- Repository Publikasi Penelitian Universitas

January 13, 2018 | Author: Anonymous | Category: Ilmu, Ilmu kebumian, Seismologi
Share Embed Donate


Short Description

Download - Repository Publikasi Penelitian Universitas...

Description

i

KATA PENGANTAR Bencana alam gempa bumi dan tsunami yang terjadi di Provinsi Aceh pada bulan Desember tahun 2014 merupakan bencana alam yang cukup besar dan menyebabkan 165.708 nyawa melayang dan sebagian masih hilang belum diketemukan. Setelah bencana gempa bumi dan tsunami di Aceh, berbagai badan usaha baik pemerintah maupun non pemerintah datang ke Aceh dalam rangka membantu proses rehabilitasi dan rekonstruksi berbagai infrastruktur di Aceh. Salah satu program adalah the German-Indonesian Tsunami Early Warning System for the Indian Ocean (GITEWS). Program GITEWS adalah salah satu transfer ilmu pengetahuan dan teknologi dalam rangka mengurangi dampak buruk dari bencana alam dan sudah mulai diterapkan di berbagai daerah di Indonesia. Mengingat begitu besarnya peran ilmu pengetahuan dan teknologi dalam rangka mengurangi resiko bencana, maka Perhimpunan Alumni Jerman Aceh (PAJ) Aceh bekerja sama dengan DAAD mengadakan seminar tentang „Science and Technology Application for Disaster Risk Reduction‟ kegiatan dalam rangka memperingati 10 tahun terjadinya gempa bumi dan tsunami di samudra Hindia terutama di Provinsi Aceh. Seminar berlangsung pada tanggal 22 November 2014 di Hermes Hotel, Banda Aceh. Adapun tujuan dari seminar adalah untuk mengevaluasi proses belajar mengajar sebagai dampak dari tsunami yang terjadi di Aceh. Dimana dengan kegiatan ini diharapkan dapat mencari solusi untuk mengurangi dampak yang ditimbulkan akibat dari bencana alam melalui penerapan ilmu pengetahun dan teknologi Dengan seminar ini diharapkan akan menghasilkan rekomendasi yang berguna bagi pemerintah dan institusiinstitusi terkait berkaitan dengan pengurangan dampak yang terjadi akibat dari bencana alam. Kegiatan ini selain diikuti oleh alumni Jerman yang ada di Aceh juga diikuti oleh alumni Jerman dari berbagai provinsi yang ada di Indonesia. Hasil dari kegiatan ini diwujudkan dalam bentuk prosiding. Pelaksanaan seminar dan penyusunan prosiding didukung oleh berbagai pihak, karena itu ucapan terima kasih disampaikan kepada: 1. Perhimpunan Alumni Jerman (PAJ) Cabang Aceh 2. The German Academic Exchange Service (DAAD) 3. Pemerintah Provinsi Aceh 4. Para narasumber : Dr. Horst Letz (Zentrum fuer Tsunami-Fruehwarnung GFZ Potsdam, Germany) Prof. Dr. Edvin Aldrian (Director of Centre For Research and Development, BMKG), Said Rasul (The Head of Disaster Management Agency in Aceh Province) dan Dr. Ella Meilianda, MSc. (Program Manager Tsunami and Disaster Mitigation Research Center (TDMRC) Syiah Kuala University) 5. Pemakalah yang telah ikut berpartisipasi dalam kegiatan yang diselenggarakan oleh PAJ Aceh. 6. Teman seperhimpunan dari berbagai provinsi yang telah berpartisipasi pada acara ini. 7. Berbagai pihak yang telah telah ikut membantu baik moril maupun material demi suksesnya acara ini. 8. Syiah Kuala University Press i

Prosiding ini diharapkan dapat bermanfaat serta dapat mamberi kontribusi positif bagi semua pihak yang berkepentingan dalam rangka mengurangi risiko yang ditimbulkan akibat dari bencana alam. Banda Aceh, Januari 2015 Editor

ii

GUBERNUR ACEH Sambutan Pada Seminar Perhimpunan Alumni Jerman Sabtu, 22 November 2014 “BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM” Assalamualaikumwarahmatullahiwabarakatuh Alhamdulillahi Rabbil„alamin, Wassalatu Wasalamu„ala Asyrafil Ambiai Walmursalin. Wa‟ala alihi Washahbihi ajma‟in.

Yang Kami hormati (disesuaikan); Pimpinan dan Anggota DPR Aceh, Keluarga Besar Perhimpunan Alumni Jerman–wilayah Aceh, Para nara sumber, akademisi dan perwakilan dari berbagai institusi yang ada di Indonesia, Hadirin hadirat serta undangan yang berbahagia. Puji syukur tak henti-hentinya kita panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan hidayah-Nya, sehingga atas izin-Nya jua, kita dapat bersilaturrahmi dan berdiskusi di forum ini dalam sebuah Seminar tentang Kebencanaan dengan judul “Science and Technology Application for Disaster Risk Reduction” atau dalam bahasa Indonesia kita artikan sebagai “Upaya penerapan teknologi dan ilmu pengetahuan untuk menanggulangi dampak bencana”. Shalawat dan salam marilah kita sanjungkan ke pangkuan Alam Nabi Besar Muhammad SAW, beserta keluarga dan para sahabat Beliau sekalian. Sebagaimana kita ketahui, kegiatan ini merupakan salah satu rangkaian untuk memperingati 10 tahun bencana Tsunami di Aceh. Harapan kita, dari seminar ini kita semakin meningkatkan pengetahuan tentang kebencanaan, di samping memperkuat pemahaman tentang kemungkinan penggunaan teknologi untuk mendukung programprogram mitigasi bencana.

iii

Pemerintah Aceh sangat memberi apresiasi atas gagasan pelaksanaan seminar ini. Setidaknya ini menjadi bukti betapa partisipasi masyarakat sangat dibutuhkan dalam memperkuat pembangunan yang ada di Aceh. Untuk itu, pada kesempatan ini kami mengucapkan terimakasih atas dukungan yang telah diberikan keluarga besar Perhimpunan Alumni Jerman –wilayah Aceh atas pelaksanaan acara ini. Kepada para nara sumber serta seluruh undangan yang berasal dari luar Aceh, kami mengucapkan Selamat datang. Semoga kontribusi saudara-saudari dapat memperkuat penyadaran masyarakat Aceh tentang pentingnya pengetahuan di bidang kebencanaan. Hadirin yang berbahagia, Sebagaimana tercantum dalam RPJM Aceh 2012-2017, penanganan bencana merupakan salah satu program prioritas Pemerintah Aceh sebagaimana yang diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh dan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 Tentang Penanggulangan Bencana. Program itu menegaskan bahwa penanggulangan bencana mesti dilaksanakan secara terpadu, terkoordinasi dan menyeluruh. Masyarakat juga dituntut tanggap terhadap bencana, sehingga tingkat kerugian akibat bencana dapat kita minimalisir. Bagi kita yang tinggal di Aceh, masalah bencana ini perlu mendapat perhatian serius mengingat wilayah ini termasuk salah satu kawasan rawan bencana. Masih belum hilang dari ingatakan kita semua, betapa dahsyatnya bencana Tsunami yang pernah melanda wilayah ini 10 tahun silam. Kita tentu berdo‟a kepada Allah agar bencana itu tidak lagi terjadi di Aceh. Selain berdo‟a, langkah preventif juga harus kita persiapkan mengingat Tsunami adalah sebuah gejala alam yang tidak bisa ditebak. Wilayah Aceh termasuk rawan dengan bencana Tsunami, karena perairan Aceh merupakan jalur patahan gempa, di mana dasar lautnya kerap mengalami pergeseran. Tapi situasi ini tidak perlu membuat kita dicekam ketakutan. Yang penting adalah bagaimana kita memiliki wawasan tentang kebencanaan, sehingga ketika bencana datang, kita tahu cara meresponnya. Untuk mengantisipasi potensi bencana ini, ada beberapa langkah yang telah kita lakukan, di antaranya: 1. 2.

3. 4.

Memasang alat Early Warning System di beberapa lokasi sebagai bentuk peringatan dini. Menyediakan sarana dan prasarana untuk penyelamatan diri. Misalnya, kita telah memasang jalur lalu lintas untuk penyelamatan Tsunami serta membangun gedunggedung sebagai tempat penyelamatan di berbagai tempat. Memberi pelatihan bagi para relawan, tim penanganan bencana dan pekerja sosial untuk penanggulangan bencana ini. Mengkampanyekan kesadaran akan bencana kepada masyarakat lewat berbagai media. Tujuannya agar masyarakat paham tentang kebencanaan dan mengerti langkah-langkah yang mesti dilakukan manakala terjadi bencana. Di samping empat langkah itu, pembahasan dan diskusi penerapan teknologi dalam membaca gejala alam terkait potensi Tsunami, selayaknya kita bahas secara iv

terus menerus. Walau sampai saat ini belum ada alat yang mampu memastikan kapan bencana itu datang, tapi setidaknya ada analisis ilmiah yang mampu memprediksi dan melihat gejala-gejala yang tampak. Dalam kaitan ini, tentu peran para tenaga ahli sangat kita harapkan bisa memberi kontribusi untuk penerapan teknologi ini. Saya kira inilah salah satu daya tarik seminar yang dilaksanakan hari ini. Berbeda dengan seminar-seminar sebelumnya yang banyak membahas tanda-tanda alam atau sosialisasi kebencanaan, seminar ini justru mencoba mengupas dari sisi teknologi untuk membaca potensi Tsunami. Kami sendiri belum bisa menebak teknologi yang dimaksud. Sejauh ini kita hanya mengandalkan peralatan sederhana untuk melihat gejala alam ini, yaitu alat Early Warning System yang sudah dipasang di enam lokasi di Kota Banda Aceh dan Aceh Besar. Jika memang ada teknologi terbaru untuk memantau atau mereduksi Tsunami, tentu sangat menarik untuk kita diskusikan bersama. Karena itulah, di forum ini telah hadir beberapa ahli di bidang kebencanaan yang diharapkan bisa meningkatkan wawasan kita tentang aplikasi teknologi ini. Jika memungkinkan, teknologi kebencanaan yang ada di Aceh bisa terus kita up date, sehingga perlindungan kepada masyarakat bisa lebih maksimal. Hadirin yang berbahagia, Itu saja sambutan singkat dari saya sebagai pengantar seminar ini. Selanjutnya saya ucapkan selamat berdiskusi kepada saudara-saudari sekalian. Semoga perjuangan kita memperkuat sistem penanggulangan bencana di Aceh mendapat ridha dari Allah SWT. Sebagai penutup, dengan mengucapkan “Bismillahirrahmanirrahim”, “Seminar Nasional Disaster Risk Reduction” dengan judul “Science and Technology Application for Disaster Risk Reduction–The Reflection of 10 Years Indian Ocean Tsunami in Aceh, dengan ini resmi saya nyatakan dibuka. Wabillahitaufiqwalhidayah Wassalamualaikumwarahmatullahiwabarakatuh

GUBERNUR ACEH dr. H. ZAINI ABDULLAH

v

Seminar Nasional Aplikasi Sain dan Teknologi pada Pengurangan Resiko Bencana (Refleksi 10 Tahun Tsunami Samudra Hindia, Di Aceh, Indonesia) (Science and Technology Application for Disaster Risk Reduction (DRR) -The Reflection of 10 Years Indian Ocean Tsunami in Aceh, Indonesia)

Ringkasan M. Rokhis Komaruddin mengkaji tentang penggunaan teknologi penginderaan jauh (remote sensing) untuk memberikan peringatan darurat sebelum dan sesudah bencana melanda. Data hasil penginderaan jauh tersedia cukup banyak misalnya dapat diakses melalui skema pemerintah tunggal, skema Sentinel Asia, International Charter for Space and Major Disaster, penyediaan data gratis oleh provider tertentu, dan lain sebagainya. Pengetahuan tentang ketersediaan data ini penting untuk memungkinkan akses dan pemanfaatannya dalam upaya tanggap darurat kebencanaan. Dalam sesi yang lain Dr. Widjo Kongko memaparkan tentang penggunaan model numeric untuk mendukung perencanaan infrastruktur di daerah rawan tsunami. Hasil pemodelan adalah berupa peta bahaya tsunami yang disusun berdasarkan persamaan numeric air dangkal 2D, simulasi propagasi dan rendaman tsunami. Agus Setiawan melanjutkan topik bahasan tentang penerapan data oceanografi yang mengombinasikan teknologi penginderaan jauh dan komputasi numeric di bawah sebuah proyek bernama INDESO. Fungsi data tersebut dapat digunakan untuk prediksi masa lampau, kini, dan akan datang. Terdapat 7 aplikasi rintisan yaitu pemantauan kawasan budidaya udang dan rumput laut, kawasan terumbu karang dan hutan bakau, pengelolaan terpadu wilayah pesisir, pemantauan tumpahan minyak dan IUU fishing (illegal, unregulated and unreported), serta pengelolaan stok ikan. Aplikasi smartphone dapat digunakan untuk memberikan informasi terkait kebencanaan, terutama sekali secara cepat pasca bencana terjadi. Dr. Luis Mota menyampaikan tentang kemungkinan dan kemudahan penggunaan aplikasi smartphone tersebut untuk membantu masyarakat segera pasca bencana. Metode ini dapat dikembangkan melalui media sosial seperti google, yahoo, big, dan lain sebagainya. Aplikasi tersebut misalnya Emergency 2.0 wiki yang telah digunakan di Amerika Serikat, Australia, New Zealand, dan Singapura. Contoh lain adalah Facebook Safety Check yang dapat digunakan untuk menghubungkan orang-orang pasca bencana. Beberapa alasan yang dikemukakanya antara lain bahwa fasilitas tersebut sudah familiar dalam masyarakat, informasinya dapat disebar secara cepat serta menjangkau banyak orang. Arie Budiansyah membahas bahwa layar televisi, telepon genggam, tablet dan jam pintar dapat digunakan untuk mendisplay dan mendistribusikan data dan informasi pra dan pasca bencana. Peran mesium tsunami Aceh dalam memberikan pengetahuan tentang tsunami kepada masyarakat adalah salah satu cara dalam pengurangan dampak resiko bencana. Hal ini disampaikan oleh Ramadhani M. Bus. Mesium bukan hanya berfungsi sebagai monument namun lebih jauh berfungsi untuk mitigasi kebencanaan, rekreasi dan evakuasi. Mesium berperan untuk meneruskan cerita dari korban hidup kepada pengunjung. Sealin mesium, sekolah berbasis DRR model seperti YES for Safer School juga patut direplikasikan menjadi sekolah yang siaga bencana. Demikian disampaikan oleh Edi Wahyu Sri Mulyono. Melalui gerakan YES untuk sekolah, dapat dwujudkan sebuah sekolah yang aman dan ramah anak. Anak-anak mendapat ilmu dan keahlian untuk mengatasi situasi darurat pasca bencana dengan teratur dan tanpa kepanikan.

vi

Teuku Reza Ferasyi membahas tentang pengamatan terhadap perilaku binatang yang dapat digunakan untuk memprediksikan gempa bumi atau bencana alam lainnya. Hasil interview terhadap 200 responden dari Pulau Simeulue, Aceh Jaya dan Banda Aceh menunjukkan bahwa angsa memberikan respon terhadap gempa 12 jam sebelum kejadian. Bagaimana tingkat akurasi dari respon binatang ini masih memerlukan kajian lebih lanjut. Retno Iswarin Pujaningsih membahas tentang skema diversifikasi tanaman, system asuransi tanaman, penggunaan varietas tanaman yang tahan banjir, tersedianya fasilitas penyimpanan dan penggudangan yang baik, cadangan pakan ternak yang strategis, biosecurity system produksi ternak, cadangan air dan peternakan yang tangguh. Aspek keanekaragaman hayati tersebut apabila berfungsi dengan baik maka akan menjamim ketahanan pangan terutama pada masa tanggap darurat. Mendukung hal tersebut, Muhammad Bata menginisiasikan penggunaan tanaman waru (Hibiscus tilaceus) yang tumbuh di pesisir pantai sebagai pakan baru yang dikombinasikan dengan jerami. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa penggunaan daun dan bunga waru dapat meningkatkan efesiensi penggunaan pakan dan meningkatkan produktifitas ternak. Peningkatan produktifitas sapi lokal dengan modifikasi pakan local daerah pesisir pada akhirnya akan mendukung ketersediaan makanan pra dan pasca bencana. Adapun Nurhayati mengambil tema tentang mitigasi bencana untuk mempertahankan produktifitas ternak unggas sehingga kebutuhan protein hewani masyarakat tercukupi pasca bencana. Mitigasi yang dilakukan berupa peringatan dini kebencanaan, dan pendidikan dan pelatihan manajemen kebencanaan kepada peternak. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa upaya mitigasi ini dapat mempertahankan keberlangsungan usaha peternakan, bertahannya produktifitas, dan tersedianya produk ternak di pasar. Farah Mulyasari mengangkat tentang peran rumah sakit pasca bencana. Kesiapsiagaan rumah sakit di Jepang merupakan sebuah pembelajaran bagi Indonesia sehingga standar operasionalnya dapat direplikasi pada rumah sakit di Indonesia. Kesiapsiagaan yang baik menghasilkan kinerja rumah sakit yang maksimal dalam melayani masyarakat pasca bencana. Sedangkan Tristia Rinanda mengkaji tentang kasus Multidrug Resistant Tuberculosis (MDR-TB) sebagai salah satu masalah penting yang perlu ditanggulangi pasca bencana. Untuk mengurangi kasus MDR-TB, perlu dilakukan sosialisasi dan diseminasi kepada masyarakat untuk segera mendapatkan pengobatan di rumah sakit terdekat. Pindi Patana membahas tentang fenomena hutan mangrove, antara konservasi dan deforastasi. Fungsi hutan mangrove sendiri sangat penting untuk melindungi wilayah pesisir dari abrasi maupun dari bencana alam seperti tsunami. Hal ini terbukti dengan kontrasnya dampak tsunami pada wilayah pesisir yang dilindungi mangrove dan wilayah pesisir yang mangrovenya sudah terdegradasi. Dengan demikian upaya rehabilitasi mangrove perlu diintensifkan sebagai salah satu upaya untuk mengurangi resiko bencana. Semeidi Husrin mengambil tema tentang peran hutan pantai untuk mitigasi kebencanaan. Ketika hutan pantai tidak dapat melindungi Jepang dari tsunami 2011 pengkajian mendalam dilakukan dengan memperhatikan aspek lingkungan lainnya di pantai yang berfungsi untuk meredam tsunami. Semua aspek diperhitungkan misalnya aspek morfologi hutan, hidrodinamika, orientasi garis pantai, batimetri dan topografi. Azwar menggambarkan kondisi pasca tsunami dengan kehancuran infrastruktur nelayan seperti perahu. Selama ini masyarakat membuat perahu dari bahan kayu berkualitas yang semakin langka untuk ditemui apalagi kalau diperlukan dalam jumlah besar. Pembuatan perahu nelayan dari bahan komposit adalah kecerdasan lain yang patut dikembangkan dalam rangka mempercepat rekonstruksi pasca bencana sekaligus dalam rangka konservasi sumber daya alam. vii

Aspek mental adalah suatu dampak dari kebencanaan yang membutuhkan recovery dalam masa yang panjang dan menyangkut dengan satu generasi manusia. Marthoenis memimpin diskusi dengan tema ini. Dia menyampaikan bahwa training, edukasi, dan simulasi perlu dilakukan untuk menghilangkan trauma dan membangun semangat baru untuk meneruskan perjuangan hidup. Muzli mendiskusikan tentang klasifikasi tanah permukaan yang diperlukan untuk menjamin keutuhan sebuah bangunan setelah hentakan gempa bumi karena data menunjukkan bahwa jatuhnya korban adalah karena tertimpa oleh bangunan runtuh. Hasil kajian mereka menunjukkan bahwa tipe tanah permukaan di wilayah Banda Aceh adalah tipe D (stiff soil) dan E (soft soil). Karakteristik letusan freaktif Gunung Merapi dilakukan berdasarkan analisis seismogram jarak dekat dan jauh. Ade Anggraini memaparkan bahwa hasil analisis mereka antara lain tipe gempa vulkanik dan kandungan frekuensi letusan freatik tersebut. Karakteristik ini berguna untuk membedakan berbagai jenis letusan yang mungkin terjadi akibat aktifitas gunung Merapi, memprediksikan dampaknya dan mengatur strategi antisipasinya. Syaifuddin Yana mengkhawatirkan tentang penumpukan limbah plastik sehingga pengolahan sampah plastik diharapkan dapat dilakukan dalam usaha konservasi alam yang dapat menghasilkan nilai tambah secara ekonomi kepada masyarakat. Aksi ini juga akan mendukung pengurangan resiko bencana. M. Abdul Kholiq mengambil tema tentang teknologi penanganan tumpahan minyak berbasis bahan lokal. Tumpahan minyak ini berdampak negative berkepanjangan bagi lingkungan. Teknik yang diperkenalkannya adalah dengan bioremediasi, biodispersan berbasis mikroba, oil absorbent dan oil skimmer.

viii

Rekomendasi

1.

2. 3.

4. 5. 6. 7.

Dengan kajian komprehensif yang melibatkan multidisiplin ilmu pengetahuan ini, seminar nasional Perhimpunan Alumni Jerman memberikan beberapa rekomendasi sebagai berikut: Aceh sebagai daerah dalam kawasan rawan bencana harus optimis untuk terus membangun dan memanfaatkan situasi kerawanan ini sebagai suatu peluang untuk bangkit menjadi bangsa yang maju. Seluruh Alumni Jerman dan masyarakat Aceh diharapkan untuk menumbuhkan rasa tanggung jawab dan berpartisipasi aktif dalam upaya pengurangan resiko bencana. Ketersediaan data dan aplikasinya untuk pra dan pasca bencana perlu dibuka secara luas sehingga dalam hal ini Pemerintah melalui skema tunggalnya atau dengan skema lain perlu menjamin ketersediaan data dan informasi tersebut. Pemerintah Aceh perlu mendukung penelitian-penelitian berbasis pengurangan resiko kebencanaan. Pemerintah, NGO dan Swasta perlu mendukung eksistensi mesium tsunami dan sekolah siaga bencana. Pemerintah Aceh perlu melakukan rehabilitasi hutan mangrove di sepanjang pesisir Aceh. Pemerintah Aceh perlu menetapkan peraturan-peraturan yang tegas terkait konservasi sumber daya alam.

ix

DAFTAR ISI

Halaman KATA PEGANTAR………………………………………………………………..... KATA SAMBUTAN GUBERNUR PROVINSI ACEH ………………………….. RINGKASAN DAN REKOMENDASI……………………..……………………… DAFTAR ISI……………………………………………………………………...…... BAGIAN I . 1.

i iii vi x

INVITED PAPERS

Reducing the Risk with InaTEWS German-Indonesian Cooperation on Tsunami Early Warning System Horst Letz and GITEWS Team…………………………………………...……… 1-6

2. Future Research Direction of Earthquake and Tsunami Detection in BMKG T. Hardy dan E. Aldrian………………………………………………………...... 7-21

BAGIAN 2. PENGEMBANGAN TEKNOLOGI UNTUK MITIGASI KEBENCANAAN 1.

Penginderaan Jauh dan Bencana: Ketersediaan Data dan Aplikasinya untuk Tanggap Darurat M. Rokhis Khomarudin dan M. Priyatna………………………….…...……… 22-26

2.

Pemodelan Tsunami untuk Mendukung Perencanaan Infrastruktur di Pesisir Selatan Yogyakarta Widjo Kongko........................................................................................................ 27-34

3.

Penerapan Oseanografi Operasional Melalui Infrastructure Development of Space Oceanography (INDESO) Project untuk Mendukung Program Disaster Risk Reduction (DRR) di Indonesia Agus Setiawan …………………………………………………………...………. 35-41

4.

Mobile Apps and Post-Disaster Safety Check: Examples of Existing Technology Mota, L., Sugianto, S. and Rizal, S.…………………………………………….. 42-45

5.

Pemanfaatan Layar Perangkat TIK Masyarakat Untuk Penanganan Data dan Informasi Bencana (Studi kasus integrasi perangkat Digital Signage dan SMS Gateway) Arie Budiansyah.………………………………………………………………… 46-53

6. Roles of Aceh Tsunami Museum Towards Global Disaster Risk Reduction Efforts: A Local Knowledge-Based Approach of Future Community‟s Resilience R. Fahlevi dan Rahmadhani…………………………….............................……. 54-66

x

7. Prakarsa Gerakan Yes for Safer School: Suatu Model Pengurangan Risiko Bencana Berbasis Sekolah di Indonesia E. W. S. Mulyono and Y. Sriyulianti…………………………………………… 67-75 8. Survey of Potential Animals for Earthquake Predictor in Banda Aceh: A Study Toward Development of Alternative Technology for Disaster Risk Reduction T. R. Ferasyi, M. Sabri, Hamdani, Azhari and Razali………………………... 76-79 BAGIAN 3. PENDEKATAN MULTIDISIPLIN UNTUK PENGURANGAN RESIKO KEBENCANAAN 1. Penggunaan Keanekaragaman Hayati pada Pengurangan Dampak Bahaya : Studi pada Penerapan Teknologi Pangan dan Pakan Berdasarkan Kearifan Lokal Retno I. Pujaningsih……………………..……………………………………… 80-85 2. Peningkatan Produktifitas Sapi Lokal Sebagai Penyedia Pangan Berkualitas pada Saat Bencana Melalui Perbaikan Pakan dengan Aditif Alami Muhammad Bata………………………………….……………………………... 86-93 3. Mitigasi Bencana untuk Mempertahankan Produktivitas Ternak Unggas dan Aksesibilitas Terhadap Protein Hewani Nurhayati………………………………………………..……………………….. 94-100 4. Kesiapsiagaan Rumah Sakit di Jepang: Pembelajaran Untuk Aceh Farah Mulyasari…................................................................................................. 101-112 5. The Use of Multidrug Resistant Tuberculosis Clinical Criteria as an Effective Instrument in Early Case Detection after Disaster T. Rinanda and Mulyadi.……………… ………..…..…..................................... 113-118 6. Pelajaran dari Hutan Mangrove: Rehabilitasi, Konservasi dan Konversi P. Patana dan Yunasfi………………………………………….……………….. 119-129 7. Hutan Pantai Untuk Mitigasi Tsunami: Mitos, Realitas dan Tantangan ke Depan Semeidi Husrin ….................................................................................................. 130-144 8. Rekayasa Bahan Komposit Sandwich Serbuk Kayu Dan Fiberglass Sebagai Bahan Perahu Nelayan Azwar , Saifuddin dan A. S. Ismi……………………………………….…........ 145-154 9. Reducing Risks from Disaster by Building The Psychological Resilience M. Marthoenis and M. Schouler-Ocak………………………………….……… 155-158 10. Studi Klasifikasi Tanah Permukaan untuk Wilayah Banda Aceh M. Muzli, A. Rudyanto, A.P. Sakti, F.S. Rahmatullah, K.R. Dewi, E. Santoso, Muhajirin, S. Pramono, R. Pandhu Mahesworo, A. Jihad, T. Ardiyansyah, L.A. Satria, R.N. Akbar dan R.Madijono…………………….. 159-167 xi

11. Karakteristik Erupsi Freatik Merapi Berdasarkan Analisis Seismogram Nearfield dan Far-field: Sebuah Hasil Awal A. Anggraini, W. Suryanto, A. Rahman, B. Luehr dan K. Sri Brotopuspito................................................................................................ 168-172 12. Pengelolaan Limbah Plastik Sebagai Nilai Tambah Ekonomi dan Sebagai Upaya Pengurangan Dampak Resiko Bencana S. Yana, Badaruddin dan H. Syahputra……….………………………..……... 173-178 13. Pengembangan Teknologi Penanganan Tumpahan Minyak Berbahan Baku Lokal M. A. Kholiq, Nida Sopiah, Insan N. Sulistiawan, F. E. Priyanto dan D. A. Sarasputri............................................................................................... 179-184

xii

Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Sain dan Teknologi Pada Pengurangan Resiko Bencana Banda Aceh, 22 November 2014

Reducing the Risk with InaTEWS German-Indonesian Cooperation on Tsunami Early Warning System Horst Letz1 and GITEWS Team1 1

DAAD Seminar on Science & Technology Applications for Disaster Risk Reduction Banda Aceh, 22-23 November 2014

STATUS OF THE PROJECT The German-Indonesian Tsunami Early Warning System for the Indian Ocean (GITEWS) was fully handed over to Indonesia on 29 March 2011. Since then, the responsible system operator responsible has been the Meteorological, Climatological and Geophysical Services (BMKG) in Jakarta. Since going into operation, the warning system has successfully registered thousands of earthquakes and more than ten tsunamis in Indonesia. Earthquake news and tsunami warnings are issued less than five minutes after a quake, followed by updates or an all-clear. GITEWS has been successfully completed. It issues a warning very quickly and precisely, or signals the all-clear and its enhancement capability for the entire Indian Ocean is also a part of this development work. More than 30 people work at the warning centre in Jakarta in 24/7 shifts. The system has been internationally evaluated and recognized as one of the most advanced tsunami warning systems worldwide. This is the result of major efforts since the disaster of 2004. GITEWS phase (2005 to 2011) On 26 December 2004 at 7:58 local time (00:58 universal time UT), the secondstrongest earthquake measured to date occurred at the northwestern tip of Sumatra, with a fracture length of around 1200 kilometers and a magnitude Mw = 9.3. More than 250 people lost their lives; 5 million people required immediate assistance and 1.8 million were left homeless. Indonesia alone suffered 170,000 deaths. Germany was also affected 537 citizens lost their lives, the highest loss from a single event since the Second World War. The extent of the disaster, the intense devastation of other regions and the associated suffering, particularly in Indonesia, Thailand and Sri Lanka, eclipsed all previously experienced scales. The main reason for the high number of victims: there was no organizational or structural possibility for early warning in the entire India Ocean. The international community of states, including Germany, responded with immediate support. With the GITEWS project (German-Indonesian Tsunami Early Warning System, 2005-2011), Germany provided a significant contribution - over and above the immediately aid for flood victims - setting up the heart of an integrated, stateof-the-art, efficient Tsunami early warning system in Indonesia. Through the PROTECTS (Project for Training, Education and Consulting for Tsunami Early Warning Systems, 2011-2014), it was subsequently ensured that the employees of the participating institutions could independently continue operating the early warning system and the diverse technical and organizational components under their own responsibility. Under the auspices of the Intergovernmental Oceanographic Commission of UNESCO and with the cooperation of international partner institutions from Germany, the United States, China and Japan, a concept was developed for a tsunami early warning system for Indonesia, which presently performs its service as InaTEWS (Indonesian Tsunami Early Warning System). On 11 November 2008, InaTEWS was ceremoniously 1

Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Sain dan Teknologi Pada Pengurangan Resiko Bencana Banda Aceh, 22 November 2014

inaugurated by the President of the Republic of Indonesia, Dr. Susilo Bambang Yudhoyono. The installation phase of InaTEWS was characterized by the development of required hardware and control programs as well as appropriate strategies and procedures, the development of standards and processes. The Indonesian Meteorological, Climatological and Geophysical Service BMKG (Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika), which is responsible for the operation of the early warning system, reached the operational condition step-by-step and via various phases of the system setup by March 2011. During the GITEWS phase (2005 to 2011), a series of German institutions were involved, whose task was the ("upstream") technical setup of the system. The local administration and population were involved step-by-step in pilot regions ("downstream"). After successful practical implementation, this resulted in an end-to-end system. PROTECTS phase (2011 to 2014) The operation and maintenance of the system and the implementation of an alarm require a high level of competence and practical experience. This made it necessary to train scientific and technical staff of the BMKG and BIG (Badan Informasi Geospasial) services professionally on site. To achieve this goal, the participating institutions received training and advanced training in the sustainable operation of InaTEWS in selected training courses, internships and drills with the PROTECTS program, from June 2011. More than 192 training courses, which covered all aspects of the operation and maintenance of the tsunami early warning system, were successfully implemented. The training courses were conducted with the aim of capacity development: In order to successfully and permanently maintain a tsunami early warning system, the persons and technical experts who operate, maintain functionality and enhance the system must receive advanced training and advice. The political decision-makers, who are responsible for the warnings and responses, as well as the population itself, must also be involved in the process. In addition to the technical development, it is primarily "soft skills", for which training was provided, to correctly assess the situations in an emergency and then make decisions, which save human lives. With the development of measures, regulations and technical instructions, PROTECTS provided advice that serves to implement the BMKG warnings in terms of practical protective actions at the local level. This also includes the development of risk and evacuation maps, programs for training local decision-makers and planners, as well as for enlightening the affected population. On 12 October 2011, IOWAVE11 drill was conducted in the Indian Ocean, with which the functionality and capability of InaTEWS was tested in taking of the role of the Regional Tsunami Service Provider (RTSP). The course of the drill and the successful evaluation led to Indonesia administering a dual function since then, alongside Australia and India, as a National Tsunami Warning Centre and as an RTSP, therefore having the responsibility for warning 28 Indian Ocean rim countries in good time about a threatened tsunami. In this way, another important functional level was successfully realized, which was the result of the continuous enhancement and complete upgrade of InaTEWS. GITEWS/PROTECTS made an impressive contribution to this success and the associated international visibility.

2

Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Sain dan Teknologi Pada Pengurangan Resiko Bencana Banda Aceh, 22 November 2014

CONCEPT New scientific processes and innovative technologies distinguish this system from the previous tsunami warning systems. Due to the specific geological situation in Indonesia, the previously used, established tsunami warning systems are not optimal for Indonesia. The earthquakes in the Indian Ocean at Indonesia originate along the Sunda Trench, a subduction zone which extends in an arch from the northwest tip of Sumatra to Flores in eastern Indonesia. If a tsunami originates here, in an extreme case, the waves reach the coast within 20 minutes, so that only very little time remains for an early warning. Therefore, the concept of the entire system was based on this prevailing condition. TECHNICAL IMPLEMENTATION Due to the local geology, the advance warning time is extremely short. Therefore, an alarm must be triggered within five minutes after a strong earthquake. That is why a new approach was developed, which is primarily based on model-based coupling of seismological data with GPS measurements and level measurements. More than 300 sensors are distributed across all of Indonesia and supply their data to the warning centre in real time. From this, a newly developed, automated Decision Support System (cf. below Decision Support System DSS) compiles a picture of the situation from this, on the basis of which the decision is made whether to issue an alarm. Therefore, the following steps are taken in the process: Quake location and strength: Ascertainment with seismological data; all earthquakes (worldwide) are recorded. All earthquakes M≥2 are evaluated in the national warning centre. Earthquake information is basically provided. Tsunami warning alerts are only issued if a tsunami is expected (earthquake magnitude >7). Fracture mechanism: only strong sub-oceanic earthquakes with a distinct vertical component can cause tsunamis. An initial assessment as to whether the ocean floor has moved vertically can be determined using land fixed points (cf. below GPS Shield). Ascertainment of a tsunami: On the coasts and on the offshore islands of Indonesia, tide gauges were installed with GPS components, which monitor the sea level. The data are integrated into the warning process (cf. below GPS Level). Decision-making: within less than five minutes, the decision can be made as to whether a warning needs to be issued and - if so - to which coastal sections (cf. below DSS). TECHNICAL INNOVATION, MODERNIZED APPROACH GITEWS forms the core structure of the InaTEWS Indonesian Tsunami Early Warning System. With the setup of GITEWS, due to the specific conditions of Indonesia, with its extremely short advance warning times, the experiences of the previously existing tsunami early warning systems for the Pacific in the USA and Japan could only be exploited to a limited extent. As a result of this challenge, the newly developed components and procedures and their interaction in GITEWS/InaTEWS make the system one of the most state-of-the-art tsunami early warning systems worldwide.

3

Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Sain dan Teknologi Pada Pengurangan Resiko Bencana Banda Aceh, 22 November 2014

Seiscomp3 The basic requirement for the early warning system is fast and reliable ascertainment of the site and magnitude of an earthquake. SeisComp3 was developed by the GEOFON working group of the GFZ and can reliably determine earthquake strength and location within around four minutes, even with strong earthquakes. This makes SeisComp3 unique worldwide. GFZ provided this system to the community free of charge, so that all countries bordering the Indian Ocean have implemented this system quasi as standard. GPS-Shield Strong quakes cause a considerable horizontal and vertical displacement on the Earth's surface, which can be several meters long, both horizontally and vertically and can be measured with GPS. Subject to an accordingly dense measurement network, this "GPS Shield", together with the seismological data, is able to characterize the earthquake fracture within 5 minutes, so that the strength and expansion of a tsunami can be calculated. This new procedure has been made ready for use in GITEWS and is now used as a standard method for tsunami identification in the near field. GPS Tide Gauges GPS tide gauges monitor the sea level. The changes in water level caused by a tsunami are recorded and integrated into the warning process. The GITEWS gauges record the changes using three types of sensors: Pressure, radar and floaters and are additionally equipped with GPS receivers to determine a possible vertical displacement of the surface. In the meantime, reliable level data are not only available in Indonesia, but also in other countries bordering the Indian Ocean. The data are also available in public databases of the IOC. Webcams are also installed for observation at individual exposed sections of coastline. DSS Decision Support System The Decision Support System is one of the key elements of the warning centre in Jakarta. The results of the sensor data networks merge here, are compared to precalculated modeling and thereby create a picture of the situation and propose a warning alert, if necessary, which must then be released by the scientists on duty. If necessary, precalculated risk maps can also be displayed for decision-making. The DSS was developed by the German Aerospace Centre (DLR) within the context of the GITEWS. Modeling System The situation assessment and generation of warning alerts is based on modeling results. From a small amount of data, which is available within the first approx. 5 minutes after the occurrence of an earthquake (earthquake location, magnitude, information of the GPS Shield, if applicable), an extensive situation status can only be generated using modeling. This takes place, on the one hand, with pre-calculated, high-resolution scenarios in a database and on the other hand (and only in the last few years) through a less high-resolution, but online calculating computer process. In addition to the tsunami calculation (running time to the coast, wave height at the coast), the high-resolution scenarios also contain calculations of the subsequent floods, which is a crucial input factor for all risk assessments and e.g. evacuation measures. This is supplemented with constant updates using the online tool. Therefore, both options (pre-calculated scenarios and online tool) will always be used. The dispatch of the warning alerts by BMKG takes place 4

Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Sain dan Teknologi Pada Pengurangan Resiko Bencana Banda Aceh, 22 November 2014

through various and technically autonomous communication channels and is defined by "standard operating procedures". Buoy System Tsunami buoys (also referred to as tsunameters) are not autonomous WARNING systems! In all tsunami warning systems worldwide, they are MEASUREMENT instruments for the verification of a tsunami. The most important information, namely, the fast earthquake location and magnitude, without which either a simulation or a warning can be generated, can NOT be supplied by buoy systems. Buoy systems for the direct measurement of a tsunami were initially part of the research concept. The further development of the GPS Shield made it possible to discontinue pursuing the buoy concept. Therefore, buoys have no longer by part of the operational warning system since 2010, so that the high maintenance cost of buoy installations near coastlines can also be omitted. Chronological sequence of the warning process The system is based on 300 different land-based sensor systems. The data from these sensors are transferred in real-time to the control room in the warning centre and are aggregated there in the state-of-the-art Decision Support System (DSS) and implemented into a situation status. The warning takes place on the basis of very fast, precise earthquake recording and evaluation, which forms the heart of the warning system. The fast determination of earthquake parameters (location, depth, magnitude) through 160 seismometers on land is the first and most important basis for the tsunami preview through modeling and the generation of a warning alert, which is based on this. The first situation status is then substantiated further through additional data from GPS stations and tide gauges along the coast of Indonesia. The verification of a tsunami takes place with tide gauges, which are also equipped with GPS sensors. Implementation process Right from the start, GITEWS was planned with an end-to-end approach. This is comprised of setting up instrument networks for measuring the natural disaster (tsunami, earthquake), the decision-making support on the basis of a modeling system for generating situation assessments, a country-wide risk assessment with the creation of hazard, vulnerability and risk maps and the capacity development with authorities, local decision-makers and administrations, as well as affected local companies and the hotel industry. This work on the various fields of activity was performed in parallel right from the start, whereas constant coordination took place between the fields of activity and the national and international partners involved. The installation phase of GITEWS was characterized by the development of necessary system components, on the one hand, and by the development of appropriate strategies, information materials, standards and approaches, on the other hand. BMKG, operator of the early warning system, reached the operational status step-by-step over various phases of setting up the system. During the GITEWS phase (2005 to 2011), a series of German institutions were involved, under the auspices of the German Centre for Geosciences GFZ, whose task was the technical setup of the system. The contributions of other donor countries were integrated. Capacity development measures in the downstream area (Disaster Reduction Strategy) were implemented in pilot regions, in cooperation with the local administrations and the population. The approaches, processes and products, e.g. the TsunamiKiT are transferable to other parts of Indonesia and form the bases for country-wide implementation. 5

Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Sain dan Teknologi Pada Pengurangan Resiko Bencana Banda Aceh, 22 November 2014

Warning Centre The data from the numerous measuring instruments (seismometers, tide gauges, GPS instruments) converge in the Warning Centre in Jakarta. Here, they are evaluated and processed by specialized and partially newly developed sensor systems. Furthermore, a simulation system is available in the Warning Centre, which can access a large database with pre-calculated tsunami scenarios for the Sunda Arch and can select the most appropriate scenarios within seconds on the basis of current sensor measurement values. This database has been updated and enhanced several times over the years. A second simulation system makes it possible to calculate the tsunami effects of a sea-quake for other larger coverage areas in lower detail online. To support the warning room staff with the assessment of whether a tsunami has been generated, when and where which wave height can be anticipated and whether and which coast-specific warning information needs to be issued, an innovative Decision Support System (DSS) has been developed and put into operation. The DSS has extensive databases regarding geobasis, risk and vulnerability data and can create a situation status and generate decision-making recommendations on the basis of pre-processed sensor data and using both simulation systems. If the warning room staff issues a warning, the DSS produces relevant warning products that are forwarded to the disaster protection authorities, emergency services and media. These can be used to warn the population quickly and in a targeted manner and evacuation measures can be initiated. The potential of state-of-the-art earth observation technologies in the event of a tsunami disaster has been evaluated on the basis of studies. The system has been in operation since 2008 and has been optimized and further enhanced since then. The DSS, approved for operational implementation since August 2010, was adapted on the basis of the practical experience and requests of the operators. Among other things, the database has been updated and significantly enhanced with new tsunami scenarios and a DSS upgrade was put into operation in October 2011 to supply all countries bordering the Indian Ocean, which allows Indonesia to administer the role of a UNESCO/IOC Regional Tsunami Service Provider (RTSP).

6

Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Sain dan Teknologi Pada Pengurangan Resiko Bencana Banda Aceh, 22 November 2014

Future Direction Of Earthquake and Tsunami Detection Research T. Hardy1 dan E. Aldrian1 1

Pusat Penelitian dan Pengembangan BMKG, Jl. Angkasa 1 No. 2 Kemayoran Jakarta Pusat 10720

ABSTRAK Letak indonesia yang diapit oleh lempeng-lempeng tektonik raksasa yang saling bertumbukan satu sama lain dan juga banyaknya sesar-sesar yang membentang di sepanjang wilayah telah menempatkan indonesia pada kerawanan yang tinggi terhadap bencana gempa bumi dan tsunami. Tingginya kejadian gempa bumi dan tsunami di Indonesia menumbuhkan kesadaran kita akan arti pentingnya penelitian yang intensif di bidang gempa bumi dan tsunami. Tulisan ini mencoba merangkum penelitian-penelitian tentang gempa bumi dan tsunami yang telah dilaksanakan di Puslitbang BMKG, maupun yang akan direncanakan untuk dilakukan pada tahun-tahun selanjutnya. Puslitbang BMKG telah melakukan beberapa penelitian dan pengembangan terkait upaya deteksi gempa bumi dan tsunami, antara lain upaya monitoring precursor gempa bumi melalui parameter geofisika, geo-atmosferik, geokimia (radon) dan geodetik (TEC-GPS), sistem monitoring gempa bumi JISVIEW, sistem penentuan potensi tsunami menggunakan perhitungan durasi rupture, periode dominan, dan T50Ex. Arah penelitian ke depannya adalah upaya early warning tsunami menggunakan jaringan data GPS yang diharapakan bisa lebih memperkuat sistem InaTEWS yang selama ini sudah berjalan. Kata kunci: Gempa bumi, tsunami, early warning, GPS ABSTRACT Location of Indonesia which is flanked by giant tectonic plates that collide with one another and also the number of faults that spreads along the region has put Indonesia on a high vulnerability of earthquake and tsunami disaster. The high frecuency of earthquake and tsunami in Indonesia raise our awareness of the importance of intensive research in the field of earthquake and tsunami. This paper attempts to summarize the research on earthquake and tsunami that have been implemented in the Central Research Institute for BMKG, and which are planned to be done in subsequent years. Research and Development BMKG has been doing some research and development efforts related to the earthquake and tsunami detection, i.e monitoring efforts of earthquake precursors through geophysical parameters, geo-atmospheric, geochemical (radon) and geodetic (TEC-GPS), JISVIEW earthquake monitoring system, system of determining tsunami potency using rupture duration calculation, dominant period, and T50Ex. The direction of future research is an attempt to use a tsunami early warning network of GPS data that is expected to further strengthen InaTEWS system that has been running. Key words: Earthquake, tsunami, early warning, GPS

7

Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Sain dan Teknologi Pada Pengurangan Resiko Bencana Banda Aceh, 22 November 2014

PENDAHULUAN Gempa bumi tektonik adalah gempa bumi yang diakibatkan oleh aktifitas lempeng tektonik benua dan samudera (gempa subduksi), maupun oleh pergerakan patahan (sesar) yang ditimbulkan oleh interaksi lempeng tektonik tersebut (gempa kerak dangkal). Sunarjo, et al., (2010) Indonesia berada dalam zona interaksi 4 lempeng utama dunia, yakni: lempeng Samudera India-Australia, lempeng benua Eurasia, lempeng Pasifik serta lempeng mikro Filipina seperti ditunjukan dalam Gambar 1. Akibat interaksi lempeng tektonik, timbul patahan (sesar) di sepanjang wilayah Indonesia seperti ditunjukkan dalam Gambar 2. Pergerakan patahan ini pada akhirnya juga menjadi sumber gempa tektonik. Beberapa diantara sesar tersebut yaitu: Sesar Besar Sumatera, Sesar Cimandiri (Sukabumi) dan Sesar Opak (Jogjakarta).

Gambar 1. Kondisi tektonik Indonesia (Bock, et al., 2004)

Gambar 2. Sesar sepanjang wilayah Indonesia dan slip rate-nya (Irsyam, et al., 2010) Letak Indonesia yang diapit oleh lempeng-lempeng tektonik raksasa yang saling bertumbukan satu sama lain dan juga banyaknya sesar-sesar yang membentang di sepanjang wilayah telah menempatkan indonesia pada kerawanan yang tinggi terhadap bencana gempa bumi dan tsunami. Tingginya kejadian gempa bumi di Indonesia dapat 8

Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Sain dan Teknologi Pada Pengurangan Resiko Bencana Banda Aceh, 22 November 2014

dilihat dari kejadian gempa bumi merusak dan menimbulkan korban yang sangat besar yang terjadi di Indonesia pada dekade terakhir antara lain gempa bumi dan tsunami Aceh, 2004; Nias, 2005; Yogyakarta, 2006; gempa bumi dan tsunami Pangandaran, 2006; Tasikmalaya, 2009; Padang, 2009 serta gempa bumi dan tsunami Mentawai, 2010. Tingginya aktifitas kegempaan di Indonesia dapat terlihat dari hasil rekaman dan catatan 1900-2009 yang menunjukan lebih dari 50.000 kejadian gempa bumi dengan magnituda (M) > 5.0 SR (Skala Richter), bila dalam analisa setelah gempa bumi dihilangkan gempa ikutannya, terdapat 14.000 gempa utama (Main Shocks) seperti yang ditunjukan dalam Gambar 3.

Gambar 3. Distribusi gempa bumi M > 5 yang terjadi di Indonesia tahun 1900-2009 (Irsyam, et al., 2010) Tingginya kejadian gempa bumi dan tsunami di Indonesia menumbuhkan kesadaran kita akan arti pentingnya penelitian yang intensif di bidang gempa bumi dan tsunami. Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika sebagai instansi yang mempunyai tugas melaksanakan tugas pemerintahan di bidang Meteorologi, Klimatologi, Kualitas Udara dan Geofisika juga telah melaksanakan fungsi penelitian bidang geofisika khususnya penelitian di bidang gempa bumi dan tsunami METODE PENELITIAN Tulisan ini mencoba merangkum penelitian-penelitian tentang gempa bumi dan tsunami yang telah dilaksanakan di Pusat Penelitian dan Pengembangan Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika, maupun yang akan direncanakan untuk dilakukan pada tahun-tahun selanjutnya. Puslitbang BMKG melalui litbang bidang Geofisika mempunyai tugas melaksanakan penelitian, pengkajian, dan pengembangan, pengendalian pelaksanaan pengkajian, penelitian dan pengembangan, koordinasi dan kerjasama serta diseminasi hasil penelitian, pengkajian, dan pengembangan di bidang geofisika.

9

Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Sain dan Teknologi Pada Pengurangan Resiko Bencana Banda Aceh, 22 November 2014

HASIL DAN PEMBAHASAN Prekursor Gempa Bumi dan Tsunami Tuntutan masyarakat awam tentang prediksi gempa bumi dan datangnya isu-isu heboh yang meresahkan seputar ramalan gempa bumi yang akan datang pada waktu tertentu di suatu daerah membuat penelitian tentang prediksi gempa bumi menjadi topik yang sangat menarik. Jadi, ”Apakah gempa bumi dapat diprediksi?”. Para ahli kebumian sendiri sampai sekarang masih sering bersilang pendapat tentang hal ini. Sebagian percaya bahwa gempa bumi dapat diramalkan, tetapi sebagian besar pesimis atau bahkan yakin bahwa gempa tidak dapat diramalkan. Kecenderungan baru yang muncul akhir-akhir ini adalah penggunaan konsep bahwa tidak mungkin gempa terjadi tanpa ada tanda-tanda pendahulu/gejala awal (prekursor). Fenomena ini dirumuskan berdasarkan hipotesa bahwa gempa terjadi ketika akumulasi strain energi menyebabkan tingkat stress yang mendekati batas maksimum stress di kerak bumi. Akumulasi strain di sekitar pusat gempa dapat menyebabkan perubahan volumetrik dan mengarah pada semua jenis prekursor yang teramati. Tegangan/regangan tinggi di batuan kerak dapat menghasilkan setiap jenis prekursor yang dapat diamati sebagai representasi dari anomali kondisi normal. Perdebatan internasional masih terus berlangsung tentang rasional dan akurasi metodemetode prediksi yang telah dikembangkan selama ini, sehingga perlu adanya suatu penelitian yang terpadu dan kontinyu untuk mendapatkan hasil terbaik dan saling mendukung berdasarkan pengamatan-pengamatan prekursor gempa bumi ini. Maksud dari penelitian studi precursor gempa bumi secara terpadu ini adalah mencari data-data anomali yang diharapkan dapat digunakan sebagai tanda-tanda awal / prekursor gempa bumi dari berbagai data pengamatan. Selanjutnya adalah menganalisis konsistensi pola anomali yang diduga sebagai prekursor gempa bumi (Nurdiyanto, et al., 2011). Puslitbang BMKG telah memulai penelitian mengenai prediktabilitas gempa bumi yang dimulai pada tahun 2006 dengan kajian tentang struktur 3D bumi, pola rambat gelombang gempa bumi, pengembangan teknik penentuan hiposenter gempa bumi dengan menggunakan model kecepatan 3D, selanjutnya mengkaji dan menerapkan teknik wavelet untuk usaha prediksi periodisitas pelepasan energi gempa bumi, dan pengembangan teknik pemetaan TEC di ionosfer sebagai prekursor gempa bumi. Mulai tahun 2010, Puslitbang BMKG mulai melakukan studi prekursor gempa bumi secara terpadu yang difokuskan berdasarkan parameter-parameter geofisika, geo-atmosferik, geokimia dan geodetik. Penelitian studi precursor gempa bumi secara terpadu tentunya membutuhkan berbagai data pengamatan dengan beberapa metode, sehingga perlu suatu tahapan penelitian secara berkesinambungan (Gambar 4) (Nurdiyanto, et al., (2013). Sistem Monitoring secara Real Time Monitoring data Radon di Observatory Geofisika Pelabuhan Ratu telah dapat dilakukan secara real time di jaringan milik Puslitbang menggunakan teamviewer. Namun diperlukan kapasitas komunikasi data yang besar sedangkan paket internet yang ada di Stasiun Observatory Pelabuhan Ratu terbatas, sehingga pengambilan data masih dilakukan sebulan sekali (semi real time). Sedangkan data magnet dan MT dari Observatory Geofisika Pelabuhan Ratu dan MT dari Kotabumi telah dapat diakses secara online dari server milik Puslitbang melalui sharing jaringan dengan Bidang Geofisika Potensial dan Tanda Waktu dengan pengambilan data semi real time dilakukan tiap bulan. Setiap bulan, dilakukan pengamatan dan pengolahan data untuk melihat pola anomali pada masingmasing parameter. 10

Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Sain dan Teknologi Pada Pengurangan Resiko Bencana Banda Aceh, 22 November 2014

Gambar 4. Tahapan studi prekursor gempa bumi terpadu

Pengembangan Software Pengolahan Data Prekursor Gempa Bumi Pengembangan software yang dilakukan pada kegiatan tahun 2013 berupa penambahan beberapa aplikasi perhitungan danpenggabungan software yang sudah dibuat pada tahun sebelumnya, yaitu software pengolahan data magnetik, MT dan Vp/Vs kedalam satu software aplikasi yang bernama "PRECURSOR 2013" (Gambar 5).Perhitungan yang ditambahkan yaitu perhitungan untuk menghilangkan spike pada data magnet dan MT menggunakan perhitungan statistik Inter Quartile Range (IQR). Pada pengolahan data MT juga ditambahkan fasilitas daily average, yaitu fasilitas untuk menghitung nilai rata-rata harian hasil pengolahan data MT (Nurdiyanto, et al., 2013).

