Status terumbu karang di negara-negara yang terkena Tsunami

January 8, 2018 | Author: Anonymous | Category: Ilmu, Ilmu kebumian, Seismologi
Share Embed Donate


Short Description

Download Status terumbu karang di negara-negara yang terkena Tsunami...

Description

Dedikasi Buku ini dipersembahkan bagi mereka yang terkena dampak gempa dan tsunami yang terjadi pada tanggal 26 Desember 2004. Bagi mereka, hidup telah berubah untuk selamanya, dan mereka pantas mendapatkan segala bentuk bantuan dan kasih sayang yang dapat diberikan oleh masyarakat dunia agar dapat pulih kembali. Buku ini juga dipersembahkan untuk The International Coral Reef Initiative dan semua rekan kerjanya, salah satunya pemerintah Amerika Serikat, yang bekerja melalui US Coral Reef Task Force. Kami juga ingin berterima kasih untuk dukungan terhadap GCRMN yang diberikan oleh US Department of State dan US National Oceanographic and Atmospheric Administration. Catatan: Kesimpulan-kesimpulan dan saran yang diberikan dalam buku ini tidak didukung secara khusus, ataupun mencerminkan, pandangan dari berbagai organisasi yang telah mendukung produksi dari buku ini, baik dukungan pendanaan maupun isi. Penelitian yang dilaporkan dalam buku ini berdasarkan analisa awal dari serangakaian data yang kompleks dan kebenarannya tidak bisa diartikan mutlak untuk beberapa kasus. Institusi atau individu yang tertarik untuk menggunakan data-data dari hasil penelitian AIMS dan segala konsekuensinya dapat menghubungi Kepala Institusi dengan alamat (Townsville) yang diberikan dibawah ini. Sampul Depan: Terumbu karang yang terangkat oleh tsunami; Pulau Simeulue, Sumatra; Craig Shuman, Reef Check Foundation, Los Angeles USA. Sampul Belakang: Tinggi ombak maksimum dari tsunami 26 Desember 2004, berkisar antara 10-2 m yang ditunjukkan oleh warna merah gelap, 1 m ditunjukkan oleh warna hijau/kuning, sampai tak berombak (warna biru): Alessio Piatensi, Istituto Nazionale di Geofisica e Vulcanalogia, Rome, Italy. Peta disediakan oleh Reefbase dan World Fish Center. Kami ingin mengucapkan terima kasih ,khususnya kepada Teoh Shwu Jiau. Gambar yang terdapat pada halaman 30 dalam Bab 1 merupakan cetakan ulang, yang telah diizinkan, dari artikel dalam New Scientist pada 3 September 2005 berjudul ‘Tsunami waves shot along mid-ocean ridges’. Diambil dari www.newscientist.com, Ó New Scientist. Gambar yang terdapat pada halaman 23 dalam Bab 1 merupakan hak cipta Ó dari Commonwealth of Australia, Geoscience Australia. Hak Cipta Dilindungi. Dicetak ulang seizin CEO, Geoscience Australia, Canberra, ACT. Selain bentuk pemanfaatan yang diizinkan dalam Copyright Act 1968, sebagian atau seluruh buku ini tidak dapat dicetak ulang dalam bentuk apapun tanpa izin tertulis dari Geoscience Australia. Permohonan dan pertanyaan mengenai hak dan reproduksi dapat dikirimkan kepada Manager Copyright, Geoscience Australia, GPO Box 378, Canberra ACT 2601, atau melalui email kepada [email protected]. Dua buah gambar yang terdapat pada halaman 51 dan 52 dalam Bab 3 dicetak ulang seizin dari Current Biology, Volume 15, Baird A, Campbell SJ, Anggoro AW, Ardiwijaya RL, et al., Acehnese reefs in the wake of the Asian tsunami, halaman 1926-1930, Hak Cipta 2005, dengan izin dari Elsevier Ltd.

© Australian Institute of Marine Science, 2006 Alamat Kantor: Townsville, Queensland PMB No. 3, Townsville MC Qld 4810 Telepon (07) 4753 4444 Fax (07) 4772 5852 Darwin, Northern Territory PO Box 40197 Casuarina NT 0811 Telepon (08) 8920 9240 Fax (08) 8920 9222 Perth, Western Australia PO Box 83, Fremantle WA 6959 Telepon (08) 9433 4440 Fax (08) 9433 4443 www.aims.gov.au ISSN 1447-6185

Edisi Bahasa Indonesia: Penerjemahan, produksi, dan distribusi di Indonesia didukung oleh GCRMN, Yayasan KEHATI, UNESCO Office Jakarta, Yayasan TERANGI, dan Grey WorldWide Indonesia. Diterjemahkan oleh Ayu Ratri Khairuna Ahza, Wasistini Baitoningsih (UNESCO Office Jakarta, dan Putu Liza Kusuma Mustika (Praktisi Kelautan). Penyuntingan dalam Bahasa Indonesia oleh Safran Yusri (Yayasan TERANGI). Pengkaji untuk Status Terumbu Karang Pasca Tsunami di Indonesia : Stuart Campbell (WCS-IP).

ii

DAFTAR ISI UCAPAN TERIMA KASIH Co-Sponsor dan Pendukung GCRMN: Pendahuluan Ringkasan Eksekutif, Kesimpulan, dan Saran 1. Gempa Bumi, Lempeng Tektonik, dan Tsunami Samudera Hindia 2. Gempa Bumi, Tsunami, dan Tekanan-tekanan Lain terhadap Terumbu Karang dan Sumber Daya Pesisir 3. Status Terumbu Karang di Indonesia Pasca Tsunami Desember 2004 4. Keadaan Terumbu Karang Pasca-Tsunami di Malaysia 5. Keadaan Terumbu Karang dan Ekosistem Pesisir Lainnya di Laut Andaman, Thailand Pasca-Tsunami 6. Keadaan Terumbu Karang di Myanmar: Evaluasi Pasca-Tsunami 7. Dampak Tsunami Tahun 2004 Pada Daratan Utama India Serta Kepulauan Andaman dan Nikobar 8. Keadaan Terumbu Karang di Sri Lanka Setelah Tsunami 9. Status Terumbu Karang di Kepulauan dan Atol Maladewa Pasca-Tsunami 10. Status Terumbu Karang di Seychelles Setelah Tsunami pada Desember 2004 11. Status Terumbu Karang di Afrika Timur dan Arabia Selatan Pasca Tsunami LAMPIRAN 1. ANJURAN BACAAN LAMPIRAN 2. DAFTAR AKRONIM Lembaga Sponsor, Program dan Jaringan Pemantauan Terumbu Karang

v vii 1 7 19 33 45 61 67 83 89 103 115 129 139 147 151 155

Catatan: Hanya sumber data utama dalam setiap bab disebutkan dalam buku ini; sejumlah laporan yang tidak dicetak serta situs internet yang turut membentuk buku ini, tidak disebutkan secara khusus. Informasi utama yang mendasari buku ini dapat diperoleh di lembaga-lembaga yang turut membantu penyusunan buku ini atau dari Bacaan Anjuran (Lampiran I), terutama babbab terbaru dalam CORDIO (2005) dan GCRMN (2004) pada halaman 151. Data dan informasi yang didapatkan dari situs internet untuk buku ini diperoleh dalam kurun waktu Oktober 2005 sampai Februari 2006. Dalam buku ini kata ‘tsunami’ digunakan secara tunggal maupun jamak. Tsunami secara tunggal (dalam artian harfiah sebagai rangkaian gelombang) diartikan sebagai tsunami yang disebabkan oleh gempa bumi hebat pada 26 Desember 2004, yang mengakibatkan pergerakan sepanjang 1.300 kilometer pada garis patahan di sebelah utara Kepulauan Andaman. Kejadian berantai ini telah menyebabkan munculnya serangkaian ‘ombak’, yang kemudian terpantul oleh massa daratan dan paparan benua sehingga menciptakan pola gelombang kompleks yang bertahan sampai beberapa jam. Penggunaan kata ‘tsunami’ secara jamak menjelaskan konsep bahwa kerusakan yang timbul disebabkan oleh sejumlah ombak yang datang dari berbagai arah, dan bukan hanya satu ombak yang besar. iii

UCAPAN TERIMA KASIH Banyak pihak yang membantu dalam pengumpulan informasi untuk buku ini, terutama ke-60 penulis dan kontributor untuk ulasan per negara dan para ahli geologi yang menyederhanakan berbagai istilah ilmu geomorfologi dan pergerakan lempeng tektonis yang kompleks bagi pembaca awam. Ucapan terima kasih khusus ditujukan kepada Phil Cummins, David Garnett, Viacheslav Gusiakov, dan Kenji Satake. Kontribusi-kontribusi dari mereka telah mempermudah penyatuan materi ke dalam format “Laporan Status” (Status Report) GCRMN oleh editor. Pembaca dianjurkan untuk mendapatkan versi asli bahanbahan tersebut dan menghubungi para kontributor untuk keterangan selanjutnya. Tidak semua bahan referensi disertakan; namun bahan referensi utama tercantum dalam setiap bab dan pada Bacaan Anjuran di halaman 147. Kami mohon maaf jika beberapa referensi dan situs internet yang penting tidak disertakan. Laporan ini secara resmi dicatat oleh Karenne Tun dan Marco Nordeloos ke dalam Reefbase, pusat data terumbu karang internasional di The WorldFish Center, www.reefbase.org dan www.gcrmn.org. Kami ingin mengucapkan terima kasih kepada David Garnett, Joanna Ruxton, Madeleine Nowak, dan Robin South untuk kontribusi editorial yang sangat teliti yang telah mereka berikan. Kami pantas mengucapkan banyak terima kasih kepada staf di AIMS, terutama tim Science Communication yang professional dan ramah, Steve Clarke, Wendy Ellery, dan Tim Simmonds- terima kasih. Beberapa bagian laporan ini sedang diterjemahkan ke dalam bahasa Thailand dan untuk itu kami ingin mengucapkan terima kasih kepada Cherdsak Virapat, yang dibantu oleh Thamasak Yeemin, Maitee Duangsawadi, Cherchinda Chotiyaputta, dan Yves Henocque dalam memproduksi edisi tersebut. Rekan kerja GCRMN yang telah membantu dalam laporan ini: Gregor Hodgson, membawa jaringan dan sukarelawan dari Reef Check; Jamie Oliver, Marco Noordeloos, dan Karenne Tun menyediakan basis ReefBase yang memastikan bahwa data GCRMN dapat diakses oleh seluruh dunia; dan Olaf Linden, David Obura, David Souter, dan Jerker Tamerlander mengkoordinir program CORDIO (Coral Reef Degradation in the Indian Ocean) yang telah menghasilkan dan mengorganisir sebagian besar informasi mengenai dampak tsunami terhadap terumbu karang di Samudera Hindia. Para co-sponsor dari program GCRMN telah menyediakan bantuan substansial, nasehat, dan dukungan: The Intergovernmental Oceanographic Commission of UNESCO; United Nations Environment Programme (UNEP); IUCN – The World Conservation Union; World Bank; the Convention on Biological Diversity; AIMS; WorldFish Center; dan ICRI Secretariat, yang diselenggarakan bersama oleh Jepang dan Palau. Pihak–pihak tersebut bertemu secara spontan, bersamaan dengan pertemuan ICRI agar dapat memberikan arahan kepada GCRMN. Carl Gustaf Lundin mengepalai Kelompok Manajemen GCRMN dan Bernard Salvat mengepalai Dewan Penasehat Sains dan Teknis GCRMN. Beliau membantu dalam naskah dan memberikan saran untuk format dan struktur laporan. Kami mengucapkan terima kasih kepada mereka sekalian. Dukungan utama untuk GCRMN didapatkan dari Department of State Amerika Serikat, the National Oceanographic and Atmospheric Administration (NOAA) dan the Australian Institute of Marine Science (AIMS); UNEP di Cambridge dan Nairobi menjadi administrator pendanaan. Tanpa dukungan dari mereka tidak akan pernah ada koordinasi secara global ataupun laporan- terima kasih. Dana untuk mencetak laporan ini berasal dari: Pemerintah Amerika Serikat (Department of State dan NOAA); the Australian Agency for International Development (AusAID); IUCN - The World Conservation Union; the United Nations Environment Programme (UNEP); WWF International; IOC - UNESCO; Kementerian v

Lingkungan Hidup dan Biro Pelestarian Lingkungan Jepang; dan CRC Reef Research Center for the Great Barrier Reef. Melalui bantuan mereka, kami dapat menyediakan buku ini secara gratis kepada masyarakat dunia yang bekerja untuk melestarikan terumbu karang, yang sering kali secara sukarela.

vi

CO-SPONSOR DAN PENDUKUNG GCRMN: Kelompok Manajemen GCRMN IOC-UNESCO –Intergovernmental Oceanographic Commission of UNESCO UNEP – United Nations Environment Programme IUCN – The World Conservation Union (Ketua) The World Bank, Environment Department Convention on Biological Diversity AIMS – Australian Institute of Marine Science WorldFish Center, dan ReefBase Sekretariat ICRI – Pemerintah Jepang dan Palau GCRMN Scientific and Technical Advisory Committee. Rekan Kerja Operasional GCRMN Reef Check Foundation, Los Angeles Reef Base, WorldFish Center, Penang CORDIO – Coral Reef Degradation in the Indian Ocean, Swedia, dan Sri Lanka. World Resources Institute, Washington DC NOAA – Socioeconomic Assessment group, Silver Springs. Pendukung Utama Finansial GCRMN The Government of the USA, melalui the US Department of State dan NOAA – National Oceanographic and Atmospheric Administration AIMS – Australian Institute of Marine Science UNEP – United Nations Environment Programme via rekanan pendanaan USA. Pendukung Finansial buku ‘Status Terumbu Karang di Negara-negara yang Terkena Dampak Tsunami 2005. US Department of State, Washington DC, USA bekerja sama dengan Sekretariat ICRI – Pemerintah Palau dan Jepang NOAA – National Oceanographic and Atmospheric Administration, Silver Springs Maryland USA AusAID - Australian Agency for International Development UNEP – Regional Seas, dan GPA Coordination Office, The Hague, The Netherlands IUCN – the World Conservation Union, Gland Switzerland WWF – Europe IOC-UNESCO - Intergovernmental Oceanographic Commission of UNESCO; CRC Reef - Cooperative Research Centre for the Great Barrier Reef, Townsville Australia Nature Conservation Bureau, Ministry of the Environment, Tokyo, Japan IOI – International Ocean Institute Pihak Pengasuh GCRMN AIMS – Australian Institute of Marine Science ReefBase di WorldFish Centre, Penang CRC Reef Research Centre Ltd IMPAC- International Marine Project Activities Centre Ltd.

vii

PENDAHULUAN Rangkaian gelombang tsunami yang berlangsung pada 26 Desember 2004 terjadi secara mengejutkan dan merupakan hal baru bagi kebanyakan masyarakat yang terkena musibah tersebut di wilayah Samudera Hindia. Kejadian tersebut berlangsung tanpa peringatan pada hari dengan cuaca cerah; sehingga banyak masyarakat setempat dan wisatawan yang berada di pantai berjalan diatas rataan terumbu pada saat air laut menyurut agar dapat mengamati alam yang biasanya tersembunyi. Dalam beberapa menit saja, serangkaian gelombang kuat datang menyapu mereka dan menghempas daratan. Rangkaian tsunami tersebut mengakibatkan lebih dari 250.000 orang meninggal dunia atau hilang serta rusaknya infrastruktur dan sumberdaya pesisir. Dalam buku ini, yang menjadi pusat perhatian kami adalah dampak yang menimpa sumber daya alam pesisir, terutama ekosistem terumbu karang dan yang terkait, serta tanggapan yang dikeluarkan dunia internasional. Namun demikian, kami tidak dapat memungkiri bahwa dampak yang jauh lebih membekas terjadi pada kehidupan masyarakat wilayah setempat dan dunia. Sesungguhnya tsunami bukan merupakan hal baru, karena terdapat sejarah panjang tentang tsunami dan gempa bumi yang pernah terjadi di Samudera Hindia (seperti yang terangkum dalam Bab 1, halaman 19). Sejarah ini tertanam secara mendalam pada cerita rakyat dan budaya masyarakat adat; yang berlari ke daratan tinggi sebelum gelombang-gelombang datang; sayangnya, masyarakat yang menjadi korban jiwa, tidak memiliki pengetahuan megenai dampak gempa bumi dan tsunami. Kejadian tsunami mengejutkan berbagai institusi nasional, internasional, dan juga media, karena tidak pernah terjadi tsunami di negara-negara ini dalam catatan sejarah kurun waktu terakhir. Disamping itu, gempa berlangsung pada hari minggu pagi saat sebagian besar masyarakat dunia sedang memperingati hari raya Natal. Hal tersebut juga mengakibatkan berita-berita awal mengenai tsunami kurang menggambarkan dampak dan seluruh kerusakan yang terjadi, dan tertundanya kebanyakan respon baik nasional maupun internasional. Namun sejalan dengan penyampaian berita mengenai tsunami yang semakin lengkap, respon dari berbagai pihak mulai menguat dan tidak sedikit orang yang kembali dari masa libur mereka untuk membantu dalam usaha-usaha pemulihan. Buku ini telah disusun agar dapat menghimpun dan mensintesa hasil-hasil evaluasi kerusakan terumbu karang yang dilakukan terhadap wilayah yang terkena tsunami untuk para pembuat kebijakan, dan juga untuk menyimpulkan beberapa respon yang terjadi. Paragraf-paragraf berikut ini mengangkat beberapa respon terhadap tsunami yang diberikan oleh lembaga-lembaga dan pemerintahan yang mendukung penulisan laporan ini. Amerika merespon secara cepat terhadap musibah tersebut melalui upaya pemulihan skala besar dan program bantuan kemanusiaan (senilai US$ 237 juta) yang dipimpin oleh U.S. Agency for International Development (USAID) bersamaan dengan angkatan bersenjata Amerika. Selang beberapa minggu setelah musibah terjadi. Sebuah program pemulihan dan rehabilitasi senilai US$ 630 juta telah dirancang dan diimplementasikan di India, Indonesia, Maladewa, Thailand, dan Sri Lanka. Di Thailand, contohnya, USAID Regional Development Mission/Asia mendukung sebuah program bernama Sustainable Coastal Livelihoods (Mata Pencaharian yang Berkelanjutan di daerah Pesisir) yang membantu masyarakat dalam memulai kembali serta menciptakan keragaman sumber penghidupan, seiring dengan usahanya meningkatkan kapasitas lembaga pemerintahan dalam merencanakan dan mengkoordinir upaya rekonstruksi. Program ini mendemonstrasikan peranan penting lingkungan dan alam dalam pencegahan

1

Status Terumbu Karang di Negara-negara yang Terkena Dampak Tsunami 2005

ancaman bencana pesisir di masa depan dan memaksimalkan kesempatan bagi masyarakat miskin untuk mendapatkan penghasilan di sepanjang Laut Andaman. Pembelajaran (lessons learned) yang didapatkan akan dibagi dalam lokakarya regional kepada sesama negara yang terkena dampak tsunami. Disamping itu, Amerika Serikat mendonasikan US$ 17 juta sebagai suatu bentuk dukungan strategis untuk pengembangan sistem peringatan dini multi-bencana bersama IOC-UNESCO dan komunitas donor internasional. USAID memimpin kontribusi ini dan berkolaborasi dengan National Atmospheric Administration (NOAA), U.S. Geological Survey, U.S. Forest Service, dan U.S. Trade and Development Authority. Tsunami Samudera Hindia merupakan tragedi luar biasa yang menyebabkan hilangnya nyawa manusia pada wilayah berpenghuni dimana kehidupannya sangat bergantung pada hasil laut. Pemerintah Australia menanggapi dengan cepat terhadap kebutuhan akan bantuan, dengan mengirimkan regu bantuan beserta logistik yang amat dibutuhkan pada daerah bencana agar dapat mendukung upaya penanggulangan darurat dan bantuan kemanusiaan yang dikerahkan lembaga domestik maupun internasional. Lembaga bantuan luar negeri Australia, AusAID, bertugas mengkoordinir upaya tersebut bersama dengan lembaga pemerintah, maupun lembaga swadaya masyarakat (LSM). Untuk membantu pemulihan masyarakat, Australia mengkontribusikan lebih dari US$ 750 juta sebagai dana pembangunan tambahan untuk Indonesia, termasuk US$ 20 juta untuk Aceh; US$ 16 juta kepada Sri Lanka; US$ 12,5 juta kepada Thailand; dan US$ 2,5 juta kepada Kepulauan Maladewa dan Seychelles. Disamping bantuan dana, kehadiran tenaga ahli dari Australia terbukti bermanfaat dalam upaya rehabilitasi. Dengan bekal sebagai pengelola lokasi World Heritage terbesar di dunia, pengetahuan yang dimiliki oleh lembaga seperti Pengelola Taman Nasional Great Barrier Reef membantu dalam mengevaluasi kesehatan dan pemulihan kembali ekosistem laut yang vital bagi kehidupan pesisir. Perekonomian pesisir dan perikanan mulai dibangun kembali, dan wisatawan tertarik untuk menjelajahi keindahan alam wilayah tropis. Hal yang cukup penting, upaya untuk menjalin kerjasama yang erat dengan pihak terkait dalam satu wilayah terus dilakukan Australia agar dapat memperkuat sistem peringatan dini tsunami Pasifik dan mengembangkan sistem peringatan tsunami di Samudera Hindia untuk berjaga-jaga jika terjadi bencana serupa di masa mendatang. Pemerintah Jepang mengirimkan regu investigasi ke negara-negara yang terkena tsunami pada bulan Januari dan Februari 2005 agar dapat mengidentifikasi segala keperluan yang mendesak untuk rekonstruksi dan bantuan kemanusiaan, termasuk dari segi lingkungan. Kementrian Lingkungan Hidup menerbitkan buku ‘GCRMN Status of Coral Reefs in East Asia Seas Region: 2004’ yang memasukkan status per negara secara lengkap di dalamnya, dan menambahkan satu bab mengenai evaluasi cepat pasca-tsunami, bekerjasama dengan WorldFish Center dan para koordinator masing-masing negara GCRMN di wilayah tersebut. Jepang dan Palau sebagai tuan rumah gabungan Sekretariat ICRI, mulai Juli 2005 sampai Juni 2007, telah mencetuskan diskusi mengenai pemeriksaan pasca-tsunami dan juga tindakan pencegahan dan pemulihan bencana mengenai terumbu karang dan ekosistem terkait lainnya dalam forum ICRI. Segera setelah terjadi tsunami, UNDP mengirimkan tenaga ahli ke Indonesia, Sri Lanka, Maladewa, dan Thailand, dan tak lama kemudian ke Seychelles dan Yaman. Dengan sistem pemeriksaan cepat (rapid assessment), aspek-aspek lingkungan penting yang membutuhkan perhatian segera teridentifikasi serta diikuti dengan pengamatan kondisi lanjutan yang lebih detil, telah memandu proses pemulihan. Disamping kegiatan pengamatan kondisi, UNEP menjalin kerjasama erat dengan pemerintah negara-negara yang terkena tsunami agar dimensi lingkungan dari bencana dapat tercakupi melalui bantuan teknis, konsultasi, pengembangan kapasitas (capacity building), pembentukan jaringan, dan menjalankan pilot projects. Pada bulan Februari 2005, UNEP mengorganisir sebuah konferensi di Cairo, Mesir, yang melibatkan para ahli dari negara yang terkena tsunami dan badan-badan pendukung internasional. Konferensi ini 2

