinessen. Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat: Tradisi-tradisi Islam di Indonesia. Jakarta: LP3ES, 1985. Muhammad Hisyam Kabbani. Tasawuf dan Ihsan: Antivirus Kezaliman dan Kebatilan. Terjemahan Zaimul Am. Jakarta: Serambi, 2007. Muhammad Solihin. Menyatu Diri Dengan Ilahi: Makrifat Ruhani Syaikh Abdul Qadir alJailani dan Perspektif Terhadap Paham Manunggaling Kawula Gusti. Yogyakarta: 2010. Nor Ismah (ed). Kisah Para Salik. Yogyakarta: LKiS, 2005 Said Aqil Siroj. Tasawuf Sebagai Kritik Sosial: Mengedepankan Islam sebagai Inspirasi Bukan Aspirasi. Bandung: Mizan, 2006. Sokhi Huda. Tasawuf Kultural: Fenomena Shalawat Wahidiyah. Yogyakarta: LKiS, 2008 Zulkifli. Sufism in Java: The Role of Pesantren in The Maintenance of Sufism in Java. Leiden: INIS, 2002. Sumber Internet Arpai15.wordpress.com phi-kualatungkalblogspot.co.id diakses April 2016. tqn-ppsurlayala.blogspot.co.id diakses April 2016

View more...

Comments

Copyright � 2017 NANOPDF Inc.
SUPPORT NANOPDF