Gambar 5. Tampilan software PRECURSOR 2013 (lingkaran merah merupakan fasilitas yang ditambahkan pada tahun 2013

11

Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Sain dan Teknologi Pada Pengurangan Resiko Bencana Banda Aceh, 22 November 2014

Tabel 2. Rekapitulasi kemunculan anomali parameter seismik, elektromagnetik, geoatmosferik dan geokimia serta kejadian gempa bumi di Observatory Geofisika Pelabuhan Ratu dari bulan Januari - Nopember 2013 (Nurdiyanto, et al., 2013).

Rekapitulasi kemunculan anomali parameter seismik, elektromagnetik, geoatmosferik dan geokimia serta kejadian gempa bumi ditunjukkan pada Tabel 2. Tampak pada bulan Januari ada anomali pada parameter Vp/Vs yang diikuti anomali pada parameter elektromagnetik pada akhir Januari dan awal Februari, tampak pula anomali pada parameter geo-atmosferik dan geokimia pada pertengahan Januari. Lalu 2 dan 26 Februari terjadi gempa bumi dengan kekuatan 5.3 dan 5.3 SR. Pada bulan Agustus juga ditemukan anomali pada Vp/Vs diikuti anomali pada parameter elektromagnetik pada akhir Agustus hingga awal Oktober. Pada 24 Oktober terjadi gempa bumi dengan M 4.7 SR. Lalu pada anomali parameter Vp/Vs bulan Oktober 2013 diikuti anomali parameter elektromagnetik dan geokimia pada awal November 2014 dan tidak lama kemudian pada 13 November terjadi gempa bumi M4.9 SR. Pengembangan Sistem Observasi TEC-GPS Untuk Prekursor Gempa Bumi dan Tsunami Aktivitas gempa bumi banyak mempengaruhi keadaan ionosfer bumi. Litosfer bumi berinteraksi dengan atmosfer sebelum terjadi peristiwa seismik yang kuat, akibat dari adanya anomali medan listtrik yang mempengaruhi jumlah elektron di ionosfer. Bagaimanapun, interaksi seismo-ionosfer adalah peristiwa lokal, yang berarti bahwa daerah tersebut dipengaruhi oleh gempa bumi dan besarnya adalah fungsi dari magnitude kejadian gempa tersebut. Berbeda dengan aktivitas matahari, yang merupakan penyebab utama variasi ionosfer, mempengaruhi seluruh ionosfer. Variasi ionosfer secara global ini bisa digunakan untuk membandingakan fenomena global dengan kejadian seismo-ionosfer pada suatu daerah tertentu (http://geofisika43.blogspot.com/2010). Total elektron content ionosfer (TEC) dapat diperoleh dari sebuah observasi dasar Global Positioning System (GPS). Kumpulan GPS terdiri dari 24 jumlah satelit., yang terdistribusi pada 6 orbit mengelilingi bumi pada ketinggian ~20200 km. masing-masing satelit menstranmisikan sinyal pada dua frekuensi (f1 = 1575,42 MHz dan f2 = 1227,60 12

Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Sain dan Teknologi Pada Pengurangan Resiko Bencana Banda Aceh, 22 November 2014

MHz) dengan dua kode yang berbeda, C/A dan P(Y) dan dengan dua fase pengangkut yang berbeda, L1 dan L2. Tujuan dari penelitian TEC-GPS sebagai precursor gempa bumi dan tsunami adalah menemukan hubungan anomali variasi harian dengan gempa-gempa besar di Indonesia dan area sekitarnya, menggunakan analisis harmonik dari pengamatan TEC pada beberapa stasiun GPS. Hasil dari analisis harmonik menampakkan bahwa amplitudo variasi harian dari TEC mengalami penurunan (anomali negatif) atau peningkatan (anomali positif) beberapa hari setelah gempa bumi utama, dan menggunakan analisis spasial dari anomali amplitudo, magnitude beberapa gempa besar dapat diperkirakan. Pengukuran GPS di permukaan menunjukkan juga variasi yang konsisten dengan gelombang gravity atmosfer yang disebabkan oleh gelombang tsunami (Galvan et al., 2011). Sebagai contoh, gempa bumi besar terjadi di pesisir barat Sumatera Utara, Indonesia pada 26 Desember 2004. Variasi harian GPS TEC diperoleh dari stasiun SAMP selama Desember 2004 yang diperlihatkan oleh Gambar 2. Pada 21 Desember 2004, 5 hari sebelum gempa Aceh, variasi harian GPS TEC ionosfer memiliki amplitudo minimum kira-kira 11 TECU. Penyimpangan amplitudo minimum dari amplitudo rata-rata kira-kira 4.7 TECU. Amplitudo variasi harian TEC diperoleh dari stasiun BAKO pada 21 Desember 2004, kira-kira 15 TECU dan penyimpangan ini dari rata-rata bulanan amplitudo variasi harian TEC ionosfer, yaitu kira-kira -4.5 TECU. Sementara itu dari stasiun IISC, penyimpanagn amplitudo variasi harian TEC kira-kira -3.9 TECU.

Gambar 6. Variasi harian ionosfer TEC diperoleh dari SAMP (bagan atas) BAKO (bagan tengah) dan IISC (bagan bawah) pada Desember 2004 (http://geofisika43.blogspot.com/2010). Penelitian terbaru tentang prekursor gempa bumi adalah pengembangan sistem observasi TEC-GPS untuk mendeteksi prekursor gempa bumi. Berikut adalah gambaran sistem observasi TEC-GPS untuk prekursor gempa bumi di Puslitbang BMKG yang memanfaatkan yang bekerjasama dengan penyedia data GPS-TEC yaitu Badan Informasi Geospasial (BIG) dan LAPAN. (Gambar 7)

13

Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Sain dan Teknologi Pada Pengurangan Resiko Bencana Banda Aceh, 22 November 2014

Gambar 7. Sistem observasi TEC-GPS yang dikembangkan. Gambar 8. Berikut ini adalah data luaran sistem observasi TEC-GPS yang berkaitan dengan Gempa bumi 10 September 2014 M 6.2 Maluku.

Gambar 8. Hasil pengamatan TEC_GPS terkait gempa bumi 10 September 2014 Penelitian prekursor gempa bumi dan tsunami dengan menggunakan pengamatan TECGPS akan terus dilakukan dengan menggunakan jaringan GPS yang lebih banyak dan rapat.

14

Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Sain dan Teknologi Pada Pengurangan Resiko Bencana Banda Aceh, 22 November 2014

Pengembangan Sistem Monitoring Gempa Bumi dan Tsunami Sistem Monitoring Gempa bumi dan Tsunami yang saat ini sudah berjalan di Indonesia adalah InaTEWS. InaTEWS merupakan proyek nasional yang melibatkan berbagai institusi dalam negeri di bawah koordinasi Kementerian Negara Riset dan Teknologi (RISTEK), Institusi lain yang terlibat antara lain: Kementerian Koordinator Kesejahteraan Rakyat (Kemkokesra), Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG), Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional (BAKOSURTANAL), Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional (BAPPENAS, Kementerian Komunikasi dan Informasi (KEMKOMINFO), Tentara Nasional Indonesia (TNI), Polisi Republik Indonesia (POLRI), Kementerian Dalam Negeri (KEMDAGRI), Kementerian Luar Negeri (KEMLU), Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian Lingkungan Hidup (KLH), Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN), dan serta dukungan tenaga-tenaga ahli dari Institut Teknologi Bandung (ITB). BMKG, BAKOSURTANAL dan BPPT merupakan institusi teknis yang melaksanakan operasional pengamatan unsur-unsur gempa bumi, gerakan kerak bumi dan perubahan permukaan air laut, sedangkan Kementerian Negara Ristek, LIPI, DEPDAGRI dan BNPB melaksanakan peningkatan kewaspadaan dan kesiapsiagaan masyarakat. Peran Pemerintah Daerah sangat besar baik dalam pembangunan system operasionalnya apalagi pada peningkatan kewaspadaan dan kesiapsiagaan masyarakat (Pengantar InaTEWS, 2015). Pembangunan InaTEWS dilakukan Pemerintah RI melalui berbagai institusi tersebut di atas dan mendapatkan bantuan yang cukup signifikan dari negara dan organisasi donor, yang meliputi : Pemerintah Jerman, Cina, Jepang, Amerika, Perancis, UNESCO, UNDP, UNOCHA, ISDR. Jerman memberikan kontribusi pada pembangunan InaTEWS dari hulu sampai ke hilir, yang meliputi sistem pemantauan, pengolahan dan analisa, penyebaran, pembangunan kapasitas, peningkatan kewaspadaan dan kesiapsiagaan masyarakat. InaTEWS saat ini sudah beroperasional meskipun belum semua sistemnya terpasang dengan sempurna. Sistem pemantauan muka tengah laut baru 3 terpasang dari rencana 23, system support untuk pengambilan keputusan (Decission Support System – DSS) juga masih memerlukan penyempurnaan. Demikian pula dengan peningkatan kapasitas SDM. Langkah lanjut setelah peresmian InaTEWS adalah pembangunan system maintenance/pemeliharaan dan pembangunan system backup sebagai antisipasi manakala secara tiba-tiba system utama early warning “off”. Setelah melalui operasional pendahuluan yang cukup panjang yakni mulai pertengahan tahun 2005, maka tiba InaTEWS diluncurkan pada bulan November 2008 oleh Presiden Republik Indonesia.

15

Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Sain dan Teknologi Pada Pengurangan Resiko Bencana Banda Aceh, 22 November 2014

Gambar 9. Desain Sistem InaTews (Pengantar InaTEWS, 2015). Kita semua tahu dan yakin bahwa tsunami pasti akan terjadi lagi di bumi pertiwi ini, hanya kapan, di mana dan berapa besarnya yang kita tidak tahu. Harapannya adalah InaTEWS benar-benar bermanfaat semaksimal mungkin dan memberikan peringatan dini tsunami sebelum kedatangan sehingga bisa meminimkan jumlah korban jiwa. Selanjutnya manfaat InaTEWS tidak hanya bagi masyarakat Indonesia, namun juga masyarakat internasional baik yang berada di kawasan ASEAN, di sekitar Samudera India maupun Pasifik Barat Daya dan Laut Cina Selatan. Sistem Monitoring Gempa Bumi JISVIEW Untuk monitoring kejadian gempa bumi yang bersifat lokal dan regional di Indonesia, dengan magnitude < 5, maka perlu dibuat sistem yang bisa mewadahinya, terutama untuk stasiun-stasiun geofisika di daerah untuk mempercepat diseminasi informasi kejadian gempa bumi kepada masyarakat, maka pada tahun 2011 Puslitbang BMKG telah melakukan pembuatan software JISView untuk penentuan mekanisme sumber gempa bumi. Setelah itu pada tahun 2012 telah dilakukan pula pengembangan lebih lanjut software JISView dengan mengujicobakannya pada beberapa stasiun geofisika dan membuat kajian untuk membangun Sistem Monitoring Gempa Bumi yang dapat memberikan informasi parameter dan mekanisme sumber gempa bumi secara otomatis. Sistem monitoring gempa bumi ini meliputi penentuan parameter dan mekanisme sumber gempa bumi. Melalui kegiatan ini diharapkan dapat terbangun sistem monitoring gempa bumi yang otomatis untuk mendukung operasional dalam meningkatkan pelayanan informasi gempa bumi dan tsunami. Pada tahun 2013 dilakukan penyempurnaan dalam Sistem Monitoring Gempa Bumi JISVIEW dengan sistem informasi terintegrasi yang dapat digunakan untuk menghitung, menganalisa serta menampilkan informasi sebaran mekanisme sumber gempa bumi di wilayah Indonesia yang cepat dan akurat dibandingkan dengan sistem yang ada sebelumnya. Pada tahun 2014 dilakukan penyempurnaan picking otomatis Gelombang P dan penentuan Magnitudo, kemudian selanjutnya pada tahun 2015 dilakukan ujicoba operasionalisasi dan juga pembangunan Server Sistem Monitoring Gempa bumi di Puslitbang. Pada tahun 2016 direncanakan pembangunan sistem berbasis Web.

16

Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Sain dan Teknologi Pada Pengurangan Resiko Bencana Banda Aceh, 22 November 2014

Gambar 10. Tampian GUI Sistem Monitoring (Nugraha et al., 2013) Analisis Parameter Gempa Bumi Analisa perbandingan hasil keluaran JISView dengan SeisComP-3 BMKG dilakukan untuk mengetahui tingkat akurasi hasil perhitungan sistem. Grafik perbandingan parameter gempa bumi yang berupa waktu kejadian dan koordinat lokasi (bujur dan lintang) yang dihasilkan oleh sistem terhadap hasil analisa SeisComP-3 BMKG menunjukkan korelasi yang yang sangat baik. Untuk parameter waktu kejadian berkorelasi 0,999 dengan error atau biasnya 0,089, lintangnya berkorelasi 0,999 dengan error atau bias 0,016 dan adapun untuk bujur berkorelasi 0,998 dengan bias atau error 1.513.Hal ini menunjukkan bahwa bila ditinjau dari aspek keakuratan hasil analisa sistem yang berupa lokasi dan waktu kejadian relatif terhadap hasil analisa SeisComP-3 BMKG dapat dikatakan memiliki korelasi yang bagus. Sistem Penentuan Potensi Tsunami dengan Perhitungan Durasi Rupture (Tdur), Periode Dominan(Td) dan T50Ex. Ina-TEWS membuat kriteria gempa bumi yang menimbulkan tsunami dengan syarat magnitudo ≥ 7, episenter di laut, dan kedalaman < 100 km. Fakta telah menunjukkan bahwa walaupun kriteria tersebut sudah terpenuhi, tetapi tidak semua gempa bumi tersebut dapat menimbulkan tsunami yang signifikan, contohnya gempa bumi Padang 30 September 2009 Mw= 7.6. Sementara itu gempa bumi dengan magnitudo kurang dari 7 bisa menimbulkan tsunami, contohnya gempa bumi Flores 14 Mei 1995 dengan Mw= 6.9 (Madlazim, 2011). Besar dan dampak tsunami sangat terpengaruh oleh pergeseran lantai dasar laut yang berhubungan dengan panjang (L), lebar (W), mean slip (D), dan kedalaman (z), dari rupture gempa bumi. Lomax dan Michelini, (2011) telah menemukan bahwa parameter panjang rupture dari suatu gempa bumi merupakan parameter yang paling dominan sebagai penyebab tsunami. Untuk mengukur panjang rupture diperlukan metode yang komplek dan membutuhkan waktu komputasi yang lebih lama, sehingga tidak layak digunakan untuk peringatan dini tsunami. Lomax dan Michelini (2012) juga telah menemukan hubungan antara L dan durasi rupture yang bisa dinyatakan bahwa durasi rupture sebanding dengan panjang rupture. Untuk mengestimasi durasi rupture (To atau Tdur) bisa dilakukan dengan cara menganalisis seismogram-seismogram grup gelombang P yang dominan dari seismogram frekuensi tinggi dari gempa bumi, sehingga durasi rupture gempa bumi bisa digunakan untuk peringatan dini dari tsunami.

17

Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Sain dan Teknologi Pada Pengurangan Resiko Bencana Banda Aceh, 22 November 2014

Parameter lain yang bisa dijadikan parameter peringatan dini tsunami adalah periode dominan dari gelombang P, yang merupakan nilai puncak dari Time Domain (τc) (Lomax dan Michelini, 2010). Parameter yang lain adalah T50 Exceedance (T50EX) adalah nilai perbandingan RMS ampiltudo saat durasi rupture (Tdur) mencapai 50-60s dengan rmsamplitude saat durasi rupture 0–25 s. Madlazim (2011) telah mengembangkan kriteria potensi tsunami untuk kejadian gempa bumi dengan menggunakn staisiun sesimik lokal yaitu dengan kriteria: Tdur > 65, Td > 10, T50Ex > 1, Tdur * Td > 650, Td * T50Ex > 10. Pada tahun 2013, Puslitbang BMKG telah mengembangkan program aplikasi penentuan potensi tsunami menggunakan perhitungan Tdur, Td dan T50Ex dengan data real time waveform dari stasiun pengamatan yang masuk jaringan Ina-TEWS. Aplikasi penentuan potensi secara manual juga telah dibuat supaya bisa dilakukan perhitungan manual terhadap gempa bumi-gempa bumi yang sudah terjadi. Hasil penelitian menunjukkan dari 81 kejadian gempa bumi pada tahun 2013 yang sudah dihitung oleh aplikasi peringatan potensi tsunami secara real time, memberikan hasil 97.53% konsisten (79 kejadian), yaitu parameter dibawah kriteria potensi tsunami, dan kondisi sebenarnya tidak terjadi tsunami. Dari hasil ujicoba terhadap 171 kejadian gempa bumi dengan magnitude kecil secara manual, dapat dilihat bahwa aplikasi memberikan hasil 96.5 % (166 kejadian) konsisten, yaitu parameter dibawah kriteria potensi tsunami, dan kondisi sebenarnya juga tidak terjadi tsunami (Hardy, et al., 2014). Ujicoba dengan data gempa bumi yang membangkitkan tsunami di Indonesia dari tahun 1992-2012 dari katalog tsunami dari NOOA (National Oceanic and Atmospheric Administration) menyatakan bahwa untuk kejadian gempa bumi yang membangkitkan tsunami 0-1 m, dari 11 kejadian terdapat 8 kejadian (72,7%) yang tepat, sedangkan untuk kejadian gempa bumi yang membangkitkan tsunami lebih dari 1 m dari 17 kejadian terdapat 10 kejadian (58.82%) yang tepat sesuai nilai parameter potensi tsunami. Gambar 11 menunjukan tampilan aplikasi sistem penentuan potensi tsunami menggunakan data sinyal secara real time yang sudah diaplikasikan di Puslitbang. Rencananya di tahun 2015 setelah secara terus menerus diuji, aplikasi ini bisa dioperasionalkan untuk mendukung sistem InaTEWS.

Gambar 11. Aplikasi sistem penentuan potensi tsunami secara real time 18

Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Sain dan Teknologi Pada Pengurangan Resiko Bencana Banda Aceh, 22 November 2014

Early Warning Tsunami Menggunakan Data GPS Sebagian besar tsunami yang pernah terjadi termasuk Sumatera Indonesia 2004, Chile 2010, dan Tohuku Jepang 2011 dipicu oleh gerakan dasar laut yang disebabkan oleh gempa bumi di zona subduksi. Sistem peringatan dini tsunami yang ada selama ini masih menggunakan informasi seismologi, yang kemudian harus mampu memberikan peringatan 5 sampai 10 menit setelah gempa bumi terjadi, tetapi seringkali kekuatan gempa bumi yang diinformasikan tidak sesuai dengan dampak ketinggian gelombang tsunami yang terjadi di pesisir yang lebih besar, contohnya adalah kejadian tsunami Tohuku 2011 (Hoechner, et al., 2013). Metode baru dikembangkan oleh para peneliti di GFZ German Research Centre for Geoscience yaitu menggunakan jaringan Global Positioning System (GPS) untuk keperluan early warning tsunami. Dengan menempatkan istrumen GPS kira-kira setiap 40 kilometer sepanjang pantai, untuk mengukur deformasi dasar laut secara real time. Instrumen ini kemudian mengirimkan data mentah ke data center untuk dilakukan pemodelan resiko tsunami. (Gambar 11) Prinsip kerja dari pemanfaatan data GPS untuk early warning tsunami adalah sebagai berikut:  Gempa bumi menimbulkan deformasi bawah laut sebagai sumber tsunami dan permukaan bumi  Deformasi diukur dengan jaringan real time GPS yang rapat di dekat pantai dan di darat  Inversi non-linier terhadap sumber gempa untuk perhitungan deformasi/uplift bawah permukaan laut  Tinggi gelombang tsunami maksimum dan waktu tiba gelombang dihitung dengan perhitungan model penjalaran dan run-up tsunami.

Gambar 11. Gambaran konsep early warning tsunami menggunakan data GPS Dengan menggunakan data jaringan GPS yang dimiliki oleh Badan Informasi Geospasial, walaupun belum teralalu rapat, maka kesempatan untuk mengembangkan penelitian early warning tsunami menggunakan data GPS di Indonesia terbuka lebar. Oleh karena itu Puslitbang mencoba mewadahi penelitian ini di tahun 2015

19

Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Sain dan Teknologi Pada Pengurangan Resiko Bencana Banda Aceh, 22 November 2014

KESIMPULAN Puslitbang BMKG telah melakukan beberapa penelitian dan pengembangan terkait upaya deteksi gempa bumi dan tsunami, antara lain upaya monitoring precursor gempa bumi melalui parameter geofisika, geo-atmosferik, geokimia (radon) dan geodetik (TECGPS), sistem monitoring gempa bumi JISVIEW, sistem penentuan potensi tsunami menggunakan perhitungan durasi rupture, periode dominan, dan T50Ex. Arah penelitian ke depannya adalah upaya early warning tsunami menggunakan jaringan data GPS yang diharapakan bisa lebih memperkuat sistem InaTEWS yang selama ini sudah berjalan. DAFTAR PUSTAKA Bock, Y., Prawirodirdjo, L., Genrich, J. F., Stevens, C. W., McCaffrey, R., C. Subarya, S. S. O. Puntodewo, and Calais, E., 2004. Crustal motion in Indonesia from Global Positioning System measurements, Journal Of Geophysical Research, Vol. 108, No. B8, 2367, doi:10.1029/2001JB000324. Galvan, D. A., Komjathy, A., Song, Y. Tony, Stephens, P., Hickey, M.P. and Foster, J., 2011. Observing Tsunamis in the Ionosphere Using Ground Based GPS Measurements, Proceedings of the 24th International Technical Meeting of The Satellite Division of the Institute of Navigation (ION GNSS 2011), Portland, OR, September 2011, pp. 3172-3182. Hardy, T, et al., 2014. Pengembangan dan Automatisasi Sistem Penentuan Potensi Tsunami Dengan Perhitungan Durasi Rupture (Tdur), Periode Dominan(Td) dan T50Ex. Laporan Tahunan Hasil-hasil Kegiatan Puslitbang BMKG Tahun 2013, 105-113. Hoechner, A., M. Ge, A. Y. Babeyko, and Sobolev, S. V.,2013. Instant tsunami early warning based on real-time GPS – Tohoku 2011 case study, Nat. Hazards Earth Syst. Sci., 13, 1285–1292, doi:10.5194/nhess-13-1285-2013 Irsyam, M., Sengara, I.W., Aldiamar, F., Widiyantoro, S., Triyoso, W., Natawidjaja, D.H., et Al., 2010. Ringkasan Hasil Studi Tim Revisi Peta Gempa Indonesia 2010, Laporan Penelitian, 43 hal. Lomax, A and Michelini, A., 2011. Tsunami Early Warning Using Earthquake Rupture Duration and P-Wave Dominant period: the important of length and depth of faulting, Geophysical Journal International. 185, 283-291, doi: 10.1111/j.1365246X.2010.04916.x. Lomax, A and Michelini, A., 2012. Tsunami Early Warning Within 5 minutes, Pure and Applied Geophysics, 169, nnn-nnn, doi: 10.1007/s00024-012-0512-6 Madlazim, 2011. Toward Indonesian Tsunami Early Warning System By Using Rapid Rupture Duration Calculations, Journal of Tsunami Society International, ISSN 8755-6839, Vol. 30, No. 4. Nurdiyanto, B., et al., 2011. Integration of Geophysical Parameter Observation in the Earthquake Predictability, JCM2011-031, Proceedings of the 36th HAGI and 40th IAGI Anual Convention and Exhibition, Makasar. Nurdiyanto, B., et al., 2013. Studi Prekursor Gempa bumi secara Terpadu Tahun 2012, Laporan Tahunan Hasil-hasil Kegiatan Puslitbang BMKG, 104-115.

20

Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Sain dan Teknologi Pada Pengurangan Resiko Bencana Banda Aceh, 22 November 2014

Nugraha, Jimmi, et al., 2013. Pembangunan Sistem Monitoring Gempa bumi Jisview, Laporan Tahunan Hasil-hasil Kegiatan Puslitbang BMKG, hal.126-137. Pakpahan, S., et al., 2014. Pengembangan Sistem Monitoring Studi Prekursor Gempa Bumi Terpadu Tahap I, Laporan Tahunan Hasil-hasil Kegiatan Puslitbang BMKG Tahun 2013, 138-148. Prediksi

gempa bumi - Anomali Variasi Harian GPS TEC Ionosfer, http://geofisika43.blogspot.com/2010/08/prediksi-gempa-bumi-anomalivariasi.html#, diakses 6 januari 2014.

Pengantar InaTEWS, https://inatews.bmkg.go.id/new/about_inatews.php?urt=1, diakses 9 Januari 2015. Sunarjo, Gunawan, M.T. and Pribadi, S., 2010. Gempa bumi Edisi Populer, Jakarta: Pusat Penelitian dan Pengembangan BMKG, 228 hal.

21

Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Sain dan Teknologi Pada Pengurangan Resiko Bencana Banda Aceh, 22 November 2014

Penginderaan Jauh dan Bencana: Ketersediaan Data dan Aplikasinya untuk Tanggap Darurat M. Rokhis Khomarudin1 dan M. Priyatna1 1

Peneliti, Pusat Pemanfaatan Penginderaan Jauh – LAPAN

ABSTRAK Penginderaan jauh adalah suatu ilmu atau teknologi untuk mengidentifikasi suatu objek di permukaan bumi dengan tanpa menyentuk objek tersebut. Penginderaan jauh sudah dimanfaatkan secara luas untuk kebencanaan baik pada masa pra-bencana, saatbencana, maupun pasca bencana. Namun, secara umum, data penginderaan jauh biasanya digunakan untuk identifikasi daerah yang mengalami kerusakan akibat bencana. Analisa data sebelum dan sesudah bencana merupakan hal yang sering dilakukan dalam pemanfaatan penginderaan jauh untuk bencana. Selebihnya, data yang dihasilkan dari penginderaan jauh seperti Digital Elevation Model (DEM), Batimetri, Indek vegetasi dan Pengunaan/penutup lahan banyak digunakan untuk pemodelan banjir, tsunami, kekeringan, peringatan dini kebakaran lahan dan hutan, dan lain sebagainya. Tulisan ini menyajikan ketersediaan data penginderaan jauh untuk kegiatan kebencanaan baik melalui skema lisensi pemerintah tunggal, skema Sentinel Asia, Internasional Charter for Space and Major Disaster, penyediaan data gratis oleh provider data penginderaan jauh, dan skema-skema lainya yang digunakan untuk kebencanaan. Tulisan ini dapat memberikan pengetahuan mengenai ketersediaan data penginderaan jauh untuk kegiatan tanggap darurat bencana. Kata kunci: Penginderaan jauh, bencana, ketersediaan data, tanggap darurat ABSTRACT Remote sensing is a science and technology to identify the earth surface object without touching those objects. Remote sensing is already widely used for disaster analysis especially on before, during, and after disaster. Generally, remote sensing is used for identify the damage area, but some data which can be generated by remote sensing such as Digital Elevation Model (DEM), Bathymetry, Vegetation Index, Land use/cover, and etc are commonly used for flood, tsunami, drought, fire warning modeling. This paper presents the availability of data for disaster emergency response. There are some schemes that can be applied for this activities, for example of the single government license, Sentinel Asia, International Charter for Space and Major Disaster, free available remote sensing data for download, and others. This paper can share knowledge about the availability of remote sensing data for disaster emergency response. Key words: Remote Sensing, disaster, data availability, emergency response PENDAHULUAN Penggunaan data penginderaan jauh sudah sangat meluas. Pemetaan sumberdaya alam, lingkungan, dan mitigasi bencana sangat tergantung dari data penginderaan jauh. Tanpa data penginderaan jauh, pemetaan dengan survey lapangan atau observasi lapangan memerluakan biaya yang lebih mahal. Terutama di daerah-daerah yang tidak dapat dijangkau oleh masyarakat, penginderaan jauh sangat efektif digunakan. Semakin murahnya data penginderaan jauh karena semakin banyak data penginderaan jauh yang 22

Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Sain dan Teknologi Pada Pengurangan Resiko Bencana Banda Aceh, 22 November 2014

gratis bisa di download dari provider data di dunia. Data seperti Landsat, Terra/Aqua Modis, dan DEM SRTM resolusi 90 meter adalah contoh data yang dapat di download dari internet. Instruksi presiden No. 6 tahun 2012 mengamanatkan untuk pengadaan data penginderaan jauh dengan lisensi pemerintah republik Indonesia sudah berjalan, sehingga untuk instansi pemerintah, data resolusi tinggi sudah bisa diperoleh dengan mudah. Pemerintah Indonesia yang akan menyediakan data tersebut untuk keperluan inventarisasi sumberdaya alam, lingkungan, tata ruang, dan mitigasi bencana. Terkait dengan masalah bencana, data penginderaan jauh sudah efektif digunakan untuk kegiatan pemetaan daerah rentan dan resiko bencana, pemetaan daerah yang rusak akibat bencana, dan bahkan untuk peringatan dini bencana. Banyak skema yang telah dilakukan baik tingkat asia maupun internasional untuk memperoleh data penginderaan jauh dengan tanpa biaya. Sentinel Asia contohnya, skema ini menyediakan data penginderaan jauh dari provider data di Asia seperti dari lembaga antariksa Jepang-JAXA, India-ISRO, dan juga Korea Selatan-KARI. Selain itu, jika bencananya sangat besar, melalui skema Internasional Charter for Space and Major Disaster data resolusi tinggi seperti Pleiades, Ikonos, Quickbird, TerraSAR-X, dan lain-lain bisa didapatkan. Namun perolehan data tersebut melalui mekanisme tertentu dan data terikat dengan lisensi data yang tidak boleh dilanggar. Tulisan ini akan membahas mengenai ketersediaan data penginderaan jauh untuk kegiatan kebencanaan dan juga peran lembaga penerbangan dan antariksa nasional dalam penyediaan data tersebut. Tujuannya adalah agar masyarakat maupun peneliti memahami tentang ketersediaan data penginderaan jauh di dunia disertai dengan batasan-batasan yang ada, bagaimana cara memperolehnya dan juga terkait dengan peraturan-peraturan tentang lisensi data. Pengetahuan ini akan menjadikan masyarakat atau peneliti dapat lebih mudah dalam mencari data atau sumber data yang dapat digunakan untuk kepentingannya. Aplikasi-aplikasi yang telah dilakukan di Indonesia juga disajikan dalam tulisan ini. INVENTARISASI PENYEDIA DATA PENGINDERAAN JAUH Beberapa dekade yang lalu, data penginderaan jauh merupakan data yang sangat mahal dan penggunaan eksklusif untuk militer di Amerika atau Negara-negara yang maju dan telah mengembangkan satelit sumberdaya alamnya sendiri. Beberapa akhir tahun ini, data penginderaan jauh semakin murah bahkan gratis bisa didownload dari beberapa provider data. Berkembangnya sistem google earth dan googlemap, orang semakin mudah untuk mengetahui wilayahnya dari data satelit penginderaan jauh. Berikut ini disajikan ketersediaan data penginderaan jauh dari provider-provider data internasional maupun nasional baik untuk kegiatan bencana dan non kebencanaan. PEMBAHASAN Tabel . 1 merupakan sebagian daftar penyedia yang dapat digunakan untuk penyediaan data penginderaan jauh yang ada di dunia, masih banyak penyedia lain yang menyediakan data penginderaan jauh terutama untuk data resolusi rendah dengan temporal yang tinggi seperti suhu permukaan laut, tinggi permukaan laut, klorofil, dan lain sebagainya. Berikut pembahasan dari ke-9 penyedia data yang disajikan pada Tabel 1.

23

Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Sain dan Teknologi Pada Pengurangan Resiko Bencana Banda Aceh, 22 November 2014

Tabel 1. Daftar penyedia data penginderaan jauh yang bisa diperoleh tanpa biaya Alamat Website/cara No. Jenis Data Penyedia Aplikasi mendapatkan 1. Landsat USGS www.usgs.gov Berbagai keperluan, 5/7/8 data belum cloud free dan koreksi radiometric 2.

Terra/Aqua MODIS

USGS

www.usgs.gov

Untuk keperluan cepat, data berbagai macam termasuk sampai level-2 Data terlamnbat 2-3 hari

3.

DEM SRTM

USGS

www.usgs.gov

Untuk pemodelan ketinggian tempat, model banjir, dan juga tsunami

4.

Sentinel-1

ESA

https://scihub.esa.int

Data SAR untuk berbagai macam keperluan terutama untuk bencana dan pertanian

5.

SPOT-6

Lapan

Lihat catalog: http://www.bdpjncatalog.lapan.go.id surat permohonan diajukan kepada Kepala Pusat Teknologi dan Data Lapan, minimal eselon-2

Berbagai macam, khusus utk pemerintah Indonesia

6.

Landst 5/7/8

Lapan

Lihat catalog: http://landsatcatalog.lapan.go.id/Catalogue surat permohonan diajukan kepada Kepala Pusat Teknologi dan Data Lapan

Berbagai macam, melalui pemesanan, data sudah cloud free, dan terkoreksi radiometric dan geometrik

7.

Terra Aqua Modis dan turunannya

Lapan

http://modiscatalog.lapan.go.id/

8.

Beberapa data

Sentinel Asia

Melalui skema yang sdh diatur http://aprsaf.org/initiatives/senti nel_asia/

Untuk keperluan cepat, data berbagai macam termasuk sampai level2. Data harian Kebencanaan

9.

Beberapa data

Internatio nal charter

Melalui skema yang sdh diatur https://www.disasterscharter.org

24

Kebencanan

Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Sain dan Teknologi Pada Pengurangan Resiko Bencana Banda Aceh, 22 November 2014

1. Landsat – USGS United States Geological Survey (USGS) menyediakan data landsat dengan gratis bisa di download untuk data seluruh dunia. Download dilakukan denga registrasi terlebih dahulu dengan menggunakan software khusus yang mereka sediakan seperti Global Visualisation dan Earth explore. Data dapat diperoleh dengan mudah dengan memasukan Path/raw citra landsat yang akan digunakan dan juga tanggal yang diperlukan. Download bisa dilakukan dengan ftp, dan memerlukan waktu yang cepat setelah dilakukan pemesanan. Namun kadang data datang dalam bisa lebih sehari dari waktu pemesanan. Data yang ada dalam Landsat USGS masih ada apa adanya dengan keawanan seperti waktu pemotretan permukaan bumi. Ukuran satu scene Landsat adalah 185 km x 185 km sekali potret dengan resolusi spasial 30 m. 2. Terra/Aqua MODIS – USGS Sama seperti halnya dengan Landsat, USGS juga menyediakan data penginderaan jauh yang bisa di download dalam sistemnya dengan gratis. Data MODIS merupakan data yang melintas dua kali di wilayah Indonesia. Data yang tersedia adalah data MODIS dari satelit Terra/Aqua di seluruh dunia hingga level 2. Disediakan juga data cloud free dengan menggabungkan data pada wilayah yang sama dalam waktu 8 harian dan 16 harian. Data ini memiliki resolusi spasial 250 m, 500 m, dan 1000 m, sehingga dapat digunakan untuk pemantauan wilayah Indonesia skala global sekitar 1 : 500.000. Produk yang dihasilkan dari data ini misalnya adalah pemantauan fase pertumbuhan padi, prediksi potensi kekeringan, dan informasi kebakaran lahan/hutan. 3. DEM SRTM-USGS Data digital topography untuk seluruh dunia juga disediakan oleh USGS dan dengan mudah didownload. Walaupun resolusi spasialnya masih 90 m, namun secara global data ini bisa digunakan untuk menggambarkan topografi suatu wilayah. Dalam perkembangannya USGS akan menyediakan data DEM SRTM dengan resolusi 30. Beberapa potensi data DEM yang lain nantinya adalah dengan ALOS PALSAR dan juga Sentinel-1. 4. Sentinel 1 – ESA Produk ini baru diluncurkan beberapa bulan yang lalu dan download masih gratis dapat dilakukan untuk data sentinel 1 dengan sensor SAR. ESA akan menyediakan data gratis lainnya yang bersensor optis seperti Sentinel 2A dan 2B yang satelitnya belum diluncurkan. Resolusi dari data ini adalah 20-30 m dengan temporal sekitar 12 hari dapat digunakan untuk pemantauan kondisi lahan pertanian selama 12harian. Data SAR merupakan data bebas awan, sehingga pemantauan dapat dilakukan dengan jenis satelit ini. 5. SPOT 6 – Lapan Untuk memenuhi instruksi presiden No. 6 tahun 2012, Lapan membuat bank data penginderaan jauh nasional yang berisi catalog data pengideraan jauh SPOT-6 yang berlisensi Pemerintah Republik Indonesia. Karena ini catalog, maka yang tersedia hanya quicklook dari data yang tersedia. Kementerian dan lembaga atau pemerintah daerah yang ingin mendapatkan data harus melihat catalog ini terlebih dahulu kemudian melakukan pemesanan. Jika data sudah tersedia bisa dapat memesannya, namun jika belum ada bisa melakukan pemesanan setahun sebelumnya untuk dapat diprogramkan. Permintaan data 25

Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Sain dan Teknologi Pada Pengurangan Resiko Bencana Banda Aceh, 22 November 2014

harus melalui surat permohonan yang ditandangani minimal oleh pejabat eselon 2 dilengkapi dengan lokasi dan proposal penggunaan data tersebut. Selain data SPOT-6, catalog ini juga menyediakan data resolusi tinggi lainnya seperti Pleiades, dan TerraSARX. 6. Landsat 5/7/8 – Lapan Selain data SPOT-6, Lapan juga menyediakan catalog data landsat. Sama seperti catalog SPOT-6, catalog ini menampilkan ketersediaan data Landsat yang disimpan oleh bank data Lapan. Permohonan lebih mudah, setiap orang dapat melakukan permohonan dari internet dan data akan dilayani. 7. Modis catalogue – Lapan Sama seperti catalog Landsat, catalog ini dibuat untuk penyediaan data Modis hingga level 2 dan mudah dilakukan download hanya dengan login dari website yang disediakan. Data yang tersedia berupa data harian hingga level 2. 8. Sentinel Asia Skema sentinel asia dibentuk untuk penyediaan data penginderaan jauh dari provider data di tingkat Asia jika terjadi bencana. Aktivasi hanya dapat dilakukan oleh Data Analisis Node (DAN) untuk mendapatkan data tersebut. Di Indonesia terdapat 2 DAN yaitu Lapan dan BPPT. Kementerian dan Lembaga lain dapat melakukan permintaan melalui Lapan atau BPPT jika terjadi bencana di Indonesia. 9. International Charter Sama seperti halnya Sentinel Asia, International charter juga menyediakan data penginderaan jauh resolusi tinggi dari provider data seluruh dunia jika terjadi bencana yang sangat besar. Aktivasi hanya dilakukan oleh authorized user yang untuk asia di wakili oleh sentinel asia. Dalam wadah sentinel asia dapat ditunjukkan project manager untuk mengatur flow dari data yang akan disediakan. Data mengandung perjanjian lisensi, jadi hanya dapat digunakan untuk kegiatan aktivasi kejadian bencana yang terjadi. KESIMPULAN Dari paparan tulisan yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa data penginderaan jauh untuk beberapa kegiatan terutama kebencanaannya sudah tersedia dengan baik. Hanya pemanfaatannya untuk keperluan mitigasi bencana masih belum dilakukan dengan baik, sehingga data penginderaan jauh hanya digunakan untuk menyajikan daerah yang sudah terkena setelah kejadian bencana. UCAPAN TERIMA KASIH Penulis ingin mengucapkan terima kasih yang banyak kepada pengurus perhimpunan alumni Jerman cabang Aceh yang mengundang dalam acara seminar. Hal ini menjadikan paper ini dibuat dan diselesaikan dengan baik. Tulisan ini merupakan uraian singkat tentang penyediaan data penginderaan jauh untuk kepentingan kebencanaan.

26

Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Sain dan Teknologi Pada Pengurangan Resiko Bencana Banda Aceh, 22 November 2014

Pemodelan Tsunami untuk Mendukung Perencanaan Infrastruktur di Pesisir Selatan Yogyakarta2 Widjo Kongko1 1

Perekayasa Balai Pengkajian Dinamika Pantai, - Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi 2 Materi ini pernah disampaikan dalam seminar refleksi gempa bumi 17 Juni Yogyakarta

ABSTRAK Dua gempabumi disertai tsunami pada tahun 1994 dan 2006 terjadi di zona subduksi Jawa menimbulkan ratusan korban jiwa dan kerusakan infrastruktur dan lingkungan yang besar. Hal ini menunjukkan bahwa Selatan Jawa termasuk salah satu daerah yang paling rawan tsunami di dunia. Untuk mendorong percepatan, perluasan, pembangunan ekonomi Indonesia, khususnya untuk memperkuat konektivitas nasional, yang meliputi konektivitas intra dan antar pusat-pusat pengembangan, intra-pulau (koridor), dan perdagangan internasional, Yogyakarta berencana mengembangkan prasarana transportasi, yaitu Bandara Internasional dan Jalur Lintas Selatan. Mengingat lokasi infrastruktur tersebut sebagian di daerah rawan tsunami, maka untuk meminimalkan dampak terhadap infrastruktur dan masyarakat di masa datang, penyusunan peta bahaya tsunami diperlukan. Peta disusun dari hasil pemodelan berdasarkan persamaan numerik air dangkal nonlinear 2D, mensimulasikan propagasi dan rendaman tsunami. Parameter sumber dominan yang divalidasi dari model tsunami tahun 2006 digunakan untuk memprediksi ancaman masa depan. Skenario terburuk dipakai dengan menambahkan besaran magnitudo gempabumi dari kajian terkini di Selatan Jawa. Dalam kajian ini, disajikan peta bahaya tsunami hasil dari pemodelan dari skenario di atas dengan menggunakan data geometrik detil. Zona rencana infrastruktur yang terdampak tsunami ditinjau dan langkah-langkah mitigasi alternatif diusulkan serta dibahas. Kata kunci: Tsunami Selatan Jawa, pembangunan infrastruktur pesisir, data geometrik detil, skenario terburuk, peta bahaya, langkah-langkah mitigasi. ABSTRACT Two earthquake-generated remarkable tsunamis in 1994 and 2006 occurred in the Java subduction zone remaining hundreds fatalities and great damages. It indicates that the south off Java-Indonesia is one of the most tsunami prone areas in the world. To accelerate and expand economic developmentof Indonesia, especialy strengthening the national connectivity, which includes intra and inter connectivity of centres development, intra-islands (corridors), and international trade, Yogyakarta plans to develop transportation infrastuctures, i.e. the Airports and Southern Cross Road Network. Unfortunately, partly site plans of such infrastructures are planed located in areas prone to tsunamis.Thus, to minimise the impact of tsunami hazard against such infrastructures and communities, the hazard map in this area is highly required. The map derived from the tsunami inundation model by improving the sources & model performance based on detil geometric data and worst case scenario. A numerical code based on the 2D nonlinear shallow water equations was used to simulate tsunami propagation, and its runup. The dominant source parameter which was validated from tsunami model of 2006 event, used for estimating the future hazard under worst scenario by adding plausible magnitude of earthquake in this area. In this study the tsunami hazard map derived from

27

Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Sain dan Teknologi Pada Pengurangan Resiko Bencana Banda Aceh, 22 November 2014

numerical model is presented. The area of infrastructures site plans that inundated by tsunami is reviewed. The alternative mitigation measures are proposed and discussed. Key words : South of Java tsunami, tsunami earthquake, development of coastal infrastructures, detail geometric data, worst scenario, hazard map, mitigation measures PENDAHULUAN Dalam menyeimbangkan pertumbuhan ekonomi kawasan pantai utara dan pantai selatan Pulau Jawa serta untuk menghadapi tantangan kepadatan jalur pantura, upaya yang dilakukan pemerintah adalah dengan pembangunan dan peningkatan prasarana transportasi baik darat, laut dan udara di pesisir selatan. Dalam upaya pengembangan ini diperlukan perencanaan yang matang sehingga penyelenggaraan dan pembangunan transportasi dapat dilaksanakan secara efektif dan efisien. Tantangan yang dihadapi dalam upaya ini antara lain kondisi fisik / kontur selatan Pulau Jawa yang berat, keterbatasan dana untuk pengadaan lahan dan pembangunan infrastruktur, dan juga potensi bencana yang mengancam di wilayah tersebut. Ruas jalur transportasi, lahan daerah pesisir, dan daerah pelabuhan serta muara-muara sungai adalah daerah rawan bencana, seperti longsor, sedimentasi dan abrasi akibat gelombang laut, hingga bencana gempa-tsunami. Untuk mendukung program tersebut di atas, perlu dilakukan kajian potensi bencana gempa-tsunami dan upaya mitigasinya secara terintegrasi dalam perencanaan pembangunan infrastuktur yang sedang dan akan dilaksanakan. POTENSI GEMPA BUMI - TSUNAMI Perairan pantai selatan DIY dan Jawa Tengah termasuk kategori perairan terbuka (open sea) yang berhadapan langsung dengan Samudera Hindia. Oleh karena itu energi gelombang menuju pantai sangat berpengaruh terhadap dinamika pantai di daerah tersebut. Energi gelombang selain menimbulkan abrasi, juga berfungsi sebagai komponen pembangkit arus sejajar pantai (longshore current) yang dapat menyebabkan sedimentasi di daerah-daerah tertentu (Birda and Ongkosongo,1980). Daerah subduksi selatan Jawa mempunyai aktifitas seismik yang lebih rendah dibandingkan dengan yang ada di Sumatra (Coburn et al., 1994). Berdasar data historis, gempa yang terjadi di daerah subduksi selatan Jawa antara periode 1977–2007 pada areal di Gambar 1 dengan M>5 dan berkategori dangkal (400 kejadian. Dalam periode tersebut, 2 gempa yang terjadi di tahun 1994 Banyuwangi dan 2006 Pengandaran bermagnitude signifikan dan menimbulkan tsunami dengan ketinggian rerata 5-8 m dan menewaskan lebih dari 800 orang (Fritz et al., 2007., Abidin et al., 2009., Kongko et al., 2006., ITDB/WLD, 2007). Sementara berdasar data dari USGS, dalam kurun waktu 1978-2008, telah terjadi gempa besar (M>6.5) sebanyak 20 kali dimana 2 diantaranya menimbulkan tsunami (USGS, 2010). Dengan demikian daerah selatan Jawa secara rata-rata berpotensi 1 sd 10 kali gempa sedang-besar setiap tahun dan diantara gempa-gempa tersebut berpotensi menimbulkan tsunami.

28

Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Sain dan Teknologi Pada Pengurangan Resiko Bencana Banda Aceh, 22 November 2014

Gambar 1. Historis gempa dan tsunami (1977-2008) dan "seismic gap" Berdasar data sebagaimana ditampilkan di Gambar 1, juga jelas terlihat kekosongan aktifitas seismik (“seismic Gap”- gambar dengan kotak hitam terputus) di daerah selatan Jawa di antara koordinat bujur 109ºBT-112ºBT. Fenomena ini masih menjadi misteri oleh para ahli dan tetap ada kemungkinan berpotensi terjadi gempatsunami. Disamping itu, berdasar data historis dan kajian mutakhir gempa-tsunami yang terjadi di tahun 2006 Pengandaran menunjukan karakteristik gempa-tsunami yang unik yang disebut sebagai “tsunami earthquake” (Ammon et al., 2006., Kanamori, 1972). Gempa-tsunami dengan kategori ini prosesnya lambat, terjadi di daerah dangkal dekat palung samudra dan menimbulkan tsunami yang lebih besar (2-3 kali) dibandingkan dengan gempa-tsunami pada umumnya (Hanifa et al., 2007., Kongko and Schlurmann, 2011). Oleh karena proses kejadiannya lambat, goncangan akibat gempa yang dirasakan relatif kecil dan diabaikan oleh masyarakat di daerah pesisir sehingga banyak menimbulkan korban sebagaimana yang terjadi di gempa-tsunami 2006 Pengandaran dan 2010 Mentawai (Abidin et al., 2009., Newman et al., 2011). SIMULASI MODEL TSUNAMI Ilmu pengetahuan sampai saat ini belum dapat memprediksi kapan, dimana, dan besaran gempa yang akan terjadi. Oleh karena itu, untuk mengkaji terjadinya gempatsunami dimasa datang dan dampaknya berupa landaan tsunami dan waktu penjalarannya menuju daerah pesisir di lokasi kajian tertentu menggunakan beberapa pendekatan dan skenario. Skenario Gempa-Tsunami Simulasi gempa-tsunami di selatan Jawa menggunakan skenario sumber pembangkitan tunggal dengan lokasi pusat dan parameter gempa, seperti kedalaman dan mekanisme fokal, dengan kemungkinan kondisi terburuk berdasar data historis. Magnitude gempa diasumsikan terjadi di daerah “megathrust” di selatan Jawa dengan magnitude ~M8.2. Dimensi „fault‟ berdasarkan perhitungan empiris (Papazachos et al., 2004., Kongko, 2012) dengan perincian parameter gempa ditampilkan di Tabel 1.

29

Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Sain dan Teknologi Pada Pengurangan Resiko Bencana Banda Aceh, 22 November 2014

Tabel 1 Parameter Gempa dan Dimensi „fault‟ epicenter

L

W

Angle Parameters

Du

Depth

X

y

(km)

(km)

Strike

Dip

Slip

(m)

(km)

110.0277

-9.74115

300

150

280

10

90

4.46

15

Data Topografi-Batimetri Data batimetri di perairan dalam (>-1000m) menggunakan data GEBCO 2008 dan di perairan dangkal menggunakan TCARTA dengan masing-masing beresolusi 30” dan 3” busur-detik. Data topografi menggunakan data SRTM dengan resolusi 1” busur-detik. Sebagian besar data ini tersedia di internet dan di repository proyek kegiatan. Sampai saat ini, sepengetahuan penulis, belum tersedia data yang lebih detil (seperti data ITERMAP/LIDAR) daripada data tersebut di atas di lokasi kajian. Model Numerik - Setup Model Model numerik yang dipakai dalam kajian ini adalah TUNAMI yang merupakan model 2 dimensi berdasar persamaan gelombang dangkal non-linier dengan penyelesaian numerik beda-hingga. Model ini telah terkalibrasi baik dan dijadikan standar oleh IOCUNESCO dan telah dipakai untuk kajian tsunami di lebih 22 negara (Imamura et al., 2006., Shuto and Fujima, 2009). Untuk kajian ini dipakai model tersarang (nested grid) sebanyak 5 tingkat dengan dimensi spasial dan waktu masing-masing 1851m(2d), 617m(1d), 206m(0.6d), 69m(0.4d), dan 23m(0.2d) dengan waktu simulasi 5400 detik / 1.5 jam. Kekasaran dasar yang dipakai untuk daerah dangkal dan daratan menggunakan tetapan “Manning” n=0.025 yang mewakili tutupan lahan berupa pantai pasir alami terbuka/daerah perairan pantai (Imamura et al., 2009).

Gambar 2. Sumber tsunami dengan gempa ~M8.1 sesuai skenario di Tabel 1

30

Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Sain dan Teknologi Pada Pengurangan Resiko Bencana Banda Aceh, 22 November 2014

Hasil Simulasi Hasil simulasi adalah berupa ketinggian sumber tsunami, ketinggian maksimum tsunami dan landaan tsunami di daerah studi, serta waktu penjalarannya. Ketinggian sumber tsunami berdasar skenario sebagaimana Tabel 1 di atas adalah berkisar -0.9m sd 1.8m seperti dalam Gambar 2. Untuk ketinggian tsunami maksimum dengan waktu simulasi 5400 detik / 1.5 jam adalah ~22.5m sebagaimana ditampilkan di Gambar 3 di bawah. Sedangkan luas landaan tsunami di daerah studi di pesisir selatan DI Yogyakarta (Kabupaten Bantul dan Kulonprogo) kurang lebih 20 km2 / 2000 Ha dengan penetrasi maksimum hingga 2 km dan ketinggian >6m. Daerah terpapar terparah adalah daerah sekitar muara Kaliprogo - Opak ke arah timur sampai ke Parang Tritis, dengan luas genangan kurang lebih 13 km2 / 1300 Ha. Peta landaan tsunami untuk daerah Kab. Bantul berdasar skenario pada Tabel 1 di atas ditampilkan di Gambar 4. Untuk waktu penjalaran tsunami, 6 titik virtual lokasi yaitu di P.Trisik, P. Pandansimo1, P.Pandansimo2, P.Samas, P.Depok, P.Parangtritis, dan P.Parangendok telah disimulasikan. Titik-titik tersebut diambil di dekat pantai dengan kedalaman bervariasi 2m sd -7m. Waktu tiba tsunami pertama dengan ketinggian > 2m adalah pada menit ke 3340 tergantung lokasi. Grafik penjalaran waktu tiba tsunami ditampilkan pada Gambar 5.