Pendahuluan

membuahkan 12 prinsip panduan untuk rehabilitasi dan pengelolaan zona pesisir yang mendukung pengembangan pesisir berkelanjutan (www.gpa.unep.org/tsunami/). Setelah itu, pada tahun 2006, World Conservation Monitoring Center (WCMC) UNEP bekerjasama dengan International Coral Reef Action Network (ICRAN) dan World Conservatin Union (IUCN) menerbitkan ‘In the front line: Shoreline protection and other ecosystem services from mangroves and coral reefs’: sebuah laporan yang mengkaji peranan ekosistem mangrove dan terumbu dalam menyangga dampak dari bencana alam (http://www.unepwcmc.org/resources/PDFs/In_the_front_line.pdf). UNEP menjunjung tinggi upaya dalam memperkuat pengetahuan teknis dan terus bekerjasama dengan rekan-rekan dari berbagai institusi agar dapat mengidentifikasi dan mengembangkan praktik-praktik yang baik dalam pengelolaan zona pesisir untuk mitigasi dampak bencana. Upaya tersebut, dan juga buku ini, akan membantu dalam mengukuhkan pemahaman yang kuat dari aspek lingkungan sebuah bencana, yang dibutuhkan untuk mengeluarkan keputusan dalam pengelolaan lingkungan, pemulihan, dan mitigasi dampak bencana. Lembaga Intergovernmental Oceanographic Commission (IOC) UNESCO memiliki 134 negara anggota dan ikut terlibat dalam hal tsunami dan terumbu karang dunia. Pusat informasi tsunami international (International Tsunami Information Center/ITIC) milik IOC memelihara dan mengembangkan hubungan kerja dengan lembaga penelitian dan ilmu pengetahuan, lembaga pertahanan sipil, dan juga dengan khalayak ramai dengan misi agar dapat memitigasi bahaya yang dapat terjadi akibat tsunami dengan memperbaiki kesiapan masyarakat. Berpijak dari pengalamannya dalam mengembangkan sistem peringatan dini tsunami untuk wilayah Samudera Pasifik, IOC kini memimpin dalam upaya pengembangan sistemsistem peringatan tsunami international bagi ke-28 negara yang tergabung dalam Intergovernmental Coordination Group untuk Samudera Hindia (ICG/IOTWS), juga untuk laut di Karibia dan sekitarnya, Laut Atlantik bagian timur laut, Laut Mediterania dan sekitarnya. Di tahun 2005, IOC telah membuat penilaian kapasitas per negara untuk membangun sistem peringatan dini dan persyaratan yang belum dipenuhi bagi wilayah Samudera Hindia, serta sedang membuat rancangan rencana implementasi berdasarkan temuan tesebut. Sementara itu, Pusat Peringatan Tsunami Pasifik di Honolulu, Hawaii dari NOAA menyediakan data untuk cakupan Samudera Hindia sampai akhir tahun 2007. Buku ini diluncurkan dalam pertemuan IOC/WESTPAC di Phuket, Thailand, pada Februari 2006 untuk mengumpulkan perhatian terhadap pentingnya sistem peringatan dini tsunami tingkat dunia, yang menjadi salah satu tugas utama dari IOC. Lembaga Dunia Pemantau Bumi dan Mitigasi Ancaman Gempa Bumi (The World Agency of Planetary Monitoring and Earthquake Risk Reduction) langsung meluncurkan penelitian untuk memprakirakan tinggi gelombang tsunami di seluruh dunia, disamping perhitungan waktu tempuh yang telah dihitung pada saat tsunami berlangsung. Penelitian yang diselenggarakan atas kerjasama dengan Akademi Ilmu Pengetahuan Rusia (Russian Academy of Sciences) tersebut dilakukan untuk mendata tingkat kerusakan di wilayah Samudera Hindia dan mendukung pengembangan sistem peringatan dini yang tepat guna. Model-model yang didapatkan digunakan untuk memperkirakan dampak tsunami di masa yang akan datang. IUCN, atau Persatuan Konservasi Dunia, menanggapi bencana tsunami dengan kegiatan jangka pendek dan jangka panjang. Sebagai tanggapan langsung, IUCN berkolaborasi dengan organisasi-organisasi internasional dalam pendistribusian bantuan, dan mendirikan program-program pembersihan terumbu dan pantai pasca-tsunami. Anggota IUCN dan rekan kerja institusional dalam wilayah tersebut, bersama dengan program CORDIO (Coral Reef Degradation in the Indian Ocean) yang didanai Swedia, memberikan informasi dan data pengamatan aktual tentang kerusakan lingkungan daratan dan ekosistem pesisir serta lautan, begitu juga informasi mengenai dampak tsunami terhadap ekonomi dan kehidupan masyarakat lokal di wilayah Samudera Hindia. Sebagai suatu bentuk dukungan, IUCN mendirikan kantong dana 3

Status Terumbu Karang di Negara-negara yang Terkena Dampak Tsunami 2005

pemulihan, dan secara cepat mengirimkan regu-regu untuk melakukan pengamatan kondisi bawah air ke negara-negara yang terkena tsunami. Kini IUCN terus menjalani peranan kunci dalam pemulihan dan restorasi jangka panjang, dengan mendata kerusakan ekologis, dan mengutamakan tindakan dan mengimplementasikan program-program rehabilitasi untuk sumber daya alam dan ekosistem yang terkana dampak di wilayah tersebut. Upaya pengembangan suatu rencana respon strategis menunjukkan komitmen IUCN dalam mendukung proses-proses pasca-tsunami. Cara terbaik untuk membuat suatu perubahan adalah dengan memastikan bahwa pelajaran-pelajaran yang ada telah diserap dan diterapkan dalam proses rehabilitasi dan rekonstruksi agar perkembangan di masa mendatang mengurangi kerentanan terhadap bencana alam. Pelajaran-pelajaran tersebut dapat diterapkan untuk bencana alam lainnya (seperti badai, banjir, gempa bumi) sehingga mengurangi kerusakan dan penderitaan masyarakat. Setelah terjadi tsunami di Samudera Hindia, Jaringan WWF, dengan bantuan dari donor-donor setia, bekerja untuk mendata kerusakan lingkungan, merehabilitasi perlindungan pesisir alami seperti terumbu karang dan mangrove, dan memperkenalkan teknik budidaya udang yang terkini dan ramah lingkungan di Indonesia, yang berpotensi untuk menyebar ke negara-negara lainnya yang terkena dampak tsunami. WWF merespon terhadap tsunami dengan memfasilitasi perkembangan program ‘Green Reconstruction Giudelines’, atau ‘Panduan Rekonstruksi Hijau’, di Indonesia. Berdasarakan panduan ini dan bantuan teknis pada tingkatan nasional, WWF menyediakan pengarahan dalam bidang lingkungan terhadap kantor Utusan Khusus PBB (UN Special Envoy), pemerintahan dan LSM, dan telah mengembangkan kerjasama internasional dengan sektor bantuan bencana, berperan sebagai pembina khusus lingkungan bagi Palang Merah Amerika dan World Vision. Dengan peranan tersebut, WWF telah menjawab kebutuhan pasca-tsunami dan mendukung berdirinya sistem pengelolaan sumber daya alam yang begitu penting terhadap kesehatan ekologis dan kesejahteraan manusia jangka panjang yang saling terkait. Rangkaian tsunami yang telah terjadi memang tidak dapat dihindari, namun kita dapat menyadari bahwa jumlah korban jiwa dan sebagian dari kerusakan bangunan bisa dihindari jika terdapat suatu sistem peringatan dini yang berfungsi seperti yang terdapat di wilayah Pasifik, dan jika telah terdapat perencanaan dan pengelolaan zona pesisir yang lebih baik. Buku ini menyoroti dampak yang ditimbulkan gempa bumi dan tsunami terhadap terumbu karang di Samudera Hindia dan ekosistem lainnya seperti hutan mangrove dan hamparan lamun. Tak lama setelah berita mengenai tsunami muncul, sejumlah orang yang terlibat dalam GCRMN, ReefBase, ReefCheck, dan CORDIO mulai mendata terumbu dan menginisiasi program-program pembersihan puing-puing sampah. Buku ini diproduksi setelah terdapat permintaan dari International Coral Reef Initiative dan lembaga rekanan agar dapat mengumpulkan datadata kondisi terumbu karang yang terpencar ini menjadi satu volume. ICRI meminta kepada GCRMN, ReefBase di WorldFish Center, Reef Check, dan CORDIO untuk menggabungkan sumber daya mereka agar menghasilkan buku ini sehingga dapat diluncurkan di Phuket pada Februari 2006. Kita pantas memberikan tepuk tangan untuk kerja keras dan dedikasi dari berbagai pihak diatas dalam mengumpulkan rekaman data yang berharga dari tsunami-tsunami 26 Desember 2004. Dari sebuah bencana, datanglah kesempatan untuk membangun kembali kehidupan manusia, harapan, dan masa depan yang lebih baik dengan bekerjasama dengan individu-individu di seluruh wilayah Samudera Hindia.

4

Pendahuluan

Kami mempersembahkan buku ini untuk Anda.

Teresa Gambaro, Sekretaris Parlemen untuk Menteri Luar Negeri, Australia

Veerle Vanderwerd, Kepala, Regional Seas, Coral Reefs & Small Island Developing States Programmes, UN Environment Programme

Carl Gustaf Lundin, Kepala, Global Marine Programme, IUCN- The World Conservation Union & Chair, GCRMN Management Group

Chris Hails, Direktur Program, WWF International

Patricio Bernal, Sekretaris Eksekutif, Intergovernmental Oceanographic Commission of UNESCO

Munehiro Abe & Youlsau Bells Jepang- Palau, Ketua bersama, International Coral Reef Initiative Joint Secretariat.

5

RINGKASAN EKSEKUTIF, KESIMPULAN, DAN SARAN CLIVE WILKINSON, DAVID SOUTER, DAN JEREMY GOLDBERG

ABSTRAK Penemuan-penemuan utama dari ke-60 penulis dan kontributor untuk buku “Status Terumbu Karang di Negara-negara yang Terkena Tsunami: 2005” sebagai berikut: Pada 26 Desember 2004, sebuah gempa bumi besar di lepas Sumatra dan serangkaian gempa berikutnya di Kepulauan Andaman dan Nikobar mengakibatkan gelombang-gelombang tsunami yang terjadi secara simultan dan menyebar ke berbagai penjuru Samudera Hindia; Gelombang-gelombang tsunami tersebut datang dengan kekuatan yang dahsyat melewati terumbu karang dan menghantam daratan, yang mengakibatkan korban jiwa dan kerusakan yang amat banyak; Kerusakan pada terumbu karang di Samudera Hindia tidak merata, bergantung pada lokasinya dan kondisi lingkungan setempat seperti bathimetri pesisir dan kerusakan pada daratan dan; Sebagian besar kerusakan yang terjadi pada terumbu karang merupakan akibat dari terlemparnya sedimen dan patahan karang oleh ombak, dan penyelimutan dari puing-puing yang tersapu dari daratan; Kerusakan terumbu karang yang paling tinggi terjadi di Indonesia, Thailand, Kepulauan Andaman dan Nikobar, dan Sri Lanka, sementara kerusakan paling ringan terjadi di negara-negara yang terletak lebih jauh dari sumber tsunami karena energi dari gelombang telah redam; Namun demikian, sebagian besar terumbu karang pada wilayah ini luput dari kerusakan parah dan akan pulih secara alami dalam kurun waktu 5-10 tahun jika pengelolaan yang tepat guna diimplementasikan agar mengurangi kerusakan antropologis; Sejumlah kecil terumbu karang mengalami kerusakan parah dan mungkin membutuhkan waktu lebih dari 20 tahun agar dapat pulih kembali; dan mungkin yang tumbuh tidak seperti bentuk semula; Ancaman utama terhadap terumbu karang Samudera Hindia sampai saat ini masih berasal dari kegiatan manusia, seperti penangkapan berlebih, penebangan hutan, dan perubahan iklim. Hal-hal tersebut jauh lebih merusak terumbu karang daripada tsunami; Setelah tsunami terjadi, masyarakat setempat melakukan pembersihan pantai secara terorganisir dan kegiatan pembersihan lainnya, agar dapat memperkecil kerusakan pada terumbu karang dari puing-puing; Terumbu karang telah berhasil menyerap energi dari tsunami, sehingga daratandibelakangnya kemungkinan terlindungi, namun demikian, mangrove dan vegetasi pantai menyediakan perlindungan terbesar bagi infrastruktur daratan dan kemungkinan mengurangi korban jiwa di wilayahwilayah ini; 7

Status Terumbu Karang di Negara-negara yang Terkena Dampak Tsunami 2005

Kerusakan hutan mangrove berkisar dari kerusakan ringan, dibanyak tempat, hingga kerusakan hutan menyeluruh di tempat lain, seperti di Propinsi Aceh; Padang lamun secara umum tidak terpengaruh, namun terdapat beberapa wilayah yang terangkat atau terselimuti oleh sedimen; dan Saran utama yang diajukan adalah: pendirian sistem peringatan dini; peningkatan kapasitas dalam pengelolaan pesisir terpadu; memperbaiki pengelolaan perikanan dan pemantauan terumbu karang; penetapan lebih banyak kawasan perlindungan; perbaikan dan rehabilitasi kerusakan akibat tsunami secara seksama; dan pengembangan kebijakan kelautan yang lebih kokoh.

SUMBER LAPORAN Laporan dampak tsunami 26 Desember 2004 terhadap terumbu karang Samudera Hindia ini mengumpulkan dan meringkas berbagai laporan dan pendataan kerusakan terumbu karang menjadi satu volume dan juga menjadikan temuan-temuannya, terutama saran-saranya, tersedia bagi para pembuat kebijakan dan masyarakat setempat. Tsunami terjadi 16 hari setelah laporan berjudul Status of Coral Reefs of the World: 2004 (Keadaan Terumbu Karang Dunia: 2004) diterbitkan di Washington D.C. Para pihak yang bekerjasama dalam International Coral Reef Inintiative meminta kepada Global Coral Reef Monitoring Network yang bekerjasama dengan Reef Check, ReefBase, dan program CORDIO (Coral Reef Degradation in the Indian Ocean) agar memperbaharui laporan tersebut dengan menitikberatkan pada negara-negara yang terkena tsunami, dan menyusun saran-saran untuk memitigasi bencana yang serupa di masa mendatang. Gempa bumi primer yang terjadi merupakan gempa terbesar dalam kurun waktu 40 tahun terakhir. Gempa bumi ini, yang berkekuatan antara 9,15 sampai 9,3, bersumber sekitar 30 km dibawah kerak bumi, di lepas pantai Sumatra, Indonesia. Gempa ini melepaskan sebuah reaksi berantai dengan patahan sepanjang 1.200 km pada garis lempeng yang menuju arah utara melalui Kepulauan Andaman dan Nikobar sehingga mengakibatkan rangkaian gempa sekunder. Keseluruhan energi yang dilepaskan setara dengan sebuah bom berkekuatan 100-gigaton, 1.500 kali lebih kuat dari bom nuklir yang pernah dledakkan, dan 100 kali lebih kuat dari gempa bumi di San Francisco pada 1906. Gempa-gempa ini mengakibatkan penurunan dan kenaikkan dasaran laut yang amat besar dan memindahkan lebih dari 30 kilometer kubik air laut. Ombak-ombak tsunami yang mengikutinya merupakan yang paling parah dalam sejarah: antara 229.000 sampai 289.000 manusia kehilangan nyawa, dan perkiraan kerusakan infrastruktur wilayah melebihi beberapa trilliun dolar. Dampak bencana ini tidak ada tandingannya dalam era modern ini, dan menyebabkan gangguan perekonomian pada negara-negara di wilayah Samudera Hindia dan gangguan yang parah namun bersifat jangka pendek untuk industri pariwisata, sektor industri primer dan sekunder. Menyusul bencana ini, terdapat kekhawatiran di masyarakat, ilmuwan, pemerintah, dan LSM lokal serta internasional akan dampak tsunami terhadap terumbu karang. Hal ini menjadi sangat penting karena peranan yang dimiliki oleh terumbu karang dalam menyediakan sumber makanan dan pendapatan bagi jutaan orang. Terjadi reaksi yang cukup cepat di kebanyakan negara, yang dibantu oleh lembaga PBB, LSM, dan oleh mitra-mitra ICRI dan GCRMN untuk mendata kerusakan dan juga membersihkan puingpuing dari terumbu, sehingga mencegah kerusakan lebih lanjut. Pendataan-pendataan tersebut tergabung dalam laporan ini. Ringkasan Eksekutif memberikan kajian singkat mengenai: rangkaian peristiwa yang mengakibatkan gempa bumi dan tsunami; bagaimana perbandingan dampak tsunami terhadap faktor tekanan alami dan antropologis lainnya; 8

Ringkasan Eksekutif, Kesimpulan dan Saran

dampak dari tsunami Samudera Hindia pada terumbu karang dan ekosistem lainnya (di bab per negara); dan saran-saran untuk pembuatan kebijakan dan kegiatan rekonstruksi untuk memastikan pemulihan yang berkelanjutan dari ekosistem alamiah.

RANGKAIAN GEMPA BUMI DAN TSUNAMI SAMUDERA HINDIA Tidak terdapat satu pun belahan dunia yang tidak tersentuh akibat rangkaian gempa bumi dan tsunami yang terjadi pada 26 Desember 2004. Asal-usul tsunami ini dapat dilacak sejauh pemisahan benua super Gondwanaland beberapa juta tahun yang lalu. Lempeng tektonik Hindia dan Australia yang sangat besar bergerak ke utara tepatnya dengan kecepatan 6 cm per tahunnya dan menabrak kontinen super Eurasia, sehingga mengakibatkan titik-titik bertekanan dimana lempeng ini bergesekan turun dibawah lempeng Eurasia. Jumlah energi yang luar biasa terakumulasi sepanjang puluhan sampai ratusan tahun, mengakibatkan lempeng tersebut tertekan dan mengalami perubahan bentuk. Energi ini dilepaskan dalam bentuk gempa bumi ketika ikatan friksi terlepas; gempa bumi yang lebih besar dapat merubah bentuk dasar laut secara vertikal dan menimbulkan gelombang tsunami. Sebuah tsunami diartikan sebagai ‘fenomena alam yang terdiri atas serangkaian gelombang yang dipicu ketika massa air dipindahkan dalam waktu singkat dalam jumlah yang sangat besar’. Tsunami termasuk salah satu bencana alam yang sangat mengerikan karena dapat berasal dari kejadian yang letaknya sangat jauh dan terjadi tanpa peringatan. Tsunami memiliki panjang gelombang yang tergolong panjang dan bergerak sangat cepat menempuh jarak yang jauh, sementara energi yang hilang hanya sedikit. Oleh sebab itu, sulit untuk mendeteksi tsunami dari kapal laut atau udara, meski radar satelit dapat mendeteksi perubahan-perubahan kecil dalam ketinggian laut yang menandakan tsunami. Saat tsunami mendekati perairan dangkal, kecepatan gelombang menurun tetapi enerinya hanya berkurang sedikit, sehingga tinggi gelombang meningkat, dan gelombang dapat menerobos jauh ke daratan serta menimbulkan kerusakan infrastruktur dan vegetasi pesisir yang parah. Gempa bumi pada 26 Desember membebaskan tekanan sangat besar yang telah terakumulasi di lepas Sumatera bagian utara, dimana Lempeng Hindia dan Australia terdorong ke atas dan kemudian meluncur ke bawah Lempeng Eurasia.. Episentrum permukaan terletak di dekat Pulau Simeulue yang kini terlihat jelas akibat daratan yang terangkat setinggi 2-3 meter pada bagian utara pulau, sementara bagian selatan pulau tersebut menurun dengan jumlah yang serupa. Tekanan yang terbebaskan saat terjadi gempa bumi primer, mentransfer energi sepanjang garis patahan ke arah timur laut antara lempeng Hindia dan Eurasia, sehingga mengakibatkan serangkaian gempa bumi yang mencapai kekuatan 7,5 melalui Kepulauan Andaman dan Nikobar selama 8 menit berikutnya. Gempa-gempa ini melepaskan tekanan yang terdapat pada sub-lempeng Burma dan mengangkat bagian utara Kepulauan Andaman sebanyak 1-3 m, sementara bagian selatan Kepulauan Nikobar menurun dengan jumlah yang setara. Oleh sebab itu, kerusakan yang diakibatkan pada 26 Desember tidak disebabkan oleh satu rangkaian gempa bumi-tsunami, melainkan karena serangkaian tsunami yang terbentuk ketika bagian-bagian besar sub-lempeng Sumatra dan Burma (dari Lempeng Eurasia) terangkat atau menurun. Tsunami ini kemudian menyebar mengelilingi Sumatra, ke arah timur menuju Thailand dan Malaysia, dan ke arah barat menuju India, Sri Lanka dan kemudian ke arah Samudera Hindia. Pola pembentukan tsunami yang muncul di lokasi-lokasi berbeda yang terjadi sepanjang periode 8 menit, memberikan sedikit penjelasan kenapa gelombang besar menimpa wilayah tertentu, sementara lokasi yang masih berdekatan hanya sedikit mengalami kerusakan. Jika 2 gelombang tsunami datang ke tempat yang sama pada saat yang bersamaan, akan terjadi efek magnifikasi, sehingga ombak yang muncul lebih besar; sementara jika gelombang tersebut 9

Status Terumbu Karang di Negara-negara yang Terkena Dampak Tsunami 2005

tidak searah, akan saling meredam, sehingga mengurangi ukuran dan energi gelombang. Pola ini terlihat sepanjang pesisir Thailand, dimana pada beberapa lokasi seperti Khao Lak terhantam serangkaian ombak setinggi 10 m, sementara lokasi yang terletak di selatan dan utaranya menerima gelombang setinggi 1-3 m dengan kerusakan yang timbul lebih sedikit. Sebuah gempa berkekuatan 8,7 kembali menimpa pada 28 Maret 2005 tepatnya 200 km ke arah tenggara dari gempa sebelumnya, di sepanjang pesisir Sumatra, dekat Pulau Nias. Meskipun gempa ini mengakibatkan korban jiwa yang cukup tinggi dan kerusakan pada daratan, gempa ini tidak menimbulkan tsunami.

DAMPAK TSUNAMI DAN FAKTOR TEKANAN LAINNYA PADA TERUMBU KARANG Gempa bumi pada 26 Desember mengakibatkan kerusakan yang parah namun terpusat pada beberapa terumbu karang, seperti yang terdapat pada sampul laporan ini. Kerusakan terjadi ketika gempa bumi mematahkan terumbu dan memecahkan karang yang rapuh atau menyebabkan terumbu karang terangkat dari laut (Pulau Simeulue, Sumatra dan Kepulauan Andaman). Gelombang-gelombang tsunami yang mengikuti gempa, merusak terumbu karang melalui 3 mekanisme: gerakan ombak yang mencabut, menghantam, dan memindahkan karang dan patahan karang; penyelimutan karang karena meningkatnya pergerakan sedimen; dan kerusakan dan penyelimutan secara mekanis oleh puing-puing dari daratan. Dampak yang ditimbulkan cukup terpusat dimana beberapa lokasi rusak parah, sementara lokasi terumbu karang yang berdekatan hanya sedikit atau tidak rusak sama sekali. Di kebanyakan negara, tsunami melintas langsung diatas terumbu karang, sehingga kemungkinan telah sedikit melindungi daratan di belakangnya. Terdapat beberapa klaim yang mengatakan bahwa terjadi kerusakan lebih tinggi pada daratan yang berada di belakang terumbu yang telah mengalami penambangan, seperti di Sri Lanka, daripada di wilayah-wilayah dengan terumbu karang yang utuh. Namun, perlindungan yang diberikan menjadi kecil di lokasi yang menerima gelombang relatif tinggi. Sebaliknya, mangrove dan tumbuhan pantai lainnya cukup efektif dalam mengurangi dampak merusak ombak di daratan dan juga menahan puing-puing berukuran besar. Tsunami dan gempa bumi merupakan faktor tekanan alami yang merusak terumbu karang dan telah mempengaruhi terumbu karang selama jutaan tahun. Terumbu karang telah berevolusi bersamaan dengan faktor-faktor ini, dan juga gunung berapi, badai tropis, pemasukan air tawar, wabah predator, dan penyakit. Biasanya terumbu akan pulih kembali jika faktor tekanan tersebut tidak terlalu parah, tidak berulang, atau diperparah oleh faktor lainnya. Di semua negara di Samudera Hindia, tsunami telah menyebabkan lebih sedikit kerusakan terhadap terumbu karang dibandingkan pengaruh kumulatif langsung tekanan antropogenik seperti penangkapan berlebih, praktik perikanan yang merusak, pencemaran sedimen dan nutrien, dan pembangunan yang tidak berkelanjutan di lokasi atau dekat lokasi terumbu karang. Disamping itu, kebanyakan terumbu karang ini mengalami kerusakan parah ketika terjadi fenomena perubahan iklim global El Niño tahun 1998, dimana sekitar 90% dari terumbu karang dunia mati karena pemutihan. Tsunami telah meneruskan kerusakan tahun 1998 dengan membunuh karang baru yang telah menetap dan melempar-lempar sejumlah besar patahan karang yang terbentuk setelah karang mati karena pemutihan. Faktor perubahan iklim dunia potensial lainnya, seperti peningkatan kekuatan dan frekuensi badai, serta peningkatan kadar keasaman air laut, menjadi ancaman yang lebih besar terhadap terumbu daripada gangguan alami. Kesimpulan terpenting dari sebagian besar negara yang terkena tsunami adalah bahwa kesadaran akan pentingnya nilai barang dan jasa lingkungan, serta kemampuan pengelolaan untuk mengkonservasi 10

Ringkasan Eksekutif, Kesimpulan dan Saran

terumbu karang dan mangrove dari perusakan antropogenis yang berlanjut, masih kurang. Jika tsunami menimbulkan beberapa dampak yang parah, tekanan antropologis yang terus terjadi sebelum tsunami, seperti perusakan hutan dan praktik perikanan yang buruk, sudah menimbulkan kerusakan lebih parah dari tsunami. Semua negara menyarankan upaya konservasi dan perlindungan yang lebih tinggi terhadap terumbu karang dan sumber daya pesisir lainnya untuk menjamin penyediaan barang dan jasa yang berkelanjutan dan juga meningkatkan ketahanan dan daya pulih sumber daya tersebut terhadap gangguan alami.