Gambar 3 Ketinggian tsunami maksimum dengan gempa ~M8.1 simulasi 1 jam

31

Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Sain dan Teknologi Pada Pengurangan Resiko Bencana Banda Aceh, 22 November 2014

Gambar 4 Peta landaan tsunami gempa ~M8.1 di Kab. Bantul

Gambar 5. Waktu tiba tsunami di 6 titik lokasi di daerah pantai

UPAYA MITIGASI Secara umum mitigasi bencana diartikan sebagai upaya/tindakan mengurangi dampak dari suatu bahaya sebelum hal tersebut terjadi (Wells and Coppersmith,1994). Terkait dengan upaya mitigasi bencana tsunami, secara garis besar dibedakan menjadi 2: alami, yaitu penanaman vegetasi pantai dan pelestarian/perlindungan terumbu karang dan 32

Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Sain dan Teknologi Pada Pengurangan Resiko Bencana Banda Aceh, 22 November 2014

buatan seperti pembangunan breakwater, sea wall serta mengadopsi konsep adaptasi dengan membangunan infrastruktur yang lebih tinggi. Berdasarkan pengalaman beberapa kali melakukan survei paska tsunami dan belajar dari kejadian bencana tsunami terakhir di Mentawai 2010 dan Jepang 2011, penulis berpendapat, tidak ada „single solution‟ yang efektif mengurangi dampak yang ditimbulkan tsunami yang besar, kecuali dengan pendekatan masalah dari berbagai aspek. Kesadaran dan pengetahuan masyarakat terhadap potensi bencana, morfologi fisik setempat yang unik di setiap daerah, serta kearifan lokal yang telah berkembang turun temurun didukung oleh penentu kebijakan di tingkat lokal menjadi faktor yang dominan dalam keberhasilan program mitigasi bencana tsunami. KESIMPULAN Potensi gempa-tsunami di selatan Jawa lebih rendah dibanding baratdaya Sumatra. Namun demikian berdasar data historis kejadian di daerah ini masih tetap cukup tinggi. Jika gempa berpusat di dekat palung dengan kedalaman dangkal, gempa yang terjadi berpotensi dengan karakteristik „tsunami earthquake‟, dimana goncangan yang dirasakan relatif pelan namun tsunami yang terjadi di daerah pesisir lebih tinggi dari tsunami akibat gempa normal. Kajian tsunami melalui simulasi model dengan skenario terbatas untuk daerah selatan Jawa dengan fokus daerah studi pesisir selatan DIY menunjukan landaan tsunami yang terjadi signifikan. Gempa berskala ~M8.2 menyebabkan ketinggian tsunami >6m di daerah pesisir selatan DIY dengan landaan tsunami bisa mencapai ~2km masuk daratan dan menggenangi areal seluas kurang-lebih 20 km2. Waktu penjalaran tsunami dari pusat gempa sampai di daerah pesisir selatan DIY berkisar antara 33-40 menit setelah gempa terjadi. Mempertimbangkan bahwa data yang dipakai dalam kajian ini menggunakan resolusi medium-kasar, Untuk desain perencanaan infrastruktur di daerah pesisir dan prediksi landaan tsunami untuk keperluan perencanaan evakuasi diperlukan data yang lebih detil dengan mempertimbangkan beberapa skenario/multi scenario. Kombinasi mitigasi berupa penempatan infrastruktur pada jarak yang aman di pantai, gumuk pasir, dan sabuk hijau perlu juga dilakukan menggunakan data dengan resolusi yang lebih detil. DAFTAR PUSTAKA Bird, E.C.F. and Ongkosongo, O.S.R., 1980, Environmental Changes on the Coast of Indonesia, The United Nations University, printed in Japan. Fritz, H., Kongko, W., Moore, A., McAdoo, B., Goff, J., Harbitz, C., Uslu, B., Kalligeris, N., Suteja, D., Kalsum, K., Titov, V., Gusman, A., Latief, H., Santoso, E., Sujoko, S., Djulkarnaen, D., Sunendar, H. and Synolakis, C., 2007. Extreme run-up from the 17 July 2006 Java Tsunami. Geophysical Research Letters, 34(L12602), pp.1-5. Abidin, H.Z., Andreas, H., Kao, T., Ito, T., Meilano, I., Kimata, F., Natawidjaya, D.H. and Harjono, H., 2009. Crustal deformation studies in Java (Indonesia) using GPS. Journal of Earthquake and Tsunami, 3(2), pp.77-88. Kongko, W., Suranto, S., Chaeroni, C., Aprijanto, A., Zikra, Z. and Sujantoko, S., 2006. Rapid Survey on Java Tsunami 17 July 2006. Available at: http://ioc3.unesco.org/itic/files/tsunami-Java170706_e.pdf. ITDB/WLD, 2007. Integrated Tsunami Database for the World Ocean, ver.6.52 of Dec.31 2007, Tsunami Lab. ICMMG SD RAS, Novosibirsk, Russia. 33

Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Sain dan Teknologi Pada Pengurangan Resiko Bencana Banda Aceh, 22 November 2014

USGS, 2010. Source Parameters of Earthquake Mw 6.5 above at Java Subduction Zone. Available at: http://earthquake.usgs.gov/earthquakes/eqarchives/sopar/. Ammon, C., Kanamori, H., Lay, T. and Velasco, A., 2006. The 17 July 2006 Java Tsunami Earthquake. Geophysical Research Letters, 33(L24308), pp.1-5. Kanamori, H., 1972. Mechanism of Tsunami Earthquakes. Physics of the Earth and Planetary Interiors, 6(5), pp.346-359. Hanifa, R.N., Meilano, I., Sagiya, S., Kimata, F. and Abidin, H.Z., 2007. Numerical Modeling of The 2006 Java Tsunami Earthquake. Advances in Geosciences, 13, pp.231-248. Kongko, W. and Schlurmann, T., 2011. The Java Tsunami Model: Using Highly-Resolved Data To Model The Past Event And To Estimate The Future Hazard Proceedings of the International Conference on Coastal Engineering, No. 32(2010), Shanghai, China. Paper : management.26. Retrieved from http://journals.tdl.org/ICCE/. Newman, A.; Hayes, G.; Wei, Y. and Convers, J., 2011. The 25 October 2010 Mentawai tsunami earthquake, from real-time discriminants, finite-fault rupture, and tsunami excitation. Geophysical Research Letters, 38, 1-7. Papazachos, B. C., Scordilis, E. M., Panagiotopoulos, D. G., Papazachos, C. B. and Karakaisis, G. F., 2004. Global relations between seismic fault parameters and moment magnitude of earthquakes. Tenth Congress Hellenic Geol Soc, XXXVI, pp.539-540. Imamura, F., Yalciner, A.C. and Ozyurt, G., 2006. Tsunami Modeling Manual, Disaster Control Research Center, Tohoku University, Sendai, Japan. Shuto, N. and Fujima, K., 2009. A short history of tsunami research and countermeasures in Japan. Proceedings of the Japan Academy Series B: Physical and Biological Sciences, 85(8), pp.267-275. Newcomb, K.R. and McCann, W.R., 1987. Seismic History and Seismotectonic of the Sunda Arc. Journal of Geophysical Research, 92(No. B1), pp.421-439. Coburn, A.W., Spence, R.J.S., and Pomonis, A., 1994. Mitigasi Bencana. Cambridge Architectural Research Limited, Edisi ke dua. UNDP Program Pelatihan Manajemen Bencana Wells, D.L. and Coppersmith, K.J., 1994. New empirical relationships among magnitude, rupture length, rupture width, rupture area, and surface displacement. Bulletin Seismological Society of America, 84(4), pp.974-1002. Kongko, W., 2012. Mitteilungen Heft 99: South Java Tsunami Model Using Resolved Data Tsunamigenic Sources. Doctoral Dissertation at Franzius Institut, Leibniz Universitaet Hannover Germany. Imamura, F., Bernard, E. N. and Robinson, A., 2009. (Eds.) Tsunami Modeling: Calculating Inundation and Hazard Maps. The Sea, the President and Fellows of Harvard College, 321-329.

34

Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Sain dan Teknologi Pada Pengurangan Resiko Bencana Banda Aceh, 22 November 2014

Penerapan Oseanografi Operasional Melalui Infrastructure Development of Space Oceanography (INDESO) Project untuk Mendukung Program Disaster Risk Reduction (DRR) di Indonesia Agus Setiawan1 1

Balai Penelitian dan Observasi Laut Badan Penelitian dan Pengembangan Kelautan dan Perikanan, Kementerian Kelautan dan Perikanan

ABSTRAK Perkembangan teknologi penginderaan jauh dan komputasi numerik telah memungkinkan dilakukannya interpretasi dan prakiraan terhadap fenomena yang terjadi di laut dan potensial dampaknya bagi manusia. Penerapan oseanografi operasional dengan memanfaatkan kombinasi dari teknologi tersebut dapat memberikan data dan informasi mengenai fenomena laut dapat diberikan secara rutin dan menerus. Bahkan data dan informasi tersebut dapat diperkirakan baik untuk masa lampau (hindcast), kondisi saat ini (nowcast), maupun di masa yang akan datang (forecast) dan dimanfaatkan untuk menganalisis potensial dampak dari suatu bencana alam di laut dan kawasan pesisir. Berdasarkan pada pertimbangan tersebut, Badan Penelitian dan Pengembangan Kelautan dan Perikanan, Kementerian Kelautan dan Perikanan telah mengimplementasikan oseanografi operasional melalui Infrastructure Development of Space Oceanography (INDESO) Project, yang tersusun atas 3 inti, yaitu model numerik oseanografi, pusat sistem informasi, dan stasiun penerima data satelit. Kegiatan ini memiliki 7 aplikasi rintisan, yaitu pemantauan di kawasan budidaya udang dan rumput laut, pemantauan kawasan terumbu karang dan hutan bakau, pengelolaan terpadu wilayah pesisir, pemantauan tumpahan minyak dan illegal, unregulated, and unreported (IUU) fishing, serta pengelolaan stok ikan. Makalah ini menjelaskan beberapa pemanfaatan INDESO Project dalam mendukung program disaster risk reduction (DRR) di Indonesia. Kata kunci:

Oseanografi operasional, space oceanography, disaster risk reduction, INDESO Project ABSTRACT

The development of remote sensing technology and numerical computation has already allowed the interpretation and forecasts of the phenomena occurring in the ocean and its potential impact on human. The application of operational oceanography by utilizing a combination of these technologies can provide data and information on marine phenomena routinely and continuously. Moreover, the data and the information can be predicted well for the past (hindcast), the current state (nowcast), and in the future (forecast) and used to analyse the potential impact of a natural disaster in the marine and coastal areas. Based on these considerations, the Agency for Marine and Fisheries Research and Development, Ministry of Marine Affairs and Fisheries has implemented operational oceanography through the Infrastructure Development of Space Oceanography (INDESO) Project, which is composed of three cores, namely numerical oceanographic models, central information system, and satellite receiving station. This activity has 7 pilot application, namely monitoring the shrimp and seaweed farms, coral reefs and mangroves, integrated coastal zone management, monitoring of oil spills and illegal, unregulated, and unreported (IUU) fishing, as well as the management of fish

35

Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Sain dan Teknologi Pada Pengurangan Resiko Bencana Banda Aceh, 22 November 2014

stocks. This paper explains some utilizations of INDESO Project in order to support disaster risk reduction (DRR) programs in Indonesia. Key words : Operational oceanography, space oceanography, disaster risk reduction, INDESO Project PENDAHULUAN Penginderaan jauh dan komputasi numerik saat ini telah banyak digunakan untuk menginterpretasikan dan memperkirakan fenomena-fenomena yang terjadi di laut dan potensial dampaknya bagi manusia. Dengan menjalankan oseanografi operasional, yang menurut definisi umum adalah kegiatan pengukuran di laut dan atmosfer yang bersifat sistematis dan rutin termasuk di dalamnya kegiatan interpretasi yang cepat beserta diseminasinya, maka data dan informasi hasil interpretasi dan prakiraan tersebut dapat dimanfaatkan baik untuk kegiatan yang bersifat rutin, evaluasi terhadap perencanaan dan pengelolaan yang sudah berjalan, maupun untuk perencanaan dan pengelolaan ke depan. Hal ini memungkinkan untuk dilakukan karena secara umum oseanografi operasional dapat menghasilkan produk-produk nowcast, forecast, dan hindcast. Adapun, secara umum, komponen utama yang ada di dalam oseanografi operasional adalah sistem observasi laut (yang menggabungkan antara pengukuran dengan menggunakan platform di laut dan pantai seperti mooring buoy, teknologi satelit, dan kapal riset), sistem transmisi dan data asimilasi yang dilengkapi dengan alat komputasi berkecepatan tinggi (untuk mengolah data dan melakukan pemodelan numerik sehingga data yang dikumpulkan oleh sistem observasi laut dapat memiliki nilai tambah) dan sistem diseminasi data (yang berfungsi untuk meneruskan produk-produk yang dihasilkan ke para pengguna). Tsunami Early Warning System (TEWS) adalah salah satu sistem yang mengacu pada konsep oseanografi operasional ini yang khusus didedikasikan untuk peringatan dini bencana tsunami. Sebagai sebuah negara maritim, Indonesia sangat membutuhkan fasilitas yang berbasis pada oseanografi operasional ini, baik untuk peringatan dini tsunami maupun untuk hal-hal lain yang bersifat strategis seperti perhubungan laut, penangkapan ikan dan budidaya laut, serta pencemaran laut. Terkait dengan hal tersebut, Badan Penelitian dan Pengembangan Kelautan dan Perikanan (Balitbang KP) – Kementerian Kelautan dan Perikanan berinisiatif untuk menerapkan konsep oseanografi operasional ini melalui Infrastructure Development of Space Oceanography (INDESO) Project. Project ini merupakan tindaklanjut dari Indonesia Global Ocean Observing System (Ina GOOS) yang telah diluncurkan pada tahun 2005 oleh Menteri Kelautan dan Perikanan yang bertujuan untuk lebih memahami lingkungan laut Indonesia dan kehidupan yang lebih baik di tengah komunitas Internasional dan Deklarasi Manado (Manado Ocean Declaration) yang dihasilkan di World Ocean Conference tahun 2009. INDESO Project tersusun atas 3 inti, yaitu model numerik oseanografi, pusat sistem informasi, dan stasiun penerima data satelit. Kegiatan ini memiliki 7 aplikasi rintisan, yaitu pemantauan di kawasan budidaya udang dan rumput laut, pemantauan kawasan terumbu karang dan hutan bakau, pengelolaan terpadu wilayah pesisir, pemantauan tumpahan minyak dan illegal, unregulated, and unreported (IUU) fishing, serta pengelolaan stok ikan. Mengacu pada definisi tentang Disaster Risk Reduction (DDR) yang merupakan sebuah konsep dan praktik dalam rangka mengurangi resiko bencana melalui upaya sistematis menganalisis dan mengurangi faktor penyebabnya, maka produk-produk yang dihasilkan oleh INDESO Project dapat digunakan untuk mendukung pelaksanaan DDR di Indonesia, terutama dalam hal yang berkaitan dengan pembangunan berkelanjutan. 36

Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Sain dan Teknologi Pada Pengurangan Resiko Bencana Banda Aceh, 22 November 2014

TENTANG INDESO PROJECT INDESO Project merupakan project yang didukung oleh Pemerintah Perancis dalam menyediakan solusi melalui teknologi space oceanography untuk mendukung pengelolaan secara berkelanjutan sumberdaya kelautan dan perikanan di Indonesia yang mencakup antara lain perikanan, budidaya laut dan lingkungan pesisir dan laut. Kegiatan yang tercakup dalam INDESO Project adalah pembangunan, pengembangan dan pengoperasian pusat pemantauan dan prakiraan, pengembangan sumberdaya manusia, transfer teknologi dan ilmu pengetahuan, serta penerapan teknologi satelit dan pemodelan laut yang berorientasi pada pembangunan sektor kelautan dan perikanan secara berkelanjutan.

Gambar 1. Diagram Skematik dari INDESO Project INDESO mencoba mengabungkan antara teknologi satelit dan komputasi numerik untuk menghasilkan produk-produk yang dapat digunakan dalam berbagai aplikasi di wilayah pesisir dan laut Indonesia. Project ini memiliki 7 aplikasi rintisan yaitu illegal, unregulated, and unreported (IUU) fishing, pemantauan stok ikan (khususnya untuk 3 spesies tuna, yaitu tuna mata besar, tuna sirip kuning, dan cakalang), pemantauan terumbu karang (khususnya di kawasan segitiga karang), pemantauan kegiatan budidaya udang dan rumput laut, pengelolaan kawasan pesisir yang terintegrasi dan hutan bakau, serta pemantauan tumpahan minyak di laut. Pusat operasional dari INDESO Project adalah di Balai Penelitian dan Observasi Laut (BPOL) yang berada di Kabupaten Jembrana, Bali. BPOL sendiri adalah Unit Pelaksana Teknis (UPT) yang didirikan tahun 2005 dan berada di bawah Balitbang KP yang memiliki tugas dan fungsi melaksanakan kegiatan penelitian dan pemantauan sumberdaya laut. INDESO memiliki 3 sistem inti, yaitu stasiun penerima data satelit, model numerik oseanografi, dan pusat data dan informasi. Stasiun penerima data satelit berfungsi untuk mengakuisisi hasil pemantauan dari satelit RADAR yang mampu memberikan data secara near real time dengan maksimum waktu akuisisi sekitar 30 menit. Sistem inti yang pertama ini akan menghasilkan data RADAR yang mampu merekam citra dalam segala cuaca baik siang maupun malam yang dapat digunakan untuk mendeteksi terjadinya tumpahan minyak serta objek tertentu di laut (salah satunya adalah kapal) yang sangat efektif untuk memantau terjadinya IUU Fishing. Sistem inti yang kedua, yaitu model numerik oseanografi mengintegrasikan antara model fisika oseanografi, biogeokimia laut, dan dinamika populasi ikan. Pemodelan ini didukung oleh data masukan dari pengukuran satelit dan insitu serta bersifat operasional. 37

Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Sain dan Teknologi Pada Pengurangan Resiko Bencana Banda Aceh, 22 November 2014

Proses produksi dilakukan setiap pekannya (setiap hari Rabu) dengan kemampuan peramalan (forecast) hingga 10 hari ke depan dan hindcast (memperkirakan kondisi di masa lampau) hingga 15 hari ke belakang. Data dan informasi yang dihasilkan dari sistem inti kedua ini adalah pola arus, suhu, salinitas, konsentrasi klorofil-a, konsentrasi nutrien, oksigen terlarut, konsentrasi zooplankton, alkalinitas, pH yang kesemuanya dalam 3dimensi, dan biomassa ikan untuk jenis makanan tuna, tuna mata besar (bigeye), tuna sirip kuning (yellowfin), dan cakalang (skipjack). Sistem inti yang ketiga adalah pusat data dan informasi yang melingkupi penyimpanan dan pengkatalogan seluruh produk INDESO Project beserta diseminasinya melalui web-portal ke para pengguna. Melalui sistem inti yang ketiga inilah seluruh produk INDESO dapat diakses oleh para pengguna sesuai dengan kebutuhannya. Adapun alamat web-portal yang disediakan adalah http://www.indeso.web.id. Melalui sistem inti yang ketiga ini para calon pengguna dapat mendaftarkan diri secara online untuk menjadi pengguna dengan mengisi form yang tersedia dan menunggu persetujuan dari Administrator INDESO yang akan dikirimkan melalui e-mail. Berikut adalah tampilan dari web-portal tersebut:

Gambar 2. Web-portal INDESO

PRODUK INDESO DALAM MENDUKUNG PROGRAM DRR DI INDONESIA Sebagaimana telah disampaikan pada bagian Pendahuluan bahwa mengacu pada definisi tentang Disaster Risk Reduction (DRR), maka produk-produk yang dihasilkan oleh INDESO Project secara garis besar dapat digunakan untuk mendukung pelaksanaan DDR tersebut di Indonesia, khususnya dalam kaitannya dengan pembangunan yang berkelanjutan. Sebagai sebuah negara maritim yang terletak di antara Samudera Hindia dan Pasifik serta Benua Asia dan Australia, selain Ring of Fire yang menyebabkan Indonesia rawan terhadap bencana alam berupa gempa bumi dan tsunami, terdapat pula potensi lainnya yang disebabkan oleh dinamika laut dan atmosfer seperti digambarkan pada Gambar 3 berikut: 38

Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Sain dan Teknologi Pada Pengurangan Resiko Bencana Banda Aceh, 22 November 2014

Gambar 3. Dinamika atmsofer dan laut di Benua Maritim Indonesia Secara umum kondisi cuaca dan iklim di Benua Maritim Indonesia sangat dipengaruhi oleh adanya interaksi laut dan atmosfer yang membentuk fenomena-fenomena seperti monsun, El Nino Southern Oscillation (ENSO), Indian Ocean Dipole (IOD) dan Siklon Tropis. Fenomena ENSO dan IOD dapat menyebabkan terjadinya anomali musim di sebagian besar wilayah Indonesia, dimana pada saat terjadi El Nino hampir sebagian besar wilayah Indonesia mengalami kekeringan yang berpotensi menyebabkan terjadinya gagal panen, kebakaran hutan, krisis air bersih, dan lain-lain. Sebaliknya, pada saat La Nina (fasa dingin dari ENSO), curah hujan di sebagian besar wilayah Indonesia menjadi lebih tinggi dan berpotensi menyebabkan terjadinya banjir. Dampak negatif dari ENSO tersebut ternyata sangat signifikan pada perekonomian negara-negara yang mengalaminya (Cashin et al., 2014). Pada sektor perikanan tangkap dampak ENSO juga sangat signifikan. Di Samudera Pasifik khatulistiwa bagian barat, migrasi ikan tuna (khususnya Cakalang) sangat dipengaruhi oleh pergerakan zona konvergensi yang diindikasikan oleh front suhu dan salinitas permukaan laut, dimana pergerakan zona konvergensi ini memiliki korelasi yang sangat kuat dengan Indeks Osilasi Selatan (IOS) (Lehodey et al., 1997) seperti ditunjukkan pada Gambar 4. Pada saat El Nino (yang diindikasikan oleh nilai IOS yang negatif pada panel sebelah kiri), zona konvergensi akan bergerak ke arah timur, sebaliknya pada saat La Nina (diindikasikan oleh nilai IOS yang positif) zona konvergensi tersebut akan bergerak ke barat. Rentang perpindahan front SST adalah antara 160°BT dan 160°BB (garis putusputus pada Gambar 4 panel tengah) sedangkan untuk SSS adalah antara 140°BT dan 160°BB (garis putus-putus pada Gambar 4 panel kanan). Adapun pola migrasi ikan Cakalang, berdasarkan Catch Per Unit Effort (CPUE) memiliki korelasi 0,75 dengan isotermal 29°C (Lehodey et al., 1997). Dengan demikian, pergerakan ikan Cakalang ke perairan Indonesia bagian timur di Samudera Pasifik khatulistiwa akan banyak terjadi pada saat La Nina, dan sebaliknya pada saat El Nino ikan Cakalang akan cenderung berpindah ke Samudera Pasifik khatulistiwa bagian tengah dan timur. Jika kondisi ini sudah dapat dipahami dan diperkirakan, maka pengelolaan sumberdaya perikanan tangkap akan dapat 39

Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Sain dan Teknologi Pada Pengurangan Resiko Bencana Banda Aceh, 22 November 2014

dilakukan dengan lebih baik, dan ancaman ENSO terhadap ketahanan pangan dan kegiatan ekonomi perikanan tangkap di Indonesia sudah dapat diperkirakan lebih awal sehingga dampak negatif dari penyimpangan yang terjadi dapat diminimalkan. Produk INDESO berupa data SST dan SSS tentu saja dapat dimanfaatkan untuk memperkirakan kondisi ini.

Gambar 4. Pergerakan Zona Konvergensi di Samudera Pasifik Khatulistiwa Bagian Barat yang Diindikasikan oleh Front Suhu Permukaan Laut (SST) dan Salinitas Permukaan Laut (SSS) dan Keterkaitannya dengan Indeks Osilasi Selatan (SOI). Sementara itu, di Samudera Hindia selatan Jawa dampak negatif ENSO terhadap perikanan tangkap justru terjadi pada saat La Nina, dimana La Nina cenderung melemahkan upwelling yang umum terjadi di wilayah perairan ini. Sementara itu pada saat El Nino upwelling yang terjadi justru semakin kuat. Sebagaimana diketahui, upwelling yang terjadi dapat meningkatkan kesuburan perairan, dan hal ini lebih lanjut akan meningkatkan jumlah tangkapan ikan karena ikan akan bergerak ke perairan yang subur untuk mencari makanan. Produk INDESO berupa profil suhu air laut terhadap kedalaman dan juga konsentrasi klorofil-a serta beberapa parameter biogeokimia yang dihasilkan dari model biogeokimia dapat dimanfaatkan untuk menganalisis fenomena ini. Dengan demikian, masyarakat atau pelaku penangkapan ikan yang beroperasi di Samudera Hindia selatan Jawa dapat mengetahui lebih awal kondisi-kondisi yang dapat berdampak negatif pada hasil tangkapan mereka. Siklon tropis dapat membahayakan kegiatan yang dilakukan di wilayah pesisir dan laut. Sebagaimana diketahui, pada saat terjadi siklon tropis, angin dan gelombang yang terjadi bisa sangat ekstrim dan membahayakan bagi keselamatan pelayaran. Kejadian siklon tropis dapat dideteksi melalui satelit meteorologi dan oseanografi. INDESO dengan fasilitas antena penerima data satelit dapat berperan dalam memberikan informasi mengenai kondisi cuaca ekstrim ini dan menginformasikannya melalui web-portal kepada masyarakat. Dengan adanya informasi ini, maka diharapkan dampak negatif dari bencana siklon tropis ini terhadap keselamatan jiwa manusia dapat dikurangi. Hal serupa juga dapat dimanfaatkan untuk fenomena alam lainnya seperti monsun yang kadangkala mengalami penyimpangan yang diakibatkan oleh ENSO dan IOD, dan IOD 40

Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Sain dan Teknologi Pada Pengurangan Resiko Bencana Banda Aceh, 22 November 2014

yang juga dapat meningkatkan curah hujan di wilayah Jawa dan Sumatera ketika SST di Samudera Hindia barat Sumatera berada di atas rata-rata (anomali positif). PENUTUP Selain dianugerahi laut yang luas dengan segala sumberdayanya yang berlimpah, masyarakat Indonesia harus tetap waspada akan potensi bencana yang ada seperti tsunami, gelombang badai, arus laut yang kuat, pencemaran laut, serta fenomena alam yang terjadi di laut akibat adanya interaksi antara laut dan atmosfer di atasnya seperti ENSO, IOD, monsun, dan siklon tropis. Ketersediaan data dan informasi dapat membantu kita lebih mengetahui fenomena-fenomena tersebut beserta mekanisme terjadinya dan potensi dampaknya, sehingga peringatan dini dapat dibuat dan disebarkan untuk mengurangi dampaknya kepada manusia. Mengacu pada definisi Disaster Risk Reduction (DDR), upaya sistematis untuk menganalisis dan mengurangi faktor penyebab bencana merupakan salah satu kunci utama keberhasilan. Untuk itu sinergitas antar lembaga dalam melakukan kegiatan dan pemanfaatan segala fasilitas yang tersedia di lembaga-lembaga tersebut harus dilakukan untuk keberhasilan program DDR di Indonesia. Terkait dengan hal tersebut, produk-produk yang dihasilkan oleh INDESO Project merupakan salah satu aset yang dapat digunakan untuk mendukung pelaksanaan DDR di Indonesia, terutama dalam hal yang berkaitan dengan pembangunan berkelanjutan. DAFTAR PUSTAKA Cashin, P., Mohaddes, K. and Raissi, M., 2014. Fair Weather or Foul? The Macroeconomic Effects of El Niño. Cambridge Working Papers in Economics. Lehodey, P., Bertignac, M., Hampton, J., Lewis, A., and Picaut, J., 1997. El Nino Southern Oscillation and Tuna in the Western Pacific. Nature 389, 715-718.

41

Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Sain dan Teknologi Pada Pengurangan Resiko Bencana Banda Aceh, 22 November 2014

Mobile Apps and Post-Disaster Safety Check: Examples of Existing Technology Mota, L.1, Sugianto, S2 and Rizal, S.3 1

Corresponding author: University of Syiah Kuala, Banda Aceh, Indonesia 2 University of Syiah Kuala, Banda Aceh, Indonesia 3 University of Syiah Kuala, Banda Aceh, Indonesia

ABSTRACT Mobile technology has become easy affordable to purchase, allowing people to send and receive information directly to someone using compatible devices, and also realtime monitoring of events, procedures or even meteorological circumstances. Although communication systems can be struck during a natural disaster, as soon as mobile networks are reestablished people try to use their furthermore devices to report they condition or ask be rescued. Now a days, apps and social networking are commonly used to share moments, feelings and mood states, but it can be used furthermore for postdisaster risk management. Internet search engines were used to find digital applications related to tsunami warnings, and by typing specific keywords such as 'android+iphone tsunami app' the most popular applications were listed for exploring features and postdisaster information. Software runs in different operational systems but all use the same methodology for navigation through different functions and menus. All include an alert message with information stored in cash data updated within a certain time period. The most relevant findings are the Emergency 2.0 Wiki web-site with a list of emergency smart-phone apps for Android and iOS, focused on global applications, and also for specific countries such United Sates of America, New Zealand, Australia, and Singapore. Furthermore, it includes five apps for people with a disability. The appcrawlr web-site has 14 apps related with earthquake and tsunami alerts, and the facebook safety check application is manly developed for social networking, to inform and check for other in case of a tsunami, earthquake or crisis. Key words: app, communication, information, post-disaster, social network INTRODUCTION The last five years has been revolutionary for the development of mobile applications related with disaster-communication, making it more accessible through smart-phones and tablets‟ digital applications (apps). Information rapidly reaches more people at the same time without the need to be handled by media or a disaster agency. George and Kim (2014) referred the use of social media on post-disaster situation as becoming more common and on demand for useful apps to spread information about a potential threat, communicate the user's current situation or checking on other people. Post-disaster mobile apps have a huge variety of possible application such as help people to find shelter, food, or fuel. Although mobile phones are mainly to talk and messaging, Shih, Seneviratne, and Ilaria (2013) recorded smartphones being widely used for operations including, chatting and acceding to social networks; they can get us further in communication and be quite handy for disaster-risk reduction. Apps allow users to get involved in crisis situations whenever they can connect to their network. George and Kim (2014) studied previous cases related to the 2013 Boston Marathon Bombing, Hurricane Sandy in 2012, the 2011 Great East Japan Earthquake and 42

Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Sain dan Teknologi Pada Pengurangan Resiko Bencana Banda Aceh, 22 November 2014

the 2010 earthquake in Haiti, have been used for describing the level of use of digital communication by governmental and non-governmental groups to try to find and identify suspicious people. Another case reports to Nepal, where after the avalanche occurred on October 15, 2014, social networking was used by the Annapurna Nepal Avalanche and Blizzard Info Share Community (n.d.), creating a Facebook (FB) page to share updated information about the natural disaster and help Internet users to track hikers. The community site has published a link to a blogspot containing a list of people trekking on the Annapurna at that time, and as well helpful information related to last known locations and status update of the rescue efforts. The objective of this paper is to give examples of mobile apps for post-disaster safety check available for typical smartphones or tablets. Mobile apps work based on server updates to feed mobile devices whenever connected to a network, and usually done through subscribed data pack or Wi-Fi connection. The self-contained program downloaded to the device, the app, is intuitive to allow users to navigate through different menus and use the powerful web browser specifically designed to list selected information. Niroshinie, Seng and Wenny (2013) has observed some programs requiring location data in order to combine with specific Features and Samantha (2014) described Post-disaster apps as able to triangulate information collected from the user's profile, Internet Protocol address (IP address) from the last login registered, and GPS coordinates from the rescue team or where the disaster has happened. Furthermore, user's profile with a registered phone number might have the possibility to receive notification via SMS with updated information related to the disaster. For more advanced devices, apps can be set to record sound and video to be sent together with GPS location to the server. Once uploaded, the information is resent to local emergency service. METHODOLOGY An extensive research was conducted on-line to expose the three most popular search engines used for finding mobile apps related with post-disaster risk management. Elbel Consulting Services (2014) states Google and Yahoo search engines as the most common to be used, with 50% and 25% of the market share. Web sites get ranked according to their users‟ preference, visibility and clicks. Also different operational systems equipping mobile devices, tablets and personal computers were analyzed based on Internet reviews to find relevance and usability for suitable apps related to subject in study. RESULTS Post-disaster mobile apps At the time of this research, and based on Internet reviews, the three most popular search engines used to find post-disaster mobile apps were Google, Yahoo and Bing, and from a list of four relevant operational systems running digital applications only Android and iOS for iPhone/iPad were found relevant by user's preference. Windows Operational System for phone and tablets, Blackberry Operational System for the same brand company name, and web Open Source (webOS) a Linux kernel-based operating system used by Hewlett-Packard, Palm, and now LG were not relevant for the study. To reduce bias when typing the keywords 'android+iphone tsunami app', each search engine was tested on three different days and on three different computers using different IP address. Although they were tested four different operational systems, the list revealed interesting links only for Android and iOS. Their play store called Google Play and iTunes was also listed among interesting pages such as Emergency 2.0 Wiki apps, Appcrawlr, 43

Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Sain dan Teknologi Pada Pengurangan Resiko Bencana Banda Aceh, 22 November 2014

sites directed to inform the public about preparedness, response and recovery from natural disasters. Another interesting site was the new application developed by FB, called Facebook Safety Check which was launched right when the avalanche in Nepal has occurred. Emergency 2.0 Wiki Apps The site is a global source for users of new technologies and social media applied to emergencies allowing user's interaction with software using web 2.0. The general overview is divided in general apps and some other specifically designed for countries like United States of America, Australia, New Zealand, and Singapore. Seven global apps developed for iOS related with disaster alert can be downloaded for earthquake, tsunami, storm surge, emergency SOS, crowd sourcing and emergency recovery, and only three for Android. Regarding individual countries listed, apps give alert for first aid, emergency awareness and preparation, hurricane, emergency recovery, emergency SOS, bus-fire, and volunteering. An interesting fact is that Emergency wiki 2.0 has four apps for people with disability where in some cases apps have a screen reader suitable to visual disability, and assists to navigate through the different functions to give relevant information, apps for deaf and hearing impaired users. There is one app specifically designed to assist individuals with Autism Spectrum Disorders (ASD) and communicate in case of emergency. Appcrawlr The website is an app discovery engine and a keyword filter can be applied to be more specific on the type of applications users are looking for. The best key-wording to find apps related with post-tsunami safety check is simply writing 'tsunami alert' and 14 apps were displayed with print-screens and some information about individual features for each app. For indecisive users, there is the possibility to compare different apps and a new table will be displayed with key points for comparison, such as price, users rating, the number of reviews each app has, and even a popularity trend is shown for appreciation. Facebook Safety Check October 16, 2014 was the official day for FB to launch a new digital application for natural disaster or crisis information. The safety check is an application included on facebook, and can be acceded on-line though the FB personal page or in any mobile device with web browser or FB app. The tool uses personal information and location from the user's profile, and in case of a natural disaster, or crisis, FB sends a notification to the user asking if he/she is safe. After answering this question, the whole personal network can be immediately informed about the status. The FB tool is set for post-quake, posttsunami or post-bush-fire checking, and based on the last login information, IP address, and local updates, FB issues a notification asking if the user is safe, and only after receiving an answer is then generated a feed to the user's personal friends list linked to the tool. In case the user is not in the affected area, there is an option to inform that he/she is outside the affected area. The use of social networks has reference to the 2011 Japanese earthquake-tsunami and, when people tried to communicate and tell about their situation. Three simple functions give chance to check notifications, say they are safe and check on others. For sure during natural disasters, communications go down, although as soon as users manage to have reception on their phones or connect to the Internet, he/she can start the feed.

44

Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Sain dan Teknologi Pada Pengurangan Resiko Bencana Banda Aceh, 22 November 2014

CONCLUSION New technologies can be very handy for users seeking safety and also be a good asset for post-disaster risk management, the actual demand for mobile apps shows the interest on safety and what concerns have become more common. Currently, software developers design apps suitable to provide precise information about a certain subject, for example alerts can be displayed on smarphones and users can share the same message by adding a feed in their social network. Information spreads very fast and is able to reach more people at the same time, although since the moment the mobile device is not connected to a network, or does not have data pack service, the apps is not accurate, or does not work, requiring connection for data update from the server. Likewise on Chan's (2012) study, there are also concerns about failure to communicate in case networks are down due to a disaster, forcing users to relocate to coverage areas to communicate and report their situation. Although, there are also apps able to provide information to mitigate impacts and provide guidance to find shelters or deliver first aid to someone in the need. Apps can also be educative. ACKNOWLEDGMENT This article is part of the EXPERTS4Asia post-doc consortium grant # 20123916 at the University Syiah Kuala, in Indonesia, with the research permit # 281/SIP/FRP/SM/IX/2014 to conduct research for tourism development on post-disaster affected areas. REFERENCES Chan, Wen Kai (2012). Operational effectiveness of smartphones and app’s for Humanitarian Aid and Disaster Relief (HADR) operations – a systems Engineering study. (Master‟s thesis, Naval postgraduate school, Monterey, California). Retrieved from http://www.hsdl.org/?view&did=725983 Elbel Consulting Services, LLC (2014). Retrieved November 14, 2014, from http://www.elbelconsultingservices.com/index.html George, H., & Kim, H. (2014). Disaster Communications in a Changing Media World. Waltham, MA, USA: Butterworth-Heinemann. Niroshinie, F., Seng, L., & Wenny, R. (2013). Mobile cloud computing: A survey. Future Generation Computer Systems, 29, pp. 84–106. doi:10.1016/j.future.2012.05.023 Shih, F., Seneviratne, O., Ilaria L., Evan, P., Patrick, M. & Carlos, C. (2013). Democratizing Mobile App Development for Disaster Management. In Sebastian B., Anika S., Stephan S., Freddy L., Biplav S., Zaiqing N., & Christian G. (Eds.). Joint Proceedings of the Workshop on AI Problems and Approaches for Intelligent Environments and Workshop on Semantic Cities (AIIP '13), ACM (pp. 39-42), New York, NY, USA. Samantha, R. (2014, November 16). An „App‟ for everything; But can Apps for Disaster save lives? Risk Management Magazine. Available: http://www.risktaisaku.com/sys/enarticle/?p=59 The Annapurna Nepal Avalanche and Blizzard Info Share Community (n.d.). In Faebook [Fan page]. Retrieved from https://www.facebook.com/pages/Annapurna-NepalAvalanche-and-Blizzard-Info-Share/336895043154367 45

Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Sain dan Teknologi Pada Pengurangan Resiko Bencana Banda Aceh, 22 November 2014

Pemanfaatan Layar Perangkat TIK Masyarakat Untuk Penanganan Data dan Informasi Bencana (Studi kasus integrasi perangkat Digital Signage dan SMS Gateway) Arie Budiansyah1 1

Perekayasa, Jurusan Informatika FMIPA, Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh, Indonesia

ABSTRAK Pengetahuan mengenai bencana sangat penting dalam kehidupan manusia. Informasi bencana selama ini diberikan oleh BMKG dan BNPB melalui peralatanperalatan yang mengobservasi situasi di suatu tempat. Jika informasi bencana perlu disampaikan kepada masyarakat maka digunakan 2 cara yaitu sirene suara dan broadcast pesan melalui siaran televisi. Penelitian ini mengusulkan pemanfaatan layar perangkat TIK seperti televisi, komputer, HP, Tablet, dan sebagainya yang ada dimasyarakat atau yang dimiliki masyarakat agar dapat menerima informasi bencana tanpa mengganggu aplikasi yang sedang tampil di layar perangkat tersebut. Sasaran penelitian ini adalah memanfaatkan layar perangkat TIK yang ada dimasyarakat atau dimiliki masyarakat dan dapat diintegrasikan ke perangkat yang sudah ada milik BMKG dan BNPB. Tujuan penelitian ini agar penanganan informasi bencana semakin luas dan baik yang berdampak pada dapat meminimalisir resiko atau dampak bencana (Disaster Risk Reduction). Kata kunci: Informasi bencana, penanganan informasi bencana, layar perangkat TIK masyarakat, digital signage, SMSGateway ABSTRACT Knowledge of disaster is very important in human life. Disaster information has been provided by the BMKG and BNPB through equipment that observing situation somewhere. If information needs to be conveyed to the public then it will broadcast in 2 ways, siren sound and broadcast messages on television. This research proposes the use of ICT devices such as television screens, computers, mobile phones, tablets, and so on that exist in the community in order to receive disaster information without interrupting the application that is being displayed on the screen of the device. The target of this research is to utilize the existing ICT devices screen in the community or communityowned and can be integrated into existing devices belonging BMKG and BNPB. The purpose of this study are handling of the disaster information more widely and better to minimize impact of disasters (Disaster Risk Reduction). Key words: Disaster information, disaster information management, screen of ICT devices, digital signage, SMSGateway

46

Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Sain dan Teknologi Pada Pengurangan Resiko Bencana Banda Aceh, 22 November 2014

PENDAHULUAN Konsep dasar sistem pada dasarnya terdiri dari 3 bagan utama. Bagan pertama pemberi input, bagan kedua proses atau observasi, bagan ketiga adalah keluaran berupa informasi yang perlu diteruskan ke masyarakat atau informasi yang perlu diobservasi. Relasinya diterapkan pada tiga tahap dalam penanganan kebencanaan. Pertama pencegahan atau peringatan dini, kedua tahap penanganan bencana, dan tahap ketiga pemulihan setelah terjadi bencana (Cioca, et al., 2008 dan Ang, et al.,2010) Penelitian ini fokus pada penanganan informasi seperti publikasi atau sosialisasi dan kordinasi di ketiga tahap penanganan bencana tersebut. Data dan informasi memiliki posisi penting agar dampak resiko bencana dapat dihindari atau diminimalisir. Berdasarkan pengalaman sering kita lihat tidak adanya atau keterlambatan data atau informasi dalam tahap penanganan bencana menimbulkan berbagai dampak dari ketidakteraturan penanganan, kerusakan alam yang luas, pemetaan yang tidak jelas, ketidaktepat sasaran, dan lain sebagainnya. Persoalan ini muncul bermula dari dari penanganan informasi yang kurang baik salah satunya kurangnya fasilitas penanganan data dan informasi sehingga kita minim terhadap pengetahuan kebencanaan. Spesifikasi Objektif Bencana adalah kejadian yang berdampak terhadap kehidupan makhluk hidup. Oleh karena itu pengetahuan terhadap hal ini sangat penting. Untuk pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) dibutuhkan tetapi masalahnya hal ini memerlukan investasi besar (Narman, et al., 2009 dan Xia, et al., 2009). Jadi mengapa tidak menggunakan perangkat TIK yang ada di masyarakat atau milik masyarakat sebagai media informasi bencana? Keberadaan perangkat TIK ini alangkah baiknya jika dapat dimanfaatkan atau diikut sertakan dalam sistem penanganan bencana. Hasil dari penelitian ini dapat dipergunakan tidak hanya untuk informasi bencana tetapi secara luas terhadap penanganan data dan informasi di berbagai aktifitas masyarakat. Penelitian ini menyimpulkan penanganan informasi bencana harus memenuhi 2 sasaran utama. Pertama, pemanfaatan perangkat TIK yang ada dimasyarakat atau milik masyarakat agar dapat menerima informasi di 3 tahap penanganan bencana. Kedua, mengintegrasikan sistem bencana yang sudah ada ke sistem ini sehingga memperluas penyebaran informasi. Dengan pemanfaatan perangkat TIK dimasyarakat maka data dan informasi bencana diharapkan langsung digenggaman masyarakat untuk meminimalisir resiko bencana. Untuk mewujudkan sasaran utama tersebut, kami merancang sistem tanggap darurat berbasis teknologi open source yaitu digital signage (Bauer, et al., 2011; Huang and Tsou, 2010; Huh, et al., 2014; Hyun, et al., 2014 dan Kim, et al., 2013) dan SMSGateway (Saleem and Doh, 2009; Siang, et al., 2003 dan Firdaus, 2010). Digital signage adalah sebuah teknologi informasi dan komunikasi yang dapat menampilkan dan mengendalikan informasi digital berbentuk teks, gambar, video, atau suara di layar perangkat digital seperti televisi, komputer, laptop, hp, tab dan lain sebagainnya. Software Digital Signage dikembangkan oleh organisasi non-profit Digital Signage Federation dan Digital Screenmedia Association (Wikipedia, 2014). Oleh karena itu bisa dikembangkan termasuk termasuk dikomersilsasikan oleh siapa saja. SMSGateway adalah sebuah teknologi pengelolahan pesan singkat teks SMS (short messaging service). Penelitian ini adalah penelitian awal merancang sistem penanganan data dan informasi bencana oleh group riset digital signage Jurusan Informatika Unsyiah.

47

Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Sain dan Teknologi Pada Pengurangan Resiko Bencana Banda Aceh, 22 November 2014

Spesifikasi Teknis a. Perangkat keras (Hardware) TIK Perangkat keras atau lebih dikenal dengan istilah hardware adalah alat berbentuk fisik yang dipergunakan mengirim dan menerima informasi dan komunikasi. Secara garis hardware yang dibutuhkan adalah hadware yang sering digunakan oleh masyarakat, namun jika alat tersebut jarang tetapi dimungkinkan dapat dipergunakan dalam sistem ini. Adapun hardware tersebut adalah komputer, laptop, televisi, HP, tablet, jam digital, videotron, LCD proyektor. b. Perangkat Lunak (Software)TIK Perangkat lunak atau lebih dikenal dengan nama software adalah sebuah program non fisik yang mengendalikan hardware dalam proses mengirim, memproses, dan menerima informasi dan komunikasi. Berbagai program di TIK diproduksi secara komersial maupun open source. Program komersial artinya pengguna harus membeli sebelum menggunakan sedangkan open source pengguna tidak perlu membeli, dapat mengembangkan lebih lanjut termasuk mengkomersilkannya. Program open source dikembangkan oleh banyak orang untuk tujuan pendidikan. Pada penelitian ini pemilihan program open source dipergunakan agar dapat dikembangkan sistem bencana ini. Adapun software yang dipergunakan adalah software yang telah dijelaskan pada sub bab objektif diatas yaitu software digital signage dan SMSGateway. c. Jaringan komunikasi data (Communication Data Network) Jaringan komunikasi data yang digunakan pada sistem ini adalah suatu jaringan yang menghubungkan hardware dan software yang digunakan agar terbentuk sistem bencana. Ada 3 jenis jaringan yang dipergunakan saat ini pertama jaringan internet, kedua jaringan cloud, ketiga jaringan BTS (Base Transmitter Service) atau jaringan operator seluler GSM/CDMA. Jaringan internet digunakan untuk layanan RSS (Rich Site Summary) yang bertugas mengambil pesan teks yang dikirim melalui protocol HTTP, jaringan cloud digunakan untuk menjangkau software digitalsignage yang diletakan di terminal-terminal atau perangkat informasi dan komunikasi masyarakat sedangkan jaringan BTS GSM diperuntukan untuk transmisi pesan singkat teks SMS. Namun dimungkinkan juga penggunaan jaringan operator seluler satelit BYRU, pengiriman pesan MMS (Multimedia Message Service) seperti gambar, yang mengambil konten internet ke HP, dan jaringan radio FM/AM untuk pengembangan penelitian di masa yang akan datang. RANCANGAN SISTEM Sistem bencana yang diusulkan pada penelitian ini harus dapat mencapai 2 sasaran yang ditetapkan yaitu memanfaatkan perangkat informasi dan komunikasi yang dipergunakan masyarakat dan dapat diintegrasikan ke sistem bencana yang sudah ada. Secara skema rancangan dapat dilihat sebagai berikut. Skema rancangan sistem bencana ini dibentuk berdasarkan menurut fungsi jaringan komunikasi datanya. Pertama fungsi jaringan cloud digital signage, kedua jaringan RSS dengan protokol HTTP/HTTPS, dan jaringan SMSGateway berbasis jaringan BTS GSM dan jaringan client-server.

48

Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Sain dan Teknologi Pada Pengurangan Resiko Bencana Banda Aceh, 22 November 2014

Gambar 6. Skema rancangan sistem penanganan data dan informasi bencana a. Jaringan Cloud Digital Signage Jaringan cloud digital signage yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan jaringan cloud digitalsignage (http://www.digitalsignage.com). Layanan cloud yang digunakan ada SaaS (Software as a service) maksudnya adalah pengguna dapat mempergunakan aplikasi software berikut databasenya melalui aplikasi cloud client. Pengguna tidak perlu membangun infrastruktur, platform, aplikasi karena semua fasilitas tersebut telah disediakan oleh digitalsignage. Namun penggunaan SaaS perlu registrasi dan tetap gratis dengan batasan. Kapasitas konten digital yang dapat ditampung sebesar 1000Mbytes atau 1 GigaBytes.

Gambar 7. Pengendalian konten digital di jaringan cloud digital signage Pada jaringan ini, setiap perangkat informasi dan komunikasi masyarakat contohnya televisi, monitor yang akan dipergunakan untuk menampilkan informasi bencana harus dinstal aplikasi cloud client yaitu signage player. Kemudian kita perlu aplikasi cloud client lain yang berfungsi mengelola konten dan tampilan layar model layar berbagi penuh, layar berbagi 2, layar berbagi 3, dan seterusnya. 1. Aplikasi Signage Studio merupakan aplikasi software yang berfungsi mengelola konten digital yang akan ditampilkan pada layar perangkat digital. Sebuah layar dapat dibagi peruntukan informasinya seperti scene satu untuk siaran televisi, scene

49

Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Sain dan Teknologi Pada Pengurangan Resiko Bencana Banda Aceh, 22 November 2014

2 untuk poster gambar, scene 3 untuk menampilkan pesan singkat teks SMS berupa teks berjalan. 2. Aplikasi Signage Client adalah aplikasi software yang diinstal pada layar perangkat digital. Fungsi aplikasi ini adalah menampilkan hasil pengolaan konten berikut form template scene yang telah disusun sebelumnya. 3. Layar media adalah layar media perangkat digital seperti televisi, monitor, laptop, HP, Tablet, videotron. b. Jaringan RSS protokol HTTP/HTTPS Zhu and Wang, (2010) Jaringan RSS) merupakan ringkasan informasi atau berita sebuah website yang dikirim melalui protocol HTTP/HTTPS sebuah protocol yang mengelola data HTML. Pada jaringan ini akan mengambil pesan singkat teks SMS dari sistem SMSGateway yang terbuka secara public ke internet. Setiap pesan singkat teks SMS yang dikirimkan melalui jaringan operator BTS GSM akan kelola di sistem SMSGatewat. Oleh karena itu konektivitas jaringan operator BTS GSM/CDMA dan jaringan cloud digitalsignage terbentuk. 1. Aplikasi Web Server adalah aplikasi untuk mengelola konten di jaringan web internet WWW dengan protocol HTTP/HTTPS. Pada sistem ini digunakan apache web server (http://www.apache.org). 2. RSS atau Rich Site Summary adalah ringkasan informasi atau berita sebuah website. RSS dikompilasi dalam bentuk XML (extensible markup language) sehingga dapat berbentuk teks tanpa kode HTMLnya. 3. IP Publik digunakan untuk penomoran alamat web server agar dapat dihubungi darimana saja. c. Jaringan SMS Gateway Jaringan SMSGateway adalah jaringan operator BTS GSM/CDMA yang dihubungkan dengan jaringan data WWW berbasis protocol HTTP/HTTPS untuk mempublikasi pesan singkat teks SMS yang didapat agar dapat dibaca oleh jaringan cloud digital signage. Perangkat yang digunakan pada jaringan ini adalah sebagai berikut: 1. Perangkat BTS milik operator seluler GSM/CDMA. Perangkat ini hanya dapat dikendalikan oleh operator seluler namun kita dapat memnafaatkan keluarannya yang berupa konten teks, gambar, suara, dan video. 2. Modem GSM/CDMA adalah sebuah alat transmisi data internet melalui jaringan operator seluler biasanya 2G, 3G, 3,5 G, dan 4G. 3. Aplikasi GAMMU (http://wammu.eu) adalah aplikasi pengelola pesan singkat teks SMS di sebuah komputer atau laptop. Setiap SMS yang diterima akan disimpan ke sebuah database. 4. Aplikasi Kalkun (http://kalkun.sourceforge.net) adalah aplikasi GAMMU berbasis web. Dengan aplikasi ini monitoring dan pengelolaan pesan singkat teks SMS

50

Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Sain dan Teknologi Pada Pengurangan Resiko Bencana Banda Aceh, 22 November 2014

menjadi lebih menarik, interaktif dan mudah (tidak memerlukan aplikasi database klien). 5. Database MySQL (http://www.mysql.com) adalah aplikasi penyimpanan data pesan singkat SMS, GAMMU, dan Kalkun HASIL DAN PEMBAHASAN Sistem penanganan data dan informasi bencana yang dirancang dalam penelitian ini berhasil menggabungkan 3 buah jaringan komunikasi data yaitu jaringan data WWW (World Wide Web) berbasis internet, jaringan BTS seluler GSM/CDMA, dan jaringan cloud digital signage. Investai perangkat hardware untuk membentuk sistem ini hanya 3 buah yaitu modem GSM/CDMA, TV Tuner, mini PC, sewa jaringan internet, dan pemanfaatan jaringan BTS seluler GSM/CDMA yang jika dinilai nominalnya dibawah Rp. 5 juta rupiah tetapi dapat menjangkau seluruh daerah yang ada jaringan internet. Investasi perangkat software yang digunakan open source atau gratis digunakan dan dikembangkan yang bernilai Rp.0,-.

Gambar 8. Layar monitor yang terbagi 3 scene. Scene 1, siaran tv kabel, scene 2, poster gambar, scene 3, pesan singkat sms dalam bentuk teks berjalan. Pada ujung kiri terdapat logo unsyiah. Kehadiran sistem ini memungkinkan mengirim data dan informasi dari mana saja, kapan saja, melalui fitur pengiriman pesan singkat teks SMS kemudian disebar ke perangkat TIK di masyarakat atau milik masyarakat tanpa menganggu aplikasi yang ada diperangkat TIK tersebut. Uji coba telah dilakukan dengan menerapkan penanganan informasi di Gp. Rukoh dan Pustaka Unsyiah. Pada implementasi di Gp. Rukoh, aparat gampong dapat menyebar informasi melalui HPnya sendiri ke televisi di warung kopi yang telah diset aplikasi sistem ini tanpa mengganggu siaran televisi yang sedang berlangsung. Pada implementasi di pustaka unsyiah pun berlaku hal yang sama.