KEADAAN TERUMBU KARANG BERDASARKAN NEGARA Indonesia (Bab 3): Gempa bumi primer di lepas pantai Sumatra menimbulkan tsunami dahsyat dengan serangkaian ombak yang tingginya mencapai 30 m, menghantam pesisir yang terdekat dan mengakibatkan kerusakan luar biasa pada kehidupan dan infrastruktur masyarakat Aceh. Perkiraan jumlah kematian berkisar antara 170.000 sampai 220.000. Kerusakan yang paling parah menimpa Propinsi Aceh terjadi di Meulaboh sampai Banda Aceh, Aceh Besar, dan Aceh Jaya. Hampir separuh dari nelayan Aceh meninggal dan sekitar 40.000 rumah lenyap. Sekitar 65-70% dari kapal nelayan hilang, dan bisa dikatakan seluruh wilayah budidaya hancur. Pemerintah Indonesia telah mendata bahwa terdapat kerusakan terhadap 30% dari 97.250 hektar terumbu karang dan kerugian bersih mencapai US$ 332.4 juta, namun demikian, hanya terdapat sedikit informasi dasar mengenai keadaan terumbu karang di Sumatra bagian utara. Terumbu yang terletak berdekatan dengan pusat gempa di Pulau Simeulue terangkat keluar dari air dan mati, sementara terumbu berdekatan yang terletak di laut dalam tidak terpengaruhi. Pada terumbu lainnya terjadi kerusakan fisik yang cukup parah, yang sebagian besar disebabkan oleh puing-puing dan sedimen yang tersapu dari daratan. Kerusakan tsunami menambah kerusakan yang sebelumnya disebabkan oleh kegiatan manusia, seperti praktik penangkapan merusak seperti pengeboman ikan. Di sebagian besar wilayah tersebut, dampak manusia telah melebihi kerusakan yang ditimbulkan akibat tsunami. Diperkirakan 600 hektar padang lamun ikut rusak, bersamaan dengan mangrove yang luas, yang mungkin mencapai 85.000 hektar. Diduga kebanyakan dari terumbu dan padang lamun akan pulih dalam kurun waktu 10 tahun dengan catatan kegiatan manusia ditekan dan mangrove ditanam kembali. Malaysia (Bab 4): Malaysia berhasil luput dari sebagian besar kerusakan akibat tsunami karena terlindungi oleh Sumatra dan hanya menerima ombak-ombak sekunder. Namun terdapat 68 korban jiwa, dan terjadi kerusakan material di bidang perikanan dan di desa-desa yang memberikan dampak terhadap 232 nelayan. Hanya sedikit kerusakan struktural terhadap terumbu karang dan sebagian wilayah tidak menerima dampak. Erosi terjadi di beberapa lokasi tepi terumbu dan lereng terumbu bagian atas, dengan sedikit sedimen yang teraduk dan kerusakan fisik terhadap karang; terumbu yang terletak di perairan dalam tidak mengalami kerusakan. Tsunami telah menggarisbawahi kurangnya sumber informasi keadaan terumbu karang Malaysia. Thailand (Bab 5): Pesisir Laut Andaman terletak berhadapan dengan lokasi gempa sekunder di Kepulauan Andaman dan Nikobar, sehingga mengalami kerusakan yang amat berat akibat rangkaian gelombang tsunami. Angka kematian resmi sebanyak 5.395 korban jiwa dengan 2.932 tercatat hilang. Kerusakan pada terumbu karang sangat beragam. Tepat 13% dari terumbu karang mengalami kerusakan berat, sementara 61% tidak mengalami kerusakan atau hanya sedikit rusak. Kerusakan terumbu disebabkan oleh ombak yang mencabuti, mematahkan atau memindahkan terumbu, dan karena penyelimutan serta abrasi oleh sedimen dan puing-puing yang tersapu dari daratan. Diperkirakan sebagian besar dari terumbu karang akan pulih kembali secara alami atau relatif cepat karena masih terdapat areal-areal besar karang sehat. Sebagian besar puing-puing yang berasal dari daratan telah diangkat, tak lama setelah tsunami

11

Status Terumbu Karang di Negara-negara yang Terkena Dampak Tsunami 2005

berkat upaya dari pemerintahan Thailand. Industri pariwisata cukup terpengaruh oleh tsunami dan terjadi kerusakan yang besar terhadap infrastruktur perikanan. Hanya terdapat sedikit kerusakan terhadap mangrove dan kurang dari 5% padang lamun mengalami kerusakan. Myanmar/Burma (Bab 6): Tsunami menimbulkan sedikit kerusakan terhadap Myanmar, meskipun terdapat 61 korban jiwa. Tidak ada laporan mengenai kerusakan terumbu karang di kepulauan Myeik (Mergui), dengan sebagian besar laporan berasal dari operator selam yang berada di lokasi saat tsunami terjadi. Sebuah ekspedisi oleh Reef Check memastikan bahwa kerusakan terhadap terumbu karang hanya sedikit. India (Bab 7): Terjadi kerusakan yang cukup parah terhadap wilayah pesisir India bagian tenggara, terutama Kepulauan Andaman dan Nikobar. Gempa bumi sekunder yang terjadi di sepanjang kepulauan ini mengakibatkan terangkatnya terumbu-terumbu secara utuh ke atas air laut (di Andaman bagian utara), sementara terumbu yang lainnya terperosok ke bawah sedalam beberapa meter (di Andaman dan Nikobar Selatan). Terumbu karang di daratan utama India secara umum tidak terpengaruh dan tanpa degradasi tinggi; kerusakan bersifat terpusat dan tidak terlalu berpengaruh terhadap karang di sekitarnya. Erosi tinggi terjadi pada daratan dan sejumlah terumbu mengalami kerusakan oleh sedimen dan puingpuing; namun data mengenai ini hanya sedikit. Banyak pantai yang mengalami erosi tinggi sehingga dapat mempengaruhi aktivitas peneluran penyu. Diperkirakan sebagian besar terumbu karang yang mengalami kerusakan akan dapat pulih dalam kurun waktu 5 tahun, dengan asumsi ancamana antropogenik dapat ditekan dengan pengelolaan berkelanjutan dan penegakan hukum. Sri Lanka (Bab 8): Tsunami yang mempengaruhi Sri Lanka berasal baik dari Pulau Sumatra maupun Andaman dan Nikobar. Ombak-ombak ini pertama mengenai pesisir timur laut dekat Trincomalee dan kemudian menggulung pulau tersebut sehingga mencapai pesisir barat daya. Hal ini mengakibatkan korban jiwa yang sangat banyak (31.000) dan kerusakan struktural yang cukup parah. Kerusakan terhadap terumbu karang di Sri Lanka cukup beragam. Terumbu di daerah pesisir timur laut rusak parah, sementara terumbu di pesisir barat laut secara umum tidak tersentuh. Karang mengalami kerusakan pada semua lokasi di terumbu Tangalle, Kudawella, Kapparatota/Weligama, Polhena, Unawatuna, dan Hikkaduwa. Namun demikian, kerusakannya tidak merata dan seringkali menyebabkan perpindahan patahan karang yang berasal dari karang mati akibat pemutihan tahun 1998. Di wilayah lainnya, koloni-koloni bercabang yang masih hidup (sampai 50 cm) terbalik, sementara yang lainnya terselimuti oleh sedimen yang tersuspensi kembali. Terjadi erosi pantai yang cukup parah, namun tidak merata, pada sejumlah pantai yang diperparah oleh tingginya penambangan karang ilegal. Karang yang menghadap laut terbuka menderita kerusakan yang lebih parah dibandingkan terumbu yang terletak di laguna. Kepulauan Maladewa (Bab 9): Tsunami datang dalam bentuk aliran-aliran air kuat yang melintas di atas rataan terumbu yang rendah di Maladewa, yang menyebabkan kerusakan parah pada infrastruktur dan industri pariwisata. Korban jiwa dilaporkan mencapai 82 orang, dengan 26 orang dinyatakan hilang, dan kerugian ekonomi yang mencapai US$ 480 juta; lebih dari 35% PDB nasional. Dampak langsung terhadap terumbu karang terlihat sedikit, namun informasi dasar mengenai keadaan ekosistem dan keanekaragaman hayati sebelum bencana sangatlah kurang. Akibat terbesar dari tsunami adalah peningkatan penambangan karang untuk keperluan rekonstruksi dan penurunan dalam pendapatan pariwisata. Seychelles (Bab 10): Tsunami telah kehilangan sebagian besar energinya ketika mencapai Seychelles; korban jiwa sebanyak 3 orang dan perkiraan kerugian ekonomi mencapai US$ 30 juta dalam bentuk kerusakan rumah, pantai, vegetasi pantai, jalanan, dan jembatan. Hujan deras yang turun menyusul terjadinya tsunami memperparah kerusakan dan mengakibatkan banjir yang meluas pada daratan rendah 12

Ringkasan Eksekutif, Kesimpulan dan Saran

Mahé, Praslin, dan La Digue. Kerusakan tsunami pada sebagian besar terumbu karang Seychelles dapat diabaikan, namun terdapat beberapa lokasi dengan kerusakan yang berarti. Tingkat kerusakan bergantung pada derajat keterbukaan terhadap laut lepas, bentuk bathimetri setempat, dan komposisi geologis serta kondisi terumbu karang. Terumbu karang yang terletak tepat di jalur tsunami, atau yang tumbuh di atas patahan karang mati yang terbentuk akibat pemutihan tahun 1998, mengalami kerusakan. Hanya sedikit kerusakan yang terjadi pada terumbu karbonat padat atau pulau-pulau bergranit. Terumbu di sekitar Mahé sedikit terlindungi dengan adanya beberapa pulau terluar di bagian utara. Afrika Timur dan Yaman (Bab 11): Terdapat dampak yang beragam pada negara di wilayah ini dengan korban jiwa dilaporkan di Somalia (298), Yaman dan Socotra (1), Tanzania (3) dan Kenya (1). Kerusakan terumbu karang di Tanzania dan Kenya hanya sedikit, satu karang besar terbalik di Suaka Laut Nasional Kiunga dan tidak satupun dari 300 koloni, yang ditandai secara terpisah di laguna dangkal Mombasa, mengalami kerusakan. Kerusakan terumbu karang di perairan Somalia diasumsikan tidak jauh berbeda dengan wilayah yang berdekatan, dan hanya terjadi kerusakan ringan di Socotra. Terumbu dan wilayah pesisir Afrika Timur dan pulau-pulaunya luput dari kerusakan karena jarak yang jauh dari sumbernya, perlindungan yang diberikan oleh Seychelles, Cargados Carajas, dan daratan Saya de Malha di perairan Samudera Hindia, dan karena ombak tsunami datang pada saat air laut surut.

HARAPAN UNTUK MASA DEPAN YANG BERKELANJUTAN: KESIMPULAN DAN SARAN Para penulis dan penyumbang data untuk laporan ini telah menyusun permohonan dan saran kepada pemerintahan lokal dan lembaga internasional agar tercipta pengelolaan sumber daya pesisir berdasarkan pembelajaran yang diperoleh setelah tsunami. Sistem Peringatan Dini: Banyak nyawa yang seharusnya bisa selamat pada 26 Desember 2004 jika telah ada sistem peringatan dini pada negara-negara Samudera Hindia seperti yang beroperasi di Samudera Pasifik. Pada saat itu masih cukup waktu untuk mengeluarkan peringatan, namun tidak terdapat mekanisme untuk menyebarluaskan peringatan tersebut ke masyarakat. Disamping itu masyarakat di negara-negara tersebut belum mendapatkan penyuluhan mengenai bahaya tsunami yang dapat menyusul gempa bumi, meski terdapat sejarah panjang gempa bumi yang terjadi di zona subduksi, lepas pantai Sumatra. Terdapat banyak cerita tentang masyarakat yang merasakan gempa bumi kemudian berjalan ke rataan terumbu saat air surut; yang seharusnya menjadi pertanda jelas akan datangnya tsunami. Saran 1: pihak pemerintah dan lembaga-lembaga internasional diberi dukungan dalam pengembangan sistem peringatan dini yang interaktif bagi semua negara di Samudera Hindia yang menerapkan teknologi terbaru dan menyebarkan peringatan melalui jaringan telepon seluler, sistem pengumuman kepada masyarakat, radio dan televisi; Saran 2: pihak pemerintah diberikan dorongan untuk mengembangkan pendataan kerentanan dan pemetaan pesisir agar memastikan bahwa pengembangan hanya terjadi di wilayah yang tepat, dengan wilayah eksklusif yang ditetapkan untuk melindungi masyarakat dan perekonomiannya dari tsunami, badai tropis, dan kerusakan akibat naikknya permukaan laut di masa yang akan datang; Saran 3: bahwa pemerintah dan lembaga internasional mengembangkan program dasar pemantauan dan penelitian pesisir agar dapat mengangkat pemahaman tentang kecenderungan perpindahan sedimen musiman dan jangka panjang serta erosi, juga peran yang dipegang oleh ekosistem dalam menyediakan perlindungan pesisir;

13

Status Terumbu Karang di Negara-negara yang Terkena Dampak Tsunami 2005

Saran 4: bahwa pemerintahan melindungi terumbu karang, bakau, hutan pantai, dan hamparan pasir, dengan memastikan pembuangan sampah padat, limbah minyak, dan pestisida yang tepat. Peningkatan Kapasitas dan Kesadaran: Masyarakat pesisir di Indonesia, Thailand, serta Kepulauan Andaman dan Nikobar yang menyimpan pengetahuan dasar tentang ancaman bahaya tsunami berhasil menyelamatkan diri dari ombak yang mematikan. Mereka mengartikan pertanda bahaya dari gempa bumi dan menyusutnya air laut dan bergerak ke daratan tinggi. Diketahui juga contoh masyarakat terpencil yang telah mempelajari tentang bahaya yang mengancam sehingga memperingati yang lainnya; namun sejumlah besar masyarakat tidak menyadari bahaya yang ada dan akibatnya meninggal. Saran 5: bahwa pemerintah mengembangkan program penyadaran masyarakat dan pendidikan pesisir untuk mempersiapkan dan melibatkan masyarakat dalam kesigapan dan tindak darurat bencana pesisir; Saran 6: bahwa pengetahuan tradisional di dukung kembali dengan mengintegrasikannya dalam kurikulum sekolah, dengan titik berat pada ancaman terhadap sumber daya pesisir dan perlunya pengelolaan yang proaktif; Saran 7: bahwa pemerintahan dan lembaga internasional mengembangkan program pelatihan untuk membangun kapasitas masyarakat setempat dalam pengelolaan ekosistem, termasuk pengelolaan perikanan, pemantauan sosial ekonomi, dan pengembangan sumber pendapatan alternatif. Rehabilitasi Terumbu Karang dan Mangrove: Syukurlah, kerusakan terhadap sumber daya terumbu karang pada kebanyakan negara masih minim dengan kerusakan parah pada beberapa lokasi saja. Sebagian besar terumbu akan pulih secara alami dalam kurun waktu 5 sampai 10 tahun dengan catatan tekanan perusak lainnya dihentikan. Permasalahan yang paling genting adalah pengangkatan puing-puing dan kebanyakan negara telah menjalankan operasi pembersihan darurat. Sama halnya dengan mangrove, kerusakan yang timbul hanya sedikit dan bakau akan kembali menghasilkan anakan dan pulih dengan sendirinya. Namun demikian, kemungkinan terdapat beberapa wilayah yang memerlukan penanaman ulang karena telah ditebang atau rusak berat akibat tsunami. Tawaran terhadap beberapa negara telah diajukan untuk memperbaiki terumbu karang dengan teknologi ‘listrik’ atau penempatan balok beton. Internasional Coral Reef Initiative telah menyarankan agar berhati-hati sebelum tindakan ini dijalankan karena skalanya yang kecil, belum terbuktikan, mahal, dan kemungkinan bersifat merusak dalam jangka waktu panjang. Saran 8: bahwa pemerintah dan lembaga-lembaga internasional meneruskan upaya pembersihan pantai, terumbu karang, dan mangrove dari puing-puing, untuk mencegah kerusakan lebih lanjut dan memfasilitasi pemulihan ekosistem yang lebih cepat. Prosedur-prosedur ini seharusnya diintegrasikan ke dalam pembuangan limbah yang efektif (lihat Saran 4): Saran 9: bahwa pemerintah dan lembaga-lembaga internasional mengurangi tekanan antropologis terhadap terumbu karang, sehingga membantu terbentuknya kondisi yang tepat untuk pemulihan terumbu karang serta berhati-hati dalam memperkenalkan teknologi baru untuk pemulihan terumbu karang yang belum terbukti keberhasilannya dan mahal yang diciptakan untuk memperbaiki terumbu karang. Penanaman kembali pohon mangrove mungkin diperlukan pada beberapa wilayah yang rusak. Rehabilitasi dan Rekonstruksi Pesisir yang Berkelanjutan: Tingkat kerusakan akibat tsunami di negara-negara Samudera Hindia telah melahirkan kebutuhan tindakan rekonstruksi dan penetapan ulang 14

Ringkasan Eksekutif, Kesimpulan dan Saran

kehidupan masyarakat; namun demikian, telah terjadi beberapa contoh yang tidak tepat. Pada beberapa negara, kayu yang digunakan untuk membangun rumah berasal dari hutan terdekat, termasuk beberapa yang sebelumnya dilindungi. Pasir dan bebatuan telah dikumpulkan dari terumbu karang untuk bahan bangunan; meski pun hal ini ilegal. Telah terdapat upaya yang luar biasa dari lembaga donor untuk menyediakan penggantian alat tangkap dan kapal, namun terdapat ancaman bahwa rehabilitasi yang tidak bijak akan menimbulkan hasil yang tidak berkelanjutan di masa yang akan datang, seperti: tanah longsor dari lahan yang sebelumnya hutan dan membanjirnya sedimen ke terumbu; terumbu yang telah ditambang sehingga potensinya dalam melindungi daerah pesisir dari badai berkurang; dan penangkapan ikan berlebih karena penggunaan kapal yang lebih besar dan cepat serta alat tangkap yang lebih efisien sehingga stok ikan anjlok. Saran 10: bahwa bahan rekonstruksi seharusnya diambil dari sumber daya berkelanjutan dan bukan dari wilayah terlindungi atau hutan pada lereng curam; dan pasir serta batuan seharusnya tidak dikeruk atau ditambang dari rataan terumbu karang; dan penggantian alat tangkap seharusnya setara dengan alat tangkap yang telah hilang, dengan pengalihan tenaga penangkap ini ke sumber penghidupan alternatif; Saran 11: bahwa rekonstruksi bangunan seharusnya dilakukan di belakang hutan pantai dan hamparan pasir, dimanapun hal ini dimungkinkan, untuk menciptakan wilayah penyangga yang melindungi dari hempasan badai, tsunami, dan kenaikkan permukaan laut, dan bahwa bangunan yang direkonstruksi memiliki standar tahan terhadap badai. Pengelolaan Pesisir dan Tangkapan Terpadu: Terumbu karang akan pulih jika kegiatan antropologis yang terus berlangsung tidak berlebihan. Namun demikian, struktur komunitas dari terumbu karang yang mengalami kerusakan parah mungkin akan berbeda dari bentuk semula. Pengelolaan yang tepat guna dapat mengurangi tekanan dari kegiatan antropologis, tapi tekanan alam diluar kendali manusia. Oleh karena itu, pengelolaan pesisir dan tangkapan terpadu akan memberikan kondisi yang terbaik untuk pemulihan terumbu karang yang juga akan memberikan terumbu karang kesempatan untuk berkembang dengan daya tahan dan daya pulih melawan tekanan di masa yang akan datang, seperti tsunami Samudera Hindia. Pengelolaan tepat guna juga akan membantu negara-negara ini memastikan terumbu karang mereka dapat terus menyediakan sumber daya dan tangkapan yang berlanjut bagi masyarakat dan perekonomiannya. Saran 12: bahwa pemerintah mengembangkan ikatan kerjasama yang lebih erat dengan pihak pemangku, lembaga pemerintahan dan LSM terkait, dan terutama dengan masyarakat lokal melalui komunikasi yang lebih kuat, pertukaran pembelajaran yang telah diperoleh, bentuk-bentuk pelebaran wewenang kepada pengelola wilayah, penegakan peraturan untuk pengelolaan terpadu, dan pengendalian praktik-praktik merusak; Saran 13: bahwa pemerintah melibatkan masyarakat dalam pembuatan keputusan tentang rehabilitasi pesisir dan kelautan, dan pengembangan kebijakan dan peraturan untuk mengurangi dampak bencana yang serupa di masa yang akan datang; Saran 14: bahwa pemerintah menerapkan pengelolaan pesisir dan tangkapan yang terpadu agar dapat memperkecil kerusakan yang timbul akibat kegiatan dari daratan yang menyebabkan sedimentasi, pencemaran nutrien, dan penangkapan yang berlebih, terutama pada tahap rekonstruksi tinggi; Saran 15: bahwa pemerintah meningkatkan upaya dalam penegakkan serta pemantauan peraturan dan hukum yang bertujuan untuk pemanfaatan sumber daya lingkungan yang berkelanjutan, seperti mengendalikan ekstraksi sumber daya, khususnaya pengeboman ikan dan penambangan karang; 15

Status Terumbu Karang di Negara-negara yang Terkena Dampak Tsunami 2005

Saran 16: bahwa pengembangan pariwisata dikelola untuk menjamin pemanfaatan jangka panjang yang berkelanjutan bagi pemerintahan dan masyarakat melalui penetapan batas daya dukung, penegakkan hukum yang mengatur pencemaran, dan dengan memastikan bahwa masyarakat setempat mendapatkan manfaat dari kegiatan dan sumber pendapatan yang berarti serta mendukung perekonomian. Perikanan dan Rehabilitasi yang Berkelanjutan: Sebelum tsunami, kebanyakan negara melaporkan ekspliotasi sumber daya laut yang melebihi daya dukung dan penerapan praktik-praktik perikanan yang buruk (pengeboman dan racun ikan, penggunaan pukat dan jaring tekan di dekat dasar terumbu karang, dan jaring serta bubu) sehingga stok ikan hampir anjlok di sejumlah wilayah. Dampak merusak dari tsunami telah mengurangi daya dukung perikanan tangkap, menghancurkan kapal dan alat tangkap, dan mempengaruhi kehidupan ribuan orang. Oleh karena itu, kegiatan penyeimbang diperlukan guna menetapkan kembali sumber penghidupan bagi para nelayan, dan pada saat yang bersamaan memperkenalkan praktik perikanan yang baik dan insentif ekonomi untuk mengendalikan praktik buruk sehingga masyarakat mendapatkan manfaat perikanan yang berlanjut. Kebanyakan kapal dan alat tangkap pengganti yang disediakan oleh donor menggunakan teknologi berbeda dan lebih efisien dari yang digunakan sebelumnya, yang juga berarti sebagian masyarakat yang bekerja dalam pembuatan dan perbaikan kapal atau mesin telah kehilangan pekerjaan atau tidak memiliki keterampilan dan peralatan yang cukup untuk menjalankan profesi yang lama.

BANTUAN BAGI KORBAN TSUNAMI YANG SETARA SECARA GENDER? Pada negara-negara berkembang di Samudera Hindia, tsunami pada 26 Desember 2004 sebagian besar memberikan dampak pada masyarakat miskin di pesisir dan patriarki, dimana perempuan biasanya lebih lemah secara ekonomi dan memiliki kedudukan yang lebih rendah menurut budayanya. Dikarenakan peranan wanita dan pria yang berbeda dalam ekonomi perikanan dan dalam rumah tangga, bencana telah mempengaruhi mereka dengan cara yang berbeda, karena kerentanan perempuan terletak pada status sosial, budaya, dan ekonomi. Dalam masyarakat seperti ini, peranan tradisional dari wanita adalah untuk membesarkan dan mengasihi mereka yang tua, muda, maupun terluka. Setelah tsunami menimpa, sebagian besar perempuan yang berhasil selamat dari bencana mendapatkan beban pekerjaan yang lebih tinggi karena jumlah orang yang terluka dan sakit. Disamping itu, perempuan juga menderita luar biasa dengan adanya dampak pada kehidupan pribadi maupun kehidupan umum, karena bencana ini yang ikut mempengaruhi kehidupan ekonomi, politik, dan keluarga. Selain tugas-tugas utama mereka, para istri dan anak perempuan juga harus membantu keluarga dalam mendukung pekerjaan para suami dan ayah. Dalam hal ini, mereka ikut menurunkan hasil tangkapan, membersihkan dan memperbaiki jaring, menjual dan mengolah ikan, serta mengurus hewan ternak, ikan budidaya, dan tanaman di kebun. Dalam hampir semua kasus, pekerjaan wanita yang tanpa bayaran ini sangat membantu mencegah keluarga-keluarga mereka jatuh miskin. Meskipun demikian, rencana tanggapan yang dicanangkan pemerintah untuk daerah yang terkena dampak menitikberatkan pada membangun ulang perikanan, dengan sedikit bantuan yang menjangkau perempuan dalam membangun kembali kehidupan mereka. Untuk mendukung pemulihan ekonomi jangka panjang, baik pria maupun wanita memerlukan bantuan dana dalam membangun kembali pekerjaan. Di saat pekerjaan wanita ini hilang, pemberian bantuan hanya pada nelayan (pria) dapat menjadikan rumah tangga menjadi lebih miskin. Pemberian bantuan kepada wanita akan dapat meningkatkan daya pulihnya dan mengurangi kerentanan mereka terhadap bencana di masa yang akan datang. Membantu wanita menumbuhkan rasa percaya diri akan membantu mereka untuk mengendalikan kehidupannya, dan mengurangi kerentanan mereka pada masa krisis (dari Choo Poh Sze, WorldFish Center, [email protected]).

16

Ringkasan Eksekutif, Kesimpulan dan Saran

Saran 17: bahwa pemerintah memberikan penyuluhan kepada masyarakat mengenai praktik perikanan yang berkelanjutan dan menyediakan insentif ekonomi untuk mengurangi kegiatan yang dilarang atau merusak, dan membantu dalam pengembangan sumber penghidupan alternatif untuk mengurangi tekanan pada terumbu; Saran 18: bahwa lembaga donor diberikan peringatan akan potensi berbahaya dari perkenalan teknologi yang tidak tepat dan kemampuan penangkapan tinggi ke dalam sektor perikanan yang sudah terancam. Lembaga-lembaga ini disarankan untuk mencari pendapat dari pengelola perikanan atau lingkungan yang berpengalaman; Saran 19: bahwa pemerintah mendata informasi stok serta kecenderungan ikan karang dan pelagis yang cukup penting, dalam membantu perikanan yang berkelanjutan, dan mengembangkan atau memperkuat peraturan sehingga memastikan kelestarian, contohnya dengan memperkenalkan skemaskema sertifikasi. Pendataan seperti ini sebaiknya mengikutsertakan identifikasi sumber penghidupan yang dapat diterima secara sosial dan berkelanjutan bagi masyarakat pesisir. Peningkatan Jumlah Daerah Perlindungan Laut dalam Jaringan: Daerah Perlindungan Laut (MPA) dianggap sebagai ‘asuransi ekologis’ melawan gangguan yang parah dan buruk. Mekanisme pelestarian sumber daya pesisir yang paling efektif dan sudah terbukti adalah melalui pengembangan jaringan MPA yang mengikutsertakan wilayah khusus ‘dilarang mengambil’ dan menghubungkan wilayah-wilayah ini agar persediaan larva dikonservasi untuk wilayah hilir. Banyak negara Samudera Hindia telah menetapkan MPA untuk mengkonservasi terumbu karang; namun demikian hanya sedikit yang memiliki rencana pengelolaan efektif dan penegakkan hukum, sehingga sumber daya ini terus menurun. Saran 20: bahwa pemerintah terus mengembangkan dan memperbaiki rancangan dan perundangundangan bagi MPA untuk memastikan perlindungan terumbu karang yang lebih baik dalam jaringan MPA yang berkembang; Saran 21: bahwa pemerintah mengembangkan peraturan lintas sektoral khusus MPA yang ditetapkan oleh departemen yang terlatih dengan sumber daya manusia yang berkualitas, dukungan pendanaan dan logistik; Saran 22: bahwa pemerintah mengikutsertakan pulau dan wilayah pesisir yang berdekatan ke dalam MPA sebagai wilayah penyangga dengan peraturan yang ditegakkan untuk mengurangi kerusakan dari kegiatan ilegal dan merusak serta pencemaran yang berasal dari daratan; Saran 23: pemerintah dihimbau untuk memastikan adanya dukungan terhadap partisipasi masyarakat dalam pengelolaan lingkungan, terutama perencanaan dan pemantauan MPA, dan diberikan wewenang tertentu dalam kepemilikan dan pengendalian sumber daya; Saran 24: bahwa pemerintah dan lembaga-lembaga internasional diminta untuk memperbaiki fasilitas dalam MPA yang sudah ada dengan mengganti penambat kapal dan alat pemantauan, dan memperkuat patroli penegakan hukum untuk mengurangi kegiatan yang merusak. Pemantauan dan Basis Data Terumbu Karang: Negara-negara Samudera Hindia memiliki kemampuan yang terbatas dalam menjalankan pendataan ilmiah yang tepat mengenai kerusakan yang timbul akibat tsunami, karena kurangnya data perbandingan untuk wilayah yang terkena dampak atau data-data tersebut tersebar antar lembaga pemerintah, lembaga penelitian, dan universitas. Oleh karena itu kebanyakan informasi yang terdapat dalam laporan ini berdasarkan pendataan cepat tentang kerusakan atau laporan pribadi dari para operator selam wisata dan penyelam profesional.

17

Status Terumbu Karang di Negara-negara yang Terkena Dampak Tsunami 2005

Saran 25: bahwa pemerintah mengembangkan dan mempertahankan pemantauan ekologis dan sosio-ekonomis terumbu karang, dan bekerjasama dengan universitas dan LSM agar dapat memastikan bahwa semua data yang didapat dikumpulkan ke dalam satu basis data terpusat sehingga dapat membantu dalam konservasi dan pengelolaan terumbu karang, dan untuk mendata potensi pemulihan jangka panjang; Saran 26: bahwa pemerintah mengembangkan ikatan kerjasama antar masyarakat dengan pemerintah yang lebih kuat untuk memperbaiki pemantauan terumbu karang, sistem data, dan pertukaran informasi untuk dapat memastikan kecenderungan kesehatan terumbu karang jangka panjang dan memperbaiki pengelolaan aspek sosial dan ekologis. Pengembangan Penata kelolaan dan Kebijakan Kelautan: Tsunami telah memperingati pemerintahan di wilayah Samudera Hindia tentang betapa penting dan berharganya sumber daya pesisir mereka, terutama terumbu karang dan mangrove. Bahkan tsunami sedikit mendemonstrasikan upaya penegakan peraturan dan pemantauan yang masih lemah dan terpecah antara berbagai departemen dan lembaga pengelola. Sebagian besar negara tidak memiliki kebijakan laut nasional yang sudah berkembang baik untuk mengelola sumber daya pesisir mereka secara berkelanjutan. Banyak pihak yang telah meminta agar kesempatan yang telah didatangkan oleh tsunami dipergunakan untuk memperkuat kebijakan dan hukum nasional, dan melibatkan masyarakat dalam upaya pelestarian dan pengelolaan sumber daya pesisirnya. Saran 27: bahwa pemerintah mengembangkan kebijakan laut nasional agar semua sektor pemerintahan dan masyarkat memiliki tujuan yang sejalan dalam melestarikan sumber daya pesisir dan lautan untuk generasi yang akan datang; Saran 28: bahwa pemerintah mengembangkan hukum yang lebih kuat melalui lembaga pengelola tunggal dan meningkatkan pemantauan, terutama untuk memantau dan mendata keefektifan pengelolaan sumber daya alam; Saran 29: bahwa pemerintah negara-negara Samudera Hindia dan lembaga-lembaga internasional mengembangkan jaringan regional untuk bertukar informasi dan berbagi keahlian untuk memperbaiki kerjasama dan koordinasi regional bagi pelestarian terumbu karang di masa yang akan datang. Para penulis laporan ini menghimbau agar saran-saran ini dipertimbangkan secara matang dan diimplementasikan, sehingga dapat merangkul sepenuhnya kesempatan yang telah didatangkan bencana tsunami 26 Desember 2004, untuk memusatkan perhatian global pada pengelolaan dan pelestarian terumbu karang dan sumber daya lainnya yang sangat diperlukan.

18

1. GEMPA BUMI, LEMPENG TEKTONIK, DAN TSUNAMI SAMUDERA HINDIA CLIVE WILKINSON, DAVID SOUTER, DAN JEREMY GOLDBERG

RINGKASAN Tsunami Samudera Hindia berawal dari gempa bumi skala 9,15 – 9,3 di Sumatra yang melepaskan tekanan yang telah terbentuk selama lebih dari 200 tahun di sepanjang patahan di antara dua buah lempeng tektonik; Sepuluh menit setelah patahan di lepas barat laut Sumatra terbuka, retakan menjalar ke utara sepanjang 1.300 km garis celah menuju Kepulauan Andaman dan Nikobar; Tsunami menimbulkan banyak gelombang karena gempa menyebabkan perpindahan sebagian besar dasaran laut secara mendadak, memindahkan massa air laut secara besar-besaran; Tsunami melintasi laut dalam sehingga susah untuk dideteksi, dapat mencapai kecepatan 600 km/ jam dan tiba di pesisir ribuan kilometer dari sumber gempa sebagai energi yang besar dan gelombang tinggi; Gelombang melambat saat memasuki paparan benua, teluk, pulau, atau estuaria dan meningkat tingginya; sehingga menyebabkan kerusakan parah saat mencapai garis pantai; Tsunami Samudera Hindia bukan satu-satunya tipe di kawasan ini dan lebih banyak lagi akan timbul di masa yang akan datang; dan Analisa resiko bencana alam harus dilakukan dan sistem peringatan dini diimplementasikan untuk menyiapkan masyarakat pesisir terhadap ancaman lingkungan di masa depan.

PENDAHULUAN Gempa bumi 26 Desember 2004 di lepas barat laut Sumatra, Indonesia merupakan peristiwa seismik terbesar di bumi selama lebih dari 40 tahun terakhir. Gempa berasal dari 30 km di bawah dasar laut lepas pantai Sumatra dan memicu retakan pada segmen garis patahan antara Lempeng Hindia dan Eurasia sepanjang 1.300 km dan meluas sampai ke Kepulauan Andaman dan Nikobar. Energi yang dilepaskan setara dengan bom berkekuatan 11 giga ton, 1.500 kali lebih besar dari bom nuklir terbesar yang pernah diledakkan dan 100 kali lebih besar dari energi gempa bumi San Fransisco tahun 1906. Gempa di dasar laut ini memindahkan lebih dari 30 kilometer kubik air laut dan membuat tsunami yang paling menyengsarakan dalam sejarah; lebih dari 230.000 orang mati, dan lebih dari 1 juta orang telah terpindahkan di negara-negara yang terkena dampak tsunami di Asia Tenggara dan Asia Selatan serta Afrika Timur. Tsunami telah menyebabkan kerugian besar ekonomi di negara-negara Samudera Hindia, menyengsarakan industri primer dan sekunder, serta mengacaukan perekonomian pariwisata. Dampak

19

Status Terumbu Karang di Negara-negara yang Terkena Dampak Tsunami 2005

peristiwa ini mendunia; tsunami diamati di seluruh samudera di dunia dan seluruh dunia terus ‘terkait’ dengan keterkejutan gempa bumi tersebut sampai berbulan-bulan. Bab ini memberikan ringkasan singkat tentang asal gempa bumi dan tsunami yang mengikutinya. Detil teknis awal Gempa Bumi Dahsyat Sumatra - Andaman. Skala yang ada termasuk keseluruhan kegiatan 10 menit berikutnya, dimana gempa menuju arah barat laut sampai 1.300 km di utara Kepulauan Andaman (sumber www.earthquake.usgs.gov)

Skala

9,15 – 9,3

Tanggal

26 Desember 2004

Waktu

00:58:53 (UTC) Waktu Koordinat Universal (7:58:53 pagi, waktu lokal di episentrum)

Lokasi

3,307o LU, 95,947o BT

Kedalaman

30 km (18,75 mil)

Kawasan

Lepas pantai barat Sumatra Utara, Indonesia

Jarak terhadap pusat populasi utama

255 km (155 mil) Barat Daya Banda Aceh, Sumatra, Indonesia 310 km (195 mil) Barat Medan, Sumatra, Indonesia 1.260 km (780 mil) Barat Daya Bangkok, Thailand 1.605 km (990 mil) Barat Laut Jakarta, Jawa, Indonesia

APAKAH TSUNAMI ITU? Tsunami berasal dari kata dalam Bahasa Jepang – tsu, artinya pelabuhan dan nami, artinya gelombang – yang sekarang digunakan di seluruh dunia untuk menyebut gelombang laut besar yang terjadi akibat perpindahan permukaan laut secara mendadak. Perpindahan air bisa disebabkan oleh gempa bawah laut, longsor, letusan gunung berapi, atau dampak hantaman meteor yang besar. Saat sejumlah besar lautan terpindahkan secara vertikal, gangguan menyebar luas dalam bentuk tsunami karena laut mencoba untuk kembali pada keseimbangan gravitasinya. Saat skala horisontal gangguan jauh lebih besar dibandingkan kedalaman air, seluruh kolom air dari permukaan sampai ke dasar laut bergerak koheren dalam arah horisontal. Biasanya, tsunami besar akan melintasi laut dalam sebagai gelombang kecil, bahkan sering kurang dari satu meter, tetapi kecepatannya 600 km/ jam atau lebih. Sehingga dapat melewati kapal tanpa diketahui, karena itu para nelayan Jepang menamainya tsunami untuk menggambarkan gelombang yang dapat menghancurkan rumah mereka di darat, tanpa dapat diketahui kedatangannya saat di laut. Saat tsunami mendekati perairan dangkal, gelombang melambat dan ukurannya meningkat secara dramatis, kadang mencapai ketinggian sepuluh meter. Fisika tsunami adalah sama seperti gelombang perairan dangkal, karena memiliki periode yang panjang (waktu antara dua gelombang yang berurutan) dan panjang gelombang yang besar (jarak antara dua gelombang yang berurutan). Namun, mereka sangat berbeda dengan gelombang yang disebabkan oleh angin, yang merupakan gelombang normal di laut. Gelombang yang disebabkan oleh angin hanya mengakibatkan pergerakan air di dekat permukaan laut dengan periode 10 – 20 detik dan panjang gelombang 100 – 200 m pada umumnya. Secara kontras, tsunami melibatkan pergerakan air sampai ke dasar laut (kedalaman 3 – 4 kilometer di laut dalam) dengan periode 10 – 60 menit dan panjang gelombang 100 km atau lebih, berarti mereka melibatkan pergerakan massa air yang jauh lebih besar.

20

Gempa Bumi, Lempeng Tektonik, dan Tsunami Samudera Hindia

Kekuatan merusak timbul saat energi yang terkandung dalam gelombang berkedalaman ribuan meter, terkonsentrasi di perairan dangkal paparan benua dan terutama di estuaria dangkal. Walaupun tsunami cukup besar untuk mempengaruhi keseluruhan cekungan laut, pada kenyataannya sangatlah jarang terjadi satu kali dalam satu generasi; tsunami besar hampir selalu menyebabkan kerusakan karena dapat mengangkat energi ke jarak yang jauh dengan kecepatan tinggi secara efisien. Tsunami adalah salah satu bencana alam yang menakutkan di dunia karena dapat berasal dari jauh, tak terlihat, dan dari sumber yang tak terasakan, sehingga dapat terjadi tanpa ada pertanda jelas. Beberapa tsunami di masa lampau telah menyebabkan kerugian jiwa dan properti. Sehingga, tsunami terkait erat dengan cerita rakyat dan diperkirakan menjadi penyebab utama kehancuran beberapa peradaban, seperti lenyapnya peradaban Minoan yang kemungkinan berhubungan dengan meletusnya Gunung Santorini dan menyebabkan tsunami sekitar tahun 1500 SM. Walaupun Samudera Pasifik memiliki frekuensi tsunami tertinggi diantara seluruh samudera di bumi, tsunami juga menyebabkan kerusakan berarti di Laut Mediterania dan Samudera Hindia serta Atlantik.

TSUNAMI DAN ZONA SUBDUKSI GEMPA Gempa bumi dan tsunami tanggal 26 Desember terjadi di sepanjang fitur khas di lempeng tektonik utama pada permukaan bumi yang disebut sebagai zona subduksi. Zona ini terbentuk akibat permukaan bumi yang terus bergerak, dimana lapisan terluar batuan yang disebut litosfer terbentuk dan terhancurkan. Lapisan terluar ini terdiri dari sejumlah lempengan kaku yang terbentuk di sepanjang jalur pertengahan samudera yang kemudian hancur di zona subduksi, dimana lempeng-lempeng tersebut bertumbukan dan saling tumpuk-menumpuk. Proses tumbukan dan hancurnya bagian lempeng-lempeng ini disebut subduksi, yang kemudian membentuk batasan lempeng baru tempat proses ini terjadi yang disebut zona subduksi. Zona subduksi yang timbul saat gempa 26 Desember 2004, terbentuk akibat pergerakan lempeng Hindia dan Australia ke arah utara, yang terus bergerak sejak patahnya ‘benua-super’ Gondwana sekitar 50 sampai 150 juta tahun yang lalu. Karena lempengan-lempengan ini bergerak dengan kecepatan 6 sampai 7 sentimeter per tahun (serupa dengan pertumbuhan kuku jari), tepian litosfer samudera bergeser menuju ke bagian dalam bumi di bawah Lempeng Eurasia di sepanjang Busur Sunda (Sunda Arc). Busur ini terbentang dari Timor di sisi timurnya, terus ke selatan Indonesia sampai ke Kepulauan Andaman di barat laut. Walaupun pengukuran pergerakan permukaan tanah menunjukkan bahwa lempeng Hindia dan Australia merupakan satu kesatuan yang terpisah, batas diantara keduanya amat samar dan cenderung menyatu, sehingga tidak jelas lempeng mana yang meluncur ke dalam bagian utara Sumatra. Namun demikian, diketahui bahwa lempeng Hindia meluncur ke bawah Kepulauan Andaman dan Nikobar. Struktur tektonik dari lempeng yang menindihnya juga rumit. Tidak hanya blok Sunda (sub-lempengan), dimana Sumatra terletak, terpisah dari lempeng Eurasia di bagian utara, tetapi juga tepi barat daya blok Sunda terpisah dari lempeng Hindia dan Australia oleh lempeng mikro yang sering disebut sebagai Lempeng Mikro Burma atau Potongan Andaman. Terlepas dari segala kerumitan ini, gempa bumi tersebut berasal dari gabungan tekanan 2 buah lempeng (seringkali disalahpahami sebagai ‘Lempeng IndoAustralia’) yang mensubduksi di bawah Sumatra. Zona subduksi umumnya dicirikan oleh intensitas kegiatan geologi. Proses subduksi menarik lempeng yang tersubduksi dan lempeng yang menindihnya ke arah bawah di sepanjang sumbu zona subduksi sehingga menciptakan palung yang dalam. Palung ini merupakan bagian terdalam dari lautan, berkisar mulai kedalaman 4 km pada palung yang dangkal sampai kedalaman 10 km pada Palung Mariana di

21

Status Terumbu Karang di Negara-negara yang Terkena Dampak Tsunami 2005

Eropa tengah

Arabia Afrika India

Amerika Selatan

Australia Antartika

Saat ‘benua super’ Gondwana terpecah belah sekitar 150 juta tahun yang lalu, 2 lempeng tektonik besar Hindia dan Australia terpisah dan bergeser ke arah utara dengan kecepatan yang amat sangat lambat namun konsisten dan kuat. Mereka bergabung dengan benua super Eurasia, sehingga membentuk kondisi gempa bumi 26 Desember

timur Phillipina. Elemen yang rapuh terseret ke bagian dalam bumi yang panas di zona subduksi dan melelehkan material sub-kerak di atas lempeng yang tersubduksi, dan seringkali mengarah pada pembentukan rantai gunung api aktif di lempeng yang menindih secara parallel terhadap sumbu zona subduksi. Krakatau adalah contoh sebuah gunung berapi diantara lebih dari 100 gunung berapi aktif di sepanjang nusantara Indonesia (lihat peta di Bab 2, halaman 38). Gunung-gunung berapi ini merupakan sumber utama tsunami. Sebelum tahun 2004, satu-satunya tsunami di Samudera Hindia yang terdokumentasi adalah saat letusan Krakatau tahun 1883. Tsunami ini menelan 36.000 korban di Indonesia dan menyebabkan kerusakan yang cukup nyata di sepanjang Samudera Hindia, termasuk Seychelles: “Pukul 4:00 sore tanggal 27 Agustus, gelombang pasang tiba-tiba datang menyerbu dengan kecepatan 4 mil per jam, dan mencapai ketinggian sekitar 2,5 kaki di atas pasang tertinggi pada umumnya. Gelombang tertarik kembali setelah seperempat jam, meninggalkan kapal-kapal yang terdampar ke daratan. Gelombang kemudian kembali lagi, dan hal yang sama terjadi lagi, …” (H.W. Estridge, Pengutip Bea Cukai di Mahe, Seychelles, 1993). Tsunami besar lainnya di Laut Arabia, Teluk Bengal, dan di Samudera Hindia antara Jawa dan Australia (lihat Tabel halaman 27), seperti juga tsunami tahun 2004, disebabkan oleh gempa bumi di zona subduksi.

22

Gempa Bumi, Lempeng Tektonik, dan Tsunami Samudera Hindia

Samudera Hindia

Sumatera

a.

Sebelum Gempabumi b.

Gempa Bumi c.

10 menit setelah gempa bumi

Ketiga diagram ini mengilustrasikan runutan peristiwa gempa bumi akibat subduksi. Pada (a) lempeng tektonik di sebelah kiri mencoba untuk subduksi di bawah lempeng sebelah kanan. Namun, karena adanya kekuatan friksional, lempeng menyatu dengan lempeng atasnya selama beberapa waktu yang menyebabkan kedua lempeng terdeformasi, terutama lempeng bagian atas yang membengkok ke arah dua buah panah merah; saat ikatan friksi (garis bergelombang) terputus saat gempa bumi (b), lempeng di sebelah kanan terpental kembali ke posisi aslinya (panah merah kini berlawanan arah), sehingga memindahkan sejumlah besar volume air. Air yang dipindahkan ini kemudian menyebar ke segala arah sebagai tsunami (c).