51

Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Sain dan Teknologi Pada Pengurangan Resiko Bencana Banda Aceh, 22 November 2014

Gambar 9. Implementasi digital signage dan SMSGateway KESIMPULAN Sistem penanganan informasi bencana ini sangat bermanfaat luas, mudah diimplementasi tidak mengganggu aplikasi yang sedang berjalan dan memiliki nilai investasi perangkat TIK (hardware ataupun software) yang kecil. Dimungkinkan kedepan dilakukan penelitian untuk mengembangkan fitur-fitur layanan informasi seperti MMS, pemanfaatan jaringan satelit BYRU, radio FM/AM, hingga kode morse seperti telegram. Pengembangan ini dimungkinkan karena penggunaan software yang berbasis open source yang banyak tersedia di internet. UCAPAN TERIMA KASIH Terima kasih kami ucapkan kepada Jurusan Informatika Unsyiah sebagai lembaga yang memfasilitasi penelitian ini serta rekan-rekan kerja atas kerjasama dan dukungannya. DAFTAR PUSTAKA Ang H. China‟s Emergency Management Mechanisms for Disaster Prevention and Mitigation. IEEE; 2010 [cited 2014 Nov 7]. p. 2403–7. Available from: http://ieeexplore.ieee.org/lpdocs/epic03/wrapper.htm?arnumber=5592712 Bauer C, Dohmen P, Strauss C. Interactive Digital Signage - An Innovative Service and Its Future Strategies. 2011 International Conference on Emerging Intelligent Data and Web Technologies (EIDWT). 2011. p. 137–42 Cioca M, Cioca L-I, Buraga S-C. SMS disaster alert system programming. 2nd IEEE International Conference on Digital Ecosystems and Technologies, 2008 DEST 2008. 2008. p. 260–4. Firdaus bin Haji Sidek S. The development of the short messaging service (SMS) application for the school usage. Information Technology (ITSim), 2010 International Symposium in. 2010. p. 1382–6. 52

Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Sain dan Teknologi Pada Pengurangan Resiko Bencana Banda Aceh, 22 November 2014

Huh MY, Hyun W, Kim SH, Kang SG. Design of disaster alerting functionality for digital signage service. 2014 16th International Conference on Advanced Communication Technology (ICACT). 2014. p. 618–21. Huang Y-T, Tsou C-W. Adoption of digital signage and application technology in medium-sized enterprises in Taiwan. 2010 40th International Conference on Computers and Industrial Engineering (CIE). 2010. p. 1–5. Hyun W, Huh MY, Kim SH, Kang SG. Study on design and implementation of audience measurement functionalities for digital signage service using Kinect camera. 2014 16th International Conference on Advanced Communication Technology (ICACT). 2014. p. 597–600. Kim E, Lee HJ, Lee DH, Jang U, Kim HS, Cho KS, et al. Efficient contents sharing between digital signage system and mobile terminals. 2013 15th International Conference on Advanced Communication Technology (ICACT). 2013. p. 1002–5. Narman P, Sommestad T, Sandgren S, Ekstedt M. A framework for assessing the cost of IT investments. Portland International Conference on Management of Engineering Technology, 2009 PICMET 2009. 2009. p. 3154–66. Saleem M, Doh K-G. Generic Information System Using SMS Gateway. Fourth International Conference on Computer Sciences and Convergence Information Technology, 2009 ICCIT ‟09. 2009. p. 861–6. Siang BK, Bin Ramli AR, Prakash V, Bin Syed Mohamed SAR. SMS gateway interface remote monitoring and controlling via GSM SMS. 4th National Conference on Telecommunication Technology, 2003 NCTT 2003 Proceedings. 2003. p. 84–7. Wikipedia, the free encyclopedia. 2014 [cited 2014 Nov 19]. Available from: http://en.wikipedia.org/w/index.php?title=Digital_signage&oldid=633684125 Xia W, Chunjing G, Xianjun G. Analysis of Urban Disaster Prevention Engineering Investment: Cost-Benefit Analysis and Cost-Effectiveness Analysis Approaches. International Conference on Management and Service Science, 2009 MASS ‟09. 2009. p. 1–4. Kim E, Lee HJ, Lee DH, Jang U, Kim HS, Cho KS, et al. Efficient contents sharing between digital signage system and mobile terminals. 2013 15th International Conference on Advanced Communication Technology (ICACT). 2013. p. 1002–5. Zhu J, Wang H. Application of e-commerce personality searching based on RSS. 2010 The 2nd IEEE International Conference on Information Management and Engineering (ICIME). 2010. p. 197–9.

53

Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Sain dan Teknologi Pada Pengurangan Resiko Bencana Banda Aceh, 22 November 2014

Roles of Aceh Tsunami Museum Towards Global Disaster Risk Reduction Efforts: A Local Knowledge-Based Approach of Future Community‟s Resilience R. Fahlevi1, Rahmadhani2 1

2

Head for Aceh Culture and Tourism Agency, Aceh Government, Director for Programming, Aceh Culture & Tourism Agency/Secretary for Taskforce Team for Aceh Tsunami Museum, Aceh Government

ABSTRACT The Indian Ocean disasters of December 26th, 2004 measuring 9.2 on the Richter scale triggered a massive Tsunami disaster, devastating shores of several countries, such as Indonesia, Sri Lanka, India, Thailand and other countries along the Asia Pacific rim. The coastal areas of Aceh, one of Indonesia’s most western provinces, were heavily ravaged. As a result, the loss of life and destruction were tragic and Aceh’s economy was seriously brought into shambles. As we are now living in the areas of shifting tectonic plates “ring of fire”, which are constantly vulnerable of future unforeseen disaster threats, it is a priority to live harmony with disasters by building communities’ awareness through the establishment of the Aceh Tsunami Museum (ATM) as one of effective media towards the disaster risk mitigation or preparedness. This paper investigates the effective and productive roles of the ATM as a center for mitigation, recreation and evacuation. As a symbol of strength, patience, and resilience of the Acehnese during the past catastrophic Indian Ocean disasters, the ATM has served not only as a 2004 symbolic reminder, but also as a fundamental media for education and reconstruction in preserving and disseminating the live stories and lessons learnt known as “TeLL-Net” from past disaster experiences by always engaging the survivors and visitors. This method and other various methods of using IT for sharing experiences towards global disaster risk reduction efforts of future disaster hazards will also serve as a tool for future community’s resilience. Key words: Tsunami, Museum, Disaster, TeLL-Net, Risk and Reduction INTRODUCTION In mere moments, natural disasters have the power to devastatingly destroy the livelihood, human communities and human cultures built over generations. The Indian Ocean disaster of December 26th, 2004, for an example, the powerful earthquake measuring 9.2 on the Richter scale triggered a massive Tsunami disaster, destructing shores of several countries encompassing Indonesia, Sri Lanka, India, Thailand and other countries along the Asia Pacific rim. The coastal areas of Aceh, one of Indonesia‟s most western provinces, was also ravaged by the Tsunami. As a result, the loss of life and destruction were tragic and unavoidable, and Aceh‟s economy with its population of approximately 4.1 million in 2003 was badly affected with a large scale devastation of physical capitals, human resources and livelihood. As the devastation was massive, the reconstruction efforts were mainly aimed at providing humanitarian aids, rebuilding the shattered economy and creating a politically stable environment. In the face of emergency, Aceh‟s post disaster recovery was not all about stones, cements and other physical issues, but also encompassed other non physical

54

Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Sain dan Teknologi Pada Pengurangan Resiko Bencana Banda Aceh, 22 November 2014

issues of impacted communities, as they seriously experienced grievous feelings, such as hopelessness, missing, pressure, fear, anger, sadness, pain and guilt. The feelings eventually resulted in deep internal traumas and need to be humanly adopted and accommodated in order to help them move forward and regain their spirit, not only to sustain and live better economically and socio-culturally but also to mitigate their life of future unforeseen disaster threats (Rahmadhani, 2010). Geographically, we are now living in the areas of shifting tectonic plates “ring of fire”. Consequently, they are quite prone to future similar disaster threats, such as earthquakes, Tsunami and other disaster hazards. As a matter of fact, following the catastrophic Indian Ocean Tsunami disaster in late December 2004, our life has become more vulnerable with a sequence of earthquakes and Tsunami threats. As highlighted by Liem (2014) that over the last 10 years Indonesia hit by approximately 11.274 disasters and resulted in large scale devastation and fatalities. The disasters has also created loss approximately IDR. 420 Trillion. Hence, disaster risk mitigation efforts are urgent and need to be widely encouraged and socialized, one of them through the establishment and strengthening the Aceh Tsunami Museum or “ATM‖ as a center for mitigation, recreation and evacuation and media for sharing live stories or lessons learnt of past disaster experiences known as “TeLL-NeT”. The ATM built during the reconstruction of Aceh as a symbol of strength, patience and resilience of the Acehnese during the powerful disaster has so far served, not only as a 2004 symbolic reminder for the whole communities, but also as a fundamental media for sharing live stories or lessons learnt from past disasters by always remembering and conveying the stories of survivals through museum-based learning or other various methods, such as oral story-telling, films, images, artifacts, music, cultural events, monuments/memorials, artistic works and Tsunami heritage tourism towards disaster risk reduction efforts. As a global disaster museum and media for sharing live stories or lessons learnt of past disaster experiences, it is hoped to be one of effective media for enhancing individuals‟ preparedness in safeguarding communities from harmful effects of future disaster risks. MATERIALS AND METHODS Research methods comprise office and field stages. At the office stage, literatures were collected. At the field stage, first-handed observation and data collection at Aceh Tsunami Museum and all Tsunami-related sites in Aceh were undertaken during the focus group discussion (FGD), interviews and site visits. All images or photos were taken both directly from Aceh Tsunami Museum and other sources and literatures. DISCUSSION Indian Ocean Disasters and Impacts for Communities The catastrophic Indian Ocean Tsunami disaster of late December 2004 had made global communities shocked and watched in disbelief and drew global media to coverage as their headlines. As it was massively catastrophic, it became the most lethal natural disasters in the history of humanity and even in the history of Indonesia. As a data recorded at least 126,741 people were dead, 93,285 people were missing, 500,000 survivors were homeless and 750,000 people lost their livelihoods, not to mention other

55

Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Sain dan Teknologi Pada Pengurangan Resiko Bencana Banda Aceh, 22 November 2014

serious deep internal trauma experienced by the communities as a direct cause of the disasters (BRR Book Series-Book 8, 2009). The disasters eventually resulted in unprecedented reaction of global solidarity and sympathy in order to lighten up the sufferings of impacted communities through large scale humanitarian aids. At the same time, the tragedy also paved the way to end the armed political conflict between the Free Aceh Movement (GAM) and the Government of Indonesia (GoI) that had taken a long period and a greater number of casualties since 1976. It also became a momentum to rebuild Aceh known as Aceh‟s Redevelopment with challenging global slogans “Let‟s build Aceh back better” and “No Peace without Reconstruction, No Reconstruction without Peace”. At the end, the disaster proved to be a “blessing in disguise”, which transformed the tragedy into an opportunity for the Acehnese to leading a better life in peace. As the loss and devastation was massive, the recovery programs were not only aimed at urgent physical issues like rebuilding homes, roads, schools, hospitals and other supporting infrastructure, but also non-physical issues like rebuilding a livelihood and mental state of disaster affected communities towards a stronger foundation for a new future redevelopment. Since the armed political conflict broke out in 1976, most Acehnese were unfortunately isolated from the outside world for many years. The community‟s life was badly affected during the conflict and the condition was worsened by the Indian Ocean Tsunami disaster. During the reconstruction process and the presence of international aid workers for a humanitarian mission with different nationalities, cultures and beliefs, the time changed and the socio-cultural structures of the Acehnese also changed dramatically. This sudden change threw the Acehnese into a serious confusion and euphoria. They were shocked and watched in disbelief a new phenomenal situation of life, which was very different from what they experienced before the Tsunami event. As the deep wounds were seriously caused by the armed political conflict and exacerbated by post disaster trauma, the process of socio-cultural transformation become more challenging and even more complicated. Nevertheless, as the Acehnese are mostly Moslem, Islamic values strongly influence their daily life. Thus, rebuilding socio-cultural structures based on the values in order to facilitate a more successful process of socio-cultural transformation in Acehnese community became crucial. In addition, rebuilding the identity, morality and selfconfidence of the Acehnese was also a priority, so that they could develop and maintain a progressive religious society capable of responding to future challenges (BRR Book Series-Book 10, 2009). The success of Aceh‟s recovery through the process of rehabilitation and reconstruction as initiated by the BRR with thorough supports of national and international community has made the Acehnese fully aware that there were not alone. Otherwise, they not only felt proud and thankful, but regained their spirit and confidence to move forwards to leading a better life. The establishment of the ATM, for an example, is evident as one of the most important remains of the succesful reconstruction of Aceh, not only as a fundamental center for mitigation, recreation and evacuation, but also as a symbolic reminder of 2004 Tsunami disaster that will always show hope, pride, resilience and global human spirits. The Roles of ATM as Media for Mitigation, Recreation and Evacuation Aceh‟s Redevelopment post Tsunami was proved to be successful and resulted in many achievements and lessons learnt in various developmental sectors. These achievements, however, are the results of a steadfast commitment of the local, national 56

Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Sain dan Teknologi Pada Pengurangan Resiko Bencana Banda Aceh, 22 November 2014

and international community, which was combined with the resilience and spirit of the Acehnese who lost so much. The establishment of the ATM has whatsoever been one of the achievements among others as an iconic global disaster museum. Table 1. Profile of Aceh Tsunami Museum FLOOR WIDTH USAGE 2 Ground Floor 560 m Memorial Hall, Tsunami Alley, Praying Hall, Panic Path st 2 1 Floor 525.25 m Open Theater, Ticketing, Lobby, Aceh Map, Public Toilet, Café, Pool, Open Stage nd 2 2 Floor 2,529.58 m Lobby, Audio Visual Room, Temporal/Permanent Exhibition, Management Room, Meeting Room, Control Room rd 2 3 Floor 2,460.49 m Geological Room, 4 D Movies, TeLL-Net Room, Library, Souvenir, Storage, Praying Room 2 Roof top 2,460.49 m Evacuation (Escape Hill) Total Area ± 10,000 m2 Landscape, Parking, Resto and Supporting Buildings Total Cost IDR 66,445,421,000 or US$ 664,454,211 Located strategically along the Tsunami heritage areas or disaster‟s most stricken areas in Banda Aceh, the 2,500 m2 four storey structure was uniquely designed by a prominent local Indonesian architect named Ridwan Kamil from Bandung Institute of Technology (ITB), West Java Province through a nationwide design contest. He finally won the contest because of its unique and typical architecture of Acehnese traditional house on stilts as a symbol of local wisdom as an escape hill building (Hasan, 2009). Adopting Aceh‟s cultural and Islamic values, the iconic museum establishment was aimed at commemorating the 2004 Indian Ocean Tsunami disasters, serving as a long lasting tribute to the victims of Tsunami and functioning as a fundamental media for mitigation, recreation and evacuation purposes towards disaster risk reduction (DRR) of future larger society (Figure 1). Since its first opening for public on May 8th, 2011, the museum has so far been visited by approximately 1,378,606 visitors domestically and internationally.

Figure 1: ATM has unique and typical architecture of Acehnese traditional house on stilts

57

Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Sain dan Teknologi Pada Pengurangan Resiko Bencana Banda Aceh, 22 November 2014

Media for Mitigation From a building design concept, the ATM building adopts three famous philosophical values, namely disaster, religion and culture. The values are strongly correlated one to another offering significant uniqueness, beauty and civic pride of the museum building for the Acehnese as a fascinating global disaster museum that will draw visitors‟ attention nationally and internationally (Figure 2).

Figure 2: ATM with three philosophical values: Disaster, Culture and Religion Disaster value can be recognized if the ATM is seen through an aerial view or bird‟s eye view. The museum building design uniquely resembles a sea-wave or a tidal wave right in the middle of the sea reflecting a similar catastrophic Tsunami disaster in late December 2004, which heavily ravaged Aceh and resulted in a massive loss and devastation. In the point of view of culture, the building was designed with a unique architecture of “Acehnese traditional house on stilts” as an escape hill building adopting local cultural and Islamic value. The exterior walls are beautifully adorned with images or patterns of the Acehnese performing the Saman Dance or ―Thousand Hand Dance”, as symbolic gestures reflecting the strength, resilience, discipline and religious belief of the Acehnese during the tragedy. The Aceh Saman Dance has become one of Aceh‟s most popular dances worldwide and officially been recognized by the UNESCO as the world‟s intangible cultural heritage since 2011. The museum building design is vertically and horizontally shaped. Mostly the Acehnese are Moslem and the Islamic values are strongly reflected in their daily life and the museum building itself as well. The vertical design reflects the strong relationship between humans and God or “Habluminallah”. As an illustration during the hardship, the Acehnese surrendered to God for what happened with a strong belief that the disaster just happened surely as God‟s will and there would be a mercy or best lessons behind it. Amazingly, the tragedy eventually turned out to be a “blessing in disguise”, transforming the tragedy into a significant opportunity for Acehnese to move forward and lead a better life. The horizontal design reflects the strong relationship between human and human or “Habluminannas”. The past devastating disaster was proved that the Acehnese were not alone. The disaster created not only a global sympathy and friendship, but also the presence of global community to Aceh with different nationalities, cultures and beliefs for the only humanity mission “humanity‖ in assisting the impacted communities through humanitarian aids. In addition to the design concept, four psychological spaces were divided inside the museum building as an essential part of a disaster learning center, which were 58

Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Sain dan Teknologi Pada Pengurangan Resiko Bencana Banda Aceh, 22 November 2014

purposefully designed for museum visitors, namely Space of Fear, Space of Sorrow, Space of Hope and Space of Mitigation. Every space has their each meaning, message and philosophy. In order to emotionally and effectively experience the museum facilities as a fundamental media for mitigation, recreation and evacuation towards future disaster risk reduction (DRR), the visitors are challenged to enter through each the space with different experiences (Figure 3).

Figure 3: ATM as Space of Fear, Space of Sorrow, Space of Hope and Space of Mitigation Space of Fear. Visitors are encouraged to enter through a 19 m long Tsunami Alley located on the ground floor. It is a long dark alley with a man-made waterfall design on the left and right hand sides with thundering water sound, reminding visitors on atmosphere of past Tsunami event. Those with a strong adrenalin or mentality are encouraged to enter through the alley or they can directly walk up stairs to the second floor instead of entering through the alley due to possibly traumatic reasons. Space of Sorrow. Visitors are introduced to a dark memorial hall located on the ground floor, which is equipped with 26 media panels reflecting a date of the catastrophic event of December 26th, 2004. The media panels will exhibit visitors with photographs, documentaries or images on the loss and the destruction as a direct cause of past disasters. They also exhibit the humanitarian aid activities by donor countries and NGO‟s during the emergency. Space of Hope. Prior to entering through the space of mitigation, museum visitors will be directed to a Praying Hall located on the ground floor with a dark atmosphere. It is a hall with cylinder-shaped wells shining a light over a hole with an Arabic written word "Allah" "the Almighty". It also reflects the religious nature of Acehnese people who believe that God holds supreme might and power over all things (Hasan, 2009). The well wall is filled up with names of victims, which indicates a religious value reflecting a concept of human relationships with God. In this hall the visitors are also encouraged to express their deep condolence and sympathy by sending prayers for those who are dead, lost and survived during the past tragedy. Space of Mitigation. The visitors will enter through the fourth space or the last important space of Tsunami museum tour or called ―space of mitigation‖ located on 2nd and 3rd floors. At the space, the visitors are introduced to diverse disaster learning media toward the disaster risk reduction efforts in the forms of museum facilities, such as oral story-telling, films, images, artefacts, music, cultural events, artistic works, dioramas, library, documentaries and geological space with simulation tools (Figure 4). 59

Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Sain dan Teknologi Pada Pengurangan Resiko Bencana Banda Aceh, 22 November 2014

Figure 4: Geological Space with simulation tools for disaster learning Prior to entering through this space, visitors will pass through a 19 m long bridge, which reflects a ―global friendship‖ or ―bridge of friendship‖ between the Acehnese, the donor countries and NGO‟s during Aceh’s Redevelopment. In addition, there are also 53 flags of donor countries suspended above the bridge reflecting the strong friendship among the nations (Figure 5).

Figure 5: Bridge of friendship and 53 flags among donor countries Media for Recreation Wars and other catastrophic events have created negative impacts to human lives. They can heavily damage all aspects of lives -economic, socio-cultural, political and environmental-. The 1st and 2nd World Wars and other catastrophic natural disasters are such horrific examples that have become unforgettable frightening nightmares within our human life. The events had created the deepest misery, loss and devastation for those living within the periods, not to mention thousands of people were tragically killed and their family members were torn apart during the tragedy. From a tourism perspective as one of world‟s rapid growing industries, such remains of bygone wars or other catastrophic events will also result in positive long term impacts of future people‟s livelihood. Maintaining and promoting post-war and disaster heritage sites, for examples, have become a new significant niche market for a tourist destination, not only to create job opportunities for the locals, to remind succeeding generations of the worse impacts of the tragedy, but also to enhance people‟s awareness on disaster risk reduction worldwide (Rahmadhani, 2011). Obviously, the 2004 Indian Ocean Tsunami disaster with massive devastation and loss, for another example, has created not only a deep internal trauma for the Acehnese, but also Tsunami remains. The remains, which if carefully managed will be future 60

Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Sain dan Teknologi Pada Pengurangan Resiko Bencana Banda Aceh, 22 November 2014

important Tsunami heritage as scientific purposes and also new unique tourism destination, such as the Stranded Ship, the Boat Atop the House, Tsunami Mass Graveyards, Stranded Mosque Dome, Tsunami Heritage Trails, Baiturrahman Grand Mosque, Baiturrahim Mosque and Survivors with their Tsunami Stories. As the Tsunami remains are considered unique, specific and rarely found in other places, Aceh with its past massive disaster event has been designated as a uniquely Tsunami-based tourism destination in the westernmost part of Indonesia, which is well integrated with other Aceh‟s natural beauty and its vibrant sense of cultural heritage. Nevertheless, it is worth bearing in mind that promoting Aceh as a Tsunami-based tourism destination does not merely mean to commercialize the sufferings and the pains of the Acehnese for business purposes only. Otherwise, apart from the livelihood improvement in a long term, it will be another effective media aimed at showing the global tourists on the strength, resilience and patience of the Acehnese during the past hardship and conveying an appreciation for the outpouring of generosity and sympathy of the global community and promoting a global sense of social togetherness and mitigation awareness among communities. It is also an effective media for sharing live stories or lessons learnt of past disaster experiences on how to explore ways of coping with disasters and rebuilding stricken communities by showing residents what happens in the past and the needs to get to high ground for self-mitigation (Kusakawa, 2012). The ATM as an important iconic Tsunami tourism and other Tsunami-related sites ―Tsunami heritage‖ has so far turned into popular tourist attractions among visitors. These sites are mostly preferred as weekend recreation spots, where powerful memories of past Indian Ocean Tsunami disaster still endure. Amazingly, a growing numbers of domestic and international tourists are coming to see and enjoy these sites while studying about the Tsunami and Tsunami destruction in Aceh. This new kind of tourism has economically generated a significant income and open up employment opportunity for the locals (Nazaruddin and Rahmadhani, 2013). The ATM with its unique philosophy and design has been one of a few Tsunami museums built worldwide. The others include the Pacific Tsunami Museum in Hilo, Hawai, the Disaster Reduction and Human Renovation Institution (DRI) in Kobe, Japan, the National Museum of Natural Science and 921 Earthquake Museum of Taiwan in Taichung, Taiwan, Adapazan Earthquake and Cultural Museum in Sakarya, Turkey and the International Tsunami Museum in Khao Lak, Thailand. Media for Evacuation Building communities with disaster risk mitigation efforts also means to prepare them with a strong knowledge, mentality and vigilance in taking any prompt and effective measures on prior, ongoing and post disaster events. These measures are important in order to prepare self-mitigation or preparedness for communities. These measures also educate them on how, when and where to escape when a disaster will occur and threaten their livelihood and to stay calm and vigilant from a mass panic situation and fears in the efforts to avoiding casualties. Past mega earthquake events that struck off the coastal areas of Sumatera and Simeuleu Islands on April 11th, 2012 was the other important lessons learnt to always remember. The earthquakes measuring 8.5 and 8.2 on the Richter scale that were predicted to trigger an Indian Ocean Tsunami alarmed the Acehnese who still have fresh memories and trauma of the 2004 Tsunami disaster throughout the region. These powerful earthquakes not only created fears, mass panic and serious traffic jams for them living along coastal areas of Sumatera, particularly coastal areas of Aceh, but they also made the communities frantically run into inland as fast as they could and 61

Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Sain dan Teknologi Pada Pengurangan Resiko Bencana Banda Aceh, 22 November 2014

flee to higher elevation of hilly areas for their self-mitigation purposes. Amazingly, the ATM had become a most preferred evacuation center by the communities, especially young students than escape hill buildings for emergency disaster shelter purposes from the possibility of the 2012 Tsunami threats (Rahmadhani, 2012). Based on the spot interviews conducted by the staff of the ATM during the panic evacuation, it is evident that their frequent visits to the museum for learning the disaster risk reduction management had made them aware of fleeing to the museum building for an emergency disaster shelter when caught by a disaster. However, escaping to the ATM merely for their self-mitigation has reminded us on a particular local knowledge on Tsunami or known as ―Smong‖ that has long contributed as an early warning media for the Simeulue people toward the danger of Tsunami waves. The knowledge about the Smong has been adopted and passed down from one generation to the next generation by the community to escape when a tremendous earthquake occurs. According to an official report issued by the district government that the total population of Simeulue Island was over 78,000 in 2004, but the number of dead victims in Tsunami 2004 was 7 people. The success story Simeulue people, not only has inspired the Acehnese and Indonesian people living in the mainland, but also the global communities overall on how to mitigate from the hazardous disaster threats through disseminating past catastrophic disaster experiences to future modern communities, especially to succeeding generations on future disaster risk reduction efforts. In addition, the local wisdom of the Smong has fully inspired the ATM as a global disaster museum to better strengthen its mission, not only as a fundamental center for mitigation and recreation, but also as an alternative strategic center for evacuation purposes other than escape hill buildings and higher elevations of hilly areas by promoting effective activities of sharing live stories of past disaster experiences between the past Tsunami survivors and the communities. Sharing Live Stories or Lessons Learned of Past Disaster Experiences The disaster risk mitigation efforts need to be widely socialized and promoted among the community in terms of disseminations, disaster drills, focus group discussions and sharing live stories or lessons learned of past disaster experiences. Sharing live stories or lessons learned of past disaster method, for an example, can positively contribute to disaster preparedness, mitigation and recovery that will build back better. This also has a great value as a way to create monuments and memorials and can be transformative and therapeutic activities for individuals and whole communities as well. Through various methods of sharing experiences directly, the power of the story shared by the survivors who experienced the disaster themselves can have multiple impacts, not only for themselves, but also for the future generation (International Recovery Platform, 2014). Through their live stories of the past disasters, they can evaluate what worked and what did not work. From the process of sharing and learning, the community not only can prevent from future disaster damages and loss, but also in the tragic event of a disaster, they can also learn from the lessons of recovery and engage in a recovery process that is the most beneficial to the community of the stricken areas. The ATM, which was specifically designed and its present challenges has effectively served as a means of education and reconstruction in preserving and disseminating the real live stories and lessons learnt from the experiences of disaster responses towards global disaster risk reduction efforts by introducing the survivors as disaster storytellers. 62

Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Sain dan Teknologi Pada Pengurangan Resiko Bencana Banda Aceh, 22 November 2014

Their live stories are lively shared in the hope of promoting disaster awareness among future generations and help them to embody the behavior when caught by a future earthquake or Tsunami. Equally importantly, they also remind us of the trauma that one suffers when trying to mourn for their relatives in a disaster context. Survivors not only need emergency food and shelter, but also temporary places and times where they care for and remember the dead (Boret, 2014). In addition, sharing live stories or lessons learned of past disaster experiences will psychologically result in positive impacts, especially for the survivors as disaster storytellers to emotionally express their heartbreaking experiences, to build a sense of social togetherness among communities, to always remember their loved ones who have become ―Tsunami martyrs‖, and to build a self-confidence and regain their spirit to always move forwards.

Figure 6: Promoting sharing live stories of past disaster experience in the ATM At the beginning, promoting sharing live stories or lessons learned of past disaster experience at the museum was not without challenges. The writer had to convince various stakeholders from the Government of Aceh, the communities, the museum staff to museum visitors on the philosophy and importance of the program to our future global disaster risk reduction efforts. Without a doubt, the program of ―TeLL-Net‖ has received positive responses and supports, not only from the survivors, the museum visitors, but also from the international community (Figure 6). Ironically, it becomes our serious concerns that many survivors of 2004 Indian Ocean Tsunami with past diverse disaster experience stories tend to forget their tragic experiences, which should be important moral messages to be transmitted to the next generation for building a preparedness towards a disaster risk reduction of future disaster threat as what the Simeulue people have done with their ―Smong07‖ to the next generation. Therefore, enormous efforts are required in sustaining such activities. Traces and lessons of a disaster often disappear very quickly from people's minds and the whole communities. As Yamamoto (2010) mentioned that if the method for passing on the disaster is not established until fifteen years since the event of the past tragedy, unfortunately, it will not be connected to the future. In order to help maximize the benefits of the live stories or lessons learned of the past disaster experiences shared by the survivors at the ATM, a video recording on the storytelling is also used. At the first stage, there are five survivors, whose various stories of past disaster experiences were successfully video recorded in partnership with the local TV Media known as “TVRI”. 63

Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Sain dan Teknologi Pada Pengurangan Resiko Bencana Banda Aceh, 22 November 2014

Located on 3rd floor covering an area of 36 m2, the TeLL-Net has become the most preferred program by visitors in order to listen directly to the survivors‟ stories of past disaster experiences. In order to create a specific nuance of the TeLL-Net, the space is also equipped with interactive disaster-related exhibits, such as information displays, photos on past reconstruction activities, photo album, Tsunami paintings and local therapeutic instrumental music. Yet, live stories or lessons learnt of past disaster experience that will contribute to disaster preparedness, mitigation and recovery is not merely limited to the museum facilities, but they are also kept alive through other effective popular media, such as the preservation of physical disaster damage, the memorials, monuments, the memory transfer, the storytelling and folk media. Additionally, post the Indian Ocean Tsunami disaster, it created not only a deep internal trauma for the Acehnese, but also important Tsunami remains and the buildings established by the BRR during the reconstruction of Aceh. The remains include the Stranded Ship, the Thanks to the World Park, the fishing boat stranded atop of a ruined house, the Tsunami Mass Graveyards, the Stranded Mosque Dome, the Tsunami Heritage Trails, the Baiturrahman Grand Mosque, the Baiturrahim Mosque, the “Survivors with Tsunami Stories and damaged buildings. The buildings established during the reconstruction of Aceh include Aceh Tsunami Museum, Tsunami and Disaster Mitigation Research Center “TDMRC”, Escape Hill Buildings, past disaster experience or “lessons learned”, memorials, monuments and folk media. All the remains should be maintained and developed, not only can be socioculturally and economically promoted for scientific and tourism purposes, but also can be for global disaster risk reduction efforts of future disaster threats through sharing live stories or lessons learnt of past disaster experience between survivors and communities, especially modern generations. A solid museum management with credible staff needs to be established in order to satisfy visitors‟ demands and expectation towards future disaster risk reduction efforts, especially on building strong working partnerships between all stakeholders – communities, local and national government, governmental and non-governmental organizations and the private sector. These working partnerships are critical to widely promote our museum in transferring experiences and lessons of past disasters across borders in the hope of reducing future damages and casualties. However, the 10 years of Indian Ocean Tsunami Disaster Commemoration to be conducted on December 26th, 2014 will be an appropriate momentum, not only to reflect and remember the past tragic Tsunami event, but also to promote global disaster risk reduction towards disaster resilient community. CONCLUSION The past disaster should not remain as it was. It should be an important learning for everyone. As we are now living in the areas of shifting tectonic plates or “ring of fire, which are constantly prone for future disaster threats, living harmony with the disasters and better understanding disaster characteristics is a priority in minimizing harmful impacts of future disaster hazards by building communities‟ awareness. Conducting media campaigns, school campaigns, disseminations, disaster drills, FGD and sharing live stories or lessons learnt on coping strategies and survival techniques among communities, for an example, is also crucial in order to always remember the impacts resulted from the 2004 Indian Ocean Tsunami disasters and other current global disaster 64

Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Sain dan Teknologi Pada Pengurangan Resiko Bencana Banda Aceh, 22 November 2014

events. The ATM as a global disaster museum for mitigation, recreation and evacuation center in collaboration with other various methods of sharing experiences has been proved as one of effective media for educating communities in reducing risks from future natural hazard-related disasters. Strong working partnerships among all stakeholders – communities, local and national government, governmental and non-governmental organizations and private sector are therefore required in order to better promote the ATM in transferring experiences and lessons learnt of past disasters across borders in the hope of reducing disaster impacts. Strong coordination among governmental and nongovernmental organizations is also important in order to help support the future‟s disaster emergency responses more effectively and efficiently. REFERENCES Boret, S., 2014. Remembering And Preventing Disasters. The Politics of Disaster Memorialisation and Prevention in Japan and Indonesia. http://rememberingdisasters.com/2014/06/30/disaster-witness-network-in-acehtellnet-jaringan-saksi-bencana-di-aceh-lihat-cerita-ini/. BRR Book Series-Book 10, 2009. Religion, Social & Culture: Revitalizing the Dignity of Society. The Executing Agency of Rehabilitation and Reconstruction for Aceh and Nias (BRR NAD-Nias). BRR Book Series-Book 8, 2009. Infrastructure: Stimulating the Triggering Sector. The Executing Agency of Rehabilitation and Reconstruction for Aceh and Nias (BRR NAD-Nias). Hasan, N., 2009. Memorial for Tsunami Victims Pays Tribute to Acehnese Culture. The Jakarta Globe. 2.24. 2009. http://thejakartaglobe.com/news/memorial-for-tsunamivictims-pays-tribute-to-acehnese-culture/308397. International Recovery Platform, 2014. Guidance Note on Recovery: Telling Live Lessons. Chuo-ku, Kobe, Japan. URL: www.recoveryplatform.org, Kusakawa, M., 2012. Indonesia Tsunami Survivor Says 'Tourism' Can Educate Coastal Residents. The Asahi Shimbun Newspaper. http://ajw.asahi.com/article/behind_news/social_affairs/AJ201212180006. Liem, I., 2014. Siaga Menghadapi Bencana. Kompas Newspaper. Edukasi. June 27, 2014. Nazaruddin, A. & Rahmadhani, 2013. Introduction to Tsunami Tourism: Notes from Aceh, Indonesia. International Journal of Sciences Research Article (ISSN 23053925) Volume 2, Issue Mar 2013 http://www.ijSciences.com. Geoscience Programme, Faculty of Earth Science, Universiti Malaysia Kelantan, UMK Jeli Campus, Locked Bag No. 100, 17600 Jeli, Kelantan. Rahmadhani, 2010. Telling Live Lessons and Aceh Tsunami Museum. The Int‟l Forum on Telling Live Lessons from Disasters. Disaster Reduction & Human Renovation Institution. Kobe – Japan. 3.21.2010. Conference Presentation. Rahmadhani, 2011. Memajukan Wisata Tsunami Aceh. Mungkinkah?. http://aceh.tribunnews.com/2011/12/29/memajukan-wisata-Tsunami, Serambi Indonesia Newspaper, December 29th, 2011, Banda Aceh. Rahmadhani, 2011. Disaster Heritage & Creative Economy: From Perspective of Area Informatics: Disaster Heritage, Museum & Tourism. International Symposium & 65

Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Sain dan Teknologi Pada Pengurangan Resiko Bencana Banda Aceh, 22 November 2014

Workshop: Center for Integrated Area Studies (CIAS), Kyoto University – TDMRC, Banda Aceh – Indonesia. Conference Presentation. Rahmadhani, 2012. How to Archive Tsunami Memories & Roles of Aceh Tsunami Museum Towards Disaster Lesson Transference. International Forum on Telling Live Lessons from Disasters. Disaster Reduction & Human Renovation Institution. Kobe – Japan. 2. 28.2012. Conference Presentation. Rahmadhani, 2012. Museum Tsunami sebagai Media Evakuasi, http://www.analisadaily.com/news/read/2012/05/05/49209/museum_Tsunami_seb agai_media_evakuasi/, Analisa Newspaper, 5 May 5th, 2012, Medan. Rahmadhani, 2012. Efforts on Recovering & Safeguarding Aceh‟s Cultural Heritage Post Disaster. International Symposium on “Catastrophes & Constructing Communities. National Museum of Ethnology. Osaka – Japan. 11.16. 2012. Conference Presentation. Yamamoto, K., 2010. Human Renovation Institution, Kobe, Japan. The International Forum on Telling Live Lessons from Disasters. Disaster Reduction & Human Renovation Institution. 3.21.2010. Kobe – Japan. Conference Presentation.

66

Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Sain dan Teknologi Pada Pengurangan Resiko Bencana Banda Aceh, 22 November 2014

Prakarsa Gerakan Yes for Safer School: Suatu Model Pengurangan Risiko Bencana Berbasis Sekolah di Indonesia E. W. S. Mulyono1,2 and Y. Sriyulianti2 1

Chemical Engineering Department, Bandung State Polytechnic 2 KerLiP (Keluarga Peduli Pendidikan) Society

ABSTRAK Indonesia terletak di salah satu hot spot bencana alam di dunia yang secara insidental mengalami gempa bumi, tsunami dan letusan gunung api serta terkena banjir dan atau tanah longsor yang terkait dengan periode reguler curah hujan. Hampir 75% sekolah di Indonesia berada di daerah rawan bencana. Kondisi ini mengakibatkan siswa menjadi kelompok yang paling rentan pada saat terjadi bencana. Dalam inisiatif penanggulangan bencana, sekolah dijadikan sebagai lokasi strategis untuk tanggap darurat dan pemulihan bencana. Namun, perlahan tapi pasti paradigma tersebut harus digeser dan bergerak menjauh dari bantuan kedaruratan menuju kesiapsiagaan akan bencana. Untuk memperkuat paradigma baru ini, KerliP (Keluarga Peduli Pendidikan) dan Green SMILe menginisasi suatu gerakan yang disebut YES (Youth Evacuation Simulation) untuk Sekolah Aman: suatu simulasi evakuasi secara simultan yang direncanakan, dilaksanakan, didokumentasikan dan disampaikan oleh anak dan remaja di sekolah tempat mereka belajar. Adapun tujuan gerakan adalah menjadikan sekolah sebagai komunitas pembelajar dalam pengurangan risiko bencana melalui pendidikan. Melalui gerakan YES untuk Sekolah Aman, siswa diharapkan membentuk gerakan terpadu menuju terwujudnya Sekolah Aman serta Sekolah Ramah Anak. Gerakan ini telah dideklarasikan pada Oktober 2013 dan hendaknya dipraktikkan ulang setidaknya satu kali dalam setahun. Kata Kunci: Pengurangan risiko bencana, prakarsa manajemen bencana, simulasi, sekolah ramah anak ABSTRACT Indonesia is situated in one of the most natural disaster hot spots in the world and suffers regular incidences of earthquakes, tsunamis and volcanic activity as well as being exposed to periodic monsoonal rainfall and related floods and or landslides. Almost 75% of schools in Indonesia located in disaster prone areas. It poses students become the most vulnerable groups in times of disaster. Within disaster management initiative, schools have become strategic locations for emergency response and disaster recovery. However, slowly but surely these paradigms should shifted and moving away from emergency relief to disaster preparedness. To strengthen this new paradigm, KerLiP (Keluarga Peduli Pendidikan - Family Forum Concerned with Education) Society and Green SMILe initiate an action that called YES (Youth Evacuation Simulation) for Safer School: a simultaneous evacuation simulation that planned, implemented, documented and narrated by children and young people in schools where they learn. The goal is to make schools as a community of learners in disaster risk reduction through education. Through YES for Safer School movements, students are expected to form a unified movement toward the realization of child-friendly school principals as well as Safe Schools. This movement has been declared in October 2013 and should be done at least one time in a year.

67

Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Sain dan Teknologi Pada Pengurangan Resiko Bencana Banda Aceh, 22 November 2014

Key words: Disaster Risk Reduction, disaster management initiative, simulation, childfriendly school. PENDAHULUAN Indonesia terletak di salah satu hot spot bencana alam paling aktif di dunia. Bencana seperti gempa bumi, tsunami, letusan gunung berapi, banjir, tanah longsor, kekeringan dan atau kebakaran hutan acapkali terjadi. Menurut hasil analisis risiko global dari Bank Dunia, di antara 35 negara di dunia, Indonesia menduduki urutan ke-12 dengan risiko angka kematian yang tinggi akibat berbagai bencana tersebut. Dari sekitar 230 juta penduduk, sebanyak 40 persennya tinggal di daerah berisiko. Dengan demikian, potensi ancaman bencana yang bisa menimpa para penduduk tersebut sedemikian nyata (World Bank, 2010). Posisi Indonesia di salah satu area bencana alam yang paling aktif di dunia berhubungan erat dengan karakter Indonesia sebagai negara kepulauan. Secara geografis Indonesia berada di daerah dengan gejolak cuaca dan fluktuasi iklim yang cukup dinamis. Hal ini menyebabkan Indonesia rawan akan bencana alam kebumian seperti badai siklon tropis, badai El Nino yang disertai kekeringan, atau badai La Nina yang disertai banjir dan tanah longsor. Berdasarkan letak geologisnya, Indonesia menjadi tempat pertemuan tiga lempeng tektonik, yaitu lempeng Eurasia, Pasifik, dan IndoAustralia. Dengan posisi sebagai tempat pertemuan lempeng bumi tersebut, maka bagian luar permukaan bumi wilayah Indonesia diberkahi dengan tanah yang subur. Sementara itu, berbagai jenis mineral tersimpan di bagian dalam perut buminya. Akan tetapi, pada sisi lain posisi sebagai tempat pertemuan lempeng bumi tersebut menyebabkan negara kita labil dan lapisan tanahnya mudah bergeser. Sebagai akibatnya, berbagai wilayah Indonesia rentan akan bencana gempa bumi, kecuali Kalimantan. Gempa-gempa tektonik banyak dijumpai di jalur subduksi Sunda (Sumatra-Jawa-Bali-Nusa Tenggara), subduksi Banda (wilayah Laut Banda), ataupun Zone Tumbukan Maluku dan Papua. Dengan kondisi dan posisi sedemikian itu, maka Indonesia adalah negeri yang -mau tidak mau, suka tidak suka-- rawan akan bencana. Berbagai bencana alam, khususnya gempa bumi, tsunami dan atau tanah longsor telah memakan korban jiwa yang besar. Masifnya korban jiwa yang timbul di antaranya disebabkan karena penduduk di daerah yang terkena bencana tidak siap dalam menghadapi datangnya bencana. Peristiwa gempa bumi di Aceh pada bulan Desember 2004 yang disusul kemudian dengan tsunami yang menyebabkan jatuhnya korban jiwa sampai ratusan ribu menjadi tonggak dalam penanggulangan bencana serta memberikan kesadaran akan pentingnya pendidikan pengurangan risiko bencana. PENGURANGAN RISIKO BENCANA Terjadinya bencana di banyak tempat di belahan dunia ini sering meninggalkan cerita pilu terkait dengan nasib anak-anak. Dalam banyak kejadian mereka bukan hanya menjadi korban langsung, tetapi juga kehilangan hak atas pendidikan. Sebagai dampak terjadinya bencana, anak-anak dapat mengalami tekanan psikis (takut, stress) dan bahkan trauma. Gempa bumi di Pakistan (2005) telah merenggut nyawa 17.000 anak-anak (UNICEF,2005). Gempa di China (2008) menyebabkan hampir 10.000 siswa meninggal terkena reruntuhan bangunan sekolah dan atau terperangkap di dalam reruntuhan bangunan (Metronews.com: 2010). Bencana gempa dan Tsunami Aceh (2004) mengakibatkan sedikitnya 300 ribu anak-anak menjadi korban, dengan 75 ribu di

68

Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Sain dan Teknologi Pada Pengurangan Resiko Bencana Banda Aceh, 22 November 2014

antaranya terpisah dari keluarga, kehilangan orang tua, dan menjadi yatim piatu (Komnas PA, 2005). Pengurangan Risiko Bencana (PRB) adalah suatu konsep sekaligus praktik pengurangan dampak dari terjadinya bencana melalui upaya-upaya yang sistematis untuk menganalisis dan mengurangi faktor-faktor penyebab bencana (www.unisdr.org). Yang termasuk ke dalam PRB di antaranya adalah mengurangi paparan akan bahaya yang mungkin timbul, mengurangi kerentanan orang dan harta benda, pengelolaan lahan dan lingkungan secara bijak, serta meningkatkan kesiapsiagaan dan peringatan dini akan potensi munculnya kejadian buruk. Setelah terjadinya gempa bumi dan tsunami di Aceh, muncul kesadaran akan pentingnya upaya pengurangan risiko bencana. Dengan latar belakang banyaknya bencana di berbagai penjuru dunia yang terjadi pada awal abad ke-21, sebanyak 168 negara, termasuk di dalamnya Indonesia, menyadari betapa pentingnya membangun komitmen bersama secara global demi pengurangan risiko bencana. Upaya bersama tersebut pada tahun 2005 kemudian dituangkan dalam Hyogo Framework for Action (HFA). Peristiwa Desember 2004 di Aceh dan keterlibatan Indonesia pada HFA telah menyadarkan bangsa Indonesia untuk mewujudkannya menjadi komitmen nasional dalam penanggulangan bencana. Untuk itu, pemerintah dengan persetujuan DPR telah membuat Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana. Undangundang tersebut disusun dengan berlandaskan paradigma bahwa penanggulangan bencana harus dilakukan secara terencana, terpadu dan terkordinasi dengan melibatkan seluruh pemangku kepentingan. Undang-undang No.24/2007 ini juga memberi mandat kepada pemerintah agar melindungi masyarakat dari ancaman segala bencana sebagai pengejawantahan Pembukaan Undang-Undang Dasar Tahun 1945, yakni “melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia”. PENGARUSUTAMAAN PENGURANGAN RISIKO BENCANA DI SEKOLAH Sebagai tindak lanjut dan sekaligus amanat Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, serta adanya Peraturan Pemerintah Nomor 21 tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana, maka Kementerian Pendidikan Nasional kemudian menyusun suatu dokumen berupa “Strategi Pengurangan Risiko Bencana di Sekolah” yang kemudian dilengkapi dengan “Modul Ajar dan Pelatihan Pengintegrasian Pengurangan Risiko Bencana”. Dalam Undang-Undang No. 24/2007 secara jelas telah dinyatakan bahwa setiap orang berhak mendapatkan pendidikan, pelatihan, penyuluhan, dan keterampilan dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana, baik dalam situasi tidak terjadi bencana maupun situasi terdapat potensi bencana. Di samping itu, melalui jalur pendidikan diharapkan agar upaya pengurangan risiko bencana dapat mencapai sasaran yang lebih luas dan dapat dikenalkan secara lebih dini kepada seluruh peserta didik dengan cara mengintegrasikan pendidikan pengurangan risiko bencana ke dalam kurikulum yang diberikan di sekolah. Upaya pengintegrasian pendidikan pengurangan risiko bencana tersebut sejalan dengan salah satu butir dalam Hyogo Framework for Action yang menyatakan bahwa prioritas pengurangan risiko bencana perlu dimasukkan ke dalam sektor pendidikan. Selain itu, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, khususnya pada pasal 32 ayat 2, juga telah mengakomodasi kebutuhan pendidikan di daerah bencana yang dituangkan ke dalam terminologi pendidikan layanan khusus. Pendidikan layanan khusus didefinisikan sebagai pendidikan bagi peserta didik di daerah

69

Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Sain dan Teknologi Pada Pengurangan Resiko Bencana Banda Aceh, 22 November 2014

terpencil atau terbelakang, masyarakat adat yang terpencil, dan/atau mengalami bencana alam, bencana sosial, dan tidak mampu dari segi ekonomi. Dokumen “Strategi Pengarusutamaan Pengurangan Risiko Bencana di Sekolah” dimaksudkan sebagai suatu pedoman bagi para pengambil kebijakan dan para pengelola pendidikan di tingkat satuan pendidikan (seperti kepala sekolah, guru, dan komite sekolah) dalam menyiapkan program pengurangan risiko bencana bagi para siswa jenjang pendidikan dasar dan menengah. Dalam hal ini, yang dimaksud dengan strategi pengarusutamaan pengurangan risiko bencana di sekolah secara umum adalah rencana kegiatan jangka panjang yang diutamakan untuk pendidikan pengurangan risiko bencana di sekolah agar dapat digunakan sebagai acuan pengintegrasian materi pembelajaran pendidikan kebencanaan ke dalam kurikulum di tingkat satuan pendidikan. Sebagai suatu kegiatan yang berdimensi jangka panjang, maka pengurangan risiko bencana (PRB) dilaksanakan dengan menggunakan pengetahuan dan inovasi untuk membangun budaya selamat dan tangguh, termasuk di dalamnya adalah pengakuan dan penggunaan kearifan tradisional dan pengetahuan lokal bagi perlindungan terhadap bencana alam. Pengarusutamaan Pengurangan Risiko Bencana perlu dilaksanakan di sekolah karena siswa (termasuk yang berkebutuhan khusus) merupakan anggotamasyarakat yang rentan terhadap bencana alam. Selain itu, komunitas sekolah, khususnya siswa, dapat berfungsi sebagai agen sekaligus komunikator untuk menyebarluaskan pengetahuan tentang pendidikan bencana kepada orangtua dan lingkungannya. Siswa juga merupakan aset pembangunan dan masa depan bangsa, sehingga harus dilindungi dari berbagai ancaman bencana. Bagi bangsa Indonesia, pengarusutamaan pengurangan risiko bencana di sekolah sangat penting untuk diwujudkan mengingat sebagian besar sekolah yang tersebar di seluruh pelosok wilayah NKRI berada pada posisi geografis, geologis, hidrologis, dan demografis yang memungkinkan terjadinya bencana setiap saat, mulai dari bencana yang sifatnya ringan sampai dengan bencana yang sifatnya berat. Selain itu, pendidikan pengurangan risiko bencana merupakan implementasi dari Undang-Undang Penanggulangan Bencana, yang mencakup tiga tahap penanggulangan bencana, yaitu: sebelum (pra) bencana, saat terjadi bencana, dan sesudah (pasca) kejadian bencana. Pengarusutamaan pengurangan risiko bencana di sekolah dijalankan melalui 3 (tiga) strategi, yakni, pertama, pemberdayaan peran kelembagaan dan kemampuan komunitas sekolah; kedua, Pengintegrasian PRB ke dalam kurikulum satuan pendidikan formal; dan ketiga pembangunan kemitraan dan jaringan antar berbagai pihak untuk mendukung pelaksanaan PRB di sekolah. SEKOLAH / MADRASAH AMAN DARI BENCANA Dalam inisiatif penanggulangan dan pengurangan risiko bencana, sekolah dijadikan sebagai lokasi strategis untuk tanggap darurat dan pemulihan bencana. Namun, perlahan tapi pasti paradigma tersebut harus digeser dan bergerak menjauh dari bantuan kedaruratan menuju kesiapsiagaan akan bencana. Pada Rencana Nasional Penanggulangan Bencana 2010-2014 yang diterbitkan BNPB, (2010) telah direncanakan adanya implementasi kesiapsiagaan bencana di sekolah/madrasah. Hal ini penting, mengingat banyak sekolah/madrasah yang berada di wilayah rawan bencana. Berdasarkan data Bank Dunia, pada tahun 2010, jumlah sekolah di Indonesia termasuk ke dalam empat besar di dunia. Dari 144.507 Sekolah Dasar, sebanyak 76 % atau 109.401 sekolah berada di provinsi dengan risiko gempa tinggi. Untuk SLB, sebanyak 1.147 sekolah dari total 1.455 atau 79 % sekolah berisiko gempa tinggi, sedangkan SMP sebanyak 18.855 sekolah dari total 26.277 sekolah atau 72 %. Sementara 70

Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Sain dan Teknologi Pada Pengurangan Resiko Bencana Banda Aceh, 22 November 2014

SMA sebanyak 7.237 sekolah dari total 10.239 sekolah atau 71 % yang berada di kawasan dengan risiko kegempaan yang tinggi. Data Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menunjukan sampai tahun 2011 terdapat 194.844 ruang kelas SD dan SMP rusak berat. Sedangkan data Kementerian Agama menunjukan sejumlah dari 208,214 ruang kelas yang ada di Madrasah Ibtidaiah (MI) dan Madrasah Tsanawiyah (MTs), 13,247 ruang kelas rusak berat dan 51,036 ruang kelas rusak ringan. Kondisi sarana prasarana sekolah/ madrasah yang buruk akan meningkatkan risiko bencana (BNPB, 2013). Pada 29 Juli 2010, bertepatan dengan peluncuran kampanye sejuta Sekolah dan Rumah Sakit aman, telah diikrarkan sebanyak 3.156 Sekolah untuk menjadi sekolah aman. Peluncuran kampanye tersebut sejalan dengan Surat Edaran Mendiknas Nomor 70a/MPN/SE/2010 yang ditujukan kepada para Gubernur, Walikota/Bupati di seluruh Indonesia yang berisi permohonan untuk memperhatikan penyelenggaraan penanggulangan bencana melalui pelaksanaan strategi pengarusutamaan pengurangan risiko bencana di sekolah baik secara struktural maupun non-struktural. Setelah berjalan setahun, kampanye berhasil meningatkan jumlah sekolah/ madrasah yang diikrarkan sebagai sekolah/ madrasah aman menjadi 13.860 sekolah. Upaya sinkronisasi kebijakan dan program untuk mendukung inisiatif sekolah/madrasah aman terus dilakukan baik melalui Kementerian / Lembaga / Instansi / pemerintah daerah maupun program yang diinisiasi oleh lembaga masyarakat, kalangan dunia usaha, mitra pembangunan internasional, atau oleh praktisi pendidikan. Peraturan Kepala BNPB no. 4 tahun 2012 tentang penerapan sekolah/madrasah aman merupakan upaya sinkronisasi kebijakan di antara para pemangku kepentingan tersebut. Sinkronisasi kebijakan dan program tersebut diperkuat dengan upaya peningkatan partisipasi publik terutama anak-anak sebagai penerima manfaat terbesar dari kebijakan dan program ini. Selain peningkatan partisipasi publik, pelembagaan menjadi faktor penting agar upaya sosialisasi, kordinasi dan advokasi penerapan sekolah / madrasah aman terus berlanjut dan memberikan kemajuan yang positif bagi terwujudnya sekolah/madrasah aman hak anak bangsa bermartabat. Banyak anak akan bertahan saat terjadi bencana jika mereka memiliki informasi serta keterampilan yang berkaitan dengan pengurangan risiko bencana. Inisiatif yang melibatkan anak-anak akan menguntungkan tidak hanya bagi mereka sendiri, melainkan juga bagi keluarga dan masyarakat luas. Anak-anak dan orang muda bukanlah korban pasif. Mereka memiliki peran penting dalam mengomunikasikan risiko, pencegahan serta peresponan Bencana. Dalam hal ini, pengertian umum tentang sekolah/madrasah yang aman adalah sekolah/ madrasah yang mengakui dan melindungi hak-hak anak dengan menyediakan suasana dan lingkungan yang menjamin proses pembelajaran, kesehatan, keselamatan dan keamanan siswanya setiap saat. Secara khusus, sekolah/madrasah tersebut mampu menerapkan standar sarana dan prasarana serta budaya yang mampu melindungi warga sekolah dan lingkungan di sekitarnya dari bahaya ancaman. Sedangkan jika dilihat dalam kaitannya dengan PRB, maka sekolah/madrasah yang aman merupakan komunitas pembelajar yang berkomitmen akan budaya aman, sehat dan sadar akan risiko, memiliki rencana matang dan mapan sebelum, saat, dan sesudah bencana, dan selalu siap merespon pada saat darurat dan bencana. DASAR PENERAPAN SEKOLAH / MADRASAH AMAN Penerapan sekolah/madrasah yang aman dari bencana didasarkan pada 8 (delapan) nilai, 3 (tiga) prinsip, dan 3 (tiga) strategi. Sekolah/madrasah yang aman dari bencana akan mempertimbangkan nilai-nilai sebagai berikut:

71

Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Sain dan Teknologi Pada Pengurangan Resiko Bencana Banda Aceh, 22 November 2014

a. Perubahan Budaya. Penerapan Sekolah/Madrasah Aman dari Bencana ditujukan untuk menghasilkan perubahan budaya yang lebih aman dari bencana dan perubahan dari aman menjadi berketahanan dalam upaya mewujudkan masyarakat Indonesia yang tangguh bencana. b. Berorientasi Pemberdayaan. Meningkatkan kemampuan pengelolaan sekolah/madrasah dan warga sekolah/madrasah termasuk anak untuk menerapkan Sekolah/Madrasah Aman dari Bencana dalam pengembangan kurikulum, sarana prasarana, pendidik dan tenaga kependidikan, pengelolaan dan pembiayaan di sekolah/madrasah. c. Kemandirian. Mengoptimalkan pendayagunaan sumberdaya yang dimiliki sekolah/ madrasah. d. Pendekatan berbasis hak. Hak-hak asasi manusia termasuk hak-hak anak sebagai pertimbangan utama dalam upaya penerapan Sekolah/Madrasah Aman dari Bencana. e. Keberlanjutan. Mengutamakan terbentuknya pelembagaan aktivitas warga sekolah/ madrasah termasuk anak dalam upaya penerapan sekolah/madrasah dari bencana dengan mengaktifkan lembaga yang sudah ada seperti TP UKS, Komite Sekolah, OSIS, Ekstrakurikuler, dsb. f. Kearifan lokal. Menggali dan mendayagunakan kearifan lokal yang mendukung upaya penerapan sekolah/madrasah aman dari bencana. g. Kemitraan. Berupaya melibatkan pemangku kepentingan termasuk anak secara individu maupun dalam kelompok untuk bekerjasama dalam mencapai tujuan berdasarkan prinsip-prinsip sekolah/madrasah Aman dari bencana. h. Inklusivitas. Memperhatikan kepentingan warga sekolah/madrasah terutama anak berkebutuhan khusus. Pelaksanaan sekolah/madrasah yang aman dari bencana juga akan mempertimbangkan 3 (tiga) prinsip sebagai berikut: a. Berbasis hak. Penerapan Sekolah/Madrasah Aman dari Bencana harus didasari sebagai pemenuhan hak pendidikan anak dalam menerapkan keempat prinsip hak anak, yakni (1) Tidak ada satu anak pun yang sampai menderita akibat diskriminasi dan sikap tidak hormat yang menyangkut SARA, jenis kelamin, sikap, bahasa, pendapat, kebangsaan, kepemilikan, kecacatan fisik dan mental, status kelahiran dan lainnya, (2) Anak-anak memiliki hak atas kelangsungan dan tumbuh kembangnya dalam semua aspek kehidupannya, termasuk aspek fisik, emosional, psikososial, kognitif, sosial dan budaya, (3) Kepentingan terbaik anak harus selalu menjadi pertimbangan didalam seluruh keputusan atau aksi yang mempengaruhi anak dan kelompok anak, termasuk keputusan yang dibuat oleh pemerintah, pemerintah daerah, aparat hukum, bahkan yang diatur didalam keluarga anak itu sendiri, dan (4) Anak-anak memiliki hak untuk berkumpul secara damai, berpartisipasi aktif dalam setiap aspek yang mempengaruhi kehidupan mereka, untuk mengekspresikan dengan bebas dan mendapatkan pendapat mereka didengar dan ditanggapi dengan sungguh-sungguh. b. Interdisiplin dan Menyeluruh. Penerapan Sekolah/Madrasah Aman dari Bencana terintegrasi dalam standar pelayanan minimum pendidikan. Menyeluruh dimaksudkan bahwa penerapan sekolah/madrasah aman dari bencana dilaksanakan secara terpadu untuk mencapai standar nasional pendidikan. c. Komunikasi Antar-Budaya (Intercultural Approach). Pendekatan Penerapan sekolah/ madrasah Aman dari Bencana harus mengutamakan komunikasi antar72

Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Sain dan Teknologi Pada Pengurangan Resiko Bencana Banda Aceh, 22 November 2014

pribadi yang memiliki latar belakang budaya yang berbeda (ras, etnik, atau sosioekonomi) sesuai dengan jati diri bangsa dan nilai–nilai luhur kemanusiaan. Dalam rencana penerapan sekolah/madrasah aman dari bencana untuk jangka panjang, digunakan tiga tema strategis, yaitu: a. Sinkronisasi Kebijakan. Pemetaan kebijakan dari berbagai K/L/D/I menjadi bahan pertimbangan utama dalam tema strategi sinkronisasi kebijakan. Dasar hukum dalam pedoman ini disusun berdasarkan hasil sinkronisasi kebijakan yang menjunjung tinggi nilai-nilai dan prinsip-prinsip penerapan sekolah/madrasah aman dari bencana. b. Peningkatan Partisipasi Publik termasuk Anak. Tema strategis peningkatan partisipasi publik termasuk anak dalam pedoman ini adalah menjadikan anak dan kaum muda mitra dalam Penerapan Sekolah/Madrasah Aman dari Bencana. Kegiatan penerapan sekolah/madrasah aman terintegrasi dengan pengetahuan dan keterampilan yang sudah dimiliki warga sekolah seperti Sekolah Sehat, Sekolah Hijau, Sekolah Adiwiyata, Lingkungan Inklusi dan Ramah Pembelajaran serta model-model Pendidikan Ramah Anak lainnya. c. Pelembagaan. Penerapan sekolah/madrasah aman dari bencana sejalan dengan peran dan fungsi masing-masing K/L/D/I terkait melalui pembentukan Forum Kordinasi Sekolah/Madrasah Aman sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Untuk mewujudkan rasa aman, maka sekolah/madrasah perlu berkomitmen penuh untuk menerapkan penyelenggaraan pendidikan sesuai dengan standar nasional pendidikan dan budaya sekolah yang mampu melindungi warga sekolah dan lingkungan di sekitarnya dari bahaya bencana. Selain itu, guru memiliki komitmen penuh untuk mengembangkan suasana belajar dan proses pembelajaran yang mendorong peserta didik aktif dalam upaya pengurangan risiko bencana. Adapun metoda peningkatan kapasitas disesuaikan dengan minat, bakat dan kemampuan peserta didik. Peserta didik perempuan dan laki-laki termasuk yang berkebutuhan khusus hendaknya terlibat secara aktif dalam menyusun rencana aksi di sekolah/madrasah tersebut. Terakhir, orang tua berpartisipasi secara aktif dalam penyusunan rencana dan simulasi evakuasi sekolah/madrasah. „YES‟ FOR SAFER SCHOOL Untuk memperkuat paradigma baru yang ingin ditumbuhkembangkan, yakni sekolah/ madrasah dengan kesiapsiagaan akan bencana, KerliP (Keluarga Peduli Pendidikan) dan Green SMILe menginisasi suatu gerakan yang disebut YES (Youth Evacuation Simulation) untuk Sekolah Aman. Gerakan YES for safer school ini pada dasarnya merupakan suatu simulasi evakuasi secara simultan yang direncanakan, dilaksanakan, didokumentasikan dan disampaikan oleh anak dan remaja di sekolah tempat mereka belajar. Gerakan ini telah dideklarasikan pada tanggal 13 Oktober 2013 bertepatan dengan peringatan Hari Pengurangan Risiko Bencana Sedunia. Mengapa gerakan ini menitikberatkan kepada siswa di sekolah/madrasah? Hal ini didasarkan akan sejumlah alasan, yakni, pertama, jumlah siswa di sekolah/madrasah yang banyak memungkinkan untuk tersebarnya pengetahuan tentang penanggulangan bencana secara lebih luas. Kedua, jumlah guru yang tidak mungkin membantu seluruh siswa dalam keadaan darurat sementara siswa punya kemampuan sendiri jika dilatih. Ketiga, melalui pendidikan formal di sekolah, keberlanjutan informasi bisa dijaga dan dipertahankan.

73

Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Sain dan Teknologi Pada Pengurangan Resiko Bencana Banda Aceh, 22 November 2014

Peluncuran gerakan YES for safer school ini menjadi salah satu target capaian dalam kampanye advokasi tentang sekolah/madrasah aman untuk rentang waktu 20102013 (Direktori Sekolah Aman, BNPB). Adapun Pengembangan konsep Sekolah/Madrasah Aman dari Bencana ini sendiri merupakan hasil sinkronisasi antara praktik baik dan kebijakan yang mendukung aktivitas PRB di Indonesia. Konsorsium Pendidikan Bencana (KPB) mengembangkan kerangka kerja Sekolah Siaga Bencana (SSB) yang didasarkan pada praktik-praktik baik beberapa anggotanya seperti LIPI, Kogami, UNESCO, YTBI, PMI, MDMC, ASB, Perkumpulan Lingkar dan Perkumpulan KerLiP. Tujuan gerakan ini sendiri adalah menjadikan sekolah sebagai komunitas pembelajar dalam pengurangan risiko bencana melalui pendidikan. Dalam kegiatannya, ssetiap anak secara individu/kelompok menuliskan rencana aksi nyata untuk mengurangi kerentanan dan meningkatkan kapasitas di tempat favorit di sekolah/madrasah. Setelah itu, mereka diminta mengenali jalur evakuasi yang paling aman dari tempat favorit tersebut ke titik kumpul aman yang sudah ditetapkan. Untuk mempersiapkan “YES for Safer School/Madrasah” di tempat masing-masing, mereka diminta mendiskusikan hasil kegiatan penilaian kerentanan dan rencana aksi di hadapan Dewan Guru dan Komite Sekolah/Madrasah. Kemudian mereka menyusun rencana evakuasi terintegrasi bersama warga sekolah/madrasah dan membuat berita acara penetapan Rencana Evakuasi Terintegrasi. Berita acara itu ditandatangani oleh setiap anak dan kepala sekolah/madrasah. Kegiatan ditutup dengan suatu ikrar bersama untuk mengerahkan segala sumber daya yang ada untuk melaksanakan, mendokumentasikan dan melaporkan YES for Safer School/Madrasah di tempat tersebut. PENUTUP Gerakan YES for safer school, yang merupakan hasil kerjasama antara KerliP (Keluarga Peduli Pendidikan) dengan Green SMILe, ini adalah suatu model pendidikan pengurangan risiko bencana berbasis sekolah yang dimaksudkan untuk memperkuat paradigma baru, dari bantuan kedaruratan menuju kesiapsiagaan akan bencana. Shiwaku dan Fernandez (2011) menyatakan bahwa pendidikan kebencanaan memainkan peran yang signifikan dalam mengembangkan budaya pengurangan risiko bencana dalam jangka panjang. Dalam gerakan ini para siswa bersama-sama merencanakan suatu simulasi evakuasi secara simultan yang kemudian akan dilaksanakan, didokumentasikan dan disampaikan oleh siswa-siswa itu sendiri di sekolah tempat mereka belajar. Adapun tujuan gerakan YES for safer school adalah menjadikan sekolah sebagai komunitas pembelajar dalam pengurangan risiko bencana melalui pendidikan. Melalui gerakan YES untuk Sekolah Aman, siswa diharapkan membentuk gerakan terpadu menuju terwujudnya Sekolah Aman serta Sekolah Ramah Anak. Gerakan ini telah dideklarasikan pada Oktober 2013 dan hendaknya dipraktikkan ulang setidaknya satu kali dalam setahun. UCAPAN TERIMA KASIH Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua rekan dan relawan di KerLiP yang telah menyediakan data untuk keperluan penulisan makalah ini. EWSM juga berterima kasih kepada DAAD yang telah memberikan dukungan finansial dalam rangka mengikuti acara seminar nasional yang diadakan oleh PAJ-Aceh.

74

Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Sain dan Teknologi Pada Pengurangan Resiko Bencana Banda Aceh, 22 November 2014

DAFTAR PUSTAKA BNPB, 2010. Rencana Nasional Penanggulangan Bencana 2010-2014. BNPB, 2013. Direktori 2013, Penerapan Sekolah/Madrasah Aman dari Bencana. Kemdiknas, 2010. Strategi Pengarusutamaan Pengurangan Risiko Bencana Di Sekolah. Shiwaku, S. and G. Fernandez., 2013 Role of School in Disaster Education. UNICEF, 2012. Disaster Risk Reduction in School Curricula. World Bank, 2010. Building Disaster Resilient Future. Indonesia Rising: Policy Priorities for 2010 and beyond.

75

Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Sain dan Teknologi Pada Pengurangan Resiko Bencana Banda Aceh, 22 November 2014

Survey of Potential Animals for Earthquake Predictor in Banda Aceh: A Study Toward Development of Alternative Technology for Disaster Risk Reduction T. R. Ferasyi1, M. Sabri1, Hamdani1, Azhari1 and Razali1 1

Faculty of Veterinary Medicine, Syiah Kuala University, Darussalam, Banda Aceh, Indonesia

ABSTRACT This paper presents a result of survey for animals that has potency as earthquake predictor in Aceh. A study were conducted in three seismically active districts in Aceh those hits by earthquake and tsunami 2004, they are Banda Aceh, Aceh Jaya, and Simeulue. The survey was conducted by using an approach of purposive sampling. A number of 200 respondents were selected in each district. They were selected with the criteria of at least 10 years old when the earthquake and tsunami 2004 happened and has experienced at least two earthquakes in their lives. The interview was conducted by using a questionnaire, which contains general and specific questions related to their memory on animals observed that showing unusual behavior before earthquake. The results showed that several animals were observed with unusual behavior before earthquakes in the three districts. Among of them are cattle, buffalo, goat, poultry, and birds. Most of respondent were answered that poultry and birds are more sensitive to the increase of seismic activity as compared to larger animals. In addition, they said that those animals are expressed an unusual behavior earlier than other animals before the earthquake strike. In poultry, geese were reported showing precursor time earliest as compared to other animal species, which is at least 12 hours before earthquake. In conclusion, some animals were observed with unusual behavior before earthquakes and they have potency for earthquake predictor in Aceh. This result is expected will allow us to develop an alternative technology of earthquake early warning system for disaster risk reduction based on unusual behavior of potential animals for earthquake predictor. Key words: Survey, earthquake, animal, behavior, predictor. ABSTRAK Dalam tulisan ini ditampilkan hasil survey hewan yang memiliki potensi sebagai predikto gempa di Aceh. Penelitian ini dilaksanakan di tiga kabupaten yang aktifitas seismiknya tergolong tinggi, yaitu Kota Banda Aceh, Kabupaten Aceh Jaya dan Kabupaten Simeulue. Survei dilakukan dengan pendekatan puspossive sampling. Sejumlah 200 orang responden dipilih di setiap wilayah kabupaten/kota. Kriteria dari responden tersebut adalah telah berusia 10 tahun saat gempa dan tsunami 2004 terjadi dan pernah mengalami paling sedikit 2 kali gempa dalam hidupnya. Wawancara terhadap responden dilakukan dengan menggunakan kuesioner terstruktur, yang berisi pertanyaan umum dan khusus terkait dengan ingtaan mereka tentang hewan yang memperlihatkan perubahan perilaku sebelum gempa. Hasil penelitian menunjukkan bahwa beberapa jensi hewan pernah terlihat oleh responden menunjukkan perilaku yang tidak biasanya sebelum gempa di ketiga wilayah kabupaten/kota. Diantara hewan-hewan tersebut adalah sapi, kerbau, kambing, unggas dan burung. Sebagian besar responden menyebutkan bahwa unggas dan burung lebih sensitif terhadap peningkatan aktifitas seismik jika dibandingkan dengan hewan yang lainnya. Selain itu juga dikatakan bahwa unggas dan burung memperlihatkan 76

Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Sain dan Teknologi Pada Pengurangan Resiko Bencana Banda Aceh, 22 November 2014

perubahan perilaku lebih cepat daripada jenis hewan lainnya sebelum hentakan gempa dirasakan. Jenis unggas yang paling cepat menunjukkan perubahan perilaku adalah itik angsa, yaitu sekitar 12 jam sebelum gempa terjadi. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa sbeberapa jenis hewan telah pernah diamati menunjukkan perubahan perilaku sebelum terjadi gempa, sehingga kemungkinan dapat dijadikan sebagai predictor gempa di Aceh. Hasil yang telah diperoleh ini diharapkan akan mendukung upaya pengembangan tekhnologi alternatif untuk sistem peringatan dini gempa guna pengurangan risiko bencana berbasis perilaku abnormal dari hewan yang berpotensi sebagai predictor gempa. Kata kunci : Servey, gempa, hewan, perilaku, prediktor INTRODUCTION Nowadays, many studies have been conducted to design an appropriate method for earthquake prediction. Both by using high- or simple technology. However, none of their results were able to predict the time and location of earthquake (Berberich et al. 2013). On the other hand, a number of research have studied the possibility of using natural signs for an indicator of upcoming earthquake. Among of them is an indicator based on a change in animal behavior before earthquake. Most of the anecdotal evidence and stories were obtained from China and Japan (Carrayanis, 2014; Lakhsmi et al., 2014). Scientific reports of unusual animal behavior before earthquake is increased in the last 15 years. An observation based on experiment by using catfish was conducted by Yamanaka et al., (2002). They found that the catfish were very active several days before the earthquake of magnitude of 7.3 in Western Tottori (6 October 2000) and of magnitude of 6.7 in Geiyo (24 March 2001), Japan. Recently, Ferasyi et al.,(2013) have suggested that the change of animal behavior, such as african catfish, prior the shake is might depend on the distance of the epicenter to the observational station and the magnitude of earthquake. However, the response of african catfish to the increase of seismic activity is very close to the time of earthquake, that is less than 3 hours before the shake. Therefore, more effort is still needed in finding an appropriate animals for earthquake predictor as early as possible for disaster risk reduction. The information of potential animals for earthquake predictor perhaps can be obtained through interviewing people in seismically active region. In this report we presents a preliminary result of our survey of potential animals for earthquake predictor in three seismically active regions in Aceh. METHODS Survey Locations This study was conducted in three seismically active regions in Aceh Province, Indonesia. The locations of survey were in Banda Aceh, Aceh Jaya, and Simeulue Districts. Methods The survey was conducted by using a purposive sampling apprtoach. A number of 200 respondents were selected in each district. They were selected with the criteria of at least 10 years old when the earthquake and tsunami 2004 happened and has experienced at least two earthquakes in their lives. The interview was conducted by using a questionnaire,

77

Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Sain dan Teknologi Pada Pengurangan Resiko Bencana Banda Aceh, 22 November 2014

which contains general and specific questions related to their memory on animals observed that showing unusual behavior before earthquake. Data analysis Data obtained were analysed descriptively. RESULTS AND DISCUSSION The results of survey showed that among 600 respondents, a few of them were observed or had heard story of abnormal animals behavior preceding earthquake in the three districts. Among animals were observed are cattle, buffalo, goat, poultry, and birds (Table 1). Most of respondent were answered that poultry and birds are more sensitive to the increase of seismic activity as compared to larger animals. In addition, they said that those animals are expressed an unusual behavior earlier than other animals before the earthquake strike. In poultry, geese is reported as showing unusual behavior earlier as compared to chicken when the increase of seismic activity, which is at least 12 hours before earthquake. Several types of unusual behavior observed before the earthquakes are animal gathering together in one site, anxiety, screaming, running or silent. The findings in this study for the list of animal species that showing abnormal behavior before earthquake is almost similar with the report from Dr. B.G. Deshpande (The Stanford Research Institute, California, under the „Pro- ject Earthquake Watch‟) (cited by Lakhsmi et al., (2014). In addition, in our study we found that buffalo is also sensitive to the increase of seismic activity. Buffalo is a native animal in the District of Aceh Jaya and Simeulue. So, their sensitivity might be a result of their experience to the earthquakes in this seismically active region. Although, the precursor time for this animal is shorter than cow. The variation of precursor time between different animal species in this study is in agreement with the result of observation by The Group of Earthquake Research Institutes of Biophysics, China (1979) (cited by Lakhsmi et al., (2014). They have reported that mainly the precursor time is within 24 h prior the earthquake. Table 1. Result of questionnaire for animal species and time of observation of abnormal behavior preceding earthquake. Time of observation for abnormal behavior of animal Animal species prior earthquake (h) Buffalo 3 Cow 6 Goat 1 Dog 2 Geese 12 Chicken 6 Bird 10

Our result for the earliest precursor time for geese is interesting. The mechanism of how geese could detect the increase of seismic activity is unclear. Perhaps, a thought from (Schaal, 1988). Might help us to understand how geese could respond before the earthquake. He said that, based on Cooke (1984), this animal has a tiny crystals of 78

Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Sain dan Teknologi Pada Pengurangan Resiko Bencana Banda Aceh, 22 November 2014

magnetite incorporated in sense organs in their heads that regulate their movement by earth's magnetic field. It is similar to aquatic animals, such as tuna and salmon. Possibly, that organ makes them able to detect the increase of seismic activity. However, a further study is needed to disclose the mystery in the mechanism of animals sensitivity preceding the earthquake in seismically active region, such as in Aceh Province, Indonesia. CONCLUSION Based on the results above, it can be concluded that: 1. Some people in three seismically active regions in Aceh have observed unusual animal behavior from several animal species preceding earthquakes. 2. Geese is observed has earliest precursor time as compared to other animal species, which is at least 12 hours before earthquake. 3. This result is expected will allow us to develop an alternative technology of earthquake early warning system for disaster risk reduction based on unusual behavior of potential animals for earthquake predictor in Aceh. ACKNOWLEDGEMENT I would like to grateful for all great supports from the Research Institute of Syiah Kuala University, the Project of Development and Upgrading of Seven Universities in Improving the Quality and Relevance of Higher Education in Indonesia (7 in 1) of Syiah Kuala University, Banda Aceh, Indonesia, and Terramath Indonesia. REFERENCES Berberich, G., Berberich, M., Grumpe, A., Wöhler, C. and Schreiber, U., 2013. “Early Results of Three-Year Monitoring of Red Wood Ants‟ Behavioral Changes and Their Possible Correlation with Earthquake Events”, Animals, vol. 3, no. 1, pp. 6384. Carrayanis, G.P., 2014. Earthquake prediction in China. http://www.drgeorgepc.com/ Earthquake Prediction China. html.

Available:

Ferasyi, T.R., Sabri, M., Razali., Azhari., Amiruddin., Hambal, M., Straka, W. and Faber, R., 2013. An Indication of African Catfish‟s (Clarias gariepinus) Behavioral Changes As A Response for Increased Seismic Activity. Jurnal Natural, vol. 13, no. 1. Lakhsmi, K.R., Nagesh, Y. and Krishna, M.V., 2014. Analysis on Predicting Earthquakes through an Abnormal Behavior of Animals, International Journal of Scientific & Engineering Research, vol. 5, issue 4, pp. 845-857. Schaal, R.B., 1988. An Evaluation of the Animal Behavior Theory for Earthquake Predictio. California Geology, vol. 41, no. 2. Yamanaka C., Asahara, H., Matsumoto, H. and lkeya, M., 2002. Wideband Environmental Electromagnetic Wave Observation Searching for Seismo- electromagnetic Signals and Simultaneous Observation of Catfish Behavior - The Cases for the Western Tottori and the Geiyo Earthquakes. Journal of Atmospheric Electricity, vol. 22, no. 3, pp. 277-290.

79

Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Sain dan Teknologi Pada Pengurangan Resiko Bencana Banda Aceh, 22 November 2014

Penggunaan Keanekaragaman Hayati pada Pengurangan Dampak Bahaya : Studi pada Penerapan Teknologi Pangan dan Pakan Berdasarkan Kearifan Lokal Retno I. Pujaningsih1 1

Academic staff of Animal and Agriculture Faculty, Diponegoro University Semarang ABSTRAK

Makalah ini meninjau pengaruh keanekaragaman hayati pada upaya pengurangan dampak bencana. Bagi petani, tidak ada perbedaan antara pengurangan risiko dan adaptasi. Dari sudut pandang mereka, yang ada hanyalah ancaman terhadap kehidupan dan ketahanan pangan keluarga yang perlu dilindungi, system, peningkatan pola pakan dan pengurangan kerugian akibat penyakit pada budidaya perairan, mengurangi kegagalan pascapanen dan kerugian produksi dan pengembangan lebih lanjut dari perdagangan regional. Sebenarnya bahaya tidak akan menjadi bencana, kecuali jika masyarakat yang terkena bencana tidak siap untuk menghadapinya. Singkatnya, ketahanan terhadap bencana harus diwariskan sebagai budaya nasional kita dan menjadi hak alami bagi semua orang. Sejumlah studi kasus pada pengetahuan tentang kearifan lokal dalam hal pengurangan risiko dampak bencana telah didokumentasikan. Ada banyak teknologi dan aplikasinya untuk mengurangi kerentanan sistem pertanian dan membangun ketahanan mereka dengan menggunakan keanekaragaman hayati. Beberapa contoh termasuk: diversifikasi tanaman, skema asuransi tanaman, varietas tanaman yang toleran terhadap kekeringan atau banjir, fasilitas penyimpanan biji-bijian dan tempat penampungan ternak yang aman, cadangan pakan ternak yang strategis, bio-security sistem produksi ternak, cadangan air untuk buffer kekeringan dan peternakan yang tangguh. Keberhasilan dalam upaya mengurangi dampak bencana tergantung pada penanaman pengertian secara berkelanjutan dalam mengenali bahaya yang melekat pada lingkungan, pembangunan, pertanian, politik, dan sistem sosial kita. Kata kunci: Keanekaragaman hayati, pencegahan bencana, pengurangan resiko, sistem pertanian ABSTRACT This paper will review the influence of biodiversity on mitigate hazard impact. For farmers, there is no distinction between risk reduction and adaptation. From their perspective, there are only threats to livelihoods and family food security from which they need to be protected; systems; improved feeding and reduced losses from disease in aquaculture; the reduction of postharvest and production losses; and the further development of regional trade. After all, hazards do not become disasters unless the communities they touch are unprepared to deal with them. In short, disaster resilience must become inherent to our national culture and a natural right of all people. Numerous case studies on indigenous knowledge of risk reduction have been documented. There are an extensive number of technologies and practices for reducing the vulnerability of farming systems and building their resilience by using biodiversity. Some examples include: crop diversification, crop insurance schemes, drought or flood-tolerant crop varieties, hazard-proof grain storage facilities and livestock shelters, strategic fodder reserves, bio-security of animal production systems, water reserves to buffer droughts and 80

Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Sain dan Teknologi Pada Pengurangan Resiko Bencana Banda Aceh, 22 November 2014

resilient animal breeding. Successfully reducing disasters depends upon sustained investment in recognizing that hazards are inherent on our complex environmental, constructed, agricultural, political, and social systems. Key words: Biodiversity, mitigate hazards, risk reduction, farming systems PENDAHULUAN Integrasi Sains dan Teknologi dalam pengurangan dan manajemen risiko bencana merupakan kunci untuk menciptakan masyarakat yang tahan terhadap bencana. Jenis-jenis risiko bencana di Asia Tenggara seperti misalnya perubahan cuaca yang ekstrim, termasuk angin topan, banjir, air bah dan kekeringan dapat diminimalisir dengan penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi. Selain itu, kerusakan akibat bencana seperti misalnya kebakaran hutan, gempa bumi, tsunami, tanah longsor, dan wabah penyakit dapat diminimalisir melalui aplikasi ilmu pengetahuan dan teknologi modern. Pengenalan teknologi baru yang efektif menciptakan standar kualitas teknologi yang lebih baru untuk mengurangi bencana. Meskipun demikian, aplikasi ilmu pengetahuan dan teknologi yang hanya mengutamakan aspek ekonomi dan mengabaikan kelestarian sumber daya alam akan menimbulkan permasalahan-permasalahan bagi masyarakat adat, yaitu: 1) menurunnya kualitas sumber daya alam dan lingkungan sekitar permukiman masyarakat adat, yang menyebabkan kemiskinan dan masalah sosial; 2) masyarakat adat merupakan kelompok yang rentan terhadap perubahan sosial budaya dan lingkungan, termasuk bencana alam dan penyakit; 3) pendidikan yang masih rendah dan keterbatasan akses informasi, menjadikan masyarakat adat menjadi pihak yang dirugikan ketika terjadi kegiatan yang mencemari dan merusak lingkungan; 4) kelangkaan sumber daya dan keterbatasan lahan garapan, mengakibatkan terganggunya siklus perladangan, yang dapat mempercepat laju degradasi tanah; serta 5) kearifan tradisional yang tidak digunakan masyarakat dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya alam, serta peran kepengurusan adat makin lemah. Nilai luhur dalam pengelolaan dan pelestarian lingkungan yang dapat dijadikan kajian dari masyarakat adat adalah nilai-nilai kearifan lokal (local wisdom). Kelestarian alam tersebut bukan merupakan gejala alam yang alami tetapi merupakan wujud dari kesadaran akan pelestarian alam dan lingkungan yang dihasilkan dari budaya lokal atau kearifan lokal yang sampai saat ini masih dipertahankan. Konsepsi-konsepsi kearifan lokal ini diwariskan secara turun temurun melalui : dongeng, legenda, dan petuah-petuah adat. Hal ini dilakukan sebagai upaya untuk menjaga nilai-nilai luhur yang dipandang penting yang harus dipahami dan dipatuhi oleh semua warga. Beberapa studi literatur tentang nilai-nilai kearifan lokal di beberapa daerah di Indonesia mengarah pada pelestarian dan pemanfaatan keanekaragaman hayati yang bila diabaikan akan mendatangkan bencana bagi masyarakat setempat. METODE PENELITIAN Sumber data kajian ini diperoleh dari beberapa referensi terutama dari hasil-hasil penelitian serta sebagian data disertasi penulis. Data dan informasi terkait dampak bencana dari beberapa sumber, antara lain melalui multi media dan surat kabar terkini selanjutnya dianalisis secara deskriptif untuk memperoleh informasi tentang peranan keanekaragaman hayati dalam menanggulangi dampak bencana. 81

Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Sain dan Teknologi Pada Pengurangan Resiko Bencana Banda Aceh, 22 November 2014

HASIL DAN PEMBAHASAN Dalam pertanian tradisional, ada satu aspek penting yang disebut sebagai “Lokal atau Indigenous Knowledge (IK)” atau sering disebut sebagai “Kearifan Lokal/tradisional”. Sistem kearifan lokal dalam bidang pertanian merupakan suatu pengetahuan yang utuh berkembang dalam budaya atau kelompok etnik tertentu untuk memenuhi kebutuhan hidupnya secara subsistem sesuai kondisi biodiversitas yang ada pada lingkungan tersebut. Pertanian dengan pendekatan ekologis (agroekologi) mengajak kita untuk mengembangkan biodiversitas pertanian (agroekosistem) dalam wujud integrasi aneka jenis hewan dan tanaman. Integrasi hewan dan tanaman yang sukses akan memperkuat interaksi positif dan mengoptimalkan fungsi serta proses yang terjadi di dalam ekosistem, seperti misalnya pengendalian hama berbahaya, daur ulang unsur hara, produksi biomassa dan penyediaan asupan bahan-bahan organik. Kearifan lokal sebagai bentuk tradisi masyarakat tradisional kini mulai terpinggirkan karena pengaruh modernitas yang cenderung menganggap hal-hal yang tradisional selalu statis. Kondisi seperti ini tidak dapat dibenarkan sebab kearifan lokal yang tercipta dari kehidupan keseharian masyarakat telah berlangsung dari generasi kegenerasi dan ternyata bersifat dinamis. Kearifan lokal merupakan perwujudan dari daya tahan dan daya tumbuh yang dimanifestasikan melalui pandangan hidup, pengetahuan, dan pelbagai strategi kehidupan yang berupa aktivitas yang dilakukan oleh masyarakat lokal untuk menjawab berbagai masalah dalam pemenuhan kebutuhan hidupnya, sekaligus memelihara kebudayaannya. Pada kenyataannya kearifan lokal selalu bisa berjalan beriringan dengan perkembangan kemajuan manusia itu sendiri asalkan mereka tetap berpegang teguh pada norma, adat dan tradisi yang ada. Hal ini sebagai bentuk perwujudan dari kearifan lokal itu sendiri yang senantiasa menjaga manusia untuk dapat terus hidup selaras, serasi dan seimbang dengan alam sekitarnya. Diversifikasi Tanaman Pangan Secara perlahan masyarakat Indonesia perlu diajak kembali menerapkan pola pangan zaman sebelum orde baru. Dimana masyarakat Sulawesi, Maluku, dan Papua kembali mengandalkan sagu sebagai bahan makanan utama. Selain itu, masyarakat Jawa dapat kembali mengkonsumsi tanaman palawija, seperti misalnya singkong, kentang dan ubi. Hal yang sama perlu dilakukan pada daerah lainnya, di mana keanekaragaman kebutuhan pangan menjadi fokus utama. Dengan tujuan untuk mengurangi ketergantungan pada satu jenis komoditas pertanian saja. Apalagi ketidaktentuan cuaca karena perubahan iklim tidak jarang memicu terjadinya gagal panen. Selain itu, langkah ini merupakan salah satu cara meredam ketergantungan Indonesia terhadap pangan impor. Meskipun diversifikasi pangan bukan merupakan program baru, program ini merupakan langkah jitu untuk meredam gejolak pangan dunia dan nasional ditengah ancaman perubahan iklim. Selain itu, diversifikasi pangan menjadi cara mengembangkan kearifan lokal melalui pengoptimalan sumber daya yang ada. Rao et al., (2004) mengatakan bahwa diversifikasi usaha pertanian dapat digunakan sebagai strategi pengentasan kemiskinan, peningkatan lapangan kerja, konservasi lingkungan, dan meningkatkan pendapatan usaha tani. Dalam adopsi pola tanam menurut Rusastra et al., (2004) perlu diupayakan perbaikan beberapa hal sebagai berikut: (a) Penciptaan, penyediaan dan distribusi bibit palawija dan sayuran sebagai komponen penting penyusun pola tanam; (b) Fasilitasi kredit program secara khusus bagi program diversifikasi mengingat dibutuhkannya total biaya produksi yang lebih besar; (c) Penciptaan dan pemanfaatan teknologi hemat tenaga kerja yang menyangkut aspek pengolahan tanah, tanam, dan penyiangan; (d) Konsolidasi 82

Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Sain dan Teknologi Pada Pengurangan Resiko Bencana Banda Aceh, 22 November 2014

dan koordinasi penyediaan air irigasi mengingat palawija dan hortikultura membutuhkan air irigasi secara periodik dalam internal waktu tertentu; dan (e) Peningkatan kinerja penyuluhan yang terkait dengan teknik budidaya baru usahatani padi dan pengembangan komoditas non-padi. Pola Asuransi Tanaman Aktifitas pertanian memiliki keterkaitan erat dengan kondisi alam dan lingkungan serta sulit dihindarkan dari bencana alam yang terjadi terlebih dengan perubahan iklim yang sering terjadi akhir-akhir ini sehingga banyak merugikan petani dan menurunkan minat bertani masyarakat. Hal ini tentu mengancam keberlanjutan pertanian di Indonesia. Aktifitas bertani yang semakin berkurang tentu akan berdampak pada kualitas lingkungan yang semakin rendah mengingat pembangunan fisik (rumah, gedung, kantor dan lain-lain) terus bertambah sementara kegiatan bercocok tanam semakin berkurang akibat risiko bertani yang semakin tinggi, oleh karena itu menurut Nnadi et al., (2013) asuransi pertanian merupakan bentuk manajemen risiko usaha tani yang dapat memicu terjadinya keseimbangan dalam pemanfaatan alam dan memicu perbaikan kualitas lingkungan hidup. Terlepas dari model asuransi yang akan dilaksanakan, pemerintah bersama-sama dengan sektor swasta harus meningkatkan upaya dalam mendidik petani tentang fitur dan manfaat dari asuransi tanaman tidak hanya untuk meningkatkan serapan tetapi untuk membangun kepercayaan. Selain itu, menurut Sumner dan Zulauf (2013) penting untuk mempertimbangkan pengintegrasian asuransi tanaman bagi petani kecil dengan produk lain dan jasa, yaitu keuangan mikro dan / atau input supplies. Pada akhirnya, asuransi pertanian tidak harus dilihat sebagai solusi tunggal untuk memecahkan masalah manajemen risiko rumah tangga pertanian dengan sendirinya. Solusi non-keuangan lainnya pun penting untuk membantu masyarakat miskin mengelola risiko usaha pertanian, misalnya meningkatkan sistem teknologi irigasi, meningkatkan peluang ekonomi di daerah pedesaan, dan mendukung praktek-praktek pertanian yang baik. Varietas Tanaman yang Toleran terhadap Kekeringan atau Banjir Pemilihan varietas unggul (flora maupun fauna) adalah perpaduan kearifan lokal dengan teknologi modern. Kearifan lokal penduduk merupakan sistem pengetahuan penduduk setempat yang didapatkan sebagai warisan (blueprint) dari generasi ke generasi dan merupakan proses pengalaman hidup yang dijalani dan teruji. Sistem pengetahuan itu beroperasi dalam tataran kehidupan sehari-hari sebagai upaya diri individu maupun kolektif untuk menyelesaikan persoalan hidupnya (Wahyu, 2001). Aplikasi teknologi adaptif, terutama pada tanaman pangan, seperti misalnya penggunaan varietas unggul adaptif terhadap kekeringan, genangan/banjir, salinitas dan umur genjah, serta teknologi pengelolaan lahan, pupuk, air, diversifikasi pangan, teknologi pemanfaatan limbah dan lain-lain merupakan upaya adaptasi terhadap mitigasi dampak bencana alam (Dewan Nasional Perubahan Iklim, 2012). Fasilitas Penyimpanan Biji-Bijian dan Tempat Penampungan Ternak yang Aman Menyimpan pakan dan bahan pakan harus berdasarkan tata cara yang biasa dilakukan oleh para peramu pakan atau peternak yang sudah berpengalaman. Selain itu, bahan pakan yang akan digunakan juga harus dipilih agar kondisinya tidak banyak berubah ketika disimpan di dalam gudang. Gudang merupakan tempat untuk menyimpan bahan pakan dan pakan jadi yang sangat menentukan kualitas yang diperoleh setelah terjadi penyimpanan. Sebaiknya, gudang untuk menyimpan bahan pakan berbeda dengan gudang pakan jadi. 83

Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Sain dan Teknologi Pada Pengurangan Resiko Bencana Banda Aceh, 22 November 2014

Gudang pakan juga sebaiknya tidak jauh dari kandang/tempat penampungan ternak. Jaman dahulu orang membuat rumah panggung untuk menghindari binatang buas. Kolong atau bagian bawah rumah biasanya digunakan untuk memelihara ternak. Secara teknik fungsi rumah panggung adalah supaya tidak mengganggu bidang resapan air, kolong sebagai media pengkondisian ruang dengan mengalirnya udara secara silang, sehingga baik untuk kehangatan (malam hari) dan kesejukan (siang hari). Akan tetapi model rumah panggung ini relatif mahal sehingga penduduk mulai jarang mendirikan rumahnya dalam bentuk panggung. Cadangan Pakan Ternak yang Strategis Menuju Peternakan yang Tangguh Iklim yang tak menentu atau bencana alam membuat perhatian mengenai kearifan lokal yang dimiliki masyarakat setempat perlu ditingkatkan. Selain kearifan lokal, petani juga membutuhkan teknologi untuk : Pengembangan ternak yang adaptif pada lingkungan dan iklim ekstrim (kekeringan, suhu tinggi, genangan). Pengembangan teknologi silase untuk mengatasi kelangkaan pakan musiman. Pengembangan sistem integrasi tanaman-ternak (crop livestock system, CSL) untuk mengurangi resiko dan optimalisasi penggunaan sumberdaya lahan. Petani etnis Jawa di Kalimantan Barat memanfaatkan berbagai limbah seperti misalnya tepung kulit udang, tepung ikan kering, gulma dan gambut kering setempat dan kotoran ayam yang dijadikan abu untuk kemudian digunakan sebagai pupuk. Pupuk organik ini cukup baik bagi sayuran misalnya seledri, tomat, cabai dan kuchai tanpa menggunakan pupuk anorganik. Kandungan hara abu ini cukup baik dibandingkan dengan pupuk kandang konvensional (Wahyu dan Nasrulloh, 2010). Bio-security Sistem Produksi Ternak Biosekuritas atau biosecurity merupakan pertahanan terdepan dalam mencegah masuknya agen-agen penyakit ke dalam suatu peternakan. Untuk mendukung serta memaksimalkan kemampuan biosekutitas atau biosecurity adalah dengan meningkatkan kekebalan tubuh atau sistem imun ternak untuk mencegah ternak terjangkit atau terinfeksi penyakit. Nutrisi ternak memegang peranan penting untuk menciptakan atau membentuk sistem imun atau kekebalan tubuh yang kuat karena hanya dengan nutrisi yang berkualitaslah perkembangan organ serta sistem imunitas ternak ternak dapat berlangsung dengan optimal. Dengan perkembangan sistem kekebalan tubuh yang optimal, performa ternak akan jauh lebih baik. Cadangan Air untuk Buffer Kekeringan Masalah cekaman kekeringan dapat diatasi melalui dua cara, yaitu dengan mengubah lingkungan agar cekamannya dapat diminimumkan serta memperbaiki genotipe tanaman agar tahan terhadap cekaman kekeringan. Upaya pertama antara lain dapat dilakukan dengan cara : Penyesuaian waktu dan pola tanam berdasarkan kalender tanam Aplikasi teknologi panen hujan Aplikasi teknologi irigasi

84

Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Sain dan Teknologi Pada Pengurangan Resiko Bencana Banda Aceh, 22 November 2014

KESIMPULAN Sesungguhnya bahaya selalu ada di lingkungan sekitar kita (pada areal perkebunan, pertanian, perindustrian, kultur budaya) dan menjadi bagian dari kehidupan manusia secara turun temurun. Mitigasi bencana harus diperkenalkan sejak usia dini sehingga penanaman pengertian secara berkelanjutan dalam mengenali bahaya yang melekat pada lingkungan, pembangunan, pertanian, politik, dan sistem sosial kita dapat diupayakan antisipasinya dengan cermat tanpa mengabaikan kearifan lokal dan dukungan keanekaragaman hayati. REFERENCES Dewan Nasional Perubahan Iklim. 2012. Direktori Data dan Informasi Adaptasi Perubahan Iklim. Kelompok Kerja Adaptasi – DNPI. Nnadi, FN, Chikaire, J.,Echetama, AJ., Ihenacho, R.A., Umunnakwe, C.P. and Utazi, OC. 2013. Agricultural insurance: A strategic tool for climate change adaptation in the agricultural sector. Net Journal of Agricultural ScienceVol. 1(1), pp. 1-9 Rao, S. V. R. ., Raju, M. V. L. N. ., Reddy, M. R. and Panda, A. K., 2004. Replacement of yellow maize with pearl millet (Pennisetum typhoides), foxtail millet (Setaria italica) or finger millet (Eleusine coracana) in broiler chicken diets containing supplemental enzymes. Asian-Aust. J. Anim. Sci., 17 (6): 836-842. Rusastra, I.W, Handewi P.S, Supriati dan Saptana. 2004. Prospek Pengembangan Pola Tanam dan Diversifikasi Tanaman Pangan di Indonesia. Forum Penelitian Agro Ekonomi. Volume 22 No. 1, Juli 2004 : 37 – 53 Sumner, AD and Zulauf, C., 2012. Economic and environmental effects of agricultural effects of agricultural insurance programs: The Council of Food Agriculture and economic Sumner, AD and Zulauf, C., 2013. Economic and environmental effects of agricultural effects of agricultural insurance programs: The Council of Food Agriculture and Economic. Wahyu dan Nasrulloh. 2010. Kearifan Lokal Petani Dayak Bakumpai dalam Pengelolaan Padi di Lahan Rawa Pasang Surut Kabupaten Barito Kuala. Diktat kuliah pada Program Studi Pendidikan Sosiologi, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Lambung Mangkurat, Banjarmasin. (tidak diterbitkan). Wahyu. 2001. Kemampuan Adaptasi Petani dalam Sistem Usahatani Sawah Pasang Surut dan Sawah Irigasi di Kalimantan Selatan. Etnovisi, Jurnal Antropologi Sosial Budaya, 1 (2).

85

Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Sain dan Teknologi Pada Pengurangan Resiko Bencana Banda Aceh, 22 November 2014

Peningkatan Produktifitas Sapi Lokal Sebagai Penyedia Pangan Berkualitas pada Saat Bencana Melalui Perbaikan Pakan dengan Aditif Alami Muhammad Bata1 1

Fakultas Peternakan, Universitas Jenderal Soedirman (UNSOED) Purwokerto

ABSTRAK Waru merupakan tanaman pepohonan yang sering ditanam di pesisir pantai sebagai salah satu upaya untuk menahan gelombang pasang. Kandungan bahan aktif seperti saponin yang cukup tinggi pada tanaman ini memungkinkan daun dan bunga waru dapat digunakan sebagai aditif fitogenik untuk meningkatkan produktifitas sapi lokal melalui defaunasi protozoa sehingga dapat menekan populasi bakteri metanogenik dan meningkatkan jumlah bakteri selulolitik. Sebanyak 20 ekor sapi bali asal pulau Sumbawa dengan bobot hidup 175 ± 0,25 kg yang diacak secara sempurna untuk diberi 3 jenis pakan dari A, B dan C. Pakan A adalah kontrol dengan imbangan bahan kering jerami padi amoniasi dan konsentrat masing-masing 65 : 35. Pakan B dan C sama dengan A, akan tetapi konsentrat disuplementasi dengan tepung daun waru berturut –turut 240 dan 480 mg per kg bahan kering. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penambahan tepung daun waru sebanyak 240 mg per kg bahan kering konsentrat mampu memperbaiki pertambahan sapi bali asal Pulau Sumbawa dengan PBBH dari 0,38 kg menjadi 0,69 kg. Hasil tersebut menunjukan bahwa penggunaan daun waru dalam pakan mampu meningkatkan efisiensi penggunaan pakan dan meningkat produktfitas ternak sapi potong, sehingga mampu menyediakan pangan berkualitas pada saat bencana. Selain itu mampu mengurangi dampak negatif terhadap lingkungan melalui pengurangan emisi methane. Kata kunci: Waru, methan, sapi, rumen, energi ABSTRACT Hibiscus tileaceus is a plant that is often planted trees on the coast in an effort to hold back the tide. The content of active ingredients such as saponins are quite high in this plant enables Hibiscus leaves and flowers can be used as an additive fiogenic to improve the productivity of local cattle through defaunasi protozoa that can reduce the population of methanogenic bacteria and increases the amount of selulolitic bacteria. There were twenty of Bali Cattle from Sumbawa Islands with average of initial body weigh of 175 ± 0,25 kg. They received three kinds of diet (A, B,and C). Diet A was control consisted of rice straw ammnoniation and consentrates with dry matter ratio of 65 : 35. Diet B and C same as Diet A, but consentrate in the diet A and B were suplemented wit Hibiscus tileaceus leaves 0f 240 mg and 480 mg per kg of dry matter. The result showed that the addition of hibiscus leaf meal as much as 240 mg per kg of dry matter concentrate (diet B) increased average daily gain of Bali cattle from 0.38 kg to 0.69 kg. These results indicated that the use of the leaves of hibiscus in feed can improve feed efficiency and increased produktfitas cattle, so as to provide quality food in times of disaster. In addition it is able to reduce the negative impact on the environment through the reduction of methane emissions. Key words:Hibiscus, methane, cattle, rumen, energy.