Zona subduksi adalah sumber dari 90% gempa bumi yang ada di seluruh dunia. Gempa bumi timbul jika terdapat pergerakan yang hampir instan, baik di sepanjang batas pertemuan dua lempeng atau pada lempeng yang tersubduksi, yaitu yang membengkok dan menyusup ke dalam bumi. Di kedalaman kurang dari 30 km, batuannya rapuh sehingga bila ada tekanan ke atas, baik antar lempengan atau pada perbatasan diantaranya, terdapat kemungkinan adanya retakan instan yang menghasilkan gempa bumi. Gempa bumi antar-lempeng adalah hasil dari pergerakan di kedalaman dangkal ini, dimana kontak antar lempeng memperlihatkan friksi stick-slip, yang berarti bahwa friksi menarik lempeng di atasnya menuju ke bawah sehingga menyebabkan tekanan besar terakumulasi di sekitar titik kontak. Gempa bumi timbul saat tekanan melebihi kekuatan friksional, titik penyatuan sementara terputus, dan lempeng sebelah atas meletup ke atas. Interaksi dangkal di sepanjang lempeng zona kontak ini dinamakan sesar sungkup (thrust fault), istilah geologi untuk kontak antara dua buah massa batuan yang saling mendorong. Zona subduksi sesar sungkup ini jauh lebih besar dari sesar sungkup pada umumnya dan disebut sebagai ‘mega sungkup’ (megathrust). Gempa bumi besar yang timbul saat terpisahnya batasan antar lempeng zona subduksi disebut sebagai ‘gempa bumi mega sungkup’ (megathrust earthquakes). Karena mega sungkup yang terus-menerus dapat meluas sampai ribuan kilometer di sepanjang sumbu zona subduksi, sesar ini menghasilkan gempa bumi terbesar. Dari 12 gempa bumi terbesar sejak tahun 1900, 11 diantaranya merupakan gempa bumi mega sungkup. Sebagian besar zona mega sungkup terdapat di palung laut yang dalam, sehingga pantulan vertikal dari lempeng yang menindih pada titik retakan sesar memindahkan sejumlah besar volume air, sehingga menyebabkan tsunami. Mega sungkup dan (pada beberapa kasus perkecualian) gempa bumi dasar laut lainnya, 75% menghasilkan tsunami. 23

Status Terumbu Karang di Negara-negara yang Terkena Dampak Tsunami 2005

KARANG SEBAGAI PENCATAT GEMPA BUMI ZONA SUBDUKSI Kerusakan pada terumbu karang akibat tsunami tahun 2004 dan fungsi terumbu sebagai pelindung pesisir didiskusikan di beberapa bab berikut. Bagaimanapun juga, karang sangat berharga dalam mencatat jumlah dasaran yang terangkat dan yang menyusup sehubungan dengan zona subduksi gempa bumi. Charles Darwin memperhatikan bahwa karang merekam pergerakan vertikal, dari fakta bahwa terumbu penghalang terbentuk pada pesisir yang menyusup, sedangkan teras/paparan laut terbentuk dari pesisir yang terangkat. Waktu terbentuknya paparan laut sebagai hasil dari pengangkatan saat gempa bumi, seringkali menyediakan info berharga tentang ukuran dan frekuensi gempa bumi besar zona subduksi. Info ini sangat penting khususnya di Samudera Hindia, dimana waktu pemunculan kembali gempa bumi zona subduksi cukup panjang bila dibandingkan dengan rekaman sejarah. Koloni karang tunggal juga dapat digunakan untuk mengukur pergerakan vertikal. ‘Atol mikro’ Porites, koloni besar yang tumbuh di perairan dangkal, dapat digunakan untuk mengukur pengangkatan dan penyusupan sampai ke skala sentimeter. Teknik ini telah disempurnakan selama 20 tahun terakhir, sehingga dimungkinkan untuk memperkirakan pengangkatan dan penyusupan yang terjadi dengan tibatiba yang berhubungan dengan gempa bumi, dan juga pergerakan lambat vertikal yang timbul akibat akumulasi kehancuran di lapisan kerak sebelum terjadinya gempa bumi. Ilmuwan menggunakan teknik ini untuk memperkirakan penyusupan yang terjadi sebelum gempa bumi Sumatra, dan mereka sangat waspada terhadap hasil pengukuran akumulasi kehancuran (sebagaimana pula ukuran gempa bumi di masa lampau yang terekam pada struktur pertumbuhan karang), sehingga mereka segera menyebarkan pamflet kepada masyarakat pesisir Sumatra untuk mewaspadai ancaman yang ada. Studi tersebut juga memperkirakan bahwa nilai kehancuran yang tinggi, terakumulasi sampai ke tenggara dimana terjadi gempa Simeulue tahun 2004 dan Nias tahun 2005, dekat dengan lokasi gempa dahsyat tahun 1883; gempa besar lain yang diperkirakan akan terjadi. Sejak gempa Sumatra tahun 2004 dan 2005, studi karang telah menyediakan data berharga tentang pergerakan vertikal yang timbul sebelum dan sesudah gempa.

GEMPA DAHSYAT SUMATRA-ANDAMAN

PADA 26 DESEMBER 2004 Gempa dahsyat ini memisahkan 1.300 km segmen mega sungkup Busur Sunda yang membentang dari Sumatra (kira-kira 3oLU) sampai Kepulauan Andaman (kira-kira 14oLU). Gempa dimulai di lepas barat laut Sumatra di dekat Pulau Simeulue pukul 7:59 pagi, saat pemisahan awal timbul jauh di dalam kerak bumi. Pergerakan sesar sampai pada titik maksimumnya di 15-20 meter dekat pucuk utara Sumatra saat pemisahan menjalar ke arah utara di sepanjang tepi lempeng pada kecepatan 2,4 kilometer per detik (8.640 kilometer per jam). Saat pemisahan menjalar ke arah utara menuju Kepulauan Andaman, ternyata kecepatannya berkurang dan pergerakan sesar pun berkurang, kira-kira 8 menit setelah pemisahan awal, pergerakan maksimum sesar sebesar 10 meter di Kepulauan Andaman. Keseluruhan proses pemisahan berlangsung selama sekitar 10 menit. Gempa pertama adalah gempa terbesar sejak gempa Alaska tahun 1964. Gempa menyebabkan guncangan hebat di Sumatra dan Kepulauan Nikobar, dan dapat dirasakan sampai berkilo-kilometer jauhnya di Sri Lanka, utara Thailand, dan Maladewa. Gempa juga menyebabkan gelombang seismik yang mengitari bumi berulang kali, dan menstimulasi getaran harmonis di seluruh bumi yang masih dapat dideteksi oleh peralatan seismometrik berbulan-bulan setelah gempa. Sejumlah gempa susulan masih terus terjadi di sepanjang dangkalan tepi lempeng yang terpisah karena gempa; ini merupakan kelompok gempa paling aktif yang pernah teramati.

Gempa menyebabkan pergerakan permanen yang meluas di permukaan bumi. Terdapat lebih dari 6 meter pergeseran horizontal di sebagian Kepulauan Andaman dan Nikobar, dan ada juga pengangkatan 24

Gempa Bumi, Lempeng Tektonik, dan Tsunami Samudera Hindia

Sub-lempeng Burma Kepulauan Andaman

Kepulauan Nicobar

Sub-lempeng Sunda Palung Sunda

Lempeng India Lempeng Australia

Peta daerah yang terkena dampak memperlihatkan dua buah lempeng tektonik utama (Hindia dan Australia) mendorong Lempeng Sunda dan Lempeng Mikro Burma yang lebih kecil. Gempa 26 Desember dimulai 30 km di bawah episentrum , dan kemudian pemisahan tepi lempeng menyebar ke arah barat laut ke utara Kepulauan Andaman. Gempa pertema segera diikuti dengan kelompok gempa sepanjang 1.300 km pada 3 tingkatan (elips), yang melemah di utara. Tsunami dipicu oleh pergerakan dasar laut di sepanjang zona pemisahan, terutama di bagian yang lebih selatan, dimana pemisahan sesar meluas sampai kedalaman yang dangkal.

dan penyusupan: sisi barat terangkat sekitar 1 m (pengangkatan maksimum sebesar 1,5 m di Nikobar Besar), sementara sisi timur menyusup sejauh nilai yang sama, sehingga secara permanen menenggelamkan beberapa bagian kepulauan ini. Terdapat fakta visual yang luar biasa tentang perubahan ini: beberapa pantai terangkat, terumbu karang mencuat keluar dari air (lihat foto di sampul), dan hutan mangrove serta bangunan terangkat dan hancur. Pergerakan kecil bumi sebesar beberapa sentimeter, terdeteksi dari jarak ribuan kilometer dengan menggunakan observasi GPS. Terdapat beberapa contoh pergeseran lahan yang disebabkan oleh gempa: Sisi barat laut Pulau Simeulue terangkat 1,5 m (foto di sampul); Ujung tenggara Kepulauan Nikobar turun sekitar 2 m, menggenangi Mercu Suar Campbell secara permanen di Pulau Nikobar Besar; 25

Status Terumbu Karang di Negara-negara yang Terkena Dampak Tsunami 2005

Pulau Car Nikobar bergeser lebih dari 6 m secara horizontal dari arah barat ke tenggara; Pulau Langkawi di Malaysia terus meluncur ke arah barat daya sampai 80 hari setelah pergeseran cepat pertama, dan menjauhkannya 6 cm dari peluncuran awal; dan Singapura bergeser 2 cm ke arah barat. Timbul perdebatan mengenai kekuatan aktual gempa (biasanya dicerminkan oleh kekuatan gelombang seismik yang ditimbulkan). Namun, gempa besar seperti peristiwa Sumatra-Andaman menimbulkan pola gelombang yang rumit dimana analisa rutin mungkin tak dapat dilakukan. Pengukuran awal kekuatan gempa pada jam pertama setelah gempa adalah sebesar 8,0 – 8,5, tetapi ini merupakan perkiraan kasar. Analisa yang lebih mendalam dikemudian hari menunjukkan skala 9,0, yang menjadi besar kekuatan

Kedua foto dari Kepulauan Andaman dan Nikobar menggambarkan kemiringan Lempeng Mikro Burma. Beberapa bagian dari Kepulauan Andaman terangkat keluar dari air, di sini tampak rataan terumbu karang yang terpajan secara permanen (foto atas); sedangkan di barat daya Kepulauan Nikobar, beberapa pulau tenggelam secara permanen, menggenangi bangunan dan lahan (foto bawah). Foto-foto merupakan kontribusi dari Profesor Sudhir K. Jain dan Javed Malik, Institut Teknologi India, Kanpur.

26

Gempa Bumi, Lempeng Tektonik, dan Tsunami Samudera Hindia

yang dipilih oleh Badan Survey Geologi AS. Bahkan analisa yang lebih maju yang dilakukan berbulanbulan setelah gempa menghasilkan skala 9,15 – 9,30, yang mungkin mencerminkan kekuatan gempa yang sebenarnya. Pergerakan sesar yang berhubungan dengan Gempa Dahsyat Sumatra-Andaman telah merubah bidang tekanan di kawasan yang mengelilingi daerah yang terpisah, memindahkan tekanan ke sesaran didekatnya. Perubahan kondisi tekanan lokal ini diramalkan akan menyebabkan gempa mega sungkup besar lain di sepanjang zona subduksi Sumatra. Ramalan ini terbukti benar pada tanggal 28 Maret 2005, saat gempa besar lain (kekuatan 8,7) terjadi sekitar 200 km tenggara garis sesar tersebut. Gempa ini menghancurkan 300 bangunan dan menewaskan 1.000 jiwa di Pulau Nias. Terjadi kepanikan bahwa gempa ini akan kembali menimbulkan tsunami; sebagai contoh, 20 orang tewas di Sri Lanka saat mengungsi dari daerah pesisir yang rendah. Sementara tsunami lokal setinggi 3 m timbul akibat gempa ini di sekitar Pulau Simeulue, terdapat dampak yang bisa diabaikan di garis pantai yang lebih jauh. Salah satu penyebabnya adalah, tidak seperti gempa Desember 2004, kebanyakan gelinciran sesar awal pada gempa Maret 2005 terkonsentrasi di dekat 30 km di dalam permukaan bumi. Ini menghasilkan pergerakan vertikal yang lebih sedikit pada dasar laut, dan sebagian besar pergerakan vertikal ini terjadi di Pulau Nias dan Simeulue. Sehingga, air yang dipindahkan lebih sedikit dibandingkan dengan perkiraan untuk kekuatan gempa mega sungkup sebesar ini. Terdapat sejarah panjang gempa besar dan tsunami di Samudera Hindia yang menyebabkan kerusakan parah dan kehilangan jiwa. Tahun

Tanggal

Lokasi Sumber

Kekuatan

Ketinggian Maksimum (m)

1762

2 April

Pesisir Arakan (Myanmar)

1797

10 – 11 Februari

Sumatra Barat

1818

18 Maret

Sumatra Selatan

1819

16 Juni

Dekat Cutch

7,7

1833

24 November

Sumatra Barat

8,7 – 9,2

1843

5 – 6 Januari

Sumatra Utara

7,2

1861

16 Februari

Sumatra Utara

8,3 – 8,5

7

1881

31 Desember

Kepulauan Nikobar

7,9

1

1883

27 Agustus

Selat Sunda (Krakatau)

1907

4 Januari

Sumatra Barat

7,6

1921

11 September

Jawa

7,5

1941

26 Juni

Kepulauan Andaman

7,7

1945

27 November

Makran

8,1

15

1977

19 Agustus

Jawa

8,3

30

1994

2 Juni

Jawa

7,6

13

2004

26 Desember

Sumatra Barat – Kep. Andaman

9,3

48

8,4

Korban Jiwa

>300

35

> 900

> 36.000 > 400

200 > 230.000

27

Status Terumbu Karang di Negara-negara yang Terkena Dampak Tsunami 2005

TSUNAMI SAMUDERA HINDIA 26 DESEMBER 2004 Gempa Dahsyat Sumatra-Andaman menyebabkan dasar laut terangkat dan menyusup, menghasilkan pergeseran sekitar 30 kilometer kubik air laut secara langsung di atas sesaran. Ini menyebabkan gelombang yang menyebar ke seluruh penjuru Samudera Hindia dan dikenal sebagai Tsunami Samudera Hindia atau Boxing Day Tsunami. Efek bencana tsunami hampir segera dirasakan di sepanjang pesisir barat laut Sumatra, terdekat dengan episentrum gempa. Tsunami datang dalam waktu 30 – 40 menit, dengan ketinggian melebihi 30 m. Seluruh desa diratakan dan hanya ada sedikit waktu untuk melarikan diri. Ketinggian tsunami juga dipengaruhi oleh kondisi geografis; gelombang yang memasuki teluk seringkali bertambah tingginya sebagaimana sisi teluk mengurangi pergerakan air sehingga memperbesar tinggi gelombang. Lebih jauh lagi, gelombang bertambah tinggi saat menjelajahi lembah sempit, dengan ketinggian gelombang 48 m tercatat di Indonesia. Gelombang setinggi 5 – 10 m menerjang Thailand dan Sri Lanka sekitar 1,5 – 2 jam setelah gempa. Karena adanya geometri dalam pergerakan dasar laut, dimana terjadi pengangkatan pada tepi barat lempengan yang telah terangkat dan kemudian menyusup di timur jauh, gelombang awal tsunami yang menuju ke timur menghasilkan peristiwa surut di laut, sementara gelombang awal yang menuju ke barat menghasilkan penggenangan. Sehingga, orang yang pertama kali melihat gelombang di Thailand mendapatkan pertanda yang jelas dengan adanya peristiwa surut mendadak di laut; di beberapa kasus banyak orang yang selamat saat menyadari pertanda ini dan mereka menyelamatkan diri. Namun demikian, tanda-tanda alam ini tidak dipahami, dan banyak orang menuju ke rataan terumbu. Gelombang berikutnya menelan banyak korban. Di Sri Lanka, efek pertama gelombang adalah berupa penggenangan, dan masyarakat hanya mendapatkan sedikit pertanda atau bahkan tidak sama sekali. Walaupun tinggi tsunami yang menyebar ke seluruh Samudera Hindia tidak lebih dari 1 m (seperti yang terukur oleh radar satelit yang mengukur ketinggian laut di daerah tempat tsunami terjadi), tetap saja tingginya mencapai 1 – 2 meter saat memasuki perairan dangkal yang jauhnya ribuan kilometer dari gempa. Sebagai contoh, gelombang setinggi 1,5 m teramati di Afrika Selatan, 8.500 km dari tsunami. Energi yang dihasilkan tegak lurus dari garis sesar, lebih besar bila dibandingkan dengan yang mendatar; ini merupakan ciri umum gempa yang menghasilkan tsunami. Sehingga, sebagian besar energi tsunami dihasilkan dari arah timur-barat setelah Gempa Dahsyat Sumatra-Andaman, yang timbul di sepanjang garis sesar utara-selatan. Ini menjelaskan mengapa Thailand dan Sri Lanka terkena hantaman gelombang besar, dan Myanmar serta Bangladesh tidak.

Penggenangan

Sesar

Penyebaran

Pembangkitan

Diagram ini menggambarkan bagaimana tsunami terbentuk melalui gempa di sesar subduksi, bertambah tinggi saat mendekati pesisir dan tiba sebagai gelombang besar (sumber: Viacheslaw Guslakov, Institut Komputasi Matematika dan Matematika Geofisik, Akademi Ilmu Pengetahuan Rusia)

28

Gempa Bumi, Lempeng Tektonik, dan Tsunami Samudera Hindia

Gempa Sumatera 600 km_sesar 50 menit

Gempa Sumatera 600 km_sesar 150 menit

Gempa Sumatera 600 km_sesar 100 menit

Gempa Sumatera 600 km_sesar 200 menit

Tsunami Samudera Hindia terbentuk saat gempa memisahkan sebagian dari sesar/patahan tepi lempeng yang membentang dari Pulau Simeulue, lepas barat laut Sumatra, sampai ke Kepulauan Andaman di utara. Gambar-gambar ini memperlihatkan simulasi numerik proses tsunami pada menit ke 50, 100, 150, dan 200 setelah gempa, menunjukkan interaksi kompleks gelombang awal tsunami. Saat tsunami mendekati pesisir Thailand, gelombang melemah sebagai akibat terhalang oleh paparan benua, sementara tsunami bergerak lebih cepat ke arah barat melalui Samudera Hindia dan menerjang Sri Lanka serta menyebabakan kerugian berupa korban jiwa di sepanjang barat daya pulau (Sumber: Kenji Satake, Survey Geologi Jepang dan Institut Nasional Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Industri Maju, Tsukuba, Jepang)

29

Status Terumbu Karang di Negara-negara yang Terkena Dampak Tsunami 2005

Tsunami yang terjadi pada tanggal 26 Desember 2004 sangatlah luar biasa dimana gelombangnya menjelajahi seluruh dunia. Peta ini menunjukkan bahwa gelombang mengikuti jalur mid-samudera dibawah Samudera Hindia yang memecah di dinding es Antartika serta di sekitar Afrika Selatan dan di sepanjang Jalur Mid-Atlantik yang memecah di Rio de Janeiro (dicetak ulang seizin New Scientist, ©2005).

MEMANDANG KE MASA DEPAN Gempa Sumatra-Andaman 26 Desember adalah gempa berukuran besar pertama yang tercatat sejak kehadiran instrumen seismik modern. Alat tersebut menghimpun data yang akan digunakan untuk mempelajari gempa dan struktur bagian dalam bumi bertahun-tahun ke depan. Tsunami tersebut merupakan yang pertama dicatat dan diselidiki dengan pengukur pasang berkualitas tinggi di seluruh dunia, serta satelit yang terus-menerus melewati tinggi gelombang di samudera terbuka. Lama setelah tsunami menerjang Samudera Hindia, para ilmuwan yang memantau tinggi permukaan laut dapat melihat gelombang menyebar menuju Samudera Atlantik dan Pasifik. Instrumen-instrumen tersebut mencatat lintasan tsunami sampai jauh ke utara di Kamchatka, Rusia di Samudera Pasifik, Nova Scotia, Kanada di Samudera Atlantik, dan sampai ke Antartika. Ini adalah tsunami pertama yang dipantau secara terusmenerus ke seluruh samudera, dan sekarang disebut serta diakui sebagai ‘tsunami global’ pertama. Peristiwa bencana Desember 2004 bukanlah peristiwa terisolasi di Samudera Hindia saja. Lempenglempeng tektonik akan terus bergerak dan menekan lempeng lain, dan beberapa gempa serta tsunami akan terjadi di masa depan pada skala yang sama atau bahkan lebih. Tingkat kerusakan dari Gempa Dahsyat Sumatra-Andaman dan tsunami Samudera Hindia memanglah besar, dilihat dari skala gempa dan jumlah korban jiwa yang direnggutnya. Sebagaimana populasi manusia terus bertambah dan terus mengembangkan daerah pesisir dengan cara menebangi hutan di pesisir dan mereklamasi lahan, ancaman terhadap tsunami semakin meningkat, dan berpotensi untuk menghasilkan kerugian besar terhadap jiwa dan kerusakan properti. Mudah-mudahan saja, gempa dan segala hal yang terkait dengan tsunami akan menjadi peringatan bagi pemerintah dan lembaga internasional untuk menyediakan sistem peringatan dini yang lebih efektif dan mengadakan penilaian resiko bencana alam untuk memastikan desa-desa, kelurahan, dan kota tidak dibangun di daerah yang paling rentan serta jauh dari tepi perairan. Kerusakan yang disebabkan oleh tsunami juga menggarisbawahi kebutuhan akan perlindungan pelindung alami pesisir, yaitu mangrove dan terumbu karang. Terdapat beberapa bukti di beberapa bab berikut yang 30

Gempa Bumi, Lempeng Tektonik, dan Tsunami Samudera Hindia

menunjukkan bahwa mangrove meredam energi tsunami dan menyediakan naungan langsung terhadap populasi manusia dari puing yang terbawa oleh gelombang seperti pecahan kapal, dan mencegah orang terseret ke laut. Terdapat juga bukti yang serupa bahwa terumbu karang lepas pantai dapat mengurangi tekanan tsunami dan perlahan mengurangi kerusakan akibat gelombang. Gempa Dahsyat Sumatra-Andaman dan Gempa Nias 28 Maret 2005 melepaskan akumulasi tekanan energi di sepanjang 1.500 km Busur Sunda-Andaman. Karena itu, kecenderungan gempa besar lain yang timbul di masa depan, di sepanjang bagian zona subduksi ini, adalah kecil. Namun, peristiwa gempagempa ini mungkin meningkatkan kecenderungan munculnya gempa besar lain baik di sebelah utara atau timur dari segmen ini. Zona subduksi sampai ke tenggara (dekat Sumatra tengah), menyebabkan gempa besar tahun 1833 dan sejak itu mengakumulasikan energi tekanan yang cukup signifikan. Walaupun struktur tektonik dan sejarah gempa dari perpanjangan Palung Andaman di daerah utara tidak cukup diketahui, gempa besar lain yang serupa tahun 1762 di sepanjang pesisir Arakan, Myanmar mungkin saja terjadi. Usaha internasional yang lebih besar diperlukan untuk menyempurnakan pemahaman kita tentang ancaman bahaya tsunami serta untuk mengembangkan kapabilitas peringatan tsunami di Samudera Hindia sehubungan dengan penanganan yang lebih baik terhadap perkiraan gempa di masa depan. Tidak terdapat sistem peringatan dini di Samudera Hindia sebelum tsunami Desember. Keberadaan sistem yang efektif dapat menyelamatkan ribuan nyawa dengan menyediakan peringatan akan adanya tsunami sehingga tersedia waktu untuk mengevakuasi diri ke tempat yang lebih tinggi. Sebagai contoh, tsunami membutuhkan waktu 2 jam untuk sampai ke Thailand dan Sri Lanka, dan lebih dari 4 jam untuk sampai ke Australia. Pada Konferensi Dunia tentang Pengurangan Resiko Bencana di awal 2005, Persatuan Bangsa-Bangsa mulai merencanakan untuk membangun sistem peringatan global untuk mengurangi ancaman bencana alam yang mematikan sebagaimana sejarah telah menunjukkan bahwa peristiwa serupa tidak dapat dihindari.

KONTAK PENULIS Phil Cummins, Geoscience Australia, Canberra, Australia, [email protected]; Jeremy Goldberg, International Marine Project Activities Centre, Townsville, Australia, [email protected].

PENINJAU David Garnett, Sarah Gotheil, Viacheslav Gusiakov, Bernard Salvat, Kenji Satake, Kerry Sieh, David Tappin, dan Kristian Teleki.

ACUAN Dua ringkasan utama telah diterbitkan dalam jurnal Science dan Nature: Science, 308: 1126-1146 (2005) artikel oleh CJ Ammon et al., R Bilham, T Lay et al., J Park et al., and M West et al. Nature, 434: 573-582 (2005) artikel oleh K Sieh, S Stein, and EA Okal. Cummins P, Leonard M (2005) The Boxing Day 2004 tsunami – a repeat of 1833? Geoscience Australia, AUSGEO news, Issue 77. Hilman Natawidjaja D, Sieh K, Ward S, Edwards RL, et al. (2004) Paleogeodetic records of seismic and aseismic subduction from central Sumatran microatolls. Journal of Geophysical Research, 109: B4, B04306, doi:10.1029/2003JB002398.

31

Status Terumbu Karang di Negara-negara yang Terkena Dampak Tsunami 2005

Kious WJ, Tilling RI (2005) This dynamic earth: the story of plate tectonics, Edisi Online, http:// pubs.usgs.gov/publications/text/dynamic.html. Titov V, et al. (2005) The global reach of the 26 December 2004 Sumatra tsunami. Science, 309: 20452048.

SITUS-SITUS TERKAIT DI INTERNET United States Geological Survey, www.earthquake.usgs.gov; National Earthquake Information Center, http://neic.usgs.gov; National Environment Research Council, www.nerc-bas.ac.uk/tsunami-risks; http://geology.com; Wikipedia, www.en.wikipedia.org/wiki/Tsunami.