86

Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Sain dan Teknologi Pada Pengurangan Resiko Bencana Banda Aceh, 22 November 2014

. PENDAHULUAN Ternak ruminansia seperti sapi mampu mempertahan kehidupan jutaan manusia di dunia, karena mampu menghasilkan bahan pangan yang berkualitas dengan menggunakan pakan berserat yang tidak dapat dimanfaatlan secara langsung oleh ternak monoggastrik termasuk (Morgavi et al., 2010). Salah satu pakan berserat yang sering digunakan untuk sapi adalah jerami padi. Namun demikian jerami padi mempunyai kelemahan-kelemahan antara lain kandungan protein atau nitrogen rendah (Khan et al., 2006, dan Orden et al., 2000). dan karbohidrat fermentable rendah, ligninnya tinggi serta ikatan ligno-selulosa sangat kuat sehingga sulit untuk dicerna oleh mikroba rumen (Nisa et al., 2004). Sapi yang hanya diberi jerami padi saja mengalami pertumbuhan dan produktifitas yang rendah bahkan mengalami penyusutan. Beberapa perlakuan kimia telah diuji untuk melarutkan lignin atau menghancurkan keberadaan komplek lignin-karbohidrat. Salah satu diantaranya adalah amoniasi yang menggunakan urea sangat cocok karena dapat meningkatkan kandungan nitrogen dan degradasi selulosa (Zorilla-Rios et al., 1991). Perlakuan kimiawi jerami padi menggunakan urea bukan metode yang efisien, karena hanya 30-35% NH3 yang terlepas dari urea dapat terretensi pada jerami, dan 65-70% terlepas ke udara (Sarwar et al., 2004 and Khan et al. 2006b) dan waktu yang lama, NH3 dapat menyebabkan kebutaan bahkan kematian ternak (Khan et al., 2004 dan Sarwar et al., 2003). Penggunaan sumber karbohidrat yang mudah fermentasi dapat digunakan sebagai aditif untuk mengikat N yang terbuang tersebut (Khan et al., 2004 dan Nisa et al., 2004). Berbagai limbah sumber karbohidrat non struktural (non structural carbohydrates = NSC) seperti limbah cair tapioka (onggok), limabah pati aren dan molases sebagai aditif pada amoniasi jerami padi dapat menurunkan poduksi NH3 (Basyari, 2009), meningkatkan kecernaan bahan kering dan organik (Widiarsih, 2007 dan Maryati, 2008) dan penggunaannya (45-55% dari total kebutuhan bahan kering) mampu meningkatkan pertambahan bobot badan sapi potong lokal hingga 0.9-1.3 kg/hari (Bata dan Rustomo, 2009 dan Bata et al., 2010). Namun penggunaan pakan berbasis jerami padi amoniasi berpotensi meningkatkan emisi gas metan yang merupakan hasil fermentasi oleh mikroba rumen dari 1.05 menjadi 5.35 Mkal/hari, sehingga menurunkan efisiensi pakan dan berkontribusi terhadap pemanasan global (Stanfield et al., 2006). Oleh karena itu upaya penurunan gas metan menjadi perhatian utama sebagai upaya untuk meningkatkan produktifitas ternak dan mencegah terjadinya pemanasan global serta perubahan iklim. Dalam beberapa tahun terakhir ini, ada peningkatan perhatian terhadap eksploitasi bahan alami sebagai aditif pakan untuk mengurangi produksi metan untuk melindungi lingkungan dan meningkatkan efisiensi konversi pakan pada ternak ruminansia (Yurtseven et al. 2009). Ekstrak tanaman yang mengandung saponin sebagai aditif alami untuk pakan ruminansia menarik perhatian karena berefek positif terhadap penurunan metan, menghambat atau membunuh protozoa dan mengatur pola fermentasi rumen (Hristov et al., 1999 dan Pen et al., 2006). Bata et al., (2011) telah mengkaji efek berbagai pelarut terhadap komponen fitogenik yang terdapat dalam daun dan bunga Waru (Hibiscus tiliaceus). Hasilnya, pelarut etanol menghasilkan substansi bioaktif terbaik dibandingkan pelarut air, etil eter, etil asetat ditinjau dari kadar asam fumarat, saponin dan polifenol (total fenol dan flavonoid). Puspitasari (2012) melaporkan bahwa terdapat interaksi (PH. Van Herk. 1999.Effect of Yucca schidigera on ruminal fermentation and nutrient digestion in heifers. J Anim Sci 77, 2554–2563. Hungate, R. E. 1966. The rumen and its microbes. Academic Press,New York, USA. Kebreab, E., France, J., McBride, B.W., Bannink, A., Mills J.A.N. & J. Dijkstra, 2006. Evaluation of models to predict methane emissions from enteric fermentation in North American Cattle. In: Modelling Nutrient Utilization in Farm Animals, Eds, E. 91

Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Sain dan Teknologi Pada Pengurangan Resiko Bencana Banda Aceh, 22 November 2014

Kebreab, J. Dijkstra, J. France, A. Bannink & W.J.J. Gerrits,. CAB International, Wallingford, UK. Khan, M.A., M. Sarwar, M. Nisa and M.S. Khan. 2004. Feeding value of urea treated corncobs ensiled with or withouth enzose (corn dextrose) for lactating crossbred cow. Asian-Aust. J. Anim. Sci. 17:1093 – 1097 Khan, M.A., M. Sarwar, M. Nisa, M.S Khan, S.A. Bhatti, Z. Iqbal, W.S. Lee, H.J. Lee, H.S. Kim and K.S. Ki. 2006a. Feeding value of urea treated wheat straw ensiled with or without acidified molasses in Nili-Ravi Buffloes. Asian-Aust. J. Anim. Sci. 19:645 – 650. Khan, M.A., Z. Iqbal, M. Sarwar, M.S. Nisa, M. Khan, H.J. Lee, W.S. Lee, H.S. Kim and K.S. Ki. 2006b. Urea treated corncobs ensiled with or without additives for buffaloes, ruminal characteristics, digestibility and nitrogen metabolism. AsianAust. J. Anim. Sci. 19:705 – 712 Lila, Z. A., N. Mohammed, N. Tatsuoka, S. Kanda, Y. Kurokawa, and H. Itabashi. 2004. Effect of cyclodextrin diallyl maleate on methane production, ruminal fermentation and microbes in vitro and in vivo. Anim. Sci. J. 75:15–22. Lovett DK, Stack L, Lovell S, et al. 2006. Effect of feeding Yucca schidigera extract on performance of lactating dairy cows and ruminal fermentation parameters in steers. Livest Sci 102, 23–32. Maryati. D. 2008. Penambahan molasses untuk meningkatkan kualitas amoniasi jerami padi dan pengaruhnya terhadap kecernaan bahan kering dan bahan organic. Skripsi. Fakultas Peternakan, Unsoed, Purwokerto Morgavi,D.P., E. Forano, C. Martin and C. J. Newbold. 2010. Microbial ecosystem and methanogenesis in ruminants. Animal. 4:7: 1024–1036 Nisa, M., M.Sarwar and M. Ajmal Khan. 2004. Nutritive value of urea treated wheat straw ensiled with or without corn steep liquor for lactating Nili-ravi Buffaloes. Asian-Aust. J. Anim. Sci. Vol 17, 6:825 – 829. Newbold, C. J., S. M. El Hassan, J. Wang, M. E. Ortega, and R.J. Wallace. 1997. Influence of foliage from African multipurposetrees on activity of rumen protozoa and bacteria. Br. J. Nutr.78:237–249. Newbold, C. J., S. Lopez, N. Nelson, J. O. Ouda, R. J. Wallace, and A. R. Moss. 2005. Propionate precursors and other metabolic intermediates as possible alternative electron acceptors to methanogenesis in ruminal fermentation in vitro. Br. J. Nutr. 94:27–35. Orden, E.A., K. Yamaki, T. Ichinohe and T.Fujihara. 2000. Feeding value of ammoniated rice straw supplemented with rice bran in sheep: II. In Situ rumen degradation of untreated and ammonia treated rice straw. Asian-Aus. J. Anim. Sci. 13: 906 – 912 Patra, A.K and Sakena, J. 2009. The effect and mode of action of saponins on the microbial populations and fermentation in the rumen and ruminant production. Nutrition Research Reviews (2009), 22, 204–219 Pen B, Sar C, Mwenya B, Kuwaki K, 2006. Effects of Yucca schidigera and Quillaja saponaria extracts on in vitro ruminal fermentation and methane emission. Anim Feed Sci Technol 129, 175–186 92

Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Sain dan Teknologi Pada Pengurangan Resiko Bencana Banda Aceh, 22 November 2014

Prayitno, M.Bata, SNO. Suwandyastuti dan I. Haryoko. Pengaruh penambahan adtif tepung daun waru dalam pakan konsentrat terhadap kadar glukosa darah, urea dan performa sapi Peranakan Ongole (PO). Laporan Hasil Penelitian, Fakultas Peternakan, Unsoed, Purwokerto Puspitasari, D. 2012. Suplementasi Ekstrak Bunga Waru Pada Ransum Sapi Potong Dengan Rasio Jerami Padi Amoniasi dan Konsentrasi Berbeda Pengaruhnya Terhadap Produk Fermentasi Rumen. Thesis. Pascasarjana Ilmu Peternakan-Fapet UNSOED. Santoso, B., B. Mwenya, C. Sar, Y. Gamo, T. Kobayashi, R. Morikawa,K. Kimura, H. Mizukoshi, and J. Takahashi. 2004. Effects of supplementing galactooligosaccharides, Yucca schidigera or nisinon rumen methanogenesis, nitrogen and energy metabolism insheep. Livest. Prod. Sci. 91:209–217. Sarwar, M., M.A. khan and M. Nisa. 2003. Nitrogen retention and chemical composition of urea treated wheat straw ensiled with organic acids or fermentable carbohydrates. Asian- Aust. J. Anim. Sci. 16:1583 - 1590 Sarwar, M., M.A. khan and M. Nisa. 2004. Effect of organic acids or fermentable carbohydrates on digestibility and nitrogen utilization of urea treated wheat straw in buffalo bulls. Aust. J. Agric. Res.. 55:223 – 228 Steinfeld, H., P. Gerber, T. Wassenaar, V. Castel, M. Rosales, C.deHaan. 2006. Livestock‟s Long Shadow; environmentalissues and options. FAO, 2006. Teferedegne, B. 2000. New perspectives on the use of tropical plants to improve ruminant nutrition. Proc. Nutr. Soc. 59:209–214. Wallace, R. J., N. R. McEwan, F. M. McIntosh, B. Teferedegne, & C.JNewbold. 2002. Natural products as manipulators of rumen fermentation. J. Anim. Sci. 15:14581468. Wallace, R. J., T. A. Wood, A. Rowe, J. Price, D. R. Yanez, S.P. Williams, and C. J. Newbold. 2006. Encapsulated fumaricacid as a means of decreasing ruminal methane emissions. Int.Congr. Ser. 1293:148–151. Widiarsih, L. 2007. Penambahan onggok basah pada ensilase jerami padi amoniasi terhadap kandungan NDF dan ADF. Skripsi. Fakultas Peternakan, Unsoed, Purwokerto Yurtseven, S., M. Cetin, I. Ozturk. A. Can, M. Boga, T. Sahin amd H. Turkoglu. 2009. Effect of different feeding method on methane and carbon dioxide emissions milk yield and composition of lactating awassi sheep. Asian. Anim. Vet. Adv. 4:278 287 Zinn RA, Alvarez EG, Montano MF, et al. (1998) Influence of tempering on the feeding value of rolled corn in finishing diets for feedlot cattle. J Anim Sci 76, 2239–2246. Zorrilarios, J, G.W. Horn, W.A. Philips and R.W. McNew. 1991. Energy and protein supplementation of ammoniated wheat straw diets for growing steers. J. Anim. Sci 69: 1809 – 1819

93

Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Sain dan Teknologi Pada Pengurangan Resiko Bencana Banda Aceh, 22 November 2014

Mitigasi Bencana untuk Mempertahankan Produktivitas Ternak Unggas dan Aksesibilitas Terhadap Protein Hewani Nurhayati1 1

Fakultas Peternakan Universitas Jambi

ABSTRAK Makalah ini bertujuan untuk mendeskripsi dan menganalisis upaya mitigasi bencana yang dilakukan untuk mempertahankan produktivitas ternak unggas dan aksesibilitas terhadap sumber protein hewani. Peternakan merupakan sektor yang paling rentan terhadap bencana disamping sub sektor pertanian lainnya. Produktivitas ternak terutama ternak unggas sangat rentan terhadap gangguan perubahan cuaca yang ekstrim, banjir, angin kencang, serangan penyakit, dan bencana alam lainnya. Produk ternak unggas merupakan sumber protein hewani yang bergizi dan murah sehingga hampir seluruh lapisan masyarakat memiliki kemampuan untuk mengakses produk ini. Akan tetapi akibat terjadinya bencana, terjadi kelangkaan bahan pakan, penurunan produktivitas, kelangkaan sumber protein hewani di pasaran, meningkatnya harga produk ternak dan penurunan aksesibilitas masyarakat terhadap produk tersebut. Hasil pengamatan pada usaha peternakan unggas, tindakan mitigasi bencana dapat mempertahankan keberlangsungan usaha peternakan, produktivitas ternak, ketersediaan produk ternak di pasaran dan aksesibilitas terhadap protein hewani. Upaya mitigasi yang dilakukan diantaranya peringatan dini datangnya bencana, pendidikan dan pelatihan manajemen bencana kepada peternak. Perubahan tingkah laku ternak menjadi pertanda akan munculnya bencana. Pendidikan dan pelatihan yang diberikan kepada peternak dan seluruh lapisan masyarakat dapat meningkatkan kewaspadaan, kesiagaan dan antisipasi terhadap bencana seperti wabah serangan penyakit dan tindakan evakuasi dalam penyelamatan ternak dan warga. Penyelamatan ternak dapat mempertahankan ketersediaan sumber protein hewani dan aksesibilitasnya. Penyelamatan ternak menjadi tanggung jawab bersama; pengguna dan pemangku kepentingan. Kata kunci : Mitigasi bencana, produktivitas ternak, aksesibilitas protein hewani ABSTRACT The paper is aimed to describe and analyse mitigation disaster to maintain poultry productivity and animal protein accessibility. Animal husbandry is the most vulnerable sector to disaster besides other agricultural sub-sectors. Poultry productivity is the most disrupted by extreme weather, flood, high winds, disease, and other natural disasters. Poultry products are the nutritious and inexpensive animal protein sources, thus, almost all people have an ability to access them. However, because of disaster, there will be scarcity of animal feedstuffs, decreased poultry productivity, limited animal protein in the market, increased animal product prices and decreased people accessibility on those products. Result of observation on the poultry farming, disaster mitigation could maintain a continuity of livestock production and productivity, availability animal protein sources in the market and their accessibility. The disaster mitigation was such as early warning of disaster, training and education on disaster management to the farmers. Changes in animal behaviour might be a sign of impend disaster. Training and education to the farmers and all stakeholders will improve their awareness, alertness and anticipation on disaster such as diseases and evacuation activity on livestock and people. Rescued 94

Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Sain dan Teknologi Pada Pengurangan Resiko Bencana Banda Aceh, 22 November 2014

livestock could maintain the animal protein availability and accessibility. Rescued livestock is our responsibility, consumers and stakeholders. Key words : Animal protein accessibilty, animal production, disaster mitigation PENDAHULUAN Kesadaran masyarakat untuk mengkonsumsi protein hewani menjadi tantangan untuk pengembangan dan peningkatan produktivitas ternak. Pengembangan usaha peternakan sangat dipengaruhi oleh faktor bibit, pakan dan manajemen. Oleh karena pentingnya ketiga faktor tersebut maka ketiga faktor ini merupakan faktor utama. Faktor pendukung berupa faktor lingkungan juga turut mempengaruhi perkembangan dan produktivitas ternak. Diantara jenis ternak yang ada, peternakan unggas paling rentan terhadap perubahan faktor utama dan pendukung. Perubahan salah satu dari faktor utama atau pendukung baik karena alam maupun akibat ulah manusia akan mengakibatkan penurunan produktivitas ternak sehingga ketersediaan protein hewani menjadi terganggu atau terbatas. Dampak selanjutnya adalah kenaikan harga produk ternak di pasaran dan menurunnya aksesibilitas masyarakat terhadap sumber protein hewani. Bencana pada peternakan unggas meliputi gangguan pada bibit, pakan, terjadinya wabah penyakit, perubahan suhu yang ekstrem, banjir, angin kencang. Handewi et al., (2000) menyatakan bahwa produk unggas lebih disukai untuk dikonsumsi oleh anggota keluarga Indonesia dibandingkan produk ternak lainnya ataupun ikan olahan karena harganya yang lebih murah dan kandungan gizinya yang baik. Diwyanto (2005) menyatakan bahwa produk ternak unggas merupakan solusi yang murah dan bergizi untuk memenuhi kebutuhan protein masyarakat. Laporan dari Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan, Kementerian Pertanian, Republik Indonesia menyatakan bahwa daging dan telur ayam lebih banyak dibeli oleh masyarakat sebagai sumber protein hewani dibandingkan daging sapi atau kambing dikarenakan harganya yang terjangkau. Hal senada juga disampaikan oleh Sundu (2005) yang menyatakan bahwa unggas merupakan ternak yang potential untuk dikembangkan di Indonesia. Perkembangan penduduk yang cepat, tidak ada budaya ataupun agama yang ada di Indonesia yang melarang mengkonsumsi ayam dan produknya, kondisi geografis dan alam yang mendukung perkembangannya serta sumber daya pakan yang tersedia terutama dari limbah dan hasil sampingan pertanian yang masih mengandung zat makanan cukup baik seperti protein dan energi merupakan daya dukung yang kurang diperhitungkan. Penggunaan bahan pakan lokal dapat menekan biaya produksi karena hampir 70 % dari biaya produksi merupakan biaya pakan. Akan tetapi, bencana alam yang terjadi di Indonesia telah mengakibatkan perubahan pada faktor utama sehingga terjadi penurunan populasi ternak unggas yang cukup signifikan. Oleh karena itu perlu ada upaya untuk mencegah atau mengatasi dampak yang mungkin ditimbulkan oleh bencana, gangguan yang terjadi. Berdasarkan hal tersebut maka penulisan makalah ini bertujuan untuk untuk mendeskripsi dan menganalisis upaya mitigasi bencana yang dilakukan untuk mempertahankan produktivitas ternak unggas dan aksesibilitas terhadap sumber protein hewani. Diharapkan dari tulisan ini dapat dijadikan bahan pertimbangan bagi para pengambil kebijakan terutama untuk pengembangan ternak di daerah rawan bencana sehingga produktivitas ternak unggas dapat dipertahankan.

95

Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Sain dan Teknologi Pada Pengurangan Resiko Bencana Banda Aceh, 22 November 2014

METODE PENULISAN Penulisan makalah ini dilakukan berdasarkan hasil pengamatan di lapangan dan kajian pustaka yang relevan. Data yang digunakan merupakan hasil pengamatan pada peternak unggas, data sekunder dari Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan, dan Badan Pusat Statistik serta sitasi dari jurnal. Data yang diperoleh di analisis dan dideskripsikan untuk mendapatkan tindakan atau metode yang dapat dilakukan guna mencegah dampak bencana atau mitigasi bencana terhadap produktivitas ternak unggas yang pada akhirnya dapat mempengaruhi aksesibiltas terhadap sumber protein hewani asal unggas. HASIL DAN PEMBAHASAN Usaha ternak unggas merupakan usaha ternak yang paling potensial untuk dikembangkan dalam rangka pemenuhan kebutuhan protein hewani dan peningkatan ketahanan pangan nasional. Yuwanta (2005) menyatakan bahwa perunggasan merupakan usaha peternakan yang mampu bertumbuh secara mengesankan dan paling siap menghadapi pasar global sehingga industri perunggasan perlu dilihat untuk 20 tahun kedepan. Dawami (2005) menyatakan bahwa usaha perunggasan merupakan ujung tombak perbaikan gizi, penentu kecerdasan dan kesehatan bangsa, kekuatan ketahanan pangan nasional, menciptakan lapangan pekerjaan, menumbuhkan ekonomi dan meningkatkan income per kapita. Hal ini dikarenakan masyarakat lebih mudah mengakses produk unggas dibandingkan produk ternak lainnya, harganya yang relatif murah dan terjangkau. Peningkatan produksi unggas di Indonesia cenderung meningkat dari tahun ke tahun sejak 35 tahun terakhir sejak pemerintah mencanangkan program BIMAS ayam pada tahun 1979. Program BIMAS ayam merupakan program pemberian kredit untuk usaha pengembangan ternak unggas guna memenuhi kebutuhan protein hewani masyarakat, perubahan regulasi perdagangan yang berkaitan dengan industri perunggasan, penyediaan pakan dan pemasaran produk unggas. Dampak positif dari program ini yaitu peningkatan konsumsi protein hewani dimana pada tahun 1980 konsumsi daging baru 3,92 g/kapita/tahun dan pada 1996 mencapai 8,41 g/kapita/tahun (Direktorat Jenderal Peternakan, 2005). Selanjutnya adanya kebijakan pemerintah untuk mendukung pengembangan usaha perunggasan seperti Keppres No. 22 Tahun 1990 tentang pembinaan usaha peternakan ayam ras, PP No. 7 Tahun 2007 tentang tentang impor dan atau penyerahan barang kena pajak tertentu yang bersifat strategis yang dibebaskan dari pengenaan pajak pertambahan nilai sehingga peternak tidak perlu khawatir akan adanya pemotongan pajak terhadap usaha ternak yang dilakukan. Pemerintah juga mengeluarkan kebijakan yang mendukung perkembangan populasi dan produksi ternak yaitu Program Kemitraan Terpadu (PKT) dimana pengusaha besar mendukung peternak usaha kecil untuk mengembangkan usaha perunggasannya. Akan tetapi akibat bencana yang terjadi baik bencana alam maupun akibat penyakit terjadi penurunan populasi ternak dan konsumsi protein hewani. Di Indonesia tercatat pada tahun 1996 /1997 terjadi penurunan populasi unggas sebagai dampak terjadinya El Nino dan yang terburuk terjadi di Indonesia bagian Timur. El Nino mengakibatkan terjadinya penurunan produksi pertanian termasuk penurunan ketersediaan bahan pakan ternak. Tidak sedikit peternakan unggas yang harus menghentikan usahanya akibat ketidakmampuan membeli pakan, biaya produksi meningkat sedangkan harga jual daging dan telur ayam tidak meningkat signifikan. Perusahaan unggas yang tidak memiliki kemitraan tidak dapat bangkit kembali. Bencana berikutnya bagi dunia perunggasan yaitu tahun 1998 terjadi krisis moneter diawal reformasi sehingga harga dolar melonjak dari Rp. 96

Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Sain dan Teknologi Pada Pengurangan Resiko Bencana Banda Aceh, 22 November 2014

2.500,00 per dolar Amerika menjadi Rp. 15.000,00. Akibatnya harga pakan dan bibit juga meningkat. Peternak tidak sanggup untuk menjaga keberlangsungan usaha dan produktivitas ternak (Sjaf, 2010). Tahun 2003 pertama kali terjadi wabah flu burung di Indonesia sehingga populasi ayam menurun dan penurunan drastis terjadi pada tahun 2005 (Gambar 1) serta penurunan produksi daging unggas dan telur (Gambar 2). Tanpa ada aba-aba atau tanda-tanda, tibatiba ayam dikandang mati mendadak dan dalam waktu singkat kematian terjadi di seluruh kandang yang berdekatan. Flu burung tidak saja menyebabkan kematian pada ayam tetapi juga pada manusia. Flu burung saat ini sudah menjadi endemis pada populasi ayam di beberapa daerah di Indonesia dimana jutaan unggas mati karena penyakit ini. Disamping itu tidak sedikit unggas dimusnahkan total (stamping out) sebagai wujud penanganan kasus penularan flu burung. Pembatasan jumlah ayam dalam satu kandang pemeliharaan juga menjadi upaya mengantisipasi merebaknya flu burung yang berdampak kepada penurunan pendapatan peternak. Kepadatan populasi ayam mengakibatkan kesulitan dalam pengendalian flu burung. Pada akhir-akhir bulan Januari 2014, terjadi banjir besar di beberapa wilayah di Indonesia yang menyebabkan ribuan ternak unggas mati dan dalam dua minggu mengakibatkan kerugian mencapai 10 miliar sebagaimana dilaporkan oleh Republika online edisi 4 Februari 2014. Selanjutnya dilaporkan bahwa daerah-daerah yang paling besar kematian unggas lokalnya yaitu Pati, Pemalang, Tegal dan Brebes dengan jumlah ternak yang hilang di Pemalang mencapai 10 ribu ekor ayam dan 50 ribu ekor itik.

Gambar 1. Populasi Ternak Unggas di Indonesia Pasca Krisis Moneter (Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan, 2014) Dari kejadian tersebut, terlihat bahwa akibat bencana terjadi penurunan populasi dan produksi ternak unggas. Kunreuther (2006) menyatakan bahwa banyaknya korban atau kerugian yang terjadi akibat bencana dan kurangnya perlindungan diri terhadap bencana antara lain disebabkan karena tidak siapnya individu akan datangnya bencana, tidak mempercayai jika bencana dapat saja terjadi pada mereka dan terbatasnya pengetahuan dan anggaran tentang bencana. Peternak tidak mengetahui apa yang akan terjadi dan upaya yang harus dilakukan. Tidak tersedianya peringatan dini akan munculnya bencana (Sundu, 2005) dan terbatasnya informasi yang disampaikan oleh 97

Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Sain dan Teknologi Pada Pengurangan Resiko Bencana Banda Aceh, 22 November 2014

media massa (Sigit, 2005) turut memperparah keadaan ini. Hal ini tidak saja merugikan produsen atau peternak tetapi juga konsumen. Penurunan produktivitas ternak mengakibatkan keterbatasan ketersediaan sumber protein hewani, peningkatan harga di pasar tetapi tidak meningkat secara signifikan pada peternak terutama yang menjalankan usaha peternakan dengan pola kemitraan dimana harga jual ditetapkan oleh perusahaan mitra. Akibatnya aksesibilitas terhadap sumber protein hewani menjadi menurun. Oleh karena itu perlunya upaya pencegahan terhadap bencana atau mitigasi bencana untuk mempertahankan produktivitas ternak unggas dan aksesibilitas terhadap sumber protein hewani.

Gambar 2. Produksi Telur dan Daging Unggas di Indonesia pada 2007 – 2014 (Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan, 2014) Pencegahan atau mitigasi merupakan kata yang bersinonim yang sama-sama bertujuan untuk mengurangi resiko, kerusakan pada barang dan kerugian pada manusia akibat bencana. Upaya yang dapat dilakukan untuk pencegahan bencana diantaranya melalui pendidikan dan pelatihan serta penguatan kemampuan otoritas lokal (WHO/EHA, 1988). Laframboise and Loko (2012) menyatakan bahwa ada berbagai cara yang dapat dilakukan untuk memperkuat kerangka kebijakan guna meningkatkan ketahanan terhadap bencana alam diantaranya mengidentifikasi bencana yang mungkin terjadi dan resiko yang mungkin ditimbulkan akibat bencana alam tersebut. Permana et al., (2011) melaporkan bahwa pada masyarakat Baduy sangat jarang terjadi kerusakan akibat bencana dikarenakan mereka memanfaatkan kearifan lokal dalam mitigasi bencana yang didasari oleh pikukuh (ketentuan adat) yang arif dan bijaksana dalam berladang, membangun rumah, menjaga hutan dan air. Untuk sektor peternakan, berbagai upaya mitigasi bencana yang dapat dilakukan untuk menyelamatkan ternak, peternak dan konsumen, mempertahankan produktivitas ternak dan aksesibilitas terhadap sumber protein hewani. Biosekuritas dan perbaikan tata kelola usaha peternakan merupakan upaya pencegahan penurunan populasi dan produktivitas ternak akibat ulah manusia. Tindakan yang dapat dilakukan diantaranya yaitu menjaga agar ternak unggas dalam kondisi baik, selalu selalu berada dalam lingkungan yang terlindung dan memeriksa setiap barang dan orang yang akan masuk ke lokasi peternakan. Hal ini untuk mencegah masuknya bibit penyakit ke dalam areal kandang. Upaya mitigasi bencana alam dapat dilakukan diantaranya dengan memberikan 98

Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Sain dan Teknologi Pada Pengurangan Resiko Bencana Banda Aceh, 22 November 2014

peringatan dini akan datangnya bencana dan pendidikan pelatihan tanggap bencana. Peringatan dini dapat pula diketahui dengan melihat perubahan tingkah laku ternak. Ternak akan memperlihatkan tingkah laku yang tidak seperti biasanya ketika akan terjadi bencana atau menandakan ada yang tidak sesuai dengan kondisi normal kehidupan ternak seperti suara gaduh yang ditimbulkan yang tidak biasanya. Selanjutnya perlu dicurigai jika terjadi kematian yang tinggi dan cepat pada ternak unggas karena ini berarti ada wabah yang menyerang ternak. Menghindari kontak langsung dengan ternak yang tiba-tiba mati dan membakar ternak yang tiba-tiba mati sebelum dikuburkan merupakan upaya pencegahan terhadap penyebaran penyakit. Pendidikan dan pelatihan manajemen dan tanggap bencana kepada peternak dan generasi muda atau duta peternakan merupakan upaya yang perlu dilakukan untuk meningkatkan kewaspadaan, kesiagaan dan antisipasi terhadap bencana seperti wabah serangan penyakit dan tindakan evakuasi dalam penyelamatan ternak dan warga. Dalam pendidikan dan pelatihan, peternak akan diberikan informasi tentang tanda-tanda akan terjadinya bencana baik bencana alam maupun tanda-tanda penyakit yang dapat menjadi wabah, upaya pengobatan pertama terhadap penyakit serta upaya penyelamatan diri, keluarga dan ternak saat terjadinya bencana. Diharapkan dengan pendidikan pelatihan yang diikuti, produktivitas ternak tetap dapat dipertahankan dan penurunan yang terjadi tidak signifikan. Disamping mitigasi bencana dan penyelamatan ternak saat bencana, aksesibilitas terhadap sumber protein hewani juga dapat dilakukan dengan menggiatkan kembali usaha memelihara ayam buras pada setiap rumah tangga. Usaha ternak yang baik dengan memperhatikan biosekuritas dapat menjamin ketersediaan sumber protein hewani bagi anggota keluarga dalam setiap rumah tangga. KESIMPULAN Disimpulkan bahwa 1) produktivitas ternak dipengaruhi faktor ternak, pakan, peternak dan lingkungan, 2) Aksesibilitas protein hewani tergantung ketersediaan sumber protein hewani, harga jual dan daya beli masyarakat, 3) Penyelamatan ternak dapat mempertahankan populasi dan produktivitas ternak, dan 4) Penyelamatan ternak menjadi tanggung jawab bersama. DAFTAR PUSTAKA Dawami, A. 2005. Perunggasan Indonesia Sekarang dan Masa Depan. Makalah Seminar Nasional Perunggasan Indonesia Sekarang dan Masa Depan. Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. 26 Pebruari 2005. Diwyanto, K. 2005. Pembangunan peternakan dengan berbasis sumber daya lokal. Kajian Sehari Peternakan Nasional. Fakultas Peternakan Universitas Padjajaran, Bandung. 26 Pebruari 2005. Direktorat Jenderal Peternakan. 2005. Statistik Peternakan 2005. Direktorat Jenderal Peternakan Departemen Pertanian Republik Indonesia, Jakarta. Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan. 2014. Statistik Peternakan Tahun 2014. Kementerian Pertanian Republik Indonesia, Jakarta. http://ditjennak.pertanian.go.id/index.php?page=statistik&action=info

99

Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Sain dan Teknologi Pada Pengurangan Resiko Bencana Banda Aceh, 22 November 2014

Handewi, P., S. Rachman, Wahida and M. Ariani. 2000. The impact of economic crisis on food and non-food consumption for low income households. Gizi Indon 24 : 53 – 64. Kunreuther, H. 2006. Disaster Mitigation and Insurance: Learning from Katrina. ANNALS, AAPSS. 604 : 208 – 227. Laframboise, N and B. Loko. 2012. Natural Disasters: Mitigating Impact, Managing Risks. IMF Working Paper. October 2012. Permana, R.C.E., I.P. Nasution dan J. Gunawijaya. 2011. Kearifan Lokal Tentang Mitigasi Bencana Pada Masyarakat Baduy. Makara, Sosial Humaniora 15 (1) : 67 – 76. Sigit, S.W. 2005. Pola pengembangan dan budidaya peternakan nasional. Makalah Seminar Peran Media dalam Pembangunan Peternakan dan Kesehatan Hewan Nasional. FKH-IPB dan IMAKAHI, Bogor. 19 Maret 2005. Sjaf, S. 2010. Kajian Sosiologi Ekonomi Perunggasan. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Sundu. B. 2005. Membangun dunia perunggasan yang tangguh di Indonesia. Poultry Indonesia Edisi Juni 2005. WHO/EHA. 1988. Emergency Health Training Programme for Africa. Panafrican Emergency Training Centre, Addis Ababa, July 1998. Yuwanta, T. 2005. Perunggasan di Indonesia. Makalah Seminar Nasional Perunggasan Indonesia Sekarang dan Masa Depan. Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. 26 Pebruari 2005.

100

Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Sain dan Teknologi Pada Pengurangan Resiko Bencana Banda Aceh, 22 November 2014

Kesiapsiagaan Rumah Sakit di Jepang: Pembelajaran Untuk Aceh Farah Mulyasari1 Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat – Institut Teknologi Bandung

1

ABSTRAK Fasilitas penting, seperti Rumah Sakit, memainkan peran penting dalam pemulihan sosial ekonomi dan psikologis penduduk setelah bencana. Rumah Sakit dianggap penting karena peranannya dalam menyelamatkan nyawa pada populasi yang terkena dampak dan harus mampu menahan bahaya dan tetap berfungsi selama dan setelah bencana. Studi ini mengkaji kesiapsiagaan Rumah Sakit menghadapi gempa bumi di kota-kota Jepang menggunakan survei kuesioner. Kuesioner ini terdiri dari "empat pilar kesiapan Rumah Sakit" termasuk sumber daya struktural, non struktural, fungsional, dan manusia. Hasil penelitian menunjukkan bahwa mayoritas Rumah Sakit responden memenuhi kesiapan fungsional, yang berguna selama periode darurat bencana, sementara tiga pilar lainnyastruktural, non struktural, dan sumber daya manusia-perlu diperkuat. Penelitian ini membantu untuk menilai status kesiapsiagaan bencana serta kesenjangan Rumah Sakit di daerah rawan tsunami, mengambil pelajaran dari gempa bumi dan tsunami di wilayah Tohoku. Status dan kesenjangan tersebut digunakan sebagai titik tolak bagaimana meningkatkan kesiapan dan ketahanan terhadap risiko bencana di masa mendatang. Metode ini mungkin penting bagi Aceh untuk diadopsi dan belajar tentang bagaimana mempersiapkan fasilitas penting pada sebelum, saat, dan setelah bencana. Kata kunci: Kesiapsiagaan rumah sakit, gempa bumi, tsunami, Jepang, Aceh ABSTRACT Critical facilities, such as hospitals, play a crucial role in the socioeconomic and psychological recovery of the population after a disaster. Hospitals are considered important due to their roles in saving lives in the affected population and must be able to withstand hazards and remain functioning during and after a disaster. The study assesses earthquake preparedness of hospitals in Japanese cities using a questionnaire survey. The questionnaire consists of ―four pillars of hospital preparedness‖ including structural, non-structural, functional, and human resources. The results show that the majority of the respondent hospitals fulfil the functional preparedness, which is useful during the emergency period of a disaster, while the other three pillars—structural, non-structural, and human resources—need to be strengthened. This study helps to assess the status of disaster preparedness as well as the gaps for these hospitals in the tsunami prone regions, drawing lessons from the Great East Japan Earthquake and Tsunami of the Tohoku area. The status and the gaps are used as a departure point to indicate how to enhance preparedness and resilience to future disaster risks. This method might be of importance for Aceh to adopt and learn on how to prepare such critical facility before, during, and after a disaster. Key words: Hospital preparedness, earthquake, tsunami, Japan, Aceh

101

Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Sain dan Teknologi Pada Pengurangan Resiko Bencana Banda Aceh, 22 November 2014

PENDAHULUAN Fasilitas kesehatan memainkan peranan penting dalam pemulihan ekonomi dan psikologis sosial ekonomi penduduk dari bencana dan dianggap sangat penting karena peran mereka dalam menyelamatkan nyawa pada populasi yang terkena dampak bencana. Peran mereka tidak hanya untuk memberikan perawatan medis, tetapi juga untuk menyelamatkan pasien pada saat bencana. Rumah Sakit, sebagai salah satu jenis fasilitas kesehatan di kota-kota harus mampu menahan bahaya dan harus tetap berfungsi. Sebagai contoh, selama dan setelah Badai Ivan melanda pulau Grand Cayman, Cayman Islands Rumah Sakit tetap berfungsi dan memberikan perlindungan bagi lebih dari 1.000 orang, seperti yang ditetapkan untuk Kategori 5 standar badai (UNISDR, 2012). Kerusakan fasilitas ini juga dapat menghambat operasi bantuan dan pemulihan, seperti pada kasus di Great East Earthquke and Tsunami Japan 2011 (GEJET) di Tohoku, Jepang. Kejadian ini menyebabkan kehancuran 11 Rumah Sakit, dan lebih dari 200 runtuhnya parsial dari Rumah Sakit di tiga prefektur (Iwate, Miyagi, dan Fukushima) (World Bank, 2012). Hilangnya fasilitas Rumah Sakit menyoroti investasi besar yang diperlukan untuk membangun kesiapsiagaan bencana. Meskipun dengan adanya kemajuan Rumah Sakit di seluruh dunia, mereka sering dianggap tak berguna karena kegagalan struktural pada instalasi penting yang diperlukan untuk menyelamatkan nyawa orang yang terkena bencana pada saat bencana terjadi. Dalam kasus-kasus di mana bangunan Rumah Sakit secara struktural aman, kapasitas untuk memberikan bantuan pada saat-saat yang paling diperlukan juga kurang. Hal itu terjadi mungkin dikarenakan jumlah tempat tidur yang tidak memadai, kurangnya staf medis dan pendukungnya, kurang atau tidak adanyanya peralatan dan fasilitas medis pada saat darurat, atau peningkatan jumlah pasien yang membutuhkan perhatian medis. Dengan demikian kesiapsiagaan ini penting untuk melindungi dan memperkuat Rumah Sakit tersebut. Rumah Sakit sering dikaitkan dengan penanggulangan bencana, namun mereka memiliki peran yang lebih besar dalam memastikan keselamatan klien mereka yang sangat rentan (PAHO / WHO 2005). Kai, Ukai, dan Ohta (1994) melakukan penelitian untuk menyelidiki kesiapansiagaan Rumah Sakit – Rumah Sakit dalam menghadapi bencana di Prefektur Osaka, Jepang dan menemukan bahwa dari 265 Rumah Sakit yang disurvei, tidak ada yang bisa memenuhi kriteria untuk kesiapsiagaan bencana, termasuk pasokan listrik, gas, air, makanan, dan obat-obatan yang cukup pada saat keadaan darurat, seperti bencana. Jumlah kejadian bencana yang dilaporkan di seluruh dunia telah menurun dalam satu dekade terakhir, namun jumlah orang yang secara langsung maupun tidak langsung dipengaruhi oleh bencana, dan biaya yang terkait, meningkat (Laframboise dan Loko, 2012 dalam Mulyasari et al., 2013). Hal ini menuntut Rumah Sakit di kota – kota untuk lebih aman di seluruh dunia. Dalam mempertimbangkan tantangan penting seperti itu, tulisan ini membahas kesiapsiagaan Rumah Sakit di kota-kota terhadap bencana dan tantangannya, melalui studi kasus di Jepang. Dampak bencana pada sektor kesehatan menyebabkan bencana sekunder akibat kerusakan fasilitas kesehatan termasuk Rumah Sakit. Tsunami Samudra Hindia tahun 2004 sangat mempengaruhi 61 persen Rumah Sakit di Aceh dalam hal kemampuan berfungsinya yang terhenti dalam situasi krisis (UN, 2009). Dampak pasca bencana di Rumah Sakit berbeda karena beberapa faktor, seperti jenis bencana, kerentanan dan kapasitas sistem kesehatan, serta kondisi risiko terkait. Dalam mengembangkan fasilitas kesehatan, investasi yang sangat besar diperlukan, seperti biaya rekonstruksi dan pemulihan yang membebani ekonomi yang besar terhadap perekonomian suatu negara setelah bencana. Bencana tidak hanya membawa biaya langsung dalam hal kerusakan bangunan Rumah 102

Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Sain dan Teknologi Pada Pengurangan Resiko Bencana Banda Aceh, 22 November 2014

Sakit, peralatan, fasilitas pengganti, dan perlengkapannya tetapi juga membawa biaya tidak langsung, yang sering tidak sepenuhnya diperhitungkan dan bisa lebih tinggi dari biaya langsung (UN, 2009). Sebagai contoh, biaya tidak langsung dari sektor kesehatan akibat bencana diperkirakan sekitar USD 13 miliar di Amerika Latin dan Karibia antara 19912002, yang mana lebih tinggi daripada biaya kerusakan langsung (UN, 2009). Kegagalan Rumah Sakit untuk bertahan dari bencana membawa implikasi sosial besar seperti efek pada moral masyarakat sebagai akibat dari kematian yang sakit, lanjut usia, dan anak-anak di Rumah Sakit selama bencana, serta kegagalan layanan darurat untuk mereka yang paling membutuhkan (UN, 2009). Dampak sosial ekonomi pada sektor kesehatan seperti biaya korban mengobati, biaya sanitasi, dan intervensi epidemiologi dan efek lainnya pada penyediaan perawatan kesehatan setelah bencana secara kolektif dapat mengangkat isu-isu sosial dan memicu ketidakpuasan politik (PAHO/WHO, 2003). Kegagalan Rumah Sakit untuk bertahan dari bencana juga menciptakan dampak yang besar pada sistem kesehatan karena kematian dan cedera, keterlambatan dalam operasi pencarian dan penyelamatan, runtuhnya pelayanan kesehatan, kemungkinan wabah penyakit, keterlambatan dalam pengobatan luka trauma, runtuhnya fungsi darurat, serta obstruksi kampanye kesehatan masyarakat dan sanitasi yang berkelanjutan (UN, 2009). Keterlambatan atau runtuhnya pelayanan kesehatan yang lebih lanjut menciptakan dampak jangka panjang pada kemampuan untuk mencapai Development Millenium Goals dan memperlambat proses pemulihan setelah bencana. METODE PENELITIAN Sebuah Rumah Sakit yang aman tidak boleh runtuh akibat bencana dan menimbulkan korban jiwa pasien dan staf, tetapi harus terus berfungsi dan memberikan pelayanan sebagai fasilitas penting untuk masyarakat yang paling membutuhkan. Sebuah Rumah Sakit harus dilengkapi dengan rencana kontingensi dan memiliki jaringan operasional di tempat. Untuk memastikan bahwa Rumah Sakit di Jepang memenuhi kriteria tersebut dan siap dalam menghadapi bencana, penelitian ini meneliti Empat Pilar Kesiapsiagaan Rumah Sakit berdasarkan pendekatan Indeks Keselamatan Rumah Sakit (Hospital Safety Index/HSI) (PAHO/WHO, 2008) dan penilaian Elemen Kerentanan Rumah Sakit. Indeks Keselamatan Rumah Sakit (Hospital Safety Index/HIS) Menurut PAHO/WHO (2012 dalam Mulyasari et al., 2013), sebuah "Rumah Sakit aman" adalah sebuah fasilitas kesehatan yang pelayanannya tetap dapat diakses dan berfungsi pada kapasitas maksimum dan dalam infrastruktur yang sama segera setelah bencana alam. Pan American Health Organization (PAHO) dan WHO (PAHO/WHO 2008) mengembangkan Indeks Keselamatan Rumah Sakit (HSI), yaitu alat kajian untuk memberikan gambaran tentang kelayakan Rumah Sakit yang dapat terus berfungsi dalam situasi darurat, yanitu dalam hal struktur, non-struktural, dan isu-isu sumber daya manusia serta fungsional, termasuk jaringan pelayanan, lingkungan dan kesehatan yang Rumah Sakit tersebut miliki. HSI merupakan langkah awal menuju investasi dan kesiapan skala prioritas untuk kesiapsiagaan Rumah Sakit terhadap bencana. Dengan menentukan indeks keselamatan Rumah Sakit tersebit, pengambil keputusan akan memiliki gagasan mengenai keseluruhan kemampuan Rumah Sakit untuk merespon keadaan darurat dan bencana besar, yang memungkinkan tingkat keselamatan Rumah Sakit tersebut dapat dipantau dari waktu ke waktu. HSI dikembangkan oleh PAHO bidang Penanggulangan Bencana Advisory Group (PAHO DiMAG) dan spesialis di Amerika Latin dan Karibia dan pernah diterapkan di negara-negara seperti Meksiko, Bolivia, Ekuador, Peru, dan di Karibia.

103

Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Sain dan Teknologi Pada Pengurangan Resiko Bencana Banda Aceh, 22 November 2014

Elemen Kerentanan Rumah Sakit Menurut PAHO dan WHO, elemen kerentanan Rumah Sakit untuk potensi bahaya seperti gempa bumi adalah sebagai berikut (PAHO/WHO tahun 1996, 2003; WHO 2007 dalam Mulyasari et al., 2013): Bangunan: Kerentanan bangunan terdiri dari desain, ketahanan bahan, dan kerentanan fisik, yang menentukan kemampuan Rumah Sakit dalam bertahan menghadapi peristiwa bencana alam yang merugikan. Runtuh atau kegagalan yang kecil dari elemen struktur atau arsitekturnya dapat menimbulkan kerugian finansial dan manusia. Pasien: Untuk melayani pasien, adalah wajib untuk fasilitas kesehatan untuk bekerja 24 jam sehari sekitar 50 persen dari kapasitas layanannya. Setiap bencana akan meningkatkan potensi jumlah pasien dan memperkuat tingkat risiko. Daftar tunggu untuk pasien yang membutuhkan perawatan rutin akan menjadi lebih lama, karena akan mustahil untuk menangani baik perawatan rutin dan permintaan yang dihasilkan oleh situasi darurat. Para pasien juga rentan dalam hal penyediaan layanan yang menurun, sebagai akibat dari fasilitas Rumah Sakit yang rusak dan/atau sebagian yang dievakuasi atau tidak dapat beroperasi. Tempat Tidur Rumah Sakit: Sebagai akibat dari bencana, ketersediaan tempat tidur Rumah Sakit sering akan menurun, karena permintaan akan meningkat karena kasus darurat. Staf Medis dan Pendukung: Korban di kalangan ahli medis dapat menimbulkan kerugian besar bagi negara yang terkena bencana dan bisa menambah beban ekonomi secara keseluruhan. Agar tidak menimbulkan kerugian yang lanjut, harus ada jaminan dalam kapasitas respon outsourcing, yang harus dapat bekerja sementara. Peralatan dan Fasilitas: Kerusakan elemen non-struktural (seperti peralatan, furnitur, fitur arsitektur, dan obat-obatan) kadang-kadang dapat menjadi parah dan melampaui biaya elemen struktur. Bahkan pada kerusakan yang lebih kecil pun, kerusakana tersebut cukup penting untuk memaksa Rumah Sakit tersebut untuk menghentikan operasi mereka. Layanan Jaringan Hidup Dasar: Kemampuan Rumah Sakit untuk berfungsi tergantung pada layanan jaringan hidup dasar, seperti tenaga listrik, air dan sanitasi, komunikasi, serta pengelolaan limbah dan pembuangan sampah. Tidak semua fasilitas kesehatan dapat dilengkapi dengan layanan darurat cadangan; ketika bencana alam terjadi, itu dapat mempengaruhi beberapa layanan tersebut, sehingga dapat mempengaruhi kinerja seluruh Rumah Sakit tersebut. Empat Pilar Kesiapsiagaan Rumah Sakit Menggabungkan pendekatan Indeks Keselamatan Rumah Sakit dan Elemen Kerentanan Rumah Sakit, parameter dan indikator kesiapsiagaan Rumah Sakit di daerah penelitian dikembangkan (Tabel 1). Ini kemudian diubah menjadi kuesioner, yang dibagikan kepada Rumah Sakit sasaran di daerah, dan dilengkapi oleh seseorang dari departemen manajemen di setiap Rumah Sakit. Informasi umum seperti nama Rumah Sakit (tidak didentifikasi di sini) dan jumlah tempat tidur, bangunan, jumlah lantai, staf Rumah Sakit, dokter, perawat, dan teknisi Rumah Sakit (departemen X-ray, laboratorium darah, dan sebagainya) diminta keterangannya. Ini adalah informasi penting untuk menilai kapasitas Rumah Sakit dalam hal sumber daya fisik dan manusia. Perawat, terutama para pemimpin perawat, berada dalam posisi yang unik karena kemampuan mereka untuk mengawasi beberapa tugas secara bersamaan, mendorong partisipasi personil, dan melakukan perubahan pada saat bencana (Fahlgren dan Drenkard, 2002 dalam Mulyasari et al., 2013). Rumah Sakit tidak hanya memiliki batas kapasitas fisik tetapi juga hubungan antar sumber daya manusia (tenaga ahli) dalam kapasitas mereka untuk mengelola 104

Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Sain dan Teknologi Pada Pengurangan Resiko Bencana Banda Aceh, 22 November 2014

lonjakan tiba-tiba orang-orang yang mungkin membutuhkan pelayanan dalam waktu bencana (Rebmann et al., 2009 dalam Mulyasari et al., 2013 ). Rumah Sakit juga ditanya tentang pengalaman mereka pada kejadian bencana masa lalu dan pelajaran yang telah diambil. Penilaian ini ditujukan pada dua daerah di Jepang, yaitu daerah Tohoku dan wilayah Nankai Trough. Rumah Sakit di wilayah Tohoku ditanya tentang pengalaman mereka di GEJET 2011, seperti sejauh mana dampak bencana terjadap Rumah Sakit tersebut, apa pelajaran yang dipelajari, dan jenis pesan Rumah Sakit tersebut ingin disampaikan ke Rumah Sakit di kota-kota lain. Rumah Sakit di wilayah Nankai Trough ditanya tentang pengalamannya pada kejadian bencana di masa lalu, dampak dari bencana tersebut, dan kesiapan khusus mereka dalam menghadapi tantangan bencana di masa depan. Terlepas apakah Rumah Sakit secara langsung terkena dampak bencana masa lalu seperti Gempa Bumi Besar 1995 Hanshin-Awaji dan GEJET 2011, Rumah Sakit ditanya tentang apa perubahan yang telah dilaksanakan dalam hal kesiapsiagaan bencana mereka akibat pengaruh bencana besar di yang masa lalu. Tabel 1. Empat Pilar Kesiapsiagaan Rumah Sakit Elemen Kerentanan Bangunan

Peralatan dan Fasilitas

Pasien Tempat Tidur Layanan Jaringan Hidup Dasar Peralatan dan fasilitas

Kesiapsiagaan Kesiapsiagaan Struktural [Kemampuan struktur bangunan untuk bertahan atas peristiwa bahaya: lokasi bangunan, bahan, desain] Kesiapsiagaan Non-Struktural [Kemampuan elemen non-struktural bangunan untuk bertahan atas kejadian bahaya (peralatan, partisi, dinding, langitlangit, kaca jendela, dan sebagainya] Kesiapsiagaan Fungsional [Kemampuan Rumah Sakit untuk beroperasi dengan baik: aksesibilitas, tempat tidur Rumah Sakit, pasokan yang diperlukan tersedia di wilayahnya, layanan jaringan hidup dasar, langkah-langkah

Parameter

Indikator

Bangunan

Konstruksi bangunan tahan gempa bumi dan api Cek lokasi ancaman bahaya alam Ketersediaan ruang untuk evakuasi darurat

Pengelolaan Penyimpanan Obat

Pengelolaan penyimpanan obatobatan/bahan-bahan kimia yang berbahya Material Safety Data Sheets (MSDS) standards

Persediaan dalam keadaan Darurat

Peralatan Medis untuk pelayanan medis darurat Obat untuk keadaan darurat Tenda darurat untuk pelayanan medis Generator Air minum bersih Makanan Tempat tidur lipat Triage Tags Sistem informasi medis

105

Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Sain dan Teknologi Pada Pengurangan Resiko Bencana Banda Aceh, 22 November 2014

keamanan/keselamatan] Komunikasi

Transportasi

Staf Medis dan Pendukung

Sumber Daya Manusia [Keberadaan dan kemampuan tenaga medis, seperti dokter, perawat, teknisi laboratorium daman mempersiapkan terhadap kejadian bencana) Sumber: Mulyasari et al. (2013)

Kesiapsiagaan Bencana dari Staf Medis dan Pendukungnya

darurat Peralatan komunikasi darurat lainnya Tempat Helipad Aksesibilitas [jalan] Kendaraan untuk Tim Medis Tanggap Darurat Bencana [Disaster Medical Assistance Team/DMAT] Ketersediaan/pelaksanaa n pendidikan/pelatihan untuk layanan medis darurat Pelaksanaan pelatihan bencana bagi staf Rumah Sakit/pekerja dan pasien Ketersediaan kerangka kerja DMAT

Pengumpulan Data Data dikumpulkan melalui survei kuesioner kepada Rumah Sakit sasaran (55) di delapan kota-kota prefektur di Jepang (Mulyasari et al., 2013). Kriteria pemilihan Rumah Sakit sasaran adalah sebagai berikut: (1) terletak di ibukota prefektur; (2) memiliki lebih dari lima departemen; dan (3) rentan terhadap gempa bumi Nankai Trough dan / atau telah mengalami GEJET 2011. Sebagian besar kuesioner dibagikan melalui surat dan beberapa melalui fax dengan jangka waktu beberapa hari yang untuk menyelesaikan kuesioner tersebut. Dari 55 Rumah Sakit, 14 Rumah Sakit menanggapi survei: empat Rumah Sakit (dua Hub - Rumah Sakit dan dua Rumah Sakit Umum) dari salah satu kota di wilayah Tohoku dan 10 Rumah Sakit (lima Hub - Rumah Sakit dan lima Rumah Sakit Umum) dari tujuh kota di wilayah Nankai. HASIL DAN PEMBAHASAN Kesiapsiagaan Struktural Dalam hal kesiapsiagaan struktural, elemen kerentanan yang terkait adalah pembangunan gedung dalam hal gempa bumi dan keselamatan kebakaran, pemetaan bahaya, dan ketersediaan ruang untuk evakuasi darurat. Dari 14 responden Rumah Sakit, hanya satu Rumah Sakit yang belum membangun gedung mereka akan tahan gempa bumi dan api yang aman, sementara 13 Rumah Sakit lainnya telah memasukkan kode bangunan seismik dalam konstruksi. Rumah Sakit yang tahan gempa dan mampu bertahan akan peristiwa bencana secara mandiri dapat memberikan pelayanan kesehatan yang lebih baik kepada penerima manfaat mereka. Pemetaan bahaya juga tidak selalu dipertimbangkan. Setengah dari responden Rumah Sakit menjawab bahwa mereka belum memeriksa apakah Rumah Sakit tersebut terletak di daerah rawan bahaya atau tidak. Ini berarti bahwa Rumah Sakit tersebut melaksanakan pemetaan risiko bahaya gempa bumi atau pemetaan risiko bahaya lainnya, yang berarti mereka menganggap bahwa lokasi Rumah Sakit tidak berada 106

Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Sain dan Teknologi Pada Pengurangan Resiko Bencana Banda Aceh, 22 November 2014

dalam zona bahaya meskipun bangunan tahan gempa telah dibangun. Kemungkinan yang rentan terhadap bahaya selain gempa bumi juga belum diketahui, oleh karena itu pemetaan bahaya sangat dianjurkan dan diperlukan sebelum konstruksi. Isu lain untuk kesiapsiagaan struktural adalah ketersediaan ruang untuk evakuasi di daerah Rumah Sakit dalam keadaan darurat. Sebesar 80 persen Rumah Sakit menjawab bahwa mereka memiliki beberapa ruang yang tersedia untuk evakuasi dalam keadaan darurat. Sisa Rumah Sakit menjawab bahwa mereka tidak memiliki cukup ruang yang tersedia untuk kondisi darurat serta tidak dapat menampung sejumlah besar pengungsi selama keadaan darurat, dan dengan demikian mereka kurang siap dalam menghadapi bencana (Mulyasari et al., 2013). Kesiapsiagaan Non-struktural Dalam hal kesiapan non-struktural, elemen kerentanan adalah pengelolaan obat, seperti seperti penyimpanan obat-obatan/bahan kimia yang berpotensi berbahaya dan standar Material Safety Data Sheets (MSDS). Sebagian besar Rumah Sakit responden mengikuti panduan mereka sendiri untuk pengelolaan obat dan perbekalan berbahaya dan belum menerapkan standar MSDS. Beberapa mengikuti standar MSDS dan satu Rumah Sakit tidak memiliki manual untuk pengelolaan obat-obatan sama sekali. Hal tersebut dapat menyebabkan bencana lain, seperti pertumpahan bahan berbahaya yang akan memicu kebakaran dan bangunan runtuh (PAHO, 2000 dalam Mulyasari et al., 2013). Hal ini bisa mengganggu pelayanan kesehatan dan menimbulkan korban jiwa tambahan (Mulyasari et al., 2013). Kesiapsiagaan Fungsional Dalam hal kesiapsiagaan fungsional, elemen kerentanan adalah persediaan bahan untuk keadaan darurat, komunikasi, dan transportasi. Mereka ditunjukkan oleh beberapa faktor termasuk: (1) persediaan sarana Rumah Sakit (peralatan medis darurat, obat darurat, tenda untuk layanan medis darurat, cadangan/generator listrik, air minum, makanan, tempat tidur dilipat, triage tag); (2) komunikasi (sistem informasi medis darurat dan alat komunikasi / perangkat lain untuk darurat); dan (3) transportasi (spasi heliport, aksesibilitas jalan, dan mobil untuk DMAT). Persediaan Sarana Rumah Sakit: semua Rumah Sakit responden memiliki rumah pembangkit listrik untuk pasokan listrik selama darurat, persediaan makanan, dan tag triase yang cukup. Dalam hal pasokan air untuk minum dan keperluan lainnya, beberapa Rumah Sakit menjawab bahwa mereka mungkin tidak memiliki cukup bekal dalam hal terjadi bencana. Sesuai peralatan medis untuk layanan darurat, saham obat, tenda darurat, dan tempat tidur dilipat, hanya beberapa Rumah Sakit menjawab bahwa mereka tidak memiliki cukup bekal persediaan yang cukup. Ketersediaan peralatan medis, tenda, dan tempat tidur dilipat diukur dengan berapa banyak set (tanggapan berkisar 1-120 set) Rumah Sakit bisa memberikan, dan penyediaan obat diukur dengan berapa banyak orang dan hari (tanggapan berkisar dari 500 -900 orang dalam 3 hari) Rumah Sakit bisa memberikan pelayanan. Listrik, makanan, dan air yang diukur dengan berapa hari (tanggapan berkisar 3-14 hari) Rumah Sakit dapat menyediakan pasokan dalam keadaan darurat. Triage Tag diukur dengan berapa banyak tag per orang (satu Rumah Sakit di wilayah Nankai telah menyiapkan hingga 3000 tag) Rumah Sakit dapat memberikan selama periode darurat. Hampir semua 14 Rumah Sakit memiliki berbagai bekal persediaan yang cukup untuk digunakan selama bencana. Persediaan bekal bahan dalam keadaan darurat dapat mendukung Rumah Sakit tersebut dalam kesiapsiagaan bencana. Persediaan yang cukup untuk masa kritis sangat penting untuk setiap harinya selama masa bencana (PAHO 2000). 107

Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Sain dan Teknologi Pada Pengurangan Resiko Bencana Banda Aceh, 22 November 2014