Gempa meluluhlantakan barisan karang Heliopora sepanjang 7 km ini di Sumatra (Annelise Hagan)

32

2. GEMPA BUMI, TSUNAMI, DAN TEKANANTEKANAN LAIN TERHADAP TERUMBU KARANG DAN SUMBER DAYA PESISIR

CLIVE WILKINSON

Serangkaian peristiwa tsunami yang melanda negara-negara di Samudera Hindia pada 26 Desember 2004 yang lalu merupakan salah satu bencana alam terbesar dalam sejarah manusia. Korban meninggal atau hilang mencapai sekitar 250,000 orang, lebih dari satu juta manusia diperkirakan kehilangan rumah, dan kerugian material yang diderita mencapai milyaran dolar. Media massa memperkirakan bahwa tsunami tersebut telah menyebabkan kerusakan serius pada terumbu karang dan ekosistem pesisir lain di Samudera Hindia. Namun pada kenyataannya, kerusakan karang dan mangrove akibat tsunami ternyata tidak terlalu parah. Gelombang tsunami tersebut menyebabkan kerusakan karang yang jauh lebih ringan dibandingkan akibat perubahan iklim El Niño/La Niña 1998. Pemutihan dan kematian karang di tahun 1998 telah mengakibatkan hilangnya 16% terumbu karang dunia. Tsunami pada bulan Desember 2004 memang mengakibatkan kerusakan parah pada sebagian kecil kawasan terumbu karang. Namun, kebanyakan kawasan terumbu karang di kawasan bencana tetap dalam kondisi baik. Adanya kantong-kantong karang produktif di sekitar kawasan merupakan pertanda tingginya potensi pemulihan terumbu karang di daerah tersebut. Pada kenyataannya, tekanan lingkungan akibat kegiatan manusia secara langsung dan tidak langsung telah menyebabkan lebih banyak kerusakan karang dibandingkan tsunami. Namun tambahan tekanan dari tsunami memang menghambat proses pemulihan karang dari tekanan-tekanan antropogenik yang telah disebutkan. Kebanyakan terumbu karang di Samudera Hindia akan pulih dari dampak tsunami dalam 5 hingga 10 tahun dengan syarat diterapkannya pengelolaan yang efektif untuk mengendalikan tekanan antropogenik serta tidak terjadi banyak bencana alam di masa depan. Bab ini mengetengahkan dua pertanyaan spesifik: Apakah fungsi perlindungan (jika ada) dari terumbu karang dan hutan mangrove dapat menghilangkan sebagian besar energi tsunami? Bagaimana perbandingan akibat gempa bumi dan tsunami terhadap terumbu karang dan hutan mangrove dibandingkan dengan akibat dari tekanan antropogenik maupun bencana alam lainnya?

33

Status Terumbu Karang di Negara-negara yang Terkena Dampak Tsunami 2005

APAKAH KEBERADAAN TERUMBU KARANG PENTING UNTUK MENGURANGI KERUSAKAN TSUNAMI? Terumbu karang memainkan peranan penting dalam perlindungan garis pantai dari abrasi gelombang, terutama mengurangi dampak gelombang dan gelombang badai tropis. Hal ini sangat jelas terlihat pada pulau-pulau tropis dengan pantai berpasir, hamparan rumput laut, dan hutan mangrove di belakang terumbu karang. Fungsi perlindungan ini menjadi penting terutama di masa depan karena adanya perkiraan bahwa perubahan iklim akan mengakibatkan naiknya permukaan laut serta meningkatnya frekuensi dan tingkat kedahsyatan badai tropis. Fungsi perlindungan dari terumbu karang ini akan menjadi penting bagi keberlangsungan hidup masyarakat yang hidup di kawasan atol karang (seperti Maladewa, Kiribati, dan Tuvalu). Kawasan-kawasan tersebut terdiri dari pulau-pulau karang yang tingginya jarang yang lebih dari 2 m di atas permukaan laut saat pasang. Bukti-bukti yang dikumpulkan pasca tsunami Desember 2004 menunjukkan bahwa gelombang besar, biasanya lebih tinggi dari 10 m, lewat begitu saja di daerah terumbu karang tanpa mengalami penurunan kecepatan. Analisis awal dari ilmuwan-ilmuwan UNEP GRID menunjukkan minimnya perlindungan daratan yang langsung berada di balik terumbu-terumbu karang di Indonesia, Thailand, dan Sri Lanka. Namun, kerusakan yang lebih besar terjadi pada kawasan dengan terumbu karang yang telah mengalami kerusakan akibat penambangan karang (misal: Sri Lanka dan kemungkinan Maladewa) dibandingkan pada kawasan yang terumbu karangnya tidak ditambang. Bukti ini kebanyakan masih berupa indikasi dan mungkin tidak akan pernah dapat diverifikasi lebih lanjut, karena tsunami merupakan kejadian yang cukup langka (dari Arjan Rajasuriya). Beberapa daerah terumbu karang ternyata mengalami kerusakan, terutama di celah-celah antar pulau dan antar terumbu karang. Energi tsunami di daerah ini terfokuskan akibat topografi pulau sehingga menyebabkan gelombang dan arus yang kuat. Banyak karang di kawasan-kawasan tersebut mengalami kerusakan yang cukup parah. Karang-karang besar yang berat, karang bercabang, dan karang-karang meja terbalik atau hancur. Pada gilirannya, karang-karang ini juga menyerap sebagian dari energi gelombang tsunami. Nampaknya, terumbu karang sangat penting dalam perlindungan garis pantai dari gelombang badai. Fungsi ini akan menjadi lebih penting di masa depan. Gelombang yang terjadi pada tanggal 26 Desember 2004 tersebut jauh lebih tinggi dari kebanyakan badai tropis yang pernah terjadi. Hal ini menyebabkan beban terumbu karang dalam melindungi daratan juga menjadi jauh lebih berat.

APAKAH MANGROVE DAN HUTAN PANTAI MENGURANGI KERUSAKAN TSUNAMI? Terdapat bukti kuat bahwa hutan mangrove memainkan peran perlindungan dalam mengurangi energi tsunami. Beberapa kawasan mangrove di Sumatra (Indonesia) hampir hancur total akibat menyerap terlalu banyak energi tsunami. Beberapa desa di sepanjang pantai India dan Sri Lanka selamat dari kehancuran total akibat tsunami karena dilindungi oleh mangrove dan hutan-hutan pantai. Kapal-kapal ikan dan puing-puing lain tersangkut pepohonan sehingga tidak menabrak rumah-rumah di belakang hutan. Orang-orang juga dapat memanjat pohon sehingga tidak hanyut ke laut. Bukti-bukti yang dikumpulkan oleh UNEP GRID menyebutkan bahwa walaupun mangrove cenderung tumbuh di perairan yang lebih terlindung seperti daerah muara, hutan mangrove juga menyerap banyak gelombang tsunami hingga ke sungai-sungai. Hal ini seperti halnya hutan waru dan cemara laut yang 34

Gempa Bumi, Tsunami, dan Tekanan-tekanan Lain terhadap Terumbu Karang dan Sumber Daya Pesisir

tumbuh di gumuk atau bukit pasir pesisir yang juga menyerap banyak energi gelombang, sehingga melindungi infrastruktur pesisir di sekitarnya. Bukti-bukti ini nampak jelas di kebanyakan negara yang dilanda tsunami. Pada gilirannya, hutan-hutan pesisir juga mengalami kerusakan parah karena menyerap energi gelombang tsunami.

DAPATKAH TERUMBU KARANG MEMBERIKAN PERLINDUNGAN TERHADAP TSUNAMI? Terdapat indikasi bahwa terumbu karang yang utuh dan sehat mengurangi dampak tsunami terhadap masyarakat di daerah pesisir. Beberapa laporan juga menyatakan bahwa perubahan lingkungan laut dan pesisir yang dilakukan oleh manusia telah menyebabkan meningkatnya kerusakan di darat. Sebuah makalah oleh Lui et al. (2005) di jurnal Science melaporkan tentang tergelincirnya sebuah kereta penumpang di Sri Lanka akibat penambangan karang di kawasan sekitar. Namun, tidak ada perbandingan kuantitatif antara tinggi gelombang atau jarak genangan dengan keberadaan terumbu karang di kawasan tersebut. Tanpa perbandingan tersebut, tidaklah mungkin untuk menyelidiki keabsahan pernyataan tersebut. Sebagai perbandingan, pengukuran oleh Unit Penelitian Geologi Amerika Serikat (the United States Geological Survey) sepanjang pesisir Aceh (http://walrus.wr.usgs.gov/news/reports.html) melaporkan bahwa gelombang di pesisir yang memiliki karang lebih tinggi secara signifikan, dibandingkan gelombang di kawasan tanpa terumbu karang (Karang: rata-rata tinggi gelombang dalam meter ± standard error = 28.6 ± 3.65, n = 4. Tanpa karang: 22.06 ± 1.23, n = 12, t (0.05), 14 = -2.232, p = 0.043). Penelitian lapangan saya memberikan indikasi bahwa batas penggenangan air laut pada setiap lokasi biasanya ditentukan oleh kombinasi tinggi gelombang dan topografi pesisir. Tsunami hanya akan berhenti saat mencapai kontur daratan yang tingginya sama dengan tinggi gelombang tsunami tersebut. Hal ini sangat penting, karena memerlukan analisis yang menyeluruh dan bukannya informasi indikatif yang diulang-ulang. Adalah suatu hal yang berbahaya untuk membesarbesarkan peran perlindungan yang diberikan oleh terumbu karang secara berlebihan, karena hal ini akan menimbulkan perasaan aman yang tidak benar. Ditakutkan, tsunami yang berikutnya dapat menyebabkan menurunnya kredibilitas keilmuan. Ada sebuah konsekuensi lain yang tidak terduga saat menghubungkan kerusakan tsunami dengan kegiatan manusia, yaitu beban yang tidak adil terhadap para nelayan, petani, dan bisnis-bisnis di kawasan yang dilanda tsunami. Terumbu karang yang sehat mampu memberikan barang dan jasa yang berharga terhadap masyarakat pesisir, termasuk juga perlindungan dari gelombang. Namun, terlalu berlebihan dan tidak realistik untuk berharap agar ekosistem-ekosistem tersebut memberikan perlindungan dari bencana tsunami besar (dari Andrew Baird). Referensi: Baird AH, dan sembilan narasumber (2005). Terumbu karang Aceh setelah tsunami Asia. Current Biology, 15: 1926-1930; Liu PL-F, dan delapan narasumber lain (2005). Pengamatanpengamatan Tim Survei Internasional di Sri Lanka. Science, 308: 1595.

Sebuah penelitian oleh para peneliti dari Denmark dan India menyimpulkan bahwa hutan-hutan pesisir memberikan fungsi perlindungan. Hasil tersebut menunjukkan bahwa desa-desa dan daratan di belakang sabuk pepohonan di Distrik Cuddalore, Tamil Nadu, India mengalami kerusakan yang jauh lebih ringan dari desa-desa yang langsung terlanda tsunami. Kawasan mangrove yang luas di utara tetap utuh dan tiga desa di belakang mangrove tersebut relatif tidak rusak, dibandingkan dengan dua desa yang tidak terlindungi yang hancur rata. Lima desa ke arah selatan yang berada di belakang perkebunan cemara laut mengalami kehancuran sebagian. Sementara itu, desa-desa pesisir di utara dan selatan hutan, hancur total. Perkebunan cemara laut tersebut relatif aman, walaupun 5 hingga 10 pepohonan di baris-baris pertama tercabut akarnya. Antara tahun 1980 hingga 2000, kegiatan manusia telah mengurangi luasan mangrove hingga 26% (dari 5.7 hingga 4.2 juta hektar). Tsunami yang terjadi telah menggambarkan betapa kerusakan hutan telah meningkatkan resiko erosi garis pantai, selain juga menyebabkan hilangnya 35

Status Terumbu Karang di Negara-negara yang Terkena Dampak Tsunami 2005

fungsi mangrove sebagai kawasan pemijahan perikanan dan kehutanan (dari Danielsen F dan 11 narasumber lain (2005) Science, 310: 643).

ANCAMAN

DAN TEKANAN TERHADAP TERUMBU KARANG Ancaman dan tekanan terhadap terumbu karang telah lama dikelompokkan menjadi dua kategori umum: alami dan antropogenik. Kejadian akhir-akhir ini seperti pemutihan karang dan tsunami yang baru terjadi, membuat perlunya ditambahkan kategori lainnya yaitu tekanan alami yang diperparah oleh kegiatan manusia.

Ancaman-Ancaman Alami Terumbu karang telah berevolusi selama jutaan tahun di bawah ‘tekanan-tekanan alami sejati’ yang telah membentuk evolusi terumbu karang. Hal ini termasuk kejadian-kejadian utama seperti abad es yang membawa perubahan iklim, kenaikan dan penurunan permukaan air laut, dan hantaman meteor. Selama 8,000 tahun sejak abad es yang terakhir, terumbu karang telah bergulat di bawah kondisi-kondisi yang relatif aman, serta menghadapi badai-badai tropis, pemasukan air tawar, gempa bumi, gunung-gunung api, dan penyakit-penyakit tingkat rendah. Pemulihan kepada kondisi awal biasanya cepat, walaupun kadang memakan waktu beberapa dekade. Terumbu karang biasanya cepat pulih dari stress, dengan syarat bahwa kejadian-kejadian tersebut tidak terjadi secara rutin maupun diperparah oleh stress antropogenik tambahan. Ancaman-ancaman alamiah tersebut dapat digolongkan menjadi: kejadiankejadian geologis, fenomena-fenomena iklim dan cuaca, serta tekanan-tekanan biologis.

KARENA USAHA UNTUK MEMECAHKAN REKOR DUNIA, SEBUAH DESA DI INDIA SELAMAT DARI TSUNAMI Dalam usaha mereka untuk memecahkan rekor dunia (Guinness Book of Record), pada tahun 2002 masyarakat desa Naluvedapathy di distrik Vedaranyam, Tamil Nadu, India menanam 80,244 anakan pohon. Mereka menciptakan jalur selebar satu kilometer berupa hutan mini yang berisi cemara laut, pohon kelapa, dan pohon-pohon lain. Jadi, ketika penduduk desa berjalan ke Teluk Bengal, mereka dapat mendengar deburan gelombang, namun tidak dapat melihatnya. Usaha menanam pohon ini memberikan hasil pada tanggal 26 Desember 2004, ketika banyak desa dan kota di Tamil Nadu yang hancur saat gelombang raksasa menyapu pantai-pantai yang terbuka. Saat air laut melanda kawasan tersebut dan gelombang besar membanjiri rumah, jalan, dan peternakan, Desa Naluvedapathy dengan sekitar 600 rumah mengalami kehancuran minimum dan sedikit korban jiwa karena ribuan pohon telah meredam dampak tsunami. Seorang petani tua bernama Nagappan berkata bahwa desa mereka memang selalu memiliki pepohonan. Namun jumlah pohon mereka meningkat tajam saat tiga tahun lalu seorang pejabat setempat menawarkan ide untuk memecahkan rekor dunia. “Kami terselamatkan oleh pohon-pohon ini. Desa-desa pesisir lainnya harus juga membuat benteng pohon untuk keselamatan mereka,” kata bapak tersebut. Marimathu, nenek berusia 70 tahun gemetar saat dia mengingat peristiwa itu. “Saya sedang berada di atas bukit dan melihat gelombang raksasa yang menghantam pantai... Saya berhasil lari ke tempat aman, tapi tempat tersebut juga tergenangi air. Pohon-pohon di sini ditanam oleh kakek-nenek saya dan orang-orang lainnya sejak beberapa waktu lalu. Saya telah tinggal di desa ini selama hidup saya, tapi benteng pepohonan kami baru tumbuh sejak 15 tahun yang lalu. Tolong beritahu yang lain untuk juga menanam pohon!” Gumuk (bukit pasir) dan mangrove di sepanjang pesisir dekat Kanyakumari dan Pondicherry juga melindungi beberapa desa lain dari amukan tsunami. Namun hutan Naluvedapathy memberikan cukup perlindungan bagi seluruh desa Naluvedapathy. Jadi semboyannya adalah: “Guinness is good for you!” (dari BBC NEWS: http://news.bbc.co.uk/ go/pr/fr/-/1/hi/world/south_asia/4269847.stm).

36

Gempa Bumi, Tsunami, dan Tekanan-tekanan Lain terhadap Terumbu Karang dan Sumber Daya Pesisir

Kejadian-kejadian geologis: selama jutaan tahun, gempa bumi, letusan gunung berapi, dan tsunami telah menyebabkan terumbu karang mengalami kerusakan episodik yang bersifat lokal, walaupun sering juga parah. Gempa bumi cukup sering terjadi di sepanjang lingkar Kaledonia Baru, Vanuatu, Kep. Solomon, Papua Nugini, hingga ke Phillipina dan Jepang. Lingkar ini juga bersambung ke selatan Indonesia serta Kepulauan Andaman dan Nikobar, yang juga merupakan tempat awal terjadinya bencana Desember 2004. Sampul laporan ini memberikan contoh jelas atas kerusakan parah yang terlokalisir akibat gempa bumi, di mana terumbu karang di Pulau Simeulue, Indonesia terangkat keluar dari laut selama gempa bumi. Semenanjung Huon di Papua Nugini merupakan contoh yang mirip, di mana teras-teras karang telah terangkat sejak 300,000 hingga 600,000 tahun yang lalu. Di sana, teras-teras karang baru juga terbentuk setiap 2,000 hingga 12,000 tahun. Terumbu karang yang terletak sangat dekat dengan sumber gempa mengalami patahan. Karang-karang besar maupun karang-karang rapuh seperti jenis-jenis dari marga Acropora yang bercabang, hancur dan jatuh ke bawah tubir. Sebagaimana yang terlihat selama gempa bumi pada tanggal 26 Desember 2004 dan 28 Maret 2005, sering terumbu karang yang berdekatan dengan karang yang rusak maupun terangkat malah tidak terpengaruh, dan hanya ada sedikit akibat yang dapat dilihat pada terumbu karang di perairan yang lebih dalam. Pemulihan karang dalam keadaan tersebut biasanya cepat, karena larva karang sudah tersedia dari terumbu karang yang berada di dekatnya. Kerusakan karena letusan gunung api umumnya terjadi akibat banyaknya abu yang tersembur. Sebagai contoh, letusan Pinatubo pada tahun 1991 telah mengakibatkan tertutupnya karang-karang di arah tengah barat Pulau Luzon di Phillipina. Letusan-letusan Gunung Montserrat di Karibia pada tahun 1995 dan Rabaul di Papua Nugini pada tahun 1994 telah melepaskan sejumlah besar abu yang menutupi terumbu karang di sekitarnya. Gunung-gunung api yang melepaskan lava, misalnya Hawaii, Reunion, dan Indonesia menyebabkan kerusakan terumbu karang di kawasan-kawasan sekitarnya. Namun, lava tersebut juga menyediakan substrat baru untuk karang yang dengan cepat membentuk koloni di bebatuan yang baru tersebut.

STUDI DI HAWAII MENEMUKAN BAHWA PEPOHONAN TELAH MEREDAM DAMPAK TSUNAMI Sebuah laporan dari para peneliti Universitas Hawaii menyimpulkan bahwa pepohonan dan semak-semak di antara jajaran bangunan dan laut telah membantu mengurangi dampak gelombang tsunami di Maladewa. Pohon-pohon pandan (hala) dan perdu seperti kembang sepatu (hibiscus) tidak memiliki efek redam sebesar pohon mangrove, tapi masih tetap mengurangi energi gelombang. Pepohonan tersebut dengan efektif memerangkap bebatuan dan meredam laju air. Dinding-dinding beton dan kaca-kaca pengaman di hotel-hotel juga telah mengurangi korban. Para peneliti tersebut pergi ke Maladewa sekitar 6 minggu setelah tsunami sebagai bagian dari penelitian untuk membuat hotel dan bangunan lain di Hawaii lebih aman. Hal ini menggambarkan betapa bencana seperti tsunami dapat menyebabkan masalah yang sama di seluruh samudera di dunia. Orang-orang Maladewa yang tidak terlibat dalam dunia wisata biasanya miskin. Sekarang telah terjadi penurunan jumlah turis di negara tersebut akibat kerusakan-kerusakan di berbagai hotel. Hal yang sama terjadi setelah Topan Iniki menghantam Kauai, menghentikan mesin ekonomi untuk pulau tersebut. Diperlukan beberapa tahun sebelum ekonomi kawasan tersebut pulih kembali. Seperti halnya Maladewa, walaupun tidak banyak korban jiwa setelah Topan Iniki, namun kehilangan besar dalam ‘jalan hidup’ manusia tetap terjadi (dari Barbara Keating dan Charles Helsley, dilaporkan dalam Associated Press, www.newsday.com).

37

Status Terumbu Karang di Negara-negara yang Terkena Dampak Tsunami 2005

Peta ini memperlihatkan zona-zona kegiatan seismik utama untuk gempa bumi dan gunung api yang dapat menyebabkan tsunami. Gempa bumi tanggal 26 Desember 2004 terjadi kira-kira di pertengahan garis patahan dari Timor di daerah timur hingga Kep. Nikobar di utara (dari Viacheslav Gusiakov).

Kerusakan akibat tsunami sering menyerupai kerusakan akibat badai tropis, sebagaimana telah diamati dari tsunami Samudera Hindia. Kebanyakan terumbu karang mengalami kerusakan minimal dengan kerusakan maksimum 10% di kebanyakan kawasan. Hal ini merupakan indikasi bahwa terumbu karang memang menyerap sebagian energi tsunami, sehingga secara sebagian mengurangi dampak tsunami terhadap daratan. Namun, tinggi gelombang tsunami jauh lebih tinggi dari gelombang karena badai tropis. Sebuah badai tropis dapat mengirimkan gelombang yang menghancurkan terumbu karang selama beberapa hari, di mana setiap gelombang menambahkan dampak yang telah dibuat oleh gelombang sebelumnya. Kebanyakan gelombang yang terjadi tanggal 26 Desember melanda karang dan menghempas di pantai-pantai, sementara gelombang badai biasanya pecah di terumbu karang. Hantaman meteor telah menyebabkan kerusakan hebat terhadap terumbu karang pada beberapa kejadian kepunahan utama. Namun, tak ada kejadian serupa itu yang menghancurkan ekosistem bahari akhirakhir ini. Iklim dan cuaca: Badai tropis (siklon, taifun, hurikan) adalah hal yang umum terjadi di lautan tropis; biasanya terjadi di luar 7o Lintang Utara maupun 7o Lintang Selatan. Kebanyakan terumbu karang di luar lintang tersebut telah mengalami badai tropis dan biasanya pulih dari kerusakan yang dialami. Kerusakan biasanya terlokalisir, di mana kawasan sekitarnya hanya rusak sebagian atau malah tidak tersentuh badai. Kawasan sekitar tersebut akhirnya berfungsi sebagai penyedia larva terumbu karang untuk memulihkan terumbu karang yang rusak. Terumbu karang yang mengalami banyak badai tropis, seperti di Guam dan atol-atol Pasifik, telah mengembangkan komunitas karang yang rendah dan tahan gelombang. Karang juga dapat mati karena pemasukan air tawar selama badai tropis. Kejadian-kejadian tersebut biasanya terlokalisir dan memberikan dampak utama pada terumbu karang di paparan yang dangkal. Sekali lagi, terumbu karang tersebut biasanya cepat pulih dari tekanan tersebut. Cuaca yang tidak biasanya

38

Gempa Bumi, Tsunami, dan Tekanan-tekanan Lain terhadap Terumbu Karang dan Sumber Daya Pesisir

hangat dan tenang dapat juga mengakibatkan pemutihan karang yang merusak terumbu karang (lihat di bawah). Tekanan-tekanan biologis: Karang dan organisme lain yang hidup di terumbu dapat terpapar oleh tekanan-tekanan biologis seperti predator dan penyakit. Dalam dekade terakhir, wabah predator seperti bintang laut duri (Acanthaster planci) dan gastropoda pemakan karang Drupella telah menimbulkan kerusakan besar terhadap terumbu karang, dan sering menghancurkan kawasan karang yang luas. Walaupun kedua binatang tersebut mengalami evolusi di terumbu karang, masih terjadi diskusi hangat tentang apakah kejadian-kejadian tersebut adalah alami, atau disebabkan, atau diperparah, oleh kegiatan manusia. Saat ini ada gunungan bukti bahwa timbulnya wabah predator yang parah tersebut berkorelasi dengan gangguan manusia terhadap ekosistem atau perubahan iklim global. Penyakit-penyakit yang dialami oleh karang dan biota terumbu karang yang lain juga merupakan tekanan alami yang kemungkinan telah berevolusi bersama dengan organisme-organisme tersebut selama jutaan tahun. Namun terdapat semakin banyak bukti akan meningkatnya penyakit-penyakit karang dalam beberapa dekade terakhir yang juga sangat berkaitan dengan kegiatan manusia yang mengganggu ekosistem. Kebanyakan bukti tersebut diperoleh dari peristiwa-peristiwa di Karibia dan sekitarnya selama tahun 1980-an dan 1990-an.