Komunikasi: Semua 14 Rumah Sakit telah memasang sistem informasi medis darurat dan memanfaatkan alat komunikasi alternatif, seperti telepon satelit, radio, dan transmitter/receiver. Ini berarti bahwa semua responden Rumah Sakit telah siap untuk menggunakan perangkat komunikasi yang memadai selama periode darurat, diluar komunikasi pada masa normal. Ketergantungan pada satu metode komunikasi akan rentan terhadap bencana, karena hal ini mungkin gagal, overload, atau menjadi tidak cukup (Aitken dan Leggat 2012). Memiliki alat komunikasi alternatif sebagai cadangan adalah salah satu indikator penting untuk kesiapsiagaan Rumah Sakit terhadap bencana. Transportasi: Delapan dari 14 Rumah Sakit memiliki helipad di lokasi. Hal ini menunjukkan sejauh mana Rumah Sakit siap dan mampu memberikan pelayanan medis tambahan untuk pasien. Pelayanan kesehatan ini sebagian besar diberikan oleh HubRumah Sakit yang ditunjuk yang memiliki ketersediaan sumber daya manusia yang lebih, kapasitas tempat tidur, dan ukuran konstruksi bangunan yang besar. Banyak Rumah Sakit responden memiliki mobil DMAT. Parameter transportasi menunjukkan apakah sebuah Rumah Sakit memiliki kendaraan transportasi yang memadai dalam kasus bencana. Semua Rumah Sakit responden dapat dengan mudah diakses melalui jaringan jalan yang luas. Kualitas ini menunjukkan seberapa baik Rumah Sakit disiapkan dalam hal transportasi yang memungkinkan mereka untuk diakses melalui darat dan udara, jika terjadi bencana (Mulyasari et al., 2013). Sumber Daya Manusia Dalam hal sumber daya manusia, unsur kerentanan meliputi kesiapsiagaan bencana staf medis dan pendukungnya, ditandai dengan ketersediaan atau pelaksanaan pendidikan/ pelatihan untuk layanan darurat, pelaksanaan latihan bencana untuk staf Rumah Sakit/ pekerja dan pasien, dan ketersediaan Standard Operation Procedure (SOP) untuk DMAT. Sebagian besar responden Rumah Sakit memiliki pendidikan atau pelatihan program untuk pelayanan medis darurat dan melakukan latihan kesiapsiagaan dan penyadaran bencana untuk staf Rumah Sakit setidaknya sekali dalam setahun. Salah satu Rumah Sakit di wilayah Tohoku sedang melakukan latihan bencana tidak hanya melibatkan staf tetapi pasien juga. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar responden Rumah Sakit telah disiapkan untuk menghadapi bencana dengan meningkatkan kapasitas sumber daya manusia. Sepuluh Rumah Sakit menyambut positif kepimilikan SOP untuk DMAT, yang berarti mereka memiliki Standard Operation Procedure yang jelas. Tiga Rumah Sakit menjawab bahwa mereka tidak memiliki SOP yang jelas (apakah mereka memiliki SOP sama sekali untuk DMAT tidak diketahui), dan satu Rumah Sakit di wilayah Nankai menjawab bahwa ia memiliki salah satu Tim Bantuan Medis untuk Bencana, tapi apakah itu memiliki SOP yang jelas untuk DMAT tidak diketahui. Sebagian besar responden Rumah Sakit telah memenuhi persyaratan yang paling mendasar dari kesiapsiagaan seperti perbekalan dasar darurat Rumah Sakit, khususnya makanan, air minum, dan generator untuk listrik, diikuti oleh bangunan tahan gempa dan api, aksesibilitas, pelatihan bencana, dan persyaratan Triage Tag. Memenuhi persyaratan tersebut menunjukkan tingkat yang tinggi dalam kesiapsiagaan bencana. Beberapa Rumah Sakit lemah dalam pelaksanaan mempersiapkan ruang untuk keadaan darurat evakuasi, mereka telah menyediakan beberapa ruang, tetapi dianggap tidak cukup. Pemanfaatan MSDS standards juga kurang ditanggapi. Sebagian besar responden Rumah Sakit banyak menggunakan petunjuk mereka sendiri untuk pengelolaan obat-obatan dan bahan berbahaya. Pengalaman Pasca Bencana: Responden Rumah Sakit di wilayah Tohoku berbagi pengalaman mereka dari kejadian GEJET 2011, yang sebagian besar mempengaruhi bangunan Rumah Sakit dan instalasi layanan jaringan hidup dasar. Instalasi yang paling 108

Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Sain dan Teknologi Pada Pengurangan Resiko Bencana Banda Aceh, 22 November 2014

berpengaruh adalah pipa untuk suplai air dan jaringan pasokan listrik. Salah satu Rumah Sakit telah bertahan dua hari tanpa air, dua hari tanpa listrik dari generator sendiri, dan satu setengah bulan tanpa pasokan gas. Dalam hal pembelajaran, satu Rumah Sakit mengidentifikasi pentingnya kerjasama dan jejaring yang baik dengan pihak luar/stakeholder yang lain dari sudut pandang logistik. Mereka bekerja sama dengan Rumah Sakit dari kelompok yang sama dalam mengangkut obat-obatan dan makanan. Untuk pesan yang ditujukan kepada Rumah Sakit di kota-kota lain, Rumah Sakit di Tohoku menekankan pentingnya melakukan latihan bencana yang rutin atau pelatihan dalam berbagai situasi kondisi darurat, sehingga fleksibilitas dan tanggapan situasi yang berbeda dalam kondisi bencana yang berbeda akan membuat mereka bertahan. Masalah genting lainnya adalah jejaring dengan Rumah Sakit dan logistik lainnya, karena ini akan menjadi tulang punggung pelayanan kesehatan dalam situasi bencana. Rumah Sakit di wilayah Nankai menunjukkan pentingnya menyesuaikan rencana kesiapsiagaan bencana Rumah Sakit berdasarkan pengalaman dari peristiwa bencana yang terjadi pada akhir akhir ini, terutama kejadian bencana GEJET 2011. Perubahan yang mereka telah terapkan mencakup bidang jaringan hidup dasar, stok/perbekalan makanan dan air, obat-obatan, dan komunikasi. Sebagian besar responden Rumah Sakit telah meningkatkan frekuensi latihan bencana dan jumlah perbekalan yang diperlukan seperti Triage Tag. Salah satu responden Rumah Sakit di Nankai telah disetujui sebagai HubRumah Sakit. Salah satu Rumah Sakit merevisi panduan bencana gempa bumi mereka yang akan meliputi Empat Pilar Kesiapsiagaan. Perubahan ini mengindikasikan bahwa peristiwa bencana baru-baru ini memicu peningkatan kesiapan Rumah Sakit di daerah lain. Rumah Sakit di Jepang yang tidak mengalami bencana, saat ini lebih sadar akan pentingnya kesiapsiagaan mereka terhadap bencana (Mulyasari et al., 2013). KESIMPULAN Rumah Sakit adalah baris pertama fasilitas kesehatan dalam kesiapsiagaan bencana yang harus aman dengan kemampuan operasional seratus persen setiap harinya sepanjang tahun. Penilaian kesiapsiagaan bencana Rumah Sakit sangat penting, karena telah ada semakin banyak bencana di seluruh dunia dan kesiapan Rumah Sakit sangat signifikan terutama setelah kejadian GEJET tahun 2011. Meskipun tingkat respon survei dalam penelitian ini adalah rendah, studi ini menyajikan penilaian awal kesiapsiagaan Rumah Sakit terhadap bencana dari beberapa wilayah rawan gempa bumi di Jepang dan mengidentifikasi kesiapsiagaan serta kesenjangan kesehatan fasilitas kesehatan daerah ini. Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai titik tolak untuk membangun ketahanan lebih lanjut dari Rumah Sakit untuk menghadapi risiko bencana di masa mendatang. Studi ini menyoroti kurangnya ruang yang tersedia untuk evakuasi darurat, rendahnya cakupan pemetaan bahaya, dan kekurangan dalam manajemen penyakit yang dapat mengganggu penyediaan pelayanan dasar kesehatan. MayoritasRumah Sakit memiliki cukup perbekalan dan persediaan obat-obatan, makanan, tempat tidur, Triage Tage, dan tenda, alat komunikasi yang memadai, serta layanan transportasi yang akan berguna pada saat darurat. Penelitian ini dibatasi dalam ruang lingkup bahaya gempa bumi. Menindaklanjuti studi ini diperlukan pada jenis bencana lainnya, seperti letusan gunung api dan banjir. Terlepas dari adanya pasien pada keadaan normal, berbagai staf Rumah Sakit dan pengunjung belum dipertimbangkan di salah satu dari Empat Pilar Kesiapsiagaan Rumah Sakit dalam menghadapi bencana. Penelitian ini juga tidak memasukkan unsur kesehatan mental, psikososial kesejahteraan, dan pemulihan setelah bencana. Kolaborasi antara sektor swasta dan publik dalam rangka efisiensi dan pelayanan medis yang efektif yang tersedia untuk masyarakat harus dipromosikan sebanyak 109

Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Sain dan Teknologi Pada Pengurangan Resiko Bencana Banda Aceh, 22 November 2014

mungkin. Kebijakan tersebut tidak berlaku unttuk merujuk pasien biasa ke departemen korban, melainkan merujuk pada pasien yang memerlukan perawatan darurat di Rumah Sakit, dan merujuk pasien non-darurat ke layanan kesehatan lainnya. Dokter setempat, yang juga bisa menjadi korban bencana, memainkan peran utama dalam memberikan perawatan bagi penduduk lokal, meskipun kelelahan tenaga medis adalah permasalahan yang umum tapi penting untuk diperhatikan. Kekurangan dari tenaga medis (dokter dan perawat) terus menjadi tantangan di Jepang, bahkan tanpa adanya bencana (NBR, 2011 dalam Mulyasari et al., 2013). Kurangnya sistem yang kuat untuk mendukung informasi dan berbagi sumber daya antara Rumah Sakit dan jejaring lainnya juga berdampak negatif terhadap kesiapsiagaan Rumah Sakit dalam menghadapi bencana. Studi ini menekankan perlunya bimbingan standar perawatan krisis untuk sistem perawatan kesehatan bangsa yang menguraikan peran kesehatan, tanggung jawab, dan tindakan sebelum, selama, dan setelah bencana. Mempersiapkan segala sesuatunya terhadap bencana adalah tugas yang rumit, tidak hanya karena kedalaman masalahnya tetapi karena luasnya permasalahan tersebut. Namun hal ini tetap menjadi penting bagi Rumah Sakit untuk melakukan penilaian risiko dan penilaian kesiapsiagaannya. Setelah itu dilakukan, itu akan menjadi tugas yang jauh lebih mudah dikelola dalam memperbaiki kesenjangan yang telah diidentifikasi. Hal ini juga penting untuk mengintegrasikan relawan ke dalam sistem tanggap darurat di bencana Rumah Sakit. Pertemuan dengan masyarakat setempat, menyebarkan kesadaran tentang langkah-langkah segera untuk dilakukan selama dan pasca bencana, dan pelatihan oleh/ untuk tenaga kesehatan sebelum bencana berkontribusi dalam membuat masyarakat lebih tahan terhadap bahaya. Ini adalah kewajiban bagi Rumah Sakit untuk mengambil inisiatif dalam masalah ini karena hal tersebut jatuh antara celah permasalahan kesehatan dan sistem keselamatan publik. Tenaga medis lokal yang berlatih di luar Rumah Sakit perlu berlatih tanggap bencana dan bekerja sama dengan rekan-rekan di Rumah Sakit mereka. Seperti Smith, Gorski, dan Vennelakanti (2010, 218 dalam Mulyasari et al., 2013) nyatakan, "isu-isu yang berkaitan dengan akreditasi Rumah Sakit, kurikulum pelatihan kesiapsiagaan bencana, teknisi ahli dan sumber daya yang memadai, termasuk pengeluaran budget kesehatan untuk bencana dan penilaian kemampuan respon, merupakan kebutuhan universal." Pemerintah berada dalam posisi untuk memberikan arahan tetapi membutuhkan kerjasama antar sektor kesehatan publik dan swasta, dan Rumah Sakit individu dan kelompok Rumah Sakit dalam melindungi dan merawat penduduk yang terkena bencana. Meningkatkan kesiapsiagaan Rumah Sakit merupakan kebutuhan global (Mulyasari et al., 2013). Dengan demikian, mengacu kepada studi kasus penelitian kesiapsiagaan Rumah Sakit dalam menghadapi bencana, khususnya pada Rumah Sakit di Jepang, pembelajaran apa yang dapat diambil untuk Aceh? Mengingat daerah Tohoku di Jepang dan Aceh memiliki persamaan, yaitu Jepang mengalami bencana Tsunami 2011 seperti di Aceh pada tahun 2004. Apakah Rumah Sakit - Rumah Sakit di Aceh telah melakukan kajian kerentanan dalam mengembangkan kesiapsiagaannya terhadap bencana alam? Jika belum, penelitian diatas mengenai Empat Pilar Kesiapsiagaan Rumah Sakit dalam menghadapi bencana dirasa perlu dilakukan untuk mengkaji seluruh Rumah Sakit – Rumah Sakit di Aceh, mengingat Aceh rawan terhadap bahaya gempa bumi dan tsunami. Hal ini sangat penting, dikarenakan temuan dari penilaian kesiapsiagaan Rumah Sakit ini yang tercakup dalam Empat Pilar Kesiapsiagaan Rumah Sakit menguat sebagai titik tolak dan acuan untuk membangun ketahanan lebih lanjut dari Rumah Sakit akan risiko bencana alam di masa mendatang. Salah satu faktor yang patut diperhatikan pada saat ini di Indonesia pada umumnya dan di wilayah – wilayah rawan bencana pada khususnya, seperti Aceh; adalah kurangnya sistem yang kuat untuk mendukung informasi dan berbagi sumber daya antara 110

Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Sain dan Teknologi Pada Pengurangan Resiko Bencana Banda Aceh, 22 November 2014

Rumah Sakit dan jejaring koalisi kesehatan lainnya yang akan berdampak negatif terhadap kesiapsiagaan Rumah Sakit dalam menghadapi bencana. Oleh karena itu, sangat disarankan untuk Aceh kebutuhan panduan tentang standar pelayanan krisis untuk sistem perawatan kesehatan bangsa yang menguraikan peranan fasilitas kesehatan seperti Rumah Sakit, tanggung jawabnya, dan tindakannya pada sebelum, saat, dan setelah bencana. Sudah saatnya bagi fasilitas pelayanan kesehatan publik di Indonesia, seperti Rumah Sakit, sebagai salah satu fasilitas yang genting, untuk mengambil bagian penting dari kesiapsiagaan bencana. UCAPAN TERIMA KASIH Sumber data dan informasi tulisan ini berasal dari penelitian yang telah dilakukan oleh penulis dengan berbagai pihak, yaitu dengan kolega-kolega di Kyoto University, Jepang selama penulis menempuh program S3 serta Rumah Sakit-Rumah Sakit di Jepang yang telah menjadi responden dalam penelitian ini. Untuk itu disampaikan terimakasih kepada International Environment and Disaster Management Laboratory, Graduate School of Global Environmental Studies, Kyoto University, Jepang, Pihak Rumah Sakit - Rumah Sakit di daerah Nankai dan Tohoku, Jepang, dan Institut Teknologi Bandung yang telah mengijinkan dan memberikan dukungan kepada penulis dalam rangka mengikuti acara Seminar Nasional Alumni Jerman yang diselenggarakan oleh Perhimpunan Alumni Jerman-Aceh. DAFTAR PUSTAKA Aitken, P., and P. Leggat. 2012. Considerations in Mass Casualty and Disaster Management. In: Emergency Medicine: An International Perspective, edited by B. Michael, 145–182. http://cdn.intechopen. com/pdfs/31947/InTechConsiderations_in_mass_casualty_and_ disaster_management.pdf. Kai, T., T. Ukai, and M. Ohta. 1994. Hospital Disaster Preparedness in Osaka, Japan. Prehospital Disaster Medicine 9 (1): 29-34. Mulyasari, F., Inoue, S., Prashar, S., Isayama, K., Basu, M., Srivastava, N., and Shaw, R., 2013. Disaster Preparedness: Looking through the Lens of Hospitals in Japan. International Journal of Disaster Risk and Science, 4 (2): 89–100. PAHO (Pan American Health Organization). 2000. Principles of Disaster Mitigation in Health Facilities. Disaster Mitigation Series. http://www.paho.org/english/dd/PED/mit3-intro.pdf. PAHO/WHO (Pan American Health Organization/World Health Organization). 2003. Protecting New Health Facilities from Natural Disasters: Guidelines for the Promotion of Disaster Mitigation. http://www.preventionweb.net/files/629_10343.pdf. PAHO/WHO (Pan American Health Organization/World Health Organi- zation). 2005. Safe Hospitals: A Collective Responsibility, a Global Measure of Disaster Reduction. http://www1.paho.org/english/dd/ ped/SafeHospitalsBooklet.pdf. PAHO/WHO (Pan American Health Organization/World Health Organization). 2008. Hospital Safety Index: Evaluation Forms for Safe Hospitals. Hospitals Safe from Disasters. Washington DC: Pan American Health Organization. 111

Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Sain dan Teknologi Pada Pengurangan Resiko Bencana Banda Aceh, 22 November 2014

UNISDR (United Nations International Strategy for Disaster Risk Reduction). 2012. How to Make Cities More Resilient – A Handbook for Local Government Leaders. A contribution to Global Campaign 2010–2015, Making Cities Resilient - My City is Getting Ready! Geneva: UNISDR. UNISDR (United Nations International Strategy for Disaster Risk Reduction). 2009. UNISDR Terminology on Disaster Risk Reduction. Geneva: UNISDR. World Bank. 2012. Protecting Significant and Sensitive Facilities. Knowledge Note 1-5. Cluster 1: Structural Measures. http://wbi. worldbank.org/wbi/Data/wbi/wbicms/files/drupal-acquia/wbi/ drm_kn1-5.pdf.

112

Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Sain dan Teknologi Pada Pengurangan Resiko Bencana Banda Aceh, 22 November 2014

The Use of Multidrug Resistant Tuberculosis Clinical Criteria as an Effective Instrument in Early Case Detection after Disaster T. Rinanda1 and Mulyadi2 1

Microbiology Department, Faculty of Medicine, University of Syiah Kuala Pulmonology Department, Faculty of Medicine, University of Syiah Kuala

2

ABSTRACT Earthquake and Tsunami in Aceh have tremendous impacts in health sector, one of which was the rise of antibiotic resistant-infectious diseases. In our previous study, we found Multidrug Resistant Tuberculosis (MDR-TB) cases in Aceh, which was absolutely distressing phenomenon. In order to combat MDR-TB, early detection of the cases in population is very important. This paper will discuss about the use of MDR-TB clinical criteria provide by Indonesia Association of Lung Doctors in MDR-TB case finding as an effort to prevent and reduce the transmission, morbidity and mortality caused by MDR-TB in disaster affected areas. Key words: Multidrug, resistant, tuberculosis, detection ABSTRAK Gempa bumi dan Tsunami di Aceh memberikan dampak di bidang kesehatan, salah satunya adalah munculnya kasus penyakit infeksi yang telah resisten terhadap antibiotika. Pada penelitian sebelumnya kami telah menemukan sejumlah kasus Multidrug Resistant Tuberculosis (MDR-TB) di Aceh yang merupakan fenomena yang sangat meresahkan. Dalam pemberantasan MDR-TB, deteksi dini kasus dalam populasi adalah hal yang sangat penting. Tulisan ini akan membahas mengenai penggunaan kriteria klinis MDR-TB dari Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) dalam deteksi dini kasus sebagai salah satu upaya untuk mencegah dan menekan transmisi penyakit, morbiditas dan mortalitas akibat MDR-TB di daerah yang terkena bencana. Kata kunci: Multidrug, resistant, tuberkulosis, deteksi INTRODUCTION It has been almost 10 years since tsunami struck Aceh, but its impact on people's lives has remained present up to today. In the health sector, especially in terms of infectious disease control, we are facing the emergence of antibiotics resistant cases. There is an increasing concern over the emergence of Multidrug Resistant Tuberculosis (MDR-TB). Despite the fact that MDR-TB has so far been referred to as a man-made phenomenon, there are other factors contributing to its emergence, one of which is the environmental factor such as natural disasters (World Health Organization, 2005). In 2012, eight years after the tsunami, we conducted research to detect cases of MDR-TB that had not been previously recorded and reported in Aceh. We used the 9 clinical criteria of MDR-TB provided by the Indonesian Lung Doctor Association to screen and detect the patients and we found 11 cases (Rinanda and Yunita, 2013). Based on our experience and findings, in this article we recommend the use of clinical criteria for MDR-TB by health workers in early case detection especially in the disaster affected areas. Cases screening and detection through clinical criteria is an easy and inexpensive

113

Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Sain dan Teknologi Pada Pengurangan Resiko Bencana Banda Aceh, 22 November 2014

method that can be utilized in affected areas with limited sources and diagnosis supporting facilities TSUNAMI AND DRUG RESISTANT TUBERCULOSIS Multidrug Resistant Tuberculosis is defined as a resistance to Rifampicin and Isoniazid with or without resistance to other first-line drugs. It is predicted that nowadays there are 480.000 people with MDR-TB. Approximately 20% of cases are Tuberculosis with history of previous anti-tuberculosis treatment and 3.5% are new drug resistant Tuberculosis cases. WHO also estimates that approximately 9% of the cases have evolved into Extensively Drug Resistant Tuberculosis (XDR-TB), which is defined as a resistance to Rifampicin, Isoniazid, any fluoro-quinolone, and resistance to one or more of the following injectable anti-TB drugs such as Kanamycin, Amikacin, and Capreomycin. By 2011, the cure rate had only reached 48% and the XDR-TB cases had been found in almost 100 countries in the world (Word Health Organization, 2014). Those numbers showed that we need robust and comprehensive efforts in order to combat the Tuberculosis resistant cases. World Health Organization on Global Tuberculosis Report 2014 has performed the five priority actions in order to combat MDR-TB, consisting of 1) high quality treatment of drug susceptible-TB to prevent MDR-TB, 2) expansion of rapid testing and detection of MDR-TB cases, 3) immediate access to quality care, 4) prevention of the disease transmission through infection control, and 5) increased political commitment, including adequate funding for current intervention and research (Word Health Organization, 2014). Indonesia is one of the five high MDR-TB burden countries. The number of MDRTB cases amongst previously treated Tuberculosis patients (secondary resistance) was 12% and new MDR-TB (primary resistance) cases was 1,9% (Ministry of Health, 2013). Before the disaster, WHO in collaboration with other partners, ensured that there were technical support and mobilized funding resources at the international level. As a result, Directly Observed Treatment Short Course (DOTS) program had been able the cover the population with Tuberculosis and had significantly progressed. Tuberculosis case detection and cure had improved. However, this progress may have not only been compromised by the disaster but also been set back many years (Word Health Organization, 2014). Tsunami as a natural disaster has become one of the major contributing factors in the emergence of MDR-TB in Aceh, despite of the other factor such as conflict in Aceh from 1998 to 2005. These conditions had an impact on the implementation of National TB program, anti-tuberculosis drugs supply and distribution to affected areas, health care access and patients‟ medical adherence (Rinanda and Mulyadi, 2014). The crowded living condition of displaced population in the evacuation camps posed a potential risk associated with the increase of TB cases in the tsunami affected areas (Connoly, et al, 2004; World Health Organozation, 2005). Rough estimates suggest that up to ten thousand TB patients might have been directly affected by the consequences of the tsunami. Due to the collapse of health services, many TB patients may have been unable to be located and thus remained untreated. In turn, many TB suspects may not have been investigated and could continue to infect others (Word Health Organization, 2014). Previous study by Toole, et al., (1993) showed that during the Bosnian conflicts, the disruption of therapy and drugs supply in lengthy period had caused the fourfold increases in Tuberculosis cases Connoly (2004) mentioned that the rise of MDR-TB cases in disaster affected areas was caused by low case detection, high defaulters and high cure rates.

114

Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Sain dan Teknologi Pada Pengurangan Resiko Bencana Banda Aceh, 22 November 2014

In the days and weeks after the devastating disaster, the threat of infectious disease outbreak was high. Preventing the epidemics and improving the deterioration of health condition among the affected population was the goal of emergency health. Several infectious diseases that could potentially cause excess morbidity and mortality following the disaster were the highest priority (USAID, 2002). Following the 2004 earthquake and tsunami in Aceh, the incidence rate of Tuberculosis has not been excessively reported (Health Departmen of Aceh Province, 2011). This is similar to the previous study by Jafari, et al., (2007) who conducted the infectious diseases survey in an emergency setting after Bam earthquake in Iran. The study showed 7856 cases dominated by diarrhea and respiratory tract infection. However, only 11 people or 1.2% were suffering Tuberculosis. There were two major reasons for that: 1) there was sufficient supervision of previous tuberculosis patients by health care centers, 2) there was no sufficient time to develop the clinical manifestation of tuberculosis in contacted people in this study because of the short study period (Jafari, et al., 2007). MDR-TB CLINICAL CRITERIA AS AN INDICATOR OF RESISTANCE CASES AND THEIR APPLICATION IN MDR-TB DETECTION IN DISASTER AFFECTED AREAS Mycobacterium tuberculosis resistance is a state where the bacteria can no longer be killed by anti-tuberculosis drugs. Drug resistant Tuberculosis is essentially a man-made phenomenon as a result of inadequate treatment of Tuberculosis or the transmission from drug resistant tuberculosis patients. The management of drug resistant tuberculosis case is more complicated and requires more attention than non-resistant case. Drug resistance can be caused by a number of factors such as; 1) health providers (related to improper diagnosis, dosage and time of administration and also drug taking education), 2) patient (related to non-compliant in taking medication as well as other health problems that interfere the drugs absorption and metabolism), and 3) national tuberculosis program (related to disruption of drugs availability and supply and also low quality of drugs/pharmaco-vigilance (Ministry of Health, 2013). Mutations in the genome of Mycobacterium tuberculosis that can confer resistance to anti-TB drugs occur spontaneously with an estimated frequency of 3.5 × 10–6 for INH and 3.1 × 10–8 for RIF. Because the chromosomal loci responsible for resistance to various drugs are not linked, the risk of a double spontaneous mutation is extremely low; there are 9 × 10–14 for both Isoniazid and Rifampicin (Dooley and Simone, 1994). Since the probability of naturally occurring resistant mutants is very low, a large bacterial load (e.g., in lung cavities) is needed for MDR-TB strains to emerge (Johnson et al, 2008; National Department of Health, 2013). Concomitantly resistant to both potent bactericidal drugs, Rifampicin and Isoniazid tend to occur as a result of inadequate treatment. In certain circumstances, the mutant and the sensitive strains can be found in the same patients. Inadequate doses of drugs will kill the sensitive strains, but not the resistant. Thus the selection process will occur that the sensitive strain will be vanished but resistant strains will remain and win the competition in terms of nutrition and become overgrowth. This selection process explains the acquired resistance (in previously treated tuberculosis patient). The Patients can transmit Mycobacterium tuberculosis resistant strain to other patients who have never received anti-tuberculosis treatment. This resistance is called primary resistance (Johnson et al, 2008) 115

Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Sain dan Teknologi Pada Pengurangan Resiko Bencana Banda Aceh, 22 November 2014

Previously treated patients may be at higher risk for transmitting drug-resistant TB than individuals without previous treatment. This is because individuals with prior disease represent a subpopulation that is especially vulnerable to TB disease once infected and also because they may more likely come into contact with patients with drug-resistant TB in hospitals or clinic settings (Verver et al., 2005 dan Li et al., 2007). Multidrug Resistant Tuberculosis diagnosis is based on culture of the organism followed by Drug Susceptibility Testing (DST). These tests cannot be performed in conventional microbiology laboratory setting due to the risk of transmission and advanced technical procedures. Culture and DST in MDR-TB-suspected patient must be performed in specialized laboratories equipped to minimize biosafety risk. DST to first-line drugs requires additional expertise beyond culture, whereas testing for second-line drug resistance remains a highly specialized activity that is reliably conducted at relatively few national and supranational reference laboratories. In high-resource settings, culture and DST are the standard of care and are conducted on all patients, and thus drug-resistance data from these countries represent all notified cases. In limited-resource setting, doctors will recommend the examination only on suspected resistance cases (Cohen et al, 2008). Drug resistant cases are strongly correlated to the treatment failure. Therefore it is very necessary to recognize clinical symptoms which probably indicate the development of the resistant cases. There is no single indicator that determines whether treatment is failing; however, a point is reached when it is clear that the patient is not going to improve. Signs that indicate treatment failure include 1) Persistent positive smears or cultures after 8 months of treatment; 2) Extensive and bilateral lung disease with no option for surgery; 3) High-grade resistance with no option to add additional agents; and 4) Deteriorating clinical condition that usually includes weight loss and respiratory insufficiency. All these signs need not be present to declare failure of the treatment regimen; nevertheless, cure is highly unlikely when they all exist (Johnson, et al, 2008). Indonesia Lung Doctor Association has performed several clinical criteria which indicate the resistance based on history of previous treatment. These clinical criteria are 1) cases of pulmonary TB with treatment failure in category 2, evidenced by previous medical records and previous medical history, 2) Second category pulmonary Tuberculosis patients whose sputum microscopic examination results remain positive after 7 months-continuation phase, 3) Tuberculosis patients previously undergoing treatment in a non-DOTS facility, including receiving second line anti-tuberculosis drugs as quinolones and kanamycin, 4) First category of pulmonary Tuberculosis patients with treatment failure, 5) First category pulmonary Tuberculosis patients whose sputum microscopic examination results remain positive after 7 months-continuation phase, 6) Relapse cases of pulmonary Tuberculosis, 7) Tuberculosis patients who are inattentive in taking medication both in first or second category, 8) Suspected TB with clinical manifestation who live close to the confirmed case of MDR TB patients, including health workers who serve in MDR-TB ward and 9) Tuberculosis with HIV co-infection (Ministry of Health, 2013). In the implementation of the DOTS program, the patients‟ treatment history is documented in TB-04 form. This form records categories of treatment, drug provision date, results of microscopic examination of sputum, and treatment completion. From this data, the patients can be classified MDR-TB clinical criteria. The patients who fulfill the criteria will be recommended for further investigation. This effort must be executed systematically and programmed well. Health workers should be able to process the data in order to detect the suspected MDR-TB so they can be referred for further examination to obtain a precise diagnosis. The data contained in the TB 04 form must also be integrated with the Programmatic Management Drug Resistant 116

Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Sain dan Teknologi Pada Pengurangan Resiko Bencana Banda Aceh, 22 November 2014

Tuberculosis (PMDT) program which has been run by the WHO. Therefore, socialization and training of health workers, especially in primary care centers and hospitals (DOTS clinic) in terms of recognizing and using the MDR-TB clinical criteria as an instrument in early case detection is very important. Clinical criteria are not a diagnostic method. Tuberculosis patients who meet the clinical criteria will undergo further tests such as culture and DST. These tests are gold standard of MDR-TB diagnosis, but the cost of the tests is still quite expensive. Therefore, cases screening through clinical criteria will be very useful in determining the cases that need special attention and further investigation to establish the precise diagnosis. Rapid and precise diagnosis is very important in reducing the transmission rate in the population. Post-tsunami recovery and rehabilitation should encompass all aspects of the lives of the people of Aceh, including health. Efforts to combat the infectious diseases, especially the resistant cases such as MDR-TB play a very important role in decreasing the morbidity and mortality, as well as in relieving the financial burden caused by MDRTB expensive treatment. Combating the MDR-TB and other drug resistant cases is a vital effort in preventing the apocalypse brought about by incurable infectious diseases. REFERENCES Cohen T, Caroline C, Abigail W, Matteo Z, Alexander P and Megan M. 2008. Challenge in Estimating the Total Burden of Drug Resistant Tuberculosis. Am J Respir Crit Care Med. 177: 1302-06 Connoly MA, M. Gayer, MJ Ryan, P. Salama, P. Spiegel and DL Heymann. 2004. Communicable Diseases in Complex Emergencies: Impact and Challenge. Lancet. 364: 1974-83 Dooley SW AND Simone PM. 1994. The Extent and Management of Drug Resistant Tuberculosis: The America Experiences. Clinical tuberculosis.London. Chapman and Hall. 171-189. Health Department of Aceh Province. 2011. Aceh Health Profile 2011. Jafari JN, Radfar MH and Ghofrani H. 2007. Incidens of Infectious Disease one month after the bam Erathquake (2004). J. Med. Sci. 7 (4): 597-602. Johnson R, Elizabeth MS, Gail EL, Robin MR, Paul DH and Thomas CV. 2008. Drug Resistance in Mycobacterium tuberculosis. Curr Issues Mol. Biol. 8: 97-112. Li X, Zhang Y, Shen X, Shen G, Gui X, Sun B, Mei J, DeRiemer K, Small PM, Gao Q. Transmission of drug-resistant tuberculosis among treated patients in Shanghai, China. J Infect Dis 2007;195:864–869. Ministry of Health, Republic of Indonesia. 2013. Technical Guidelines of Programmatic Management of Drug Resistant Tuberculosis. Jakarta. National Department of Health, Republic of South Africa. 2013. Management of Drug Resistant Tuberculosis: Policy Guidelines. Rinanda, T and Yunita A. 2013. Molecular analysis of Isoniazid, Rifampicin, Pirazinamide, Ethambutol and Streptomycin of Mycobacterium tuberculosis Isolates in Suspected Mulltidrug Resistant Tuberculosis Patients in Aceh. Risbin Iptekdok Final Report. Ministry of Health of Indonesia. Rinanda T and Mulyadi. 2014. Combating Tuberculosis in Disaster Affected Areas: Lesson Learnt from Multidrug Resistant Tuberculosis Phenomenon after 8 Years 117

Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Sain dan Teknologi Pada Pengurangan Resiko Bencana Banda Aceh, 22 November 2014

of Tsunami in Aceh. Proceeding of International Seminar “Behavioral and Earthquake Science – From Geology to Animal Perception” Universitas Syiah Kuala-University of Vienna, Austria. Banda Aceh, Banda Aceh, 18 February 2014. Toole MJ, S. Galson, w. Brady. 1993. Are War and Public Health Compatible?. Lancet. 341:1193-96. US Agency for International Development, USAID. 2002. Disaster Reduction: A Practitioner‟s Guide. Office of US Foreign Disaster Assistance. Washington DC. Verver S, Warren RM, Beyers N, Richardson M, van der Spuy G,Borgdorff MW, Enarson DA, Behr MA, van Helden PD. 2005. Rate of reinfection tuberculosis after successful treatment is higher than rate of new tuberculosis. Am J Respir Crit Care Med;171:1430–1435. World Health Organization. 2005. Tsunami recovery process focuses on long-term health capacity development. available at http://www.who.int/mediacentre/news/releases/2005/pr30_searo/en/ World Health Organization. 2005. Strategic approach to maintain appropriate tuberculosis control activities in countries affected by the Asian tsunami disaster. Available at http://www.who.int/TB/features_archive/tsunami/en/ World Health Organization. 2014. Global Tuberculosis Report. Available at http://www.who.int/gpsc/5may/tools/9789241597906/en/

118

Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Sain dan Teknologi Pada Pengurangan Resiko Bencana Banda Aceh, 22 November 2014

Pelajaran dari Hutan Mangrove: Rehabilitasi, Konservasi dan Konversi P. Patana 1 dan Yunasfi 1 1

Program Studi Kehutanan, Fakultas Kehutanan Universitas Sumatera Utara

ABSTRAK Bencana Tsunami di Aceh tahun 2004 yang menimbulkan kerugian materil dan non material yang sangat besar memberikan gambaran betapa dahsyatnya efek tsunami tersebut. Bukan hanya perairan Aceh yang terkena dampak tsunami, tetapi beberapa wilayah pantai di Sumatera Utara dan beberapa Negara Asia bahkan sampai ke pantai Timur Afrika. Di antara banyak kerusakan di wilayah terdampak, terdapat pemandangan yang kontras dimana di beberapa wilayah yang memiliki hutan mangrove, dampak kerusakan justru relatif lebih kecil dibandingkan wilayah pantai tanpa vegetasi hutan pantai atau mangrove. Nilai mangrove secara ekologis tidak kalah pentingnya dengan nilai sosial ekonomi dan budaya. Namun sangat disayangkan di beberapa wilayah justru terjadi deforestasi atau konversi hutan mangrove menjadi peruntukkan lain seperti tambak, pemukiman dan bahkan perkebunan. Tulisan ini dibuat dengan maksud mengambarkan nilai penting konservasi mangrove, dampak yang ditimbulkan akibat konversi hutan mangrove di wilayah rawan bencana seperti Provinsi Aceh dan Sumatera Utara serta upaya yang perlu dilakukan dalam rehabilitasi mangrove. Kata kunci: Mangrove, konservasi, bencana, konversi ABSTRACT Aceh tsunami disaster in 2004 implicated to huge material and non material loss which described how terrible that tsunami effects. Not only in Aceh coast was affected by tsunami, but also in other places such as North Sumatera, some Asian countries even till eastern coast of Africa. Among many damage areas, there was a contrast view in the area where vegetation covered, the damage impact was lower than coastal areas without vegetation of coastal forest or mangrove. Ecologically the value of mangrove is very important as well as social, economic and culture. Unfortunately in some areas, mangrove deforestation raised significantly that was concomitant with conversion into other land uses such as fishponds, settlements and mostly plantations. This paper describes the importance of mangrove conservation, the impact of conversion especially to the high risk disaster area such as Aceh and North Sumatera and effort should be conducted for mangrove rehabilitation. Key words: Mangrove, conservation, disaster, conversion PENDAHULUAN Bencana tsunami pada 2004 silam selain menjadi musibah yang sangat dahsyat, juga memberikan pengalaman berharga bagi kita tentang model interaksi antara manusia dengan alam itu sendiri. Salah satunya adalah fakta menarik tentang peranan vegetasi pantai dan mangrove dalam mereduksi gelombang energi tsunami. Penelitian FAO, (2007), Alongi, (2008)., Das, dan Vincent, (2009), Bayasa, et al. (2011) menjelaskan nilai penting hutan mangrove dalam mengurangi tingkat kerusakan, kerugian serta korban jiwa di wilayah terdampak tsunami atau bencana alam lainnya. Dengan kata lain, kawasan pesisir dengan formasi hutan pantai atau mangrove yang baik, relatif mengalami kerusakan yang 119

Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Sain dan Teknologi Pada Pengurangan Resiko Bencana Banda Aceh, 22 November 2014

lebih sedikit dibandingkan dengan pesisir yang sudah rusak atau sedikit vegetasi mangrovenya pada saat tsunami terjadi. Kerusakan mangrove akibat tindakan manusia yang merubah atau mengkonversi hutan mangrove dengan penggunaan lainnya, pada akhirnya akan merugikan manusia itu sendiri. Dari sisi interaksi dengan alam, pengalaman sebagian masyarakat dalam menjaga hutan mangrove dan pengetahuan tentang tsunami dari leluhurnya yang diwariskan secara turun temurun merupakan kearifan lokal yang harus dilestarikan. Sebagai contoh di Kepulauan Simeulue, masyarakat secara umum sudah memiliki pemahaman yang baik tentang tsunami sehingga mereka segera menyelamatkan diri ketempat yang lebih tinggi ketika gempa terjadi dan terlihat adanya gejala tsunami. Kearifan lokal seperti itu bisa ditularkan kepada masyarakat pesisir lainnya, misalnya melalui program penyuluhan dan pendidikan lingkungan yang harus terus dilakukan mengingat potensi dan bahaya tsunami yang bisa mengancam masyarakat pesisir kapan saja. Kerusakan habitat mangrove pasca tsunami merupakan salah satu pekerjaan besar yang harus segera diselesaikan untuk pemulihan alam dan keseimbangan ekosistem. Rehabilitasi mangrove tentu bukan sekedar pekerjaan menanam bibit di lahan mangrove tetapi juga harus memperhatikan ekologi mangrove itu sendiri. Sebagai contoh penelitian Suryawan, (2007) dan Onrizal, (2012) menemukan kecenderungan penurunan nilai keanekaragaman dan kegagalan proyek rehabilitasi. Begitu pun hasil penelaahan UNEP (United Nation Environmental Programme), (2007) menyatakan banyak kegiatan rehabilitasi mangrove di Aceh hanya difokuskan pada jumlah bibit yang ditanam, bukan berapa tingkat keberhasilan dari bibit yang ditanam tersebut. Sehingga setelah 18 bulan rehabilitasi mangrove, hasilnya sudah mulai terlihat, dimana sebagian besar program rehabilitasi tersebut gagal. Secara sederhana kegagalan tersebut dapat dijelaskan sebagai akibat rendahnya laju ketahanan hidup bibit tanaman di lapangan yang disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya: kesalahan dalam seleksi pemilihan lokasi penanaman, ketidaksesuaian jenis tanaman yang dipilih, kurangnya persiapan, tidak tersedianya petunjuk, serta rendahnya kualitas tanaman dan kapasitas sumberdaya manusia. Kerusakan hutan mangrove akibat tsunami baik secara fisik, biologi dan kimiawi tentu harus dipulihkan kembali dengan berbagai cara. Salah satu upaya yang bisa dilakukan untuk mendukung keberhasilan rehabilitasi tersebut adalah pemanfaatan fungi pada media bibit tanaman mangrove. Secara umum tulisan ini menitik beratkan pada pentingnya upaya konservasi mangrove, rehabilitasi mangrove dengan memanfaatkan fungi serta peningkatan kapasitas masyarakat serta penyadartahuan masyarakat terhadap dampak perusakan (konversi) mangrove ke bentuk penggunaan lainnya melalui pendidikan lingkungan. METODE Sumber data kajian ini diperoleh dari beberapa referensi terutama dari jurnal dan hasil penelitian. Data atau informasi tersebut selanjutnya dianalisis secara deskriptif untuk memperoleh informasi tentang kondisi mangrove pasca tsunami. Data primer diperoleh dari hasil pemanfaatan fungi dalam media tanam bibit untuk rehabilitasi mangrove. Jumlah bibit mangrove Rhizophora stylosa yang di tanam di lapang dalam kegiatan ini adalah 600 bibit yang terdiri atas 150 bibit yang telah diberi perlakuan Aspergillus sp 1, 150 bibit yang telah diberi Aspergilllus sp. 2, 150 bibit yang telah diberi perlakukan Aspergillus sp. 4 dan 150 bibit yang dijadikan kontrol. Penanaman bibit yang sudah ada di lapangan dilakukan dengan jarak tanam 2 x 1 m. Lokasi penenaman mangrove adalah kawasan hutan mangrove Sicanang Medan Belawan Sumatera Utara.

120

Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Sain dan Teknologi Pada Pengurangan Resiko Bencana Banda Aceh, 22 November 2014

HASIL DAN PEMBAHASAN Rehabilitasi Mangrove: Pembelajaran dan Ancaman Perubahan fisik lahan pasca tsunami diantaranya pengikisan pantai sehingga mengekspos batuan pantai. Tsunami tidak efektif dalam mengikis karang (hard rock) tapi menghancurkan morfologi pantai dan rawa (Liew, et al., 2008). Menurut Wibisono dan Suryadiputra, (2006) efek dari tsunami Aceh antara lain perubahan landskap pasisir, degradasi hutan mangrove, degradasi lahan gambut, degradasi rawa dan degradasi vegetasi pantai. Oleh karena itu sangat penting upaya rehabilitasi mangrove harus memperhatikan faktor tempat tumbuh dan jenis tanaman mangrove sehingga akan diketahui perlakuan apa yang harus diberikan di lokasi rehabilitasi. Gambaran kerusakan hutan mangrove akibat tsunami Aceh di pantai barat Aceh disajikan dalam Tabel 1. Tabel 1. Kerusakan hutan mangrove sepanjang pantai barat Aceh Kawasan Kabupaten Luas Kerusakan Calang Aceh Jaya 100 persen hutan mangrove rusak atau kemudian mati. Samatiga Aceh Barat Sekitar 50 persen pohon mangrove tercabut. Kebanyakan tegakan mangrove rusak bagian atas tajuknya. Bagian dari pohon yang rusak dibawa ke tambak, kerusakan sampai ke formasi Nypa. Pulau Tuangku Aceh Singkil Sekitar 70 persen kerusakan pohon. Garis terdepan Rhizopora rusak sangat parah. Tegakan mangrove yang tersisa akhirnya mati. Pulau Bangkaru Aceh Singkil 30 sampai 40 persen pohon rusak. Sebagian dari bagian pohon mangrove terbawa pantai pasir yang mengancam tempat bersarang penyu belimbing yang terancam punah (endangered leatherback back turtles) Pulau-pulau kecilAceh Tergantung lokasi dan jarak dari laut, sampai 100 Sekitar Pulau Singkil persen mangrove mati akibat terendam Banyak Sumber: Kanagaratnam et al, (2006) Pada tahap awal rehabilitasi mangrove pasca tsunami di Aceh ternyata banyak yang mengalami kegagalan. Banyak dari kegiatan rehabilitasi tersebut tidak didukung oleh pemahaman yang baik tentang ekologi mangrove (UNEP, 2007). Sebagai contoh para pelaksana rehabilitasi tidak mengetahui secara pasti tentang derajat keberhasilan yang dicapainya, hal ini akibat dari kurangnya data dan informasi tentang persentasi bibit yang bertahan hidup. Hanya sebagian kecil saja dari para pelaksana yang memiliki data tentang perkembangan aktifitas rehabilitasinya, termasuk laju kelangsungan hidup bibit di lapangan. Menurut Wibisono dan Suryadiputra, (2007) kebanyakan dari pelaksana rehabilitasi tidak melakukan monitoring, sehingga tidak mengetahui jumlah bibit yang tumbuh. Hal ini termasuk salah satu aktifitas pengelolaan alam yang terfragmentasi, sebagimana kegiatan rehabilitasi berakhir hanya sampai tahap penanaman bibit saja. Perhitungan kasar dari observasi lapangan keberhasilan hidup mangrove (40%-60%) lebih tinggi dibandingkan dari spesies pantai yang lain (20%-50%). Saat ini ancaman utama mangrove hasil rehabilitasi bukan datang dari alam tetapi justru dari tindakan manusia. Sebagai contoh di pantai utara Aceh kegiatan penebangan dan reklamasi untuk dijadikan permukiman atau mati secara alami yang diduga karena ketidaksesuaian jenis yang ditanam dengan kondisi tapak. Penebangan dan alih fungsi areal rehabilitasi mangrove tersebut diduga terjadi karena (a) tahapan perencanaan 121

Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Sain dan Teknologi Pada Pengurangan Resiko Bencana Banda Aceh, 22 November 2014

rehabilitasi yang kurang matang, (b) penataan tata ruang yang belum dipahami secara bersama dengan baik, (c) status kepemilikan lahan yang belum jelas, (d) kurangnya pemahaman akan pentingnya mangrove dalam melindungi kehidupan penduduk pesisir dari tsunami atau (e) kombinasi dari berbagai faktor tersebut (Onrizal, 2012). Bila masalah di atas tidak ditangani dengan benar, hal itu berarti sama dengan kita mengabaikan pengetahuan yang kita miliki saat ini tentang manfaat mangrove bagi kehidupan dan juga terkait dengan perannya sebagai pereduksi bencana alam. Permasalahan ini terjadi akibat tarik menarik kepentingan dari berbagai pihak (multi stakeholders). Oleh karena itu perlu upaya dari semua pihak untuk duduk bersama memikirkan masa depan ekologi pesisir yang memperhatikan keseimbangan ekologi, ekonomi serta sosial dan budaya masyarakat setempat. Kawasan pantai timur Aceh secara umum mengalami kerusakan lebih kecil dibandingkan kawasan pantai barat dan utara Aceh, karena tidak berhadapan langsung dengan pusat datangnya tsunami (Wong, 2009 dalam Onrizal, 2012). Di pantai timur Aceh, tepatnya di pantai Lhokmee terdapat tegakan mangrove jenis Sonneratia alba berdiameter lebih dari 1 m.Tegakan mangrove tersebut berada di depan pantai (laut) dengan jarak antara 30-50 m dari pantai dan selalu tergenang. Oleh karena itu, saat ini tidak ditemukan permudaan yang tumbuh di lantai hutan karena buah yang jatuh langsung terbawa ombak laut. Pada bagian tertentu tegakan hutan mangrove di pantai timur ini ditemukan banyak pohon Sonneratia alba yang mati. Mengingat kondisinya saat ini sudah berada di depan pantai (laut), diperkirakan seluruh tegakan S. alba tersebut akan mati, meskipun saat pengamatan masih dijumpai pohon-pohon yang berbunga dan berbuah (Onrizal, 2012). Fakta ini menunjukkan bahwa kegiatan rehabilitasi bukan saja pada kawasan yang rusak, tetapi juga pada kawasan yang awalnya hanya terdampak, tetapi perubahan landskap alam akan menjadi tantangan baru yang dapat berakibat gangguan proses suksesi alami hutan mangrove. Pemanfaatan Fungi dalam Rehabilitasi Mangrove Salah satu permasalahan lahan mangrove pasca tsunami adalah kondisi sifat fisik dan kimiawi tanah. Permasalahan akan muncul ketika kita akan memulai rehabilitasi dengan kondisi tanah yang mungkin sudah mengalami banyak perubahan, baik secara fisik maupun kimiawi. Kegagalan pada tahap awal program rehabilitasi mangrove harus dijadikan pelajarn berharga untuk menghindari inefesiensi dan pemborosan. Oleh sebab itu pemanfaatan teknologi diharapkan mampu menyelesaikan kendala tersebut. Salah satu pemanfaatan ilmu pengetahuan dan tehnologi diantaranya dengan mengintroduksikan fungi pada media bibit mangrove. Introduksi ini diharapkan mampu meningkatkan daya tahan hidup tanaman dan membantu pertumbuhannya pada tahap awal, meskipun pada lahan yang sangat miskin hara. Pengujian terhadap manfaat fungi tersebut diantaranya melalui penelitian yang dilakukan di muara sungai yang tercemar limbah industri yang terbawa aliran sungai di Sumatera Utara. Keberadaan jenis fungi dapat mempengaruhi kecepatan proses dekomposisi serasah. Berdasarkan hasil penelitian Yunasfi, et al., (2006) terdapat empat jenis fungi yang dominan dilahan tercemar, yaitu Aspergillus sp. 1. Aspergillus sp. 2, Aspergillus sp. 4 dan beberapa Trichodema sp. Hasil pengamatan terhadap pertambahan tinggi rata-rata bibit, pertambahan diameter rata-rata bibit R. stylosa dan jumlah daun disajikan dalam Tabel 2. Berdasarkan hasil penelitian pada bibit-bibit tanaman yang diberi perlakuan pada pembibitan diperoleh hasil pertumbuhan lebih tinggi dibandingkan dengan kontrol baik pada parameter tinggi tanaman, jumlah daun dan diameter batang. Perbedaan respons pertumbuhan tanaman pada aplikasi fungi yang berbeda menunjukkan bahwa masing122

Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Sain dan Teknologi Pada Pengurangan Resiko Bencana Banda Aceh, 22 November 2014

masing fungi memiliki peran yang berbeda dalam proses dekomposisi serasah mangrove. Pertambahan tinggi bibit yang berasal dari propagul R. stylosa yang telah diberi perlakuan dengan berbagai jenis fungi menunjukkan, aplikasi fungi Aspergillus sp. 1 dan Aspergillus sp. 2 setelah 7 minggu perlakuan menunjukkan pertambahan tinggi rata-rata 1.63 cm dan 1.65 cm. Demikian juga dengan pertambahan diameter dan jumlah helai daun yang lebih tinggi dibandingkan dengan kontrol. Menurut Rao, (1994) Aspergillus mampu merombak selulosa menjadi bahan senyawa-senyawa monosakarida, alkohol, CO2 dan asam-asam organik lainnya dengan dikeluarkannya enzim selulase. Sisa-sisa tanaman memiliki kandungan selulosa dan lignin yang tinggi yang merupakan sumber makanan bagi sebagian fungi termasuk didalamnya Aspergillus. Tabel 2. Pertambahan rata-rata tinggi bibit, pertambahan rata-rata diameter bibit dan jumlah daun R. Stylosa (Leidonald, et al., 2014) Perlakuan Parameter pengamatan Kontrol Aspergillus Aspergillus Aspergillus sp sp 1 sp 2 4 Pertambahan tinggi rata0,25 1,63 1,65 1,98 rata (cm) Pertambahan diameter 0,23 0,33 0,30 0,35 rata-rata (cm) Jumlah daun (helai) 4 6 6 6 Penelitian lain tentang pemanfaatan fungi pada pembibitan mangrove dilakukan oleh Sihite et al., (2014) yaitu pengaruh aplikasi fungi terhadap pertumbuhan semai Avicennia marina di Desa Nelayan, Kecamatan Medan Labuhan kawasan yang berdekatan dengan industri. Kawasan industri dipilih untuk mengukur peranan fungi terhadap kelangsungan hidup tanaman di lahan yang tercemar limbah. Keanekaragaman jenis fungi dari hasil isolasi fungi di laboratorium diperoleh 4 (empat) jenis fungi pada ekosistem A.marina di Desa Nelayan. Dari hasil uji di lapangan terdapat perbedaan setiap parameter baik tinggi, diameter, luas daun dan biomassa total bibit A.marina seperti yang ditunjukkan pada Tabel 3. Tabel 3. Hasil pengamatan bibit A.marina 12 minggu setelah tanam (Sihite et al., 2014) Perlakuan Parameter Pengamatan Kontrol A flavus Penicillum sp A tereus T harzianum Tinggi rata-rata (cm) 19,22 20,90 21,74 24,66 26,66 Diameter rata-rata 0,18 0,20 0,18 0,21 0,23 (cm) Luas daun (cm2) 390,26 497,82 443,31 466,77 444,69 Berat kering total (g) 10,61 16,16 14,54 16,09 17,91 Pohon A. marina mampu mengakumulasikan logam berat dengan baik untuk menurunkan logam beracun di kawasan perairan. Tinggi rendahnya tingkat faktor biokonsentrasi suatu ekosistem mangrove disebabkan oleh unsur logam berat yang tersimpan dalam bentuk senyawa organik di dalam jaringan tumbuhan. Mangrove memiliki kemampuan menyerap bahan-bahan organik dan non organik dari lingkungannya ke dalam tubuh melalui membran sel. Proses ini merupakan bentuk adaptasi mangrove terhadap kondisi lingkungan yang ekstrim (Mastaller, 1996 dalam Sihite, et al., 2014). 123

Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Sain dan Teknologi Pada Pengurangan Resiko Bencana Banda Aceh, 22 November 2014

Untuk dapat bertahan dalam kondisi tempat tumbuh yang sudah terakumulasi logam berat vegetasi mangrove dibantu oleh fungi yang menetralisir akumulasi logam berat tersebut sampai kondisi tanahnya menjadi sesuai untuk pertumbuhan mangrove. Pemberian fungi yang berbeda pada tanaman A.marina memberikan reaksi pertumbuhan dan pertambahan tinggi, diameter rata-rata, luas daun dan berat kering total yang lebih baik dibandingkan dengan kontrol tanpa fungi. Hal ini terjadi karena adanya perbedaan kemampuan antara beberapa jenis fungi dalam menyediakan unsur hara bagi A.marina serta perbedaan enzim yang dikeluarkan oleh fungi untuk mendekomposisikan serasah. Rasti dan Sumarsono, (2008) dalam Sihite et al., (2014) menyatakan bahwa penggunaan mikroba fungi penyubur tanah dapat memberikan berbagai manfaat yaitu untuk menyediakan sumber hara bagi tanaman, melindungi akar dari gangguan hama dan penyakit, menstimulir sistem perakaran agar berkembang sempurna dan memperpanjang usia akar, memacu mitosis jaringan meristem pada titik tumbuh pucuk, kuncup bunga, dan stolon, sebagai penawar racun beberapa logam berat, sebagai metabolit pengatur tumbuh, dan sebagai bioaktivator. Pemanfaatan fungi untuk daerah terdampak tsunami perlu diuji lebih lanjut, mengingat kondisi fisik lahan mangrove yang berubah memerlukan kajian lebih mendalam agar hasilnya bisa lebih maksimal. Oleh karena itu keterlibatan perguruan tinggi dalam kegiatan rehabilitasi diharapkan bisa mengintegrasikan kegiatan penelitian dan rehabilitasi mangrove itu sendiri. Pendidikan Lingkungan: Antara Konservasi dan Konversi Mangrove Pengalaman dalam proyek awal rehabilitasi yang mengalami banyak kegagalan telah memberi banyak pelajaran bahwa mengembalikan kondisi hutan mangrove seperti sedia kala tidak semudah yang dibayangkan. Perbaikan perlakuan dan penerapan sistem monitoring dalam rangkaian rehabilitasi akhirnya menghasilkan tingkat keberhasilan tanaman relatif meningkat, seperti survey yang dilakukan Onrizal, (2012) di pantai utara Aceh, tingkat keberhasilan rehabilitasi mencapai 60-80% dengan umur 4 atau 5 tahun memiliki tinggi tanaman antara 3-4 m. Bahkan pada tambak-tambak yang direhabilitasi dengan pola silvofishery, sebagian nelayan tambak telah beberapa kali melakukan panen dengan hasil yang cukup memuaskan. Burung-burung air juga sudah mulai banyak mendatangi kawasan tersebut, sebagai indikator mulai pulihnya fungsi hutan mangrove setelah direhabilitasi. Upaya konservasi hutan mangrove hasil rehabilitasi dan regenerasi alami sepertinya akan berhadapan dengan konversi hutan mangrove untuk keperluan lain seperti pengamatan Onrizal, (2012) di pantai utara Aceh terjadi penebangan dan reklamasi mangrove untuk infrastruktur dan permukiman (Gambar 1). Selain ancaman dari manusia, kondisi lingkungan yang berubah diperkirakan akan mengganggu kelestarian vegetasi mangrove itu sendiri. Permasalahan akan semakin rumit bila pemerintah tidak cepat mengambil tindakan untuk menyelamatkan hutan mangrove di kawasan rehabilitasi. Kegiatan konversi akan berdampak tidak hanya pada perubahan keseimbangan ekosistem pesisir, tetapi juga kehidupan masyarakat di sekitarnya. Di samping itu hilangngnya hutan mangrove bila dikaitkan dengan mitigasi bencana, akan sangat mengurangi kemampuan alam dalam mereduksi dampak bencana seperti tsunami. Menurut FAO, (2007) di kawasan pesisisr integrasi antara fungsi perlindungan hutan dan pembangunan harus menjadi sebuah norma atau aturan. Fakta bahwa tsunami 2004 dampaknya tidak hanya dirasakan oleh penduduk diperkotaan, tetapi juga masayarakat pedesaan yang tinggal di sepanjang garis pantai. Pada wilayah dimana hutan mangrove dan pantai tidak lagi ada, kerusakan tsunami jauh lebih besar. Sementara pada wilayah 124

Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Sain dan Teknologi Pada Pengurangan Resiko Bencana Banda Aceh, 22 November 2014

dimana hutan masih ada, dalam banyak kasus dampak tsumani dapat dikurangi. Sistem peringatan dini juga akan dapat menyelamatkan banyak nyawa manusia.

(a)

(b)

(d) (c) Gambar 1. Penebangan pohon mangrove hasil rehabilitasi dan penimbunan tanaman mangrove rehabilitasi di Pantai Utara Aceh (a,b); Hutan mangrove jenis Sonneratia alba berdiamater lebih dari 1 m yang saat ini sudah berada di laut di Pantai Timur Aceh (c,d) (Foto: Onrizal) Penyadartahuan tentang dampak konversi hutan mangrove perlu diberikan kepada semua pihak yang berkepentingan bukan hanya masyarakat sekitar pesisir, tetapi juga pihak-pihak yang berpotensi mengkonversi hutan, seperti kepada pihak pengembang (developer), industry dan tambak. Pemerintah melalui Badan Pertanahan Nasional juga harus berani tidak mengeluarkan ijin bagi pihak yang ingin merubah fungsi hutan mangrove. Pengalaman yang terjadi di daerah lain seperti Sumatera Utara dalam konversi hutan dapat menjadi pembelajaran tentang dampak konversi bagi kehidupan.

Gambar 2. Konversi hutan mangrove di Kec. Gebang, Kab. Langkat, Sumatera Utara 203-2013c Konversi hutan mangrove di pesisir timur Sumatera tepatnya di Kecamatan Gebang, Kabupaten Langkat Sumatera Utara antara tahun 2003 sampai 2012 mencapai 2.052,83 hektar, dengan rincian perubahan terbesar menjadi perkebunan 1.520,46 ha, 125

Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Sain dan Teknologi Pada Pengurangan Resiko Bencana Banda Aceh, 22 November 2014

pertanian lahan kering 313,10 ha dan tambak 276,96 ha. Perubahan fungsi hutan mangrove menjadi bentuk pemanfaatan lainnya terus berlangsung sampai pada tarap yang menghawatirkan.seperti disajikan pada Tabel 4. Tabel 4. Perubahan tutupan lahan Kec. Gebang, Kab.Langkat dari tahun 2003 sampai 2012 Tahun 2003 Tahun 2012 Perubahan Tutupan No Luas Luas Lahan % % Luas (Ha) %*) (Ha) (Ha) 1 Tanah 370,43 2,10 918,83 5,21 548,40 148,04 Terbuka 2 Hutan Mangrove 2.567,25 14,54 514,42 2,91 -2.052,83 -79,96 Sekunder 3 Sawah 1.108,32 6,30 1.286,21 7,30 177,88 16,04 4 Tambak 2.944,18 16,67 2.734,93 15,50 -209,25 -7,10 5 Perkebunan 3.947,83 22,36 4.716,93 26,74 769,10 19,48 6 Pertanian 4.545,25 25,74 4.840,22 27,44 294,28 6,47 Lahan Kering 7 Belukar 1.928,23 10,92 1.940,41 11.00 12,19 0,63 8 Tubuh Air 243,63 1,38 613,76 3,50 370,13 151,92 9 Pemukiman 69,50 0,40 69,50 100,00 17.655,1 100 17.635,2 Total 100,00 2 ,00 1 *)-: penurunan terhadap luas masing-masing penutupan lahan tahun 2003 (Wirani, et al., 2013) Dampak konversi mangrove antara lain menurunnya hasil tangkapan nelayan di lokasi penelitian. Rata-rata hasil tangkapan nelayan per bulan pada tahun 2003 yaitu 457,44 kg/bulan dan pada tahun 2012 yaitu 140,48 kg/bulan. Hasil tangkapan nelayan mengalami penurunan sebesar 30,71%. Penurunan hasil tangkapan ikan nelayan dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5. Hasil tangkapan ikan per bulan nelayan di Kec. Gebang, Kab.Langkat tahun 2003-2012 Tahun Tahun Hasil Tangkapan Ikan No. 2003 % 2012 % Selisih (kg/bulan) (KK) (KK) 1. > 200 82 90,10 13 14,28 69 2.

≤ 200

9

9,90

78

85,72

-69

Sumber: Wirani, et al, 2013 Pendapatan nelayan di lokasi penelitian mengalami penurunan. Rata-rata pendapatan nelayan per bulan pada tahun 2003 yaitu Rp. 2.739.780 dan pada tahun 2012 yaitu Rp. 1.407.637. Pendapatan nelayan mengalami penurunan sebesar 51,37%. Kategori pendapatan nelayan berdasarkan upah minimum Kabupaten Langkat pada tahun 2012 yaitu Rp. 1.202.000 menunjukkan bahwa tingkat kehidupan nelayan tidak lebih baik pada

126

Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Sain dan Teknologi Pada Pengurangan Resiko Bencana Banda Aceh, 22 November 2014

saat hutan mangrove lebih kecil penutupannya. Tingkat pendapatan nelayan pasca konversi hutan mangrove dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6. Tingkat pendapatan nelayan per bulan di Kec. Gebang, Kab.Langkat tahun 2003-2012 Pendapatan Tahun 2003 Tahun 2012 No. % % Selisih (Rp) (KK) (KK) 1. > 1.202.000 81 89,01 52 57.,14 29 2.

≤ 1.202.000

10

10,99

39

42,86

-29

Sumber: Wirani, et al., 2013 Lebih jauh tentang manfaat dari masing-masing vegetasi hutan mangrove bagi kehidupan dapat dijadikan bahan atau materi penyadartahuan kepada masyarakat. Manfaat mangrove di Aceh disarikan oleh Kanagaratnam, et al., (2006) dari hasil wawancara dengan masyarakat di wilayah terdampak tsunami di Samatiga seperti pada Tabel 7. Tabel 7. Manfaat mangrove bagi kehidupan Nama Nama Species Manfaat Lokal Pembungkus tembakau, sapu lidi, buah, atap sirap, Nypa fruticans Nipah keranjang anyaman dan penutup Rhizophora spp. Bakau Rumpon ikan, kayu bakar, arang, bahan bangunan Sonneratia sp. Langade Pagar, kayu olahan, kerangka kapal bagan Sonneratia alba Berambang Wooden crushers, buah Pagar, bahan bangunan, koleksi madu, bangunan Avicennia sp. Api-api kapal (haluan/busur kapal) Tidak Meri Kulit untuk memperkuat jala ikan teridentifikasi Cerops tagal Tengar Pagar, konstruksi rumah Pandanus Pandan Tikar Metroxylon sagu Rumbia Tepung sagu Sumber: Kanagaratnam, et al., (2006) Dengan semakin tingginya kesadaran masyarakat dalam menjaga hutan mangrove diharapkan dapat mengurangi laju konversi hutan mangrove itu sendiri sehingga keseimbangan ekosistem tetap terjaga. Pekerjaan rumah dalam rehabilitasi mangrove akan semakin menumukan tangtangan ketika masyarakat sudah memarginalkan fungsi hutan mangrove itu sendiri bagi kehidupan. Oleh karena itu kegiatan rehabilitasi harus dibarengi dengan upaya penyadartahuan masyarakat. KESIMPULAN Mangrove memiliki peranan dalam mengurangi resiko kerusakan akibat bencana alam tsunami. Keberhasilan rehabilitasi sangat tergantung pada banyak faktor seperti jenis tanaman, tehnik penanaman, monitoring. Pemberian fungi pada media tanam bibit mangrove memberi respons pertumbuhan bibit yang lebih baik dibandingkan tanpa fungi sehingga dapat dipertimbangkan penggunaannya dalam kegiatan rehabilitasi mangrove 127

Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Sain dan Teknologi Pada Pengurangan Resiko Bencana Banda Aceh, 22 November 2014

pasca tsunami Aceh. Konversi hutan mangrove menjadi penggunaan lainnya akan menjadi ancaman serius bagi keberhasilan program rehabilitasi pasca tsunami di Aceh. Upaya untuk mengurangi laju konversi dapat dilakukan melalui penyuluhan atau penyadartahuan kepada pihak-pihak yang terkait. UCAPAN TERIMA KASIH Penulis mengucapkan terima kasih kepada Zulham Apandi Harahap, Rika Wirani, Rusdi Leidonald yang telah banyak membantu penulis dalam hal data dan pihak Perhimpunan Alumni Jerman (PAJ) Aceh khususnya Prof. Ir. Samadi, M.Sc, Ph.D yang sudah memberi kesempatan kepada penulis dalam kegiatan Seminar Disaster Risk Reduction dalam rangka satu dekade Tsunami Aceh. Semoga Allah SWT membalas kebaikan semuanya dengan yang lebih baik. Amiin. DAFTAR PUSTAKA Alongi, D.M., 2008. Mangrove forests: Resilience, protection from tsunamis, and responses to global climate change. Elsevier. Estuarine, Coastal and Shelf Science 76 (2008), p. 1-13. Bayasa, J. C. Laso, Carsten Marohna, Gerd Dercona,1, Sonya Dewib, Hans Peter Piephoc, Laxman Joshib, Meine van Noordwijkb, and Georg Cadischa, 2011. Influence of coastal vegetation on the 2004 tsunami wave impact in west Aceh. PNAS vol. 108, No.46. p. 18612–18617. www.pnas.org/cgi/doi/10.1073/pnas.1013516108 Das, S. and Jeffrey R. Vincent. 2009. Mangroves protected villages and reduced death toll during Indian super cyclone. www.pnas.org/cgi/content/full/0810440106/DCSupplemental, p 1-4. FAO, 2007. The Role of Coastal Forests in The Mitigation of Tsunami Impacts. RAP Publication 2006-07 Kanagaratnam,U., A.M. Schwarz, D. Adhuri and M.M. Dey. 2006. Mangrove Rehabilitation in the West Coast of Aceh – Issues and PerspectivesNAGA, WorldFish Center Quarterly Vol. 29 No. 3 & 4 Jul-Dec 2006 Leidonald, R., Yunasfi, Pindi Patana. 2014. Aplikasi Berbagai Jenis Fungi Untuk Meningkatkan Pertumbuhan Mangrove Rhizophora Stylosa di Secanang Belawan Medan. Lapaoran Kemajuan Penelitian PNBP USU. Medan Liew. S.C., Avijit Gupta, Poh Poh Wong, Leong Keong Kwoh. 2008. Coastal Recovery following the destructive tsunami of 2004: Aceh,Sumatra,Indonesia. Society for Sedimentary Geology. Vol.6. No.3. www.sepm.org Onrizal, 2012. Tujuh Tahun Pasca Tsunami 2004: Profil Pemulihan Mangrove Aceh. Warta Konservasi Lahan Basah. Wetland International. Vol 20 No. 3, Halaman 45,16. Rao, N.S.S. 1994. Soil Microorganisms and Plant Growth dalam Pemanfaatan Biofertilizer Pada Pertanian Organik. USU Repository. Rahmawati, N. Medan, 2006. http://library.usu.ac.id [13 Juli 2008] Sihite, E. D., Yunasfi dan Miswar, B. M., 2014. Jenis-Jenis Fungi dan Pengaruh Aplikasinya Terhadap Pertumbuhan Semai Avicennia Marina.Jurnal Penelitian, Repository USU. Medan 128

Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Sain dan Teknologi Pada Pengurangan Resiko Bencana Banda Aceh, 22 November 2014

Suryawan, F. 2007. Keanekaragaman Vegetasi Mangrove Pasca Tsunami di Kawasan Pesisir Pantai Timur Nangroe Aceh Darussalam. Biodiversitas. Volume 8, Nomor 4. Halaman: 262-265 UNEP, 2007. Coastal Ecosystem Restoration: Lessons Learned in Aceh since the Tsunami. Wibisono, I. T.C and I Nyoman N. Suryadiputra. 2006. Study of Lessons Learned from Mangrove/Coastal Ecosystem Restoration Efforts in Aceh since the Tsunami. Wetlands nternational – Indonesia Programme. Bogor. xiii + 83. Wirani,R., Yunasfi, Zulham Apandy Harahap, 2013. Analisis Konversi Hutan Mangrove di Kecamatan Gebang Kabupaten Langkat. Jurnal Penelitian Manajemen Sumberdaya Perairan USU. Repository USU. Medan Yunasfi, S. Hadi, C. Kusmana, L.I. Sudirman dan B. Tjahjono. 2006. Dekomposisi Serasah Daun A. marina oleh Bakteri dan Fungi pada Berbagai Tingkat Salinitas. (Disertasi). Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor.

129

Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Sain dan Teknologi Pada Pengurangan Resiko Bencana Banda Aceh, 22 November 2014

Hutan Pantai Untuk Mitigasi Tsunami: Mitos, Realitas dan Tantangan ke Depan Semeidi Husrin1 1

Peneliti, Balitbang Kelautan dan Perikanan - Kementerian Kelautan dan Perikanan

ABSTRAK Pasca kejadian tsunami Aceh 2004, penelitian untuk melihat kemampuan hutan pantai dalam meredam tsunami semakin gencar dilakukan baik itu dengan cara interpretasi citra satelit, observasi lapangan, percobaan laboratorium fisik maupun pemodelan numerik. Namun, latar belakang ilmiah dan proses-proses fisik yang terjadi di dalamnya masih belum dapat disimpulkan secara menyeluruh. Kejadian tsunami di Jepang pada Maret 2011 dan beberapa kejadian tsunami sebelumnya semakin memperlihatkan bahwa hutan pantai tidak selamanya memberikan perlindungan terhadap gelombang tsunami. Mitos hutan pantai sebagai peredam tsunami dan kondisi realitas di lapangan didiskusikan secara mendalam berdasarkan hasil penelitian terkini dengan memperhitungkan aspek morfologi hutan, hidrodinamika, dan aspek lingkungan seperti orientasi garis pantai, batimetri, dan topografi. Berdasarkan kajian ilmiah dan informasi terkini, tulisan ini bertujuan menganalisis secara sistematis efektifitas hutan pantai sebagai peredam tsunami di mana salah satu tantangan terbesarnya adalah cara menentukan kontribusi dari aspek - aspek lingkungan selain hutan pantai pada nilai redaman tsunami yang kerap terabaikan. Lebih jauh lagi, aspek – aspek penting untuk pengembangan dan pemanfaatan hutan pantai dalam kerangka mitigasi tsunami di masa yang akan datang berhasil dirangkum untuk bahan rekomendasi. Kata kunci: Hutan pantai, mitigasi, tsunami, kemampuan meredam, mitos ABSTRACT After the 2004 Aceh Tsunami, researches on the damping performance of coastal forests against tsunami have been conducted either by means of satellite image, field survey, physical laboratory and numerical simulation analyses. However, a comprehensive conclusion still could not be drawn due to so many unexplained critical aspects related to the physical processes involved. The 2011 Japan Tsunami and previous events showed us that coastal forests do not always provide protections. Myths surrounding the effectiveness of coastal forest in reducing the impact of tsunami and its factual data based on a systematic analysis were discussed thoroughly based on forest morphology, hydrodynamics, and other environmental aspects such as coastline orientation, bathymetry and topography of the region. Considering the latest scientific findings, the main objective of the paper is to analyse tsunami damping performance of coastal forests and how to determine the contribution of other environmental aspects to the total tsunami attenuation which are often neglected. Moreover, influencing aspects for the development and the use of coastal forests in the frame work of tsunami mitigation are successfully summarised for recommendations. Key words: Coastal forest, mitigation, tsunami, damping performance, myth

130

Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Sain dan Teknologi Pada Pengurangan Resiko Bencana Banda Aceh, 22 November 2014

PENDAHULUAN Gempa bumi dan Tsunami merupakan salah satu bencana alam yang kerap melanda kawasan pesisir di Indonesia. Keberadaan zona subduksi yang tersebar di Barat Sumatera dan selatan Jawa serta kawasan Timur Indonesia menjadikan kawasan tersebut secara alami menjadi sangat rentan dimana bencana gempabumi dan tsunami dan telah banyak menyebabkan kerusakan dan korban jiwa. Kejadian tsunami yang kerap terjadi belum mampu menggugah kepekaan pemerintah dan masyarakat Indonesia hingga bencana Gempa Bumi dan Tsunami Aceh terjadi pada 26 Desember 2004. Pasca bencana tsunami Aceh 2004, investasi besar – besaran dalam kerangka upaya mitigasi bencana gempabumi dan tsunami di kawasan pesisir gencar dilakukan di mana - mana mulai dari pembangunan infrastruktur sistem peringatan dini hingga pengembangan sistem pendidikan (kurikulum) berwawasan kebencanaan. Salah satu upaya mitigasi yang gencar dilakukan pemerintah Indonesia adalah penghijauan kawasan pesisir atau “greenbelt” untuk mitigasi tsunami. Bahkan, dalam Master Plan Pengurangan Resiko Bencana (PRB) tsunami 2012-2014, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mengingdikasikan kebutuhan prioritas mitigasi tsunami dengan greenbelt di 127 kota/kabupaten pesisir dengan nilai mencapai 50 Milyar rupiah (BNPB, 2012). Munculnya kebijakan greenbelt untuk mitigasi tsunami dilatar belakangi oleh adanya anggapan dan pendapat yang menyebutkan bahwa hutan pantai memiliki kemampuan yang cukup signifikan dalam mereduksi gelombang tsunami. Berbagai publikasi dalam bentuk jurnal paper, laporan teknis, dan pemberitaan media banyak yang mendukung anggapan tersebut dengan menampilkan data - data lapangan, hasil percobaan laboratorium, gambar satelit dan simulasi numerik (Shuto, 1987, Dahdouh-Guebas (2005), UNEP (2005), Tanaka et al., 2007). Namun demikian, temuan lapangan yang menunjukkan ketidakmampuan hutan pantai dalam mereduksi gelombang tsunami juga banyak dijumpai, seperti yang terjadi pada hutan mangrove di Ule Lheu, Banda Aceh di mana hutan bakau yang cukup lebat dan luas habis tersapu oleh tsunami dan kayu – kayu nya terbawa hingga beberapa kilometer ke daratan (EJF, 2006). Hal – hal tersebut jelas memperlihatkan bahwa sebetulnya masih banyak hal – hal penting terkait proses fisik interaksi hutan pantai dan gelombang tsunami serta lingkungan sekitarnya yang belum diketahui sehingga efektifitas hutan pantai dalam meredam gelombang tsunami belum bisa disimpulkan. Oleh karena itu, tulisan ini bertujuan untuk memberikan informasi tentang latar belakang teknis dan non-teknis pada anggapan hutan pantai yang mampu meredam tsunami berdasarkan hasil-hasil penelitian terkini dengan memperhitungkan tidak hanya morfologi hutan pantai tetapi juga aspek-aspek lingkungan lainnya seperti topografi, batimetri dan orientasi hutan pantai terhadap arah gelombang datang. METODE PENELITIAN Sumber data dari penelitian ini diperoleh dari studi literatur terkait efektifitas hutan pantai dalam meredam gelombang tsunami dan data lapangan di Pangandaran (Husrin et al., 2013). Metoda penelitian, penentuan parameter hutan pantai, pendekatan atau formulasi numerik dan empiris dari nilai tahanan hidraulik hutan pantai serta kesimpulan akhir kemampuan hutan pantai dalam meredam tsunami didiskusikan secara mendalam. Selanjutnya, hasil penelitian terkini dari penulis tentang parameterisasi hutan pantai serta kemampuan hutan pantai dalam meredam tsunami berdasarkan percobaan laboratorium akan ditampilkan di mana pohon bakau dan pohon cemara laut diskalakan sedemikian rupa sehingga nilai redaman antar model dan prototipe memiliki kesamaan sifat hidraulik. Model yang didapat dari hasil penelitian di laboratorium divalidasi dengan data lapangan 131

Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Sain dan Teknologi Pada Pengurangan Resiko Bencana Banda Aceh, 22 November 2014

di Pangandaran, pasca kejadian tsunami 2006. Beberapa hasil penelitian di laboratorium (Husrin, 2013) dan hasil – hasil sebelumnya serta data lapangan dari Pangandaran dianalisis kembali untuk selanjutnya diformulasi ulang untuk membedakan mitos dan kenyataan dari kemampuan hutan pantai dalam meredam tsunami. HASIL DAN PEMBAHASAN Bagaimana Mitos Terbangun ? Hutan pantai sebagai peredam tsunami sudah diterapkan di Jepang pada abad ke-19 tepatnya pasca kejadian gempa dan tsunami Nankai pada tahun 1854. Goryo Hamaguchi memimpin penduduk Desa Hiro (sekarang Kota Hirogawa, Wakayama) untuk membangun sebuah sistem perlindungan buatan terhadap bencana tsunami dengan membangun tanggul laut yang diatasnya ditanami tanaman pantai (Gambar 1). Sistem ini jelas memperlihatkan pentingnya sebuah kombinasi antara dua jenis sistem mitigasi bencana tsunami, yaitu tanggul pelindung dan hutan pantai. Sistem seperti ini terbukti ampuh menurunkan dampak kejadian tsunami yang terjadi pada tahun 1946 sehingga memacu daerah lain untuk melakukan hal serupa. Kegiatan penanaman “sistem greenbelt” untuk mitigasi tsunami terus berlangsung hingga bencana Tsunami Chile menerjang pesisir timur Jepang pada tahun 1960. Kejadian tsunami Chile pada tahun 1960 menggeser kecenderungan Jepang dalam membangun sistem mitigasi yang mengutamakan sistem perlindungan struktural (hard measures) disamping sistem peringatan dini tsunami. Hal ini bisa terlihat dari pembangunan beberapa pemecah gelombang lepas pantai (misal Breakwater Kamaishi dan Oofunato) dan pembangunan tembok laut yang banyak dibangun di kawasan – kawasan yang rawan bencana tsunami seperti kawasan pesisir Timur Tohoku.

Gambar 1. Sistem pelindung pantai terhadap bencana tsunami di desa Hiro (Shuto, 2010)

Secara ilmiah, Shuto (1987) adalah di antara yang pertama yang menjelaskan secara sistematis peran penting dari hutan pantai dalam meredam gelombang tsunami berdasarkan data dari lima kejadian tsunami besar di Jepang yang terjadi pada tahun 1896, 1933, 1944, 1960, dan 1983. Shuto (1987) menyebutkan bahwa hutan pantai mungkin dapat berfungsi mengurangi tinggi rendaman dan laju tsunami, menyediakan pegangan bagi korban yang hanyut, sebagai fasilitas evakuasi vertikal dan menyediakan gundukkan tanah sebagai penghalang alami tsunami. Hasil kajian Shuto (1987) memperlihatkan pentingnya peran dari geometri pohon pantai dan dimensi dari hutan pantai termasuk 132

Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Sain dan Teknologi Pada Pengurangan Resiko Bencana Banda Aceh, 22 November 2014

derajat ketebalannya (kerapatan pohon). Sebagaimana terangkum dalam Oumeraci (2006), peran dari hutan pantai dalam meredam tsunami terlihat cukup signifikan untuk kasus – kasus tsunami relatif kecil (Gambar 2).

Gambar 2. Formulasi Shuto (1987) untuk redaman tsunami oleh hutan pantai (Oumeraci, 2006) Hutan pantai pada umumnya merupakan solusi yang tepat untuk menahan angin ekstrim, badai, dan semburan garam. Namun, kemampuan untuk menahan dampak tsunami telah menjadi kontroversi di kalangan peneliti sehingga diskusi mengenai peran hutan pantai (misalnya mangrove dan vegetasi pantai lainnya seperti Cemara Laut) sebagai penghalang tsunami alami yang efektif masih terus berlangsung. Banyak laporan dan hasil survei (observasi lapangan, laporan kerusakan, dan citra satelit) telah menunjukkan bukti bahwa hutan pantai memainkan peran penting sebagai perlindungan alami terhadap tsunami (Shuto (1987), Dahdouh-Guebas et al., (2005), Danielsen et al., (2005), UNEP (2005), Kathiresan & Rajendran (2005). Temuan-temuan tersebut juga didukung oleh pendekatan semi-analitis dan empiris berdasarkan serangkaian percobaan pada model fisik dan numerik (Harada et al., (2002), Istiyanto et al., (2003), Hiraishi & Harada (2003), Harada & Kawata (2004), Imai dan Matsutomi (2005), Latief & Hadi. (2006), dan Tanaka et al., (2007). Namun, pendapat lain percaya bahwa masih banyak aspek yang tidak diketahui untuk menarik kesimpulan untuk efektivitas vegetasi pantai sebagai “greenbelt mitigation system”. Perambatan tsunami di pantai, efek batimetri dan topografi yang kompleks, dan kemampuan vegetasi dalam menahan kekuatan tsunami adalah beberapa aspek yang kurang dipahami. Bukti lapangan (pengamatan kerusakan) juga menunjukkan bahwa tidak semua hutan pantai secara efektif melindungi kawasan pesisir dari kehancuran. Bahkan di beberapa daerah dengan hutan mangrove yang lebat dan sehat, 133

Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Sain dan Teknologi Pada Pengurangan Resiko Bencana Banda Aceh, 22 November 2014

hutan pantai tidak memberikan perlindungan sama sekali terhadap tsunami (FAO / MOAC (2005), Bappenas (2005), Latief & Hadi. (2006), EJF (2006), Forbes & Broadhead (2007). Tiga peristiwa tsunami terbaru (Tsunami Chili 2009, Tsunami Mentawai 2010 dan Tsunami Jepang 2011) mengungkapkan banyak bukti yang menunjukkan kerusakan berat pada hutan pantai dan daerah sekitarnya. Morton et al., (2010) melaporkan bahwa banyak pohon ditemukan tumbang, rusak atau roboh dalam peristiwa Tsunami Chili 2010. Penyebab kerusakan bervariasi dan tergantung pada banyak aspek lingkungan seperti arah gelombang datang, karakteristik pantai dan jenis/karakteristik pohon. Kerusakan serupa juga ditemukan di Pagai Selatan Kepulauan Mentawai Indonesia dimana sebagian besar pohon di lini depan mengalami kerusakan berat akibat tsunami. Kejadian tsunami di Jepang tahun 2011 yang untuk pertama kalinya disiarkan secara langsung menunjukkan bagaimana tsunami menghancurkan banyak infrastruktur setelah melewati hambatan hutan pantai. Selain itu, seperti dilansir media, 2 km lebar hutan di sepanjang garis pantai Prefektur Iwate dengan 70000 pinus merah dan pinus hitam hancur dan hanyut sehingga menyisakan satu pohon berdiri dan sekarat. Penelitian awal dari ADRC (2011) juga menyebutkan bahwa hutan pantai di sepanjang garis pantai Sendai sebagian besar diratakan dan hampir tidak memberikan perlindungan apapun.

(a)

(b)

(c)

(d)

(e)

(f)

Gambar 3. Parameterisasi model pohon (a) kumpulan silinder dari Petryk & Bosmaijan (1975) (b) model terdiri dari media berpori dari Harada dan Kawata (2004) (c) Model kawat menyerupai struktur pohon bakau (Istiyanto et al., 2003) (d) Model terdiri dari silinder (Kongko, 2004) (e) model pohon Cemara Laut dari Imai & Matsutomi (2005), (f) model pohon plastik (Irtem et al., 2009) Model-model gelombang tsunami dan interaksi mereka dengan vegetasi telah diteliti oleh para peneliti menggunakan asumsi dan metodologi yang berbeda - beda. Akibatnya, beberapa model berbeda telah dikembangkan dalam upaya untuk menggambarkan efektifitas hutan pantai untuk mengurangi dampak tsunami. Konsep perbandingan volume (rasio biomasa terendam terhadap volume kendali), dimensi pohon, karakteristik hutan, dan berbagai bentuk koefisien tahanan hidroulik seperti koefisien seret dan inersia serta koefisien Manning telah umum diperkenalkan oleh Hiraishi & Harada (2003), Harada dan Kawata (2004), Istiyanto et al., (2003), dan Kongko (2004) dengan metoda parameterisasi pohon yang berbeda – beda (Gambar 3). Pengembangan model ini di mana tsunami disimulasikan sebagai Persamaan Nonlinier Shallow Water Equations (NSWE) dalam persamaan momentum 1-D telah dimodifikasi, khususnya dalam menggambarkan hambatan hidraulik akibat keberadaan hutan pantai (Latief & Hadi., 2006). Selain itu, metodologi penelitian tentang bagaimana jenis vegetasi hutan pantai dimodelkan dalam skala laboratorium terkadang masih sangat sederhana dan jauh dari mewakili kondisi nyata, khususnya, parameter vegetasi yang berkaitan dengan tahanan hidraulik (Oumeraci, 2006). Oleh karena itu, interaksi hutan pantai dan gelombang 134

Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Sain dan Teknologi Pada Pengurangan Resiko Bencana Banda Aceh, 22 November 2014

tsunami masih memerlukan penelitian lebih lanjut yang diarahkan untuk peningkatan pemahaman dari hutan pesisir sebagai peredam dan pengembangan model prediksi yang tepat, termasuk parameterisasi fisik yang tepat dari setiap jenis vegetasi hutan pantai. Dari diskusi di atas, meskipun potensi hutan pantai dalam meredam dampak tsunami dapat saja terjadi. Kamampuan hutan pantai masih tebatas pada skala dan kondisi tertentu dari tsunami. Oleh karena itu, pendapat yang menyatakan hutan pantai mampu meredam dampak tsunami merupakan pendapat yang memiliki resiko tinggi dan dalam beberapa kasus dapat dikategorikan sebagai sebuah mitos (informasi yang belum tentu kebenarannya). Lahirnya mitos hutan pantai untuk mitigasi tsunami dipengaruhi oleh aspek – aspek sebagai berikut: - Kajian dari interaksi gelombang angin / aliran sungai dengan vegetasi yang mengindikasikan kemampuan vegetasi dalam mereduksi gaya - gaya hidraulik - Kajian efektifitas hutan pantai dalam meredam tsunami yang masih parsial di mana aspek lingkungan sekitar, morfologi hutan pantai, serta kestabilan struktural pohon kurang mendapat perhatian atau belum dilibatkan - Metoda dan pendekatan yang berbeda dalam menurunkan redaman hidraulik yang diakibatkan oleh keberadaan hutan pantai - Dukungan yang cukup kuat dari pegiat lingkungan yang menghendaki penghijauan di kawasan pesisir Kerusakan Hutan Pantai Akibat Tsunami Pengamatan dari peristiwa tsunami baru-baru ini (misalnya Tsunami Aceh 2004 dan Tsunami Selatan Jawa 2006) telah menunjukkan gambaran efektifitas hutan pantai dalam meredam tsunami. Tsunami Mentawai 2010 dan Tsunami Jepang 2011 menunjukkan bahwa hutan pantai hancur total akibat tsunami (Gambar 4). Besarnya skala tsunami mungkin berkontribusi terhadap kerusakan hutan pantai sepanjang garis pantai. Namun, aspek lain yang belum diteliti secara lebih rinci seperti topografi tepi pantai, batimetri, karakteristik vegetasi, dll mungkin juga memainkan peran penting. Vegetasi hutan pantai dapat menjadi efektif dalam mitigasi tsunami jika stabilitas struktural dari pohon-pohon pembentuk hutan pantai terjaga (tidak tergerus, tetap berdiri). Selain itu, serpihan pohon-pohon yang hancur juga dapat terbawa aliran tsunami dan menjadi puingpuing terapung yang mematikan (Latief & Hadi, 2006). Tipe kerusakan yang paling umum terjadi pada vegetasi hutan pantai setelah diterjang tsunami adalah patah batang. Patah batang telah banyak dilaporkan di awal penelitian terhadap efektivitas hutan pantai dalam mitigasi tsunami (Shuto, 1987). Pengikisan (scouring), usia hutan, luas hutan dan densitas hutan juga secara statistik teridentifikasi sebagai faktor penting yang berpengaruh dalam meredam dampak tsunami. Berdasarkan data statistik lapangan, batang yang rusak dengan kondisi seperti terlihat pada Gambar 4 adalah tipe kerusakan yang kerap ditemui. Setelah tsunami Aceh 2004, banyak laporan yang menggambarkan kerusakan hutan pantai telah diselidiki. Tanaka et al., (2007) mengumpulkan delapan species vegetasi berbeda di kawasan pantai Sri Lanka dan Thailand setelah tsunami Aceh 2004. Ditemukan bahwa banyak aspek berkontribusi terhadap kerusakan vegetasi pantai. Batang patah biasanya ditemukan di hutan yang didominasi oleh pohon berdiameter lebih kecil atau usia muda atau di daerah di mana ketinggian tsunami yang sangat besar. Pentingnya peran distribusi lateral pohon yang membentuk suatu hutan terhadap arah datangnya tsunami juga sangat berperan dalam meredam gelombang.

135

Tsunami ~3 - 7 m Bengkulu City

Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Sain dan Teknologi Pada Pengurangan Resiko Bencana Banda Aceh, 22 November 2014

b) The damage of coastal forest in Pagai Island, Mentawai

Gambar 4. Kerusakan hutan pantai di Pulau Pagai pasca Tsunami Mentawai 2010 (sumber foto: tim survey GITEWS) Kasus batang patah juga dilaporkan oleh Bappenas (2005) dan Yanagisawa et al., (2009). Survei lapangan dilakukan dalam hutan yang didominasi Rhizophora di Pakarang Cafe, Thailand dimana ketinggian tsunami diperkirakan sekitar 5-10 m. Mereka menemukan bahwa 70% dari total hutan hancur. Berdasarkan data tersebut, Rhizophora kehilangan 77% populasinya sedangkan Avicennia hampir 100%. Sekitar 72% hutan mangrove dengan diameter batang 0,15 - 0,20 m selamat sementara sisanya mengalami kerusakan yang didominasi batang patah di atas akar Rhizophora sp. Species ini memiliki sistem akar yang luas dan membuatnya kuat secara alami untuk tetap berdiri di tanah tetapi tidak untuk batang (lihat Gambar 5). Pepohonan yang tercabut (uprooted) dari akarnya biasanya ditemukan di garis depan hutan pada sebagian besar kasus kejadian tsunami. Kasus pohon yang tercabut dipengaruhi oleh usia pohon, karakterisasi spesies vegetasi oleh sistem akar dangkal, karakteristik tanah, dan densitas hutan. Berdasarkan aspek-aspek tersebut, semua vegetasi kecuali Rhizophora sp. dan khususnya bagi yang memiliki sistem akar menyebar akan rentan terhadap kasus tercabut dari akar (Latief & Hadi, 2006; Tanaka et al., 2007). Spesies Rhizophora sp. juga rentan tercabut ketika pepohonan masih pada usia muda. Tipe kerusakan lain yang berpengaruh pada efektivitas vegetasi hutan pantai terhadap tsunami adalah pohon tumbang (tilted). Pohon yang miring juga dianggap sebagai tipe kerusakan pohon dalam kategori ini. Kasus-kasus seperti ini bisa ditemukan pada hampir semua jenis vegetasi dan terkait dengan kekuatan gelombang tsunami, karakteristik tanah, spesies vegetasi, kekakuan batang dan umur pohon (Yanagisawa et al., 2009). Singkatnya, kerusakan hutan pantai yang terkait dengan efektivitas mereka untuk meredam tsunami dapat dikategorikan menjadi tiga tipe kegagalan yang berbeda berdasarkan integritas struktural dan karakteristik morfologi. Tabel 1 menunjukkan ringkasan tipe kerusakan untuk Mangrove (Rhizophora sp.) dan Cemara laut (C. equisetifolia).

136

Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Sain dan Teknologi Pada Pengurangan Resiko Bencana Banda Aceh, 22 November 2014

Gambar 5. Batang patah merupakan tipe dampak kerusakan yang paling umum untuk mangrove (Rhizophora sp.) (Yanagisawa et al., 2009) Tabel 1. Ringkasan tipe kerusakan Mangrove dan Cemara Laut No. Tipe kerusakan Species Aspek yang berpengaruh 1. Batang/cabang Mangrove (rhizophora Sistem akar kompleks, tajuk, patah sp.) diameter batang and kekakuan berhubungan dengan usia pohon Cemara laut Diameter batang dan kekakuan (c. Equisetifolia) berhubungan dengan usia pohon 2. Tercabut Cemara laut Karakteristik tanah, system akar (c. Equisetifolia) dangkal, usia muda, densitas tegak hutan,dan lokasi (kebanyakan kasus ditemukan di bagian depan)

3.

Tumbang

Mangrove (rhizophora sp.) Mangrove dan cemara laut

Usia muda, karakteristik tanah, dan densitas hutan Diameter batang dan kekakuan berhubungan dengan usia pohon

Hambatan Hidraulik Hutan Pantai Terhadap Tsunami Pengukuran lapangan, percobaan laboratorium serta pendekatan teoritis dan numerik telah banyak dilakukan untuk menurunkan hambatan hidraulik (hydraulic resistance) dari hutan pantai terhadap tsunami dan gelombang badai. Umumnya hambatan hidraulik hutan pantai terhadap tsunami berupa sbb: - Kehilangan energi seret dan inersia yang dapat digambarkan dengan koefisien seret dan inersia (CD dan CM) sebagai fungsi dari kedalaman air, rezim aliran (misal Bilangan Reynolds, Re ), dan densitas hutan. - Friksi dasar/permukaan yang dapat direpresentasikan oleh nilai kekasaran Manning (n) sebagai fungsi dari tipe lanskap pantai dari dasar pantai (seperti pasir atau lumpur), dan semak. - Viskositas Eddy dan kehilangan energi vortex karena aliran turbulen melalui hutan Sejauh ini, koefisien seret CD, koefisien inersia CM dan kekasaran Manning 'n' telah banyak digunakan dalam model teoritis maupun numerik untuk menyelidiki peran hutan pantai dalam mengurangi dampak tsunami. Selain pendekatan dan metodologi yang berbeda, koefisien hambatan untuk menggambarkan resistensi hidrolik vegetasi hutan dihasilkan dari percobaan laboratorium dengan memodifikasi koefisien kekasaran 137

Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Sain dan Teknologi Pada Pengurangan Resiko Bencana Banda Aceh, 22 November 2014

Manning (n) sebagai fungsi dari koefisien tarik dan koefisien inersia (CD dan CM). Koefisien seret dan inersia sangat dipengaruhi oleh karakteristik geometris dari pohon, kekakuan vegetasi, dan rezim aliran ditandai dengan angka Reynolds (Re ). CD dan CM telah diturunkan langsung dari kecepatan dan elevasi permukaan yang didapat dari percobaan laboratorium (atau pengukuran lapangan) menggunakan persamaan Morison (Morison et al., 1950.) sbb:

Ft

1 u CD Avu 2 CM Vv 2  t  Drag force

Inertia force

(1)

Dimana: Ft : total gaya hidraulik [N] : densitas air [kg/m3] Av : area bagian melintas dari subyek badan untuk mengalir [m2] Vv : volume subyek badan untuk mengalir [m3] u : kecepatan aliran [m/s] u t

CD CM

: percepatan aliran air [m/s2] : koefisien seret [-] : Koefisien inersia [-]

Umumnya koefisien hambatan hidraulik dalam bentuk koefisien seret CD, koefisien inersia CM dan kekasaran Manning 'n' diturunkan dari percobaan laboratorium menggunakan model pohon dengan bahan dan metoda yang berbeda-beda. Hasilnya, saat ini kita menemukan berbagi rumus dan nilai dari Cd, CM dan n yang berbeda-beda (Gambar 3). Dalam studi kali ini, metodologi pendekatan yang diterapkan oleh Yanagisawa et al., (2009) dan Husrin, (2013) untuk mendapatkan nilai kekasaran permukaan dan koefisien seret dari hutan akan diterapkan. Formula yang sudah diterapkan oleh Yangisawa dkk (2009) cukup praktis untuk dapat diterapkan pada pemodelan numerik menggunakan Nonlinear Shallow Water Equation (NLSWE) model. Sementara itu, pemilihan hambatan hidraulik berdasarkan metoda yang dipakai oleh Husrin (2013) memberikan panduan praktis dalam estimasi nilai CD berdasarkan estimasi ketinggian tsunami dan geometri dari pohon pantai. Persamaan nilai koefisien kekasaran Manning sebagai fungsi dari koefisien seret (CD) berdasarkan Yanagisawa et al., (2009) adalah sbb: ne

Hr4/3 (CD Af ) nb2 2 gV

(2)

Dimana: CD : Koefisien seret [-] g : percepatan gravitasi [m/s2] Af : luas bidang depan dari pohon yang terendam [m2] nb : kekasaran Manning roughness untuk permukaan dasar [s/m1/3] V : volume kontrol sebagai fungsi dari kedalaman air [m3] Hr : kedalaman air keseluruhan (h+η) [m]

138

Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Sain dan Teknologi Pada Pengurangan Resiko Bencana Banda Aceh, 22 November 2014

Contoh Kasus Pangandaran 2006 (Realitas Lapangan dan Tantangan ke Depan) Gempa yang terjadi di selatan Pangandaran pada tanggal 17 Juli 2006 telah membangkitkan tsunami yang melanda sebagian pesisir Selatan Jawa Barat dan Jawa Tengah. Gempa tersebut terjadi pada pukul 15:19:73 WIB, dan 20 menit kemudian gelombang tsunami melanda sebagian pesisir selatan Jawa Barat dan Jawa Tengah, kerusakan paling parah terjadi di pesisir Pangandaran. Ketinggian tsunami di pantai bervariasi dari 1 – 3,5 meter dan rambahan 75 – 500 meter (Badan Geologi, 2014). Akibat tsunami tersebut dilaporkan telah menelan korban jiwa sekitar 668 jiwa, 65 orang hilang, dan 9.299 jiwa dirawat karena bencana tersebut (Lavigne et al., 2006). Pasca kejadian tsunami, tim survey baik itu dari komunitas nasional dan internasional berdatangan ke Pangandaran dan sekitarnya. Tim survey pasca tsunami dari BMKG menyatakan bahwa tsunami sama sekali tidak diperkirakan akan datang oleh sebagian besar masyarakat pesisir karena gempa yang relatif terasa kecil. Suara ledakan dari arah lautan terdengar jelas beberapa saat sebelum tsunami tiba yang diikuti oleh surutnya muka air laut 50 – 100 m. Survey yang dilakukan oleh Tim BMKG dari Pameumpeuk Garut hingga Yogyakarta mencatat ketinggian maksimun hingga 6,96 m di Pantai Suwu (Kebumen) di mana gelombang tsunami menerjang pesisir tiga kali. Gelombang yang kedua merupakan gelombang yang paling tinggi dan merusak (BMKG, 2006). Dari sekian banyak paparan karakteristik tsunami di Pangandaran, gambaran yang diberikan oleh Lavigne et al., (2007) memberikan data dan informasi yang lebih lengkap dan mencakup wilayah yang lebih luas dibanding sumber-sumber lainnya (Gambar 6). Selain mengkompilasi beberapa hasil survey sebelumnya, Lavigne et al., (2007) juga memaparkan karakteristik fisik tsunami dan waktu kedatangannya dengan sangat rinci berdasarkan temuan di lapangan, wawancara dan rekaman video dari PLTU di Cilacap. Pangandaran mengalami ketinggian tsunami hingga 8 m sementara ketinggian maksimum terukur mencapai 15,7 m di Pulau Nusa Kambangan. Disebutkan pula bahwa Pantai Timur Pangandaran mengalami sedikit kerusakan yang diakibatkan oleh padatnya bangunan di sepanjang pantai barat yang mereduksi sebagian besar gelombang tsunami yang datang dari arah barat menuju timur. Berbeda dengan temuan Hawkes et al.,(2006) yang melaporkan waktu kedatangan tsunami sekitar 20 menit setelah kejadian gempa, Lavigne et al., (2007) menyimpulkan bahwa gelombang tsunami yang pertama tiba di Pangandaran sekitar 1 jam setelah kejadian gempa (jam 16.20 WIB, gempa terjadi pada jam 15.19 WIB). Hal ini, diperkuat dengan data-data lapangan seperti jam dinding yang berhenti karena terendam tsunami, foto-foto dari saksi mata dan rekaman video PLTU Cilacap. Kejadian tsunami pangandaran 2006 juga melahirkan anggapan tentang peran dari hutan pantai dalam meredam dampak tsunami. Hutan pantai di sepanjang pesisir Pangandaran telah lama mengalami kerusakan akibat pembukaan lahan untuk berbagai kepentingan ekonomi. Beberapa publikasi seperti dilaporkan oleh Latief dan Hadi (2006) masih mempertanyakan apakah hutan antai benar – benar mampu meredam dampak tsunami mengingat berbagai kajian dengan hanya membandingkan kondisi dengan dan tanpa keberadaan hutan pantai dikaitkan dengan tingkat kerusakan belum cukup untuk menarik kesimpulan tersebut. Sistem hutan pantai berlapis yang menitikberatkan pada pengaturan jenis tanaman di mana tanaman kecil berada di depan dan tanaman lebih besar ditempatkan di belakang diharapkan mampu memberikan redaman tsunami yang lebih baik (Mile, 2007). Pada sistem ini, aspek estetika juga diterapkan untuk lokasi wisata dan non-wisata, di mana untuk lokasi wisata, beberapa spesies dengan nilai estetika lebih baik banyak ditanam. Kondisi saat ini atau enam tahun setelah penanaman, hutan pantai Pangandaran didominasi pohon dengan usia muda dengan jenis Ketapang, Waru laut, Kelapa, dan Pandan laut sangat mendominasi (Gambar 7). Namun, pola tanam yang direncanakan pada tahun 2007 139

Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Sain dan Teknologi Pada Pengurangan Resiko Bencana Banda Aceh, 22 November 2014

tidak terlihat di lapangan karena tingginya aktifitas manusia di daerah tersebut dan tingginya kematian pohon – pohon pasca penanaman. Simulasi numerik menggunakan model tsunami Nonlinear Shallow Water Equation Model (NLSWE) untuk melihat efektifitas dari hutan pantai serta parameter – parameter lingkungan lainnya telah dilakukan dengan merekonstruksi kejadian tsunami tahun 2006 dan dengan mempertimbangkan kondisi pantai dengan dan tanpa kehadiran hutan pantai. Nilai kekasaran dari hutan pantai diambil dari persamaan 2 di mana data lapangan hasil survey tahun 2013 menjadi acuan dalam penentuan koefisien seret (CD) dan parameter – parameter lainnya (Husrin et al., 2013). Analisis numerik memperlihatkan bahwa peran batimetri dan topografi jauh lebih penting dibanding hutan pantai. Kontribusi dari hutan pantai terhadap atenuasi total tsunami kurang dari 5 %, sementara peran dari topografi serta orientasi dari garis pantai mencapai lebih dari 90%. Hal ini terjadi karena karakteristik hutan pantai yang tidak terlalu rapat (jarak tanaman sekitar 4 m x 4 m) dan lebarnya hanya sekitar 100 m (Husrin et al.,2013).

Gambar 6. Tinggi tsunami di Pesisir Selatan Jawa. Tsunami mencapai ketinggian 15,7 m di Pulau Nusa Kambangan (Lavigne et al., 2007) Hasil yang didapat dari lapangan dan simulasi numerik di Pangandaran sesuai dengan data – data lapangan sebelumnya sebagaimana terangkum dalam Gambar 8. Dari Gambar 8 terlihat bahwa tsunami dengan ketinggian pada atau melebihi tajuk pohon (canopy) akan cenderung merusak hutan pantai. Atau dengan kata lain, efektifitas hutan pantai dalam meredam tsunami dengan ketinggian mencapai tajuk atau lebih tidak dapat diandalkan. Namun, untuk tsunami dengan ketinggian di bawah tajuk pohon, kemungkinan hutan pantai dalam meredam tsunami mungkin terjadi dengan mempertimbangkan aspek jenis pohon, kerapatan serta keutuhan strukturalnya. Lebih rinci lagi, untuk tsunami kecil tersebut, peran topografi terlihat lebih signifikan dalam mereduksi gelombang tsunami dibanding hutan pantai. Walaupun, peran hutan pantai tidak terlalu besar, peran lingkungan hutan pantai (topografi) yang merupakan satu kesatuan tidak bisa dikesampingkan. Hutan mangrove merupakan salah satu habitat penting yang berperan banyak dalam hal meredam gelombang tsunami karena hutan mangrove terletak di daerah yang sudah terlindung baik itu oleh batimetri yang dangkal maupun wilayahnya yang terisolasi dari gelombang 140

Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Sain dan Teknologi Pada Pengurangan Resiko Bencana Banda Aceh, 22 November 2014

ekstrim. Oleh karena itu, kebijakan untuk penanaman hutan pantai untuk mitigasi tsunami sebaiknya memperhatikan aspek jenis vegetasi hutan pantai, pemanfaatan/kesesuaian lahan, topografi, batimetri dan orientasi garis pantai yang berperan cukup penting dalam efektifitas hutan pantai dan lingkungannya dalam meredam tsunami. Penggunaan hutan pantai sebagai sistem pelindung pelapis (bukan sistem mitigasi utama) seperti yang dicontohkan di Jepang mungkin bisa dijadikan sebagai acuan. Peninggian topografi hutan pantai akan memberikan efek tambahan dalam mereduksi tsunami. Namun demikian, dari sekian banyak usaha yang telah dilakukan tantangan terbesar pada upaya mitigasi dengan hutan pantai adalah perawatan dan budaya sosial dari masyarakat untuk menjaga lingkunganya. Pendidikan atau informasi kepada masyarakat bahwa hutan pantai tidak dapat menjamin reduksi tsunami perlu sosialisasikan. a) Tourism area The design in 2007 (Mile, 2007) Real condition in 2013

b) Non-tourism area The design in 2007 (Mile, 2007) Real condition in 2013

Gambar 7. Skema kondisi hutan pantai di Pangandaran berdasarkan perencanaan tahun 2007 dan kondisi di lapangan tahun 2013 (Husrin et al., 2013)

0 % (4) > 10 m

0.0 % (2) 0.0 % (1)

0% (7)

canopy, forest density, no reduction, tsunami is too strong

20% (6)

< 10 m

View more...

Comments

Copyright � 2017 NANOPDF Inc.
SUPPORT NANOPDF