ILMUWAN MENEMUKAN ‘ZONA MATI’ DI EPISENTRUM TSUNAMI Pada ekspedisi ilmiah ke episentrum tsunami yang terjadi pada Desember 2004 yang lalu, para ahli biologi menemukan sedikit atau bahkan tidak adanya dampak tsunami terhadap fauna laut dalam, kecuali pada satu tempat di lepas pantai Sumatra, kedalaman sekitar 4,000 m. Lima bulan setelah kejadian tsunami 2004, para ilmuwan yang terlibat dalam survei bahari global tersebut melakukan penyelaman selama 11 jam di episentrum tsunami tersebut. Mereka sangat terkejut ketika menemukan sebuah ‘zona mati’, di mana tak satu pun mahluk hidup terlihat. Tidak ada apapun kecuali keheningan yang menakutkan. Lampu terang kapal selam ilmiah mereka menyoroti kegelapan, namun tidak menemukan satu pun tanda-tanda kehidupan. Ron O’Dor dari Dalhousie University di Canada yang bekerja untuk proyek Sensus Hidupan Laut berkata, “Orang pasti mengira tempat seperti ini akan cepat dikolonisasi lagi. Namun hal itu tidak terjadi. Belum pernah ada preseden seperti ini. Biasanya jika seseorang pergi ke dasar laut di mana pun dan mengambil sampel atau melihat ke sekitar, mereka akan menemukan suatu bentuk kehidupan.” Profesor O’Dor melanjutkan, “Tapi, lima bulan setelah gempa bumi, kawasan yang terbentuk akibat runtuhnya jurang bawah laut ini tetap kosong, tanpa kehidupan.” Kelompok tersebut sempat berharap untuk menemukan beberapa jenis ikan dan cephalopoda, teripang, bintang mengular, karang, spons, krustasea, dan cacing. Profesor O’Dor berpikir bahwa jurang yang runtuh telah mengubur sumber makanan ikan-ikan pemakan serasah di dasar laut (bottom feeders), yang pada gilirannya mempengaruhi predator-predator besar. “Belum pernah ada yang pergi ke tempat seperti ini dalam waktu sedini ini,” ujarnya. “Sepertinya diperlukan waktu beberapa lama sebelum tempat ini menjadi normal kembali. Di kedalaman ini, laut sangat dingin. Pada umumnya, kecepatan tumbuh kehidupan adalah proporsional dengan suhu. Tidak ada yang tumbuh dengan sangat cepat pada suhu 4° C.” Penemuan dan pelaporan temuan di episentrum tsunami ini menandai separuh capaian dari sebuah proyek ambisius untuk membuat katalog seluruh kehidupan di laut pada tahun 2010. Proyek 10 tahun tersebut dimulai pada tahun 2000 dengan sekitar 250 kolaborator. Dalam lima tahun berikutnya, angka tersebut telah berlipat hampir tujuh kalinya dengan lebih dari 1.700 ahli dari 73 negara bekerja untuk menghasilkan sensus pertama pada tahun 2010. Kebanyakan jenis baru telah ditemukan di sudut-sudut terdalam dan terpencil dari lautan. Para ilmuwan percaya bahwa semua hidupan laut yang sudah dikenali saat ini mungkin hanya merupakan 10% dari seluruh hidupan laut yang ada (dari Sensus Hidupan Laut – the Census of Marine Life, www.coml.org).

39

Status Terumbu Karang di Negara-negara yang Terkena Dampak Tsunami 2005

Tekanan-tekanan Antropogenik Walaupun terumbu karang telah mengalami tekanan-tekanan alami selama proses evolusi dan perkembangannya, tekanan antropogenik adalah fenomena baru yang sekarang paling banyak menyebabkan kerusakan terumbu karang. Buku ‘Kondisi Terumbu Karang Dunia: 2004’ (‘Status of Coral Reefs of the World: 2004’) telah melaporkan 10 tekanan antropogenik spesifik yang terbagi dalam tiga kategori: tekanan manusia secara langsung; ancaman perubahan global; serta kesadaran pemerintah dan kemauan politik yang rendah. Tekanan-tekanan ini banyak menyebabkan krisis global terumbu karang. Perkiraan saat ini adalah 20% dari terumbu karang sedunia telah hancur sedemikian rupa, sehingga mekanisme pemulihan alami tidak lagi efektif. Kebanyakan kehancuran tersebut proporsional dengan tingkat aktivitas manusia di dekat kawasan tersebut, terutama jika beberapa tekanan terjadi bersamaan pada satu kawasan terumbu karang. Namun kehancuran yang diderita ternyata cukup bervariasi sehingga tidaklah mungkin untuk membuat peringkat faktor penyebab kerusakan berdasarkan tingkat keparahan yang dihasilkan. Karang-karang di dekat daratan besar dengan populasi tinggi, lebih rawan terkena polusi zat hara dan sedimentasi. Di lain pihak, kegiatan perikanan yang merusak dapat menjadi ancaman utama karang-karang terpencil. Perubahan iklim global semakin menjadi ancaman dengan kerusakan yang terjadi akibat meningkatnya suhu dan keasaman lautan. Seluruh ancaman ini merupakan perwujudan dari kesadaran dan pemahaman yang rendah akan masalah-masalah yang dihadapi oleh terumbu karang, serta tidak cukupnya tindakan pemulihan yang diakibatkan oleh rendahnya kemauan politik oleh para pembuat kebijakan nasional dan internasional.

Tekanan manusia secara langsung Polusi sedimen: sedimen secara langsung memberi tekanan pada karang dengan mengurangi sediaan energi cahaya. Hal ini menghambat pertumbuhan karang, menutupi luasan karang, dan juga menambah penyakit karang. Polusi sedimentasi biasanya terjadi karena tata guna lahan yang buruk, penebangan hutan di daerah resapan air, pembangunan kawasan pesisir, dan penggalian untuk saluran dan pelabuhan. Polusi hara dan kimia: kebanyakan terumbu karang berevolusi di lingkungan yang rendah kadar haranya. Hal ini menyebabkan polusi hara dan kimia (yaitu zat hara organik dan non-organik, senyawa organik kompleks, dan logam berat) adalah penyebab utama rusaknya terumbu karang. Polutan-polutan ini tiba di kawasan terumbu karang dalam bentuk sedimen, limbah yang tidak mengalami perlakuan, sampah-sampah pertanian dan peternakan, serta limbah industri. Hal-hal tersebut memberikan tekanan kepada karang dengan cara memupuk pertumbuhan plankton yang pada gilirannya mengurangi cahaya yang masuk; merangsang pertumbuhan pesaing-pesaing karang; dan mempercepat perkembangan penyakit karang. Penangkapan ikan yang merusak dan berlebihan: kegiatan ini memberikan tekanan paling banyak pada terumbu karang sebagai akibat meningkatnya populasi manusia, pertumbuhan ekonomi regional dan permintaan global untuk makanan laut. Di masa lalu, kapal-kapal nelayan kecil hanya dapat menjangkau beberapa terumbu karang. Namun sekarang, kapal-kapal ikan besar bermotor yang terbuat dari aluminium dan fiberglass menyebabkan penangkapan berlebih di kawasan terumbu karang yang terpencil. Pada awalnya, target tangkapan para nelayan tersebut adalah ikan-ikan yang sangat dekat kehidupannya dengan karang, seperti kerapu, kakap, dan ikan kakatua (wrasse) besar. Ketika hasil tangkapan mulai menurun, para nelayan mulai menggunakan perangkap-perangkap yang lebih efektif, rawai dengan jaring yang kecil, serta tombak untuk menangkap ikan. Saat teknik-teknik tersebut gagal memberikan hasil tangkapan yang memadai, nelayan dapat saja memilih menggunakan bom untuk menambah hasil tangkapan. Penangkapan ikan yang merunut rantai makanan dari paling atas yaitu tingkat predator, ke omnivora, ke herbivora, dan akhirnya ke jenis-jenis pemakan plankton inilah yang 40

Gempa Bumi, Tsunami, dan Tekanan-tekanan Lain terhadap Terumbu Karang dan Sumber Daya Pesisir

akhirnya dapat mengganggu ekologi alami terumbu karang. Sebagai contoh, hilangnya ikan-ikan pemakan alga telah menyebabkan pertumbuhan makroalga yang berlebih. Hilangnya ikan-ikan predator dan omnivora juga menyebabkan meningkatnya predator terumbu karang itu sendiri. Sebuah contoh lain untuk penangkapan ikan yang berlebihan adalah adanya bukti bahwa ikan-ikan hiu makin sulit dijumpai di banyak terumbu karang, akibat pemanenan hiu untuk pasar sirip hiu di Asia. Pemboman ikan dan peletakan jangkar kapal juga dapat menyebabkan kerusakan fisik secara langsung terhadap hamparan karang, yang akhirnya mengurangi habitat ikan. Sulit sekarang untuk melihat ikan lebih panjang dari 10 cm di banyak terumbu karang di Afrika Timur, Asia Selatan dan Asia Tenggara, serta Karibia. Penggunaan sianida untuk memabukkan ikan-ikan di balik karang merupakan sebuah teknik perikanan yang merusak karang yang akhir-akhir ini marak berkembang. Sianida digunakan untuk memasok kebutuhan perdagangan ikan hias dan ikan pangan hidup untuk restoran-restoran di Asia. Perikanan sianida ini umumnya bersifat berpindah-pindah dari satu terumbu ke terumbu lain. Pasaran ini tercipta karena kebutuhan yang sangat tinggi akan ikan-ikan bermutu tinggi di pasaran di Hong Kong dan kawasan-kawasan sekitar di dataran Cina. Pembangunan wilayah pesisir: Dengan meningkatnya populasi manusia dan pertumbuhan ekonomi, pembangunan pesisir pun meningkat. Modifikasi garis pantai yang tidak sesuai, dapat merusak ekosistemekosistem alami dengan cara mengubah pola arus dan meningkatkan jumlah sedimen yang tersuspensi. Pembangunan pelabuhan, hotel, jetty, dan bandara di atas hamparan terumbu karang, serta pembuatan dinding-dinding penahan abrasi garis pantai juga dapat mengakibatkan kerusakan karang. Penambangan karang dan pasir yang berlebihan juga merupakan kegiatan yang sangat merusak. Walaupun tidak sah, akhir-akhir ini kegiatan tersebut telah meningkat karena merupakan bagian dari upaya yang terburu-buru untuk kembali membangun kawasan pasca tsunami.

Ancaman Perubahan Global Walaupun tekanan langsung akibat kegiatan manusia telah merusak terumbu karang sejak beberapa dekade, dan tetaplah menjadi ancaman yang paling signifikan saat ini, kini perubahan iklim global menjadi ancaman yang lebih besar bagi kesehatan terumbu karang dalam waktu dekat. Diperkirakan perubahan iklim akan menyebabkan kenaikan suhu air laut dan permukaan air laut, meningkatnya frekuensi dan intensitas badai tropis, dan bertambahnya konsentrasi CO2 terlarut. Walaupun kenaikan permukaan air laut bukanlah masalah bagi terumbu karang, hal ini akan mengancam populasi manusia yang menempati pulau-pulau karang yang berkontur rendah. Sebaliknya, meningkatnya suhu air laut menyebabkan lebih banyak terjadinya badai-badai tropis dan kadar keasaman laut, yang kini merupakan ancaman-ancaman utama bagi terumbu karang. Pemutihan karang dan badai-badai yang parah di Karibia dan sekitarnya di tahun 2005 terjadi karena meningkatnya suhu permukaan air laut. Pemutihan karang: Hal ini umumnya terjadi karena suhu laut yang lebih tinggi dari kisaran normal. Meningkatnya kejadian pemutihan karang akhir-akhir ini berhubungan langsung dengan perubahan iklim global. Peristiwa El Niño - La Niña di tahun 1997-98 telah menyebabkan banyak kematian karang di seluruh Samudera Hindia, Asia Tenggara, dan Pasifik Barat. Diperkirakan 16% terumbu karang dunia secara praktis hancur pada tahun 1998 (walau beberapa telah pulih setelah itu). Pada tahun-tahun belakangan ini, El Nino makin sering terjadi, dengan interval yang makin berkurang dari 12 tahun ke kurang dari 7 tahun sekali, walaupun catatan sejarah memang masih terlalu sedikit untuk mengkonfirmasi kecenderungan ini. Walaupun tidak sampai menyamai kejadian tahun 1998, beberapa kejadian pemutihan karang yang signifikan juga terjadi pada tahun 2000, 2002, 2003, dan 2005 di berbagai belahan dunia. Namun pada tahun 2002, Great Barrier Reef di Australia juga mengalami kejadian pemutihan karang dengan skala yang menyamai tahun 1998.

41

Status Terumbu Karang di Negara-negara yang Terkena Dampak Tsunami 2005

Badai tropis: Kenaikan frekuensi dan intensitas badai tropis juga diperkirakan merupakan dampak dari perubahan iklim global. Badai-badai semacam itu akan mengancam terumbu karang dan mengurangi proses pemulihan karang yang rusak karena akibat lain. Dengan meningkatnya permukaan laut, ombak badai yang timbul saat badai tropis akan membahayakan pulau-pulau karang berkontur rendah, terutama negara-negara atol (Maladewa, Tuvalu, Kepulauan Marshall, dan Kiribati). Meningkatnya konsentrasi CO2: Meningkatnya jumlah CO2 di atmosfir yang disebabkan oleh peningkatan emisi gas rumah kaca akan memperbesar konsentrasi CO2 terlarut dalam air laut. Pada gilirannya, hal ini akan menyebabkan lebih tingginya kadar keasaman air laut, yang mengurangi laju pengapuran karang dan biota laut lainnya, seperti alga pengapur, moluska, dan foraminifera. Penyakit, wabah, dan jenis invasif: Hal-hal tersebut nampaknya meningkat. Ada korelasi yang kuat antara timbulnya penyakit utama karang, merebaknya wabah serta timbulnya jenis invasif dengan gangguan yang diberikan manusia kepada lingkungan alami. Penyakit-penyakit karang telah sering diamati untuk menindaklanjuti kejadian polusi atau pemutihan karang. Implikasi pengamatan tersebut adalah bahwa karang yang mengalami stress juga menjadi kurang mampu menolak infeksi. Saat ini, 29 penyakit karang sudah ditemukan di lebih dari 150 jenis karang di Karibia dan Indo-Pasifik. Akibatnya, Karibia dan sekitarnya mengalami kerusakan karang yang lebih tinggi dibandingkan dengan karang-karang di IndoPasifik. Pada saat yang sama, terjadi ledakan wabah predator karang, seperti bintang laut berduri/bulu seribu (Acanthaster planci). Semakin banyak laporan tentang timbulnya wabah semacam itu di dekat pemukiman manusia, terutama jika ada bukti penangkapan ikan yang berlebihan dan/atau peningkatan pasokan zat hara dari daratan. Kedua situasi tersebut mendukung kelangsungan hidup bintang laut berduri pada fase planktonik dan juwana. Laporan juga masuk mengenai kerusakan karang akibat predasi dari moluska gastropoda Drupella. Selain itu, kematian masal bulu babi pemakan alga, Diadema antillarum, di Karibia pada awal 1980-an telah menyebabkan perubahan besar pada terumbu karang di kawasan tersebut dengan adanya ledakan pertumbuhan alga. Kini jenis invasif dikenal sebagai ancaman potensial utama terhadap keseimbangan ekologis terumbu karang. Penyakit yang membunuh Diadema antillarum kemungkinan masuk ke Karibia dari Kanal Panama. Jenis invasif yang telah merusak karang-karang di Hawaii dan Karibia juga dicurigai masuk melalui air balas (ballast) kapal-kapal kargo, atau dari pelepasan spesimen akuarium yang tidak dilaporkan dengan baik.

Kepemimpinan, kesadaran, dan kemauan politik Jumlah penduduk dan kemiskinan: Tekanan-tekanan antropogenik meningkat karena bertambahnya jumlah penduduk dan interaksi mereka dengan terumbu karang. Tekanan tersebut berkaitan dengan kemiskinan dan meningkatnya kebutuhan manusia untuk pindah ke kawasan pesisir yang jauh dari lahan pertanian yang tidak produktif. Hal ini memperbesar eksploitasi sumber daya terumbu karang melebihi batas-batas lestari. Tekanan semacam ini akan tetap berlangsung di kawasan terumbu karang, kecuali dilakukan tindakan pencegahan. Kemampuan dan sumber daya yang tidak memadai: Kebanyakan negara yang memiliki terumbu karang tidaklah memiliki sumber daya logistik dan pendanaan yang memungkinkan untuk pengelolaan terumbu karang yang efektif. Kebanyakan negara tersebut adalah negara berkembang berbentuk pulau kecil (SIDS – Small Island Developing States) atau negara berkembang tropis pesisir yang dimintai bantuan oleh masyarakat dunia untuk melindungi sumber daya terumbu karang mereka yang kaya akan pangan dan keanekaragaman hayati. Hal ini hanya mungkin terjadi jika masyarakat dunia memberikan bantuan 42

Gempa Bumi, Tsunami, dan Tekanan-tekanan Lain terhadap Terumbu Karang dan Sumber Daya Pesisir

pelatihan, dana, dan sumber daya kepada negara-negara tersebut, sehingga mereka mampu menerapkan kegiatan konservasi secara terus menerus. Sebagai contoh, banyak pemerintah negara berkembang yang telah mendeklarasikan Daerah Perlindungan Laut (Marine Protected Area – MPA) untuk melindungi terumbu karang mereka, namun tidak memiliki sumber daya yang memadai untuk menegakkan peraturanperaturan konservasi. Kemauan politik yang rendah dan kapasitas kepemimpinan: Hal ini sering terjadi akibat kurangnya informasi yang berkaitan dengan pentingnya terumbu karang dan masalah-masalah yang dihadapi ekosistem ini dalam setiap lapisan masyarakat, dari masyarakat kecil hingga pejabat-pejabat pemerintah. Pemerintah sering menghadapi masalah penyediaan pangan dan papan dengan dana yang terbatas untuk penduduk yang makin bertambah. Hal ini dapat membuat mereka beranggapan bahwa isu-isu lingkungan dapat dipecahkan di lain waktu. Masyarakat dunia dapat membantu dengan cara membuat kegiatan yang bertujuan untuk mengelola kerusakan terumbu karang pada tingkat akar rumput. Selain itu, bantuan juga dapat diberikan untuk menerapkan kepemerintahan yang efektif yang akan memberantas korupsi.

KESIMPULAN: TSUNAMI DAN TERUMBU KARANG Tidak ada bukti bahwa kerusakan parah di daratan akibat tsunami juga terjadi pada terumbu karang dan ekosistem pesisir lain di Samudera Hindia. Walaupun ada beberapa contoh tentang kerusakan parah di beberapa tempat, kebanyakan terumbu karang dan mangrove mengalami kerusakan sedang, yang dapat dibandingkan dengan kerusakan akibat badai tropis yang ganas. Sehingga, dari sudut pandang terumbu karang, tsunami harus dipandang sebagai salah satu tekanan alami yang tidak dapat dihindari, yang memang terjadi secara tidak rutin. Namun, kerusakan di darat akibat tsunami dapat dikurangi melalui pengelolaan yang efektif yang akan melindungi terumbu karang dari penambangan karang dan kegiatan merusak lainnya. Selain itu perlindungan mangrove dan hutan-hutan pesisir harus dilakukan, seraya memastikan bahwa kegiatan pembangunan fisik dilakukan di balik jajaran gundukan utama pasir pantai. Pengelolaan sumber daya alam harus terus dititikberatkan pada tekanan-tekanan utama yang menghasilkan kerusakan utama pada terumbu karang, yaitu: tekanan dari kegiatan manusia secara langsung; ancaman perubahan global; serta tidak memadainya kepemimpinan, kesadaran, dan kemauan politik. Diramalkan bahwa terumbu karang di Samudera Hindia akan pulih dari kerusakan akibat tsunami yang lalu dalam waktu 5 hingga 10 tahun, dengan syarat bahwa tekanan-tekanan antropogenik juga dikurangi. Sekiranya pengelolaan yang efektif terjadi, maka terumbu karang akan memiliki kelentingan dan ketahanan yang lebih tinggi terhadap bencana-bencana alam. Seperti halnya pengelolaan yang efektif juga akan memberikan perlindungan bagi garis pantai kawasan tropis dari serangan ombak badai yang diperkirakan akan sering terjadi bersamaan dengan perubahan iklim global.

PENINJAU Glenn Dolcemascolo, Nicola Doss, Helen Fox, Bernard Salvat, dan Kristian Teleki.

ACUAN Bab ini memperoleh bahan dari pustaka-pustaka berikut ini, yang di dalamnya masing-masing juga memuat lebih banyak lagi informasi pustaka:

43

Status Terumbu Karang di Negara-negara yang Terkena Dampak Tsunami 2005

Chatenoux B, Peduzzi P (2006) Impacts from the 2004 Indian Ocean Tsunami: analysing the potential protecting role of environmental features. Natural Hazards, dalam persiapan, (disusun oleh UNEP GRID). Wilkinson C (2004) Executive Summary. Dalam: Wilkinson C (ed.) Status of coral reefs of the World: 2004, Global Coral Reef Monitoring Network and Australian Institute of Marine Science, Townsville, Queensland, Australia, pp. 7-50. Wilkinson C (2006) Finding the balance in coral reef conservation: lessons from the global report and the Indian Ocean tsunami. Makalah dipresentasikan pada sesi ‘Reefs of the World’ pada World Maritime Technology Conference, 07 Maret 2006 dan dipublikasikan dalam prosiding.

44

3. STATUS TERUMBU KARANG DI INDONESIA PASCA TSUNAMI DESEMBER 2004

CIPTO AJI GUNAWAN, GERRY ALLEN, GIORGIO BAVESTRELLO, CARLO CERRANO, AYU DESTARI, BOB FOSTER, ANNELISE HAGAN, IBNU HAZAM, ZEEHAN JAAFAR, YAN MANUPUTTY, NISHAN PERERA, SILVIA PINCA, IVAN SILABAN, DAN YUNALDI YAHYA

RINGKASAN Tsunami tahun 2004 adalah bencana alam terburuk dalam sejarah Indonesia. Lebih dari 120.000 orang meninggal atau hilang, lebih dari 500.000 orang kehilangan rumah mereka; dan lebih dari 250.000 rumah hancur atau rusak; total kerugian melebihi US$ 4,5 milyar (sekitar 97% dari pemasukan daerah Aceh); Pemecah ombak, tanggul-tanggul pencegah banjir, saluran-saluran irigasi, dan dermaga-dermaga mengalami kerusakan parah dengan perkiraan kerusakan di Aceh mencapai US$ 72,1 milyar; Sektor-sektor pertanian, budidaya air, perikanan, dan pariwisata mengalami kehancuran yang parah, sehingga mengancam ketersediaan pangan dan mata pencaharian masyarakat. Karena perikanan merupakan kegiatan yang paling penting di kawasan yang terlanda tsunami, maka 42.000 hingga 58.000 nelayan dan keluarganya merasakan dampak tsunami, dengan total kerugian diperkirakan mencapai US$ 52 milyar; Kerusakan terumbu karang diperkirakan mencapai 30% dari total 97.250 hektar terumbu karang di tempat tersebut; namun terdapat perbedaan mencolok antara kerusakan di satu tempat dengan tempat lainnya. Terumbu karang di beberapa lokasi mengalami kerusakan struktur karena gempa bumi, sementara terumbu lain di dekatnya hanya mengalami kerusakan kecil; sebagian besar mengalami kerusakan sedang akibat tsunami, walau sebagian lagi rusak total; serta Ancaman terparah yang terus menimpa terumbu karang adalah puing-puing yang terbawa ke lautan, serta tekanan wilayah pesisir seperti penangkapan ikan yang berlebih, polusi, dan pembangunan yang tidak lestari. Pada akhirnya, kebanyakan terumbu karang akan pulih kembali jika tidak mengalami stress lanjutan.

PENGANTAR Tsunami tahun 2004 telah menimbulkan kerusakan parah di Propinsi Aceh, di bagian utara Sumatra, serta menelan korban jiwa dan kerusakan fasilitas lebih banyak dari kejadian-kejadian lain yang tercatat

45

Status Terumbu Karang di Negara-negara yang Terkena Dampak Tsunami 2005

dalam sejarah Indonesia. Gelombang tsunami pertama menghantam Pulau Simeulue, 40 km dari episentrum, hanya beberapa menit setelah gempa terjadi. Kerusakan terparah di daratan terjadi di kawasan Propinsi Aceh yang terdekat, menimbulkan dampak yang parah dan meluas mulai dari Meulaboh hingga Banda Aceh, Aceh Besar, dan Aceh Jaya. Gelombang setinggi 30 m menghantam pesisir barat dan timur Sumatra, menimbulkan kerusakan luar biasa terhadap garis pantai dan penduduk di sana. Tsunami tersebut membungkus tepian pulau, gelombangnya membanjiri desa-desa pesisir utara Sumatra hingga 500 m ke arah daratan. Di bagian barat pulau Sumatra, gelombang tsunami membanjiri kawasan tersebut hingga setidaknya 2 km ke arah daratan, dengan intrusi air laut melanda sungai dan muara hingga 6 km jauhnya. Kerusakan yang diderita Indonesia sangatlah parah: korban jiwa atau orang hilang lebih dari 120.000 jiwa; lebih dari 500.000 manusia kehilangan rumah tinggal, dan lebih dari 250.000 rumah hancur atau rusak. Sekitar 750.000 jiwa terkena dampak langsung tsunami, walaupun banyak juga yang menderita secara tidak langsung akibat hilangnya sanak keluarga, teman, mata pencaharian, atau mengalami trauma lainnya. Kerugian yang diderita diperkirakan mencapai US$ 4,45 milyar (sekitar 97% dari pemasukan daerah Aceh). Kegiatan ekonomi di kawasan-kawasan yang dilanda tsunami diperkirakan berkurang hingga 14%, termasuk kehilangan produktivitas sebesar US$ 1 milyar. Citra satelit kawasan tersebut menunjukkan perubahan drastis pada garis pantai dan dasar laut sekitarnya. Pemecah ombak, banjir kanal, dan dermaga mengalami kerusakan parah. Diperkirakan kerusakan sistem pengendalian banjir dan pemecah ombak di daerah Aceh saja mencapai US$ 72,1 juta. Hilangnya banyak pantai di pesisir barat dapat mengurangi potensi reproduksi penyu hijau, penyu sisik, dan penyu belimbing yang memerlukan pantai-pantai tersebut untuk bertelur. Dua cagar alam laut yaitu Cagar Alam 46

Status Terumbu Karang di Indonesia Pasca Tsunami Desember 2004

Laut Pulau Weh (3,900 ha) dan Taman Wisata Laut Kapulauan Banyak (227,500 ha) berada dalam kawasan bencana, sekalipun studi yang rinci tentang dampak tsunami terhadap Daerah Perlindungan Laut (MPA) di Indonesia belum dilakukan. Terumbu karang dan hutan mangrove juga hancur oleh tsunami. Kawasan pesisir mengalami kerusakan langsung dan tidak langsung, termasuk diantaranya pasokan limbah padat yang mengandung logam berat dalam konsentrasi tinggi, kontaminasi air tanah, serta infrastruktur pesisir yang tidak stabil. Ancaman paling serius terhadap terumbu karang berasal dari sampah alami dan sampah buatan manusia, seperti kendaraan, sedimen, pepohonan, infrastruktur pesisir, dan bermacam-macam benda lain yang tersapu ke dalam lautan. Sekitar 5-7 juta m3 sampah terakumulasi di kawasan bencana. Menjelang pertengahan tahun 2005, diperkirakan sekitar 500.000 m3 lumpur dan sampah masih menyelimuti kota Banda Aceh. Banyaknya sisa sampah dan sedimen akan terus menggerus dan menutupi karang, dan menghambat pertumbuhan larva karang baru.

STATUS TERUMBU KARANG SEBELUM TSUNAMI Dari 17.500 pulau di Kepulauan Nusantara, banyak di antaranya dikelilingi oleh terumbu karang. Lebih dari 590 jenis karang keras telah dicatat sebelum tsunami. Banyak terumbu karang di Indonesia memiliki lebih dari 140 jenis karang keras. Sejak 1994, pemantauan terumbu karang telah dilakukan di bawah koordinasi Coral Reef Rehabilitation and Management Programme (COREMAP). Dengan 340 situs pemantauan awal, kini mereka telah memiliki 648 situs pemantauan permanen di seluruh Indonesia, hampir dua kali lipat kondisi awal. Bersama dengan lembaga-lembaga internasional seperti Reef Check

SEBUAH KESAKSIAN “Kami tinggal di belokan sungai di desa Lhoknga, Aceh. Dari teras rumah, melalui pepohonan, kami dapat melihat ombak memecah di terumbu karang lepas pantai. Hari Minggu tanggal 26 Desember 2004 adalah hari yang cerah, dengan cahaya di lepas pantai dan ombak setinggi kepala. Pada pukul 8 pagi kami merasakan getaran awal gempa, kemudian lari ke rerumputan, jauh dari pepohonan. Kami merunduk begitu gempa semakin parah. Para wanita berdoa kepada Allah, dan zikir mereka bertambah keras seiring dengan bertambahnya kekuatan getaran yang terasa. Getaran gempa itu kemudian menjadi makin keras. Tanah tempat kami berpijak naik dan turun seperti piston. Setelah sekitar 4 menit, gempa mereda. Saya langsung berpikir untuk mengambil apapun yang kami perlukan dari rumah dalam waktu jeda antar getaran, sebelum gempa yang lebih besar mengambrukkan rumah saya. Getaran itu kembali lagi secara periodik. Kami keluar masuk rumah, menghitung waktu di antara getaran. Setelah sekitar 20 menit, kami mendengar tiga ledakan besar yang teredam, dari laut, diikuti suara menggelegar seperti halnya pesawat jet bernada tinggi. Kami berlari ke sungai untuk mengintip di antara pepohonan, lalu melihat gelombang berwarna hijau setinggi 12 meter dengan bibir busa berwarna kuning menghampiri terumbu dekat mulut sungai. Saya sadar, gelombang seperti itu pasti dengan mudah menyapu rumah kami. Para wanita mulai berteriak saat lautan mulai mendorong sungai ke pedalaman, dengan jalur-jalur busa warna kuning dan putih yang dengan cepat membanjiri pinggir sungai kami setinggi 3 m. Kami melompat ke dalam mobil. Sementara perhatian saya terfokus ke depan, Nurma istri saya menengok ke belakang dan melihat Bebe, ahli tumbuhan berumur 65 tahun yang berusaha menanjaki jalan dengan anak-anak dan cucunya. Kami tidak dapat melakukan apapun. Gelombang air hanya berjarak sekitar beberapa meter dari mereka, mereka sudah sangat dekat dengan maut. Hampir 80% penduduk Kampung Monikuen dan Weuraya meninggal, hampir semua rumah hancur. Tak satupun tertinggal, kecuali beberapa pohon cemara laut yang terhempas sejauh 10 m. Istri saya kehilangan ibunya, dua orang saudaranya, serta 30 sanak keluarga (dari David Lines, [email protected]; laporan menyeluruh di www.sifr.jcu.edu.au/ahb/dave.php)

47

Status Terumbu Karang di Negara-negara yang Terkena Dampak Tsunami 2005

Perkiraan kerusakan dan kehilangan yang diderita perekonomian Indonesia, yang menggambarkan parahnya gempa bumi dan tsunami pada 26 Desember 2004 (dalam US$ juta, dari BAPPENAS 2005). Dampak total

Fasilitas

Kerusakan

Kehilangan

Total

Pribadi

Umum

Sektor sosial

1.674,9

65,8

1.740,7

1.440,6

300,1

Perumahan

1.398,3

38,8

1.437,1

1.408,4

28,7

Pendidikan

110,8

17,6

128,4

9,0

119,4

Kesehatan

82,5

9,4

91,9

23,2

68,6

Budaya/agama

83,4

-

83,4

-

83,4

Infrastruktur

636,0

240,8

876,8

325,9

550,8

Transportasi

390,5

145,4

535,9

165,8

370,1

Komunikasi

18,9

2,9

21,8

8,6

13,2

Energi

67,8

0,1

67,9

1,1

66,9

Air/sanitasi

26,6

3,2

29,8

18,3

11,4

Kendali banjir

132,1

89,1

221,2

132,1

89,1

Sektor produktif

351,9

830,2

1.182,1

1.132,0

50,1

Pertanian

83,9

140,9

224,8

194,7

29,9

Perikanan

101,5

409,4

510,9

508,5

2,5

Jasa

166,6

280,0

446,6

428,9

17,7

Lintas sektor

257,6

394,4

652,0

562,9

89,1

Lingkungan hidup

154,5

-

154,5

548,9

-

Kepemerintahan

89,1

-

89,1

-

89,1

Perbankan/keuangan Total dampak

14,0

-

14,0

-

14,0

2.920,4

1.531,2

4.451,6

3.461,4

990,1

Indonesia, Project Wallacea di Wakatobi, The Nature Conservancy di Komodo, serta WWF di Bali dan Karimunjawa, COREMAP telah menstimulir pelatihan lokal dan koordinasi di seluruh Kepulauan Nusantara. Kegiatan manusia adalah penyebab utama penurunan kondisi terumbu karang di Indonesia. Penduduk dan pembangunan di kawasan pesisir telah meningkatkan polusi dan penebangan hutan, yang berakibat pada masuknya sedimentasi dan polusi ke terumbu karang. Penangkapan ikan yang merusak, terutama pemboman dan peracunan dengan sianida yang marak di seluruh Indonesia, juga telah menghancurkan terumbu karang. Penangkapan ikan segar untuk pangan dan akuarium telah menimbulkan dampak yang buruk, yang jelas teramati sebelum tsunami. Beberapa lembaga yang terlibat dan bertanggung jawab terhadap pengelolaan terumbu karang di Indonesia adalah: Menteri Lingkungan Hidup yang memperhatikan isu-isu lingkungan; Direktorat Jendral PHKA (Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam), Kementrian Lingkungan Hidup, Departemen Kehutanan, dan Departemen Kelautan dan Perikanan. Saat ini, Indonesia menerapkan Program Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Sumber Daya Alam yang terdesentralisasi untuk menimbulkan rasa tanggung jawab akan sumber daya alam pada pemerintahan daerah.

48

Status Terumbu Karang di Indonesia Pasca Tsunami Desember 2004

STATUS TERUMBU KARANG PASCA TSUNAMI Berdasarkan hasil penelitian awal yang dilakukan oleh BAPPENAS (Badan Perencanaan Pembangunan Nasional) diperkirakan bahwa 30% dari 97.250 ha terumbu karang menderita kerusakan senilai US$ 332,4 juta. Hasil dari survei singkat menunjukkan bahwa kerusakan bervariasi antar lokasi, walaupun informasimengenai kondisi terumbu karang di Sumatra bagian utara sebelum tsunami masih terbatas. Sekalipun beberapa terumbu yang langsung terimbas oleh gempa bumi menunjukkan kerusakan mekanis yang substansial, namun terumbu-terumbu di sekitarnya hanya mengalami kerusakan ringan. Sebagian besar terumbu mengalami kerusakan sedang, sementara sebagian kecil terumbu hancur total (lihat foto sampul buku). Pulau Weh: Terumbu karang yang mengelilingi Pulau Weh di lepas pantai Banda Aceh berada kurang dari 300 km dari episentrum gempa. Jika dibandingkan dengan survey tahun 2003, tidak ada perubahan signifikan terhadap karang keras di tempat tersebut 100 hari setelah tsunami. Rata-rata tutupan karang pada tiga situs dangkal (< 2 meter) adalah sekitar 43% pada bulan Maret 2003 dan 47% pada bulan Maret 2005. Kerusakan yang berkaitan dengan tsunami di tempat-tempat lain, bersifat tidak merata dan berkaitan langsung dengan topografi bawah laut serta bentuk dan struktur terumbu. Karang-karang yang tumbuh pada dasar yang kuat kebanyakan tidak terpengaruh tsunami, walaupun ada sedikit cabangcabang yang patah. Karang-karang yang tumbuh pada pecahan karang atau dasaran pasir yang tidak padat, mengalami lebih banyak kerusakan. Banyak koloninya yang terbalik, terkubur, atau terlempar ke bagian lain terumbu. Meningkatnya sedimentasi di beberapa wilayah telah memicu pemutihan karang, kemungkinan karena berkurangnya pasokan cahaya matahari. Namun, karang- dari marga Acropora masih mampu bereproduksi. Di kawasan semacam ini, karang diharapkan dapat pulih kembali dalam waktu beberapa tahun. Survei lanjutan pada 15 titik di sekitar Pulau Weh di tahun 2005 menunjukkan kerusakan yang berkisar dari patahan yang hampir tidak kentara hingga kerusakan yang parah. Terumbu karang pada Laguna Gapang (juga dikenal sebagai Teluk Lhok Weng) secara praktis hancur, berubah menjadi pecahan karang, bebatuan, dan sisa pohon-pohon mangrove. Tsunami juga menyebabkan pasir di laguna tersedot total ke perairan yang lebih dalam. Namun demikian, beberapa penyelam berpendapat bahwa kerusakan yang ada telah terjadi sejak sebelum tsunami, yang kemungkinan besar disebabkan oleh limpasan dari darat akibat berkurangnya vegetasi di daerah pesisir. Sekitar 14 ha (60%) hutan mangrove yang mengelilingi teluk juga hancur. Hampir 75% dari terumbu di dekat desa Iboih rusak parah. Pola kehancurannya dapat diperkirakan. Paparan terumbu dangkal di teluk atau saluran-saluran yang sempit, mengalami kehancuran yang paling parah, sedangkan situs-situs dengan garis pantai curam yang menjorok ke laut dalam biasanya selamat. Lebih dari 90% kerusakan timbul pada kedalaman antara 3 - 10 m, sedangkan terumbu yang tidak langsung terpapar oleh lautan bebas biasanya tidak terlalu terpengaruh tsunami. Kuala Jambu Air: Muara di pesisir utara Sumatra seluas 10.000 ha ini mengalami kerusakan relatif kecil. Hutan mangrovenya mendukung kehidupan udang, kepiting, ikan, serta banyak jenis burung. Hutanhutannya dieksploitasi untuk batubara. Blok Kluet: Lahan basah seluas 200 ha di Blok Kluet, 20 km di selatan Tapak Tuan, hanya mengalami kerusakan kecil. Lahan basah ini meliputi rawa-rawa air tawar dan hutan gambut, dan ditinggali oleh binatang-binatang yang terancam punah seperti harimau Sumatra, buaya muara, serta penyu sisik dan penyu belimbing. Pulau Simeulue: Sekalipun pulau ini mengalami kerusakan parah, masyarakat lokalnya tetap memelihara kearifan tradisional dengan mengungsi secepatnya ke dataran yang lebih tinggi begitu gempa bumi terjadi. Sebelum tsunami, ekosistem lahan basah di pesisir pulau ini berada dalam kondisi yang relatif 49

Status Terumbu Karang di Negara-negara yang Terkena Dampak Tsunami 2005

baik, sehingga menambah sistem perlindungan pesisir. Terumbu karang, padang lamun, dan hutan mangrove di pulau ini didiami oleh banyak jenis yang terancam punah, termasuk tiga jenis penyu, duyung, dan banyak pohon. Bagian pesisir Barat Laut Pulau Simeuleu mengalami kerusakan parah, walaupun pesisir timur dan selatan pulau Simeulue tidak mengalami kerusakan parah. Akibat gempa tersebut, sepetak besar karang terangkat setinggi 1-2 m di atas permukaan laut, sehingga membunuh karang-karang di sana (lihat sampul depan). Seluruh biota pada terumbu yang terangkat ini masih tetap utuh, namun menjadi putih karena terpapar sinar matahari. Beberapa koloni besar Porites patah dan terguling ke pantai. Situasi ini mirip dengan situasi di pulau Salaut Kecil di utara, di mana satu petak batuan dasar laut terangkat dan terpapar matahari, dengan celah-celah di petak tersebut yang terjadi akibat gempa. Bagian terumbu karang yang terendam air masih bertahan hidup, walaupun banyak karangnya yang menunjukkan kerusakan mekanis dan gejala-gejala penyakit. Karang bercabang Acropora adalah karang yang paling terimbas, sementara bentukan karang keras dan karang mengerak seperti Porites dan Goniastrea tampak utuh. Banyak koloni karang yang terkubur sebagian oleh sedimen sehingga ada bagian yang mati. Hal ini tampak jelas pada terumbu-terumbu di depan sawah, di mana gelombang tsunami masuk sejauh 1 km ke darat, dan gelombang baliknya membawa lumpur ke laut sehingga menutupi karang dan membuat air menjadi keruh. Kepulauan Pulo Aceh: Kegiatan pemboman ikan yang dilakukan sebelum tsunami telah menyebabkan kerusakan parah pada terumbu karang di daerah ini (Pulau Breueh, Pulau Nasi, Pulau Teunom, Pulau Batee, dan beberapa pulau kecil), yang kemudian menyebabkan pemerintah mencanangkan Kecamatan Aceh Besar sebagai kawasan konservasi. Tsunami telah menyebabkan kerusakan serius di Kepulauan Pulo Aceh, seperti pepohonan kelapa tercerabut dari akarnya dan pantai-pantai peneluran penyu menjadi hancur total. Dampak terhadap komunitas ikan: Rasio ikan pemakan karang dan ikan pemakan alga di Pulau Simeulue berubah akibat sedimentasi yang parah dan kerusakan mekanis terhadap karang (misal di Teluk Langi). Jarangnya ikan pemakan karang (Chaetodon trifasciatus, C. trifascialis, C. triangulum, C. ornatissimus, C. meyeri) kemungkinan merupakan dampak langsung dari hilangnya karang. Kini banyak ikan pemakan alga (Acanthuridae, Scaridae and Siganidae) memakan alga hijau yang tumbuh pada pecahan karang dan karang mati. Namun banyaknya ikan juwana (70% dari ikan pemakan alga dan 80% dari ikan pemakan karang adalah juwana) di tempat-tempat yang mengalami sedimentasi tersebut merupakan pertanda baik untuk masa mendatang. Kerusakan padang lamun: Beberapa penyelam dan ilmuwan dari berbagai organisasi konservasi menyatakan bahwa mereka tidak pernah menemukan padang lamun di Kepulauan Pulo Aceh maupun di sekitar Pulau Weh. Namun demikian, telah dilakukan pengamatan oleh BAPPENAS yang memperkirakan kerusakan padang lamun seluas 600 ha, yang setara dengan kerugian bersih ekonomi sebesar US$ 2,3 juta akibat tsunami. Hanya ada sedikit data tentang status padang lamun Indonesia baik sebelum maupun sesudah tsunami. Kebanyakan kerusakan padang lamun di Indonesia terjadi akibat arus balik yang membawa sejumlah besar sampah dan sedimen ke laut, hingga menutupi atau melibas kawasan-kawasan padang lamun yang penting. Kerusakan mangrove: hanya 10% dari 345.000 ha hutan mangrove di Aceh (terutama di Pulau Simeulue) yang masih berada dalam kondisi baik. Kebanyakan kawasan mangrove di sekitar Aceh sudah terdegradasi sebelum tsunami 2004. Perkiraan tahun 2000 menunjukkan bahwa lebih dari 25,000 ha mangrove telah rusak, kebanyakan karena meningkatnya pembangunan pesisir. Saat ini hanya ada sedikit data dampak tsunami terhadap mangrove Indonesia. Sekalipun demikian, laporan-laporan dari penduduk lokal dan organisasi-organisasi kemanusiaan memperkirakan bahwa kerusakan terlokalisir hanya di beberapa tempat. 50

Status Terumbu Karang di Indonesia Pasca Tsunami Desember 2004

APAKAH DAMPAK MANUSIA LEBIH BURUK DARI TSUNAMI?

Tutupan karang (%)

Sekalipun tsunami Sumatra-Andaman adalah salah satu bencana alam terburuk dalam catatan sejarah manusia, kerusakan terumbu karang di pesisir barat laut Aceh di Indonesia ternyata cukup terbatas, walaupun ada sebagian kecil kawasan yang hancur total. Kondisi terumbu karang sebelum tsunami di kawasan ini bervariasi di berbagai tempat dan berkorelasi dengan kegiatan manusia. Dimana kegiatan perikanan terkendali, tutupan karang hidupnya pun tinggi. Sementara itu, tutupan karang yang rendah dengan tutupan alga yang tinggi di terumbu terjadi jika ada kegiatan perikanan yang merusak (seperti bom ikan) di tempat itu. Bergesernya sistem terumbu dari yang diliputi oleh karang menjadi yang diliputi oleh alga dapat diperparah oleh tsunami, yang membawa pasokan sedimen dan zat hara. Namun, nampaknya kegiatan manusia yang tidak lestari membawa dampak lebih parah terhadap terumbu karang di Aceh dibandingkan dengan gangguan alami yang jarang terjadi seperti tsunami. Sedemikian kuat dan tingginya gelombang tsunami menyapu terumbu karang sehingga kerusakan yang ditimbulkan oleh manusia terhadap karang sebelum tsunami tidaklah mempengaruhi kerusakan parah yang diderita oleh daratan (dari Andrew Baird, [email protected]).

Akses terbuka

Cagar alam Sistem tradisional laut masyarakat Aceh

Pengaruh kegiatan manusia terhadap tutupan karang keras digambarkan dengan jelas pada tempattempat di atas (diukur melalui 8 kali pengulangan dengan transek garis sepanjang 10 m dari 0,5 hingga 2 m pada 15 titik di Pulau Weh dan Pulau Aceh di awal 2005). Dibandingkan dengan ‘cagar alam laut’, sistem ‘akses terbuka’ telah secara signifikan menurunkan tutupan karang akibat perikanan yang merusak. Tutupan karang tertinggi terdapat di titik-titik yang dikelola berdasarkan tradisional masyarakat Aceh.

51

Tutupan karang (%)

Status Terumbu Karang di Negara-negara yang Terkena Dampak Tsunami 2005

Taksa Tsunami tidak menyebabkan perubahan secara signifikan pada komunitas karang keras di perairan dangkal di Aceh. Diagram batang di atas menjelaskan tutupan karang rata-rata dari 5 kategori morfologis Acropora (1 = meja; 2 = menjari; 3 = bercabang; 4 = meja bercabang; 8 = corymbose) serta 5 kelompok taksonomi dari karang keras lainnya (5 = Montipora; 6 = Faviidae; 7 = Porites; 9 = Scleractinia lain; 10 = Pocilloporidae) yang diperoleh dari 8 kali ulangan untuk transek garis sepanjang 10 m yang dicatat pada kedalaman kurang dari 2 meter (dari Andrew Baird).

Status karang di Indonesia bagian barat Bagus

Cukup

Buruk

Persentase terumbu (%)

Sangat bagus

Data status terumbu karang Indonesia bagian barat dari Proyek COREMAP menggambarkan adanya sedikit perbaikan pada tutupan karang selama dekade terakhir, di mana kategori ‘Baik sekali’ dan ‘Baik’ mengalami peningkatan (yaitu untuk tutupan karang tinggi dan sedang). Sekalipun demikian, kebanyakan terumbu tetap mengalami degradasi parah (dari www.coremap.or.id/)

52

Status Terumbu Karang di Indonesia Pasca Tsunami Desember 2004

Berikut ini adalah perkiraan kerusakan mangrove Indonesia akibat tsunami yang menggambarkan bahwa hutan mangrove tersebut menyerap sebagian besar energi gelombang, sehingga kemungkinan melindungi infrastruktur dan masyarakat pesisir (dari WIIP 2005). Daerah

Kerusakan mangrove (%)

Luasan mangrove yang rusak (ha)

Aceh Besar

100

26.823

Banda Aceh

100

< 500

Pidie

75

17.000

Aceh Utara/Bireun

30

26.000

Aceh Barat

50

14.000

KERUGIAN SOSIO-EKONOMI Seluruh desa dan kehidupan masyarakat sepanjang pesisir barat Sumatra hancur, termasuk sistem sosial dan ekonomi mereka. Penelitian terdahulu terhadap kawasan-kawasan terpencil sulit dilakukan, namun kini dampak sosio-ekonomi pasca tsunami sudah diteliti dengan baik. Para korban yang selamat, lembagalembaga pemerintahan, serta LSM internasional telah bekerja untuk menangani dan merehabilitasi sistem sosial dan ekologis yang rusak akibat tsunami. Sektor ekonomi yang paling terpengaruh oleh tsunami adalah budidaya air, perikanan tangkap, dan industri kecil, seperti pertanian. Budidaya air dan pertanian mengalami kerusakan parah karena rusaknya sistem irigasi, bendungan, adanya kontaminasi dan penggenangan air laut. Kebanyakan kerusakan infrastruktur perikanan berupa hilang dan rusaknya kapalkapal ikan serta fasilitas dan perlengkapan pelabuhan. Pertanian: Selama beberapa bulan setelah tsunami, sejumlah besar lahan pertanian dataran rendah tetap terendam air laut, merusak lebih dari 40.000 hektar padi dan tanaman pertanian irigasi lainnya. Lebih dari 80.000 sumur perlu diperbaiki atau diganti. Kerusakan infrastruktur irigasi di Propinsi Aceh mencapai US$ 37,9 juta. Dalam rangka memulihkan keamanan pangan dan mata pencaharian untuk para petani korban tsunami dan kelompok-kelompok rentan lainnya, FAO memasok benih, pupuk, dan traktor untuk 8.900 orang. Budidaya air: Sebelum tsunami, budidaya ikan di Propinsi Aceh menghasilkan 20.000 ton udang dan ikan tiap tahunnya. Kerusakan akibat tsunami pada sektor ini diperkirakan mencapai US$ 51 juta, dengan tambahan kerusakan US$ 8 juta untuk tambak ikan dan fasilitas pemerintah. Sebanyak sekitar 1.000 keramba ikan di Sumatra Utara hancur dan 27.000 – 48.000 ha tambak ikan di Aceh mengalami kerusakan serius. Kerusakan paling besar terjadi di Banda Aceh, Aceh Besar, Pidie, Aceh Barat, Aceh Jaya, Nagan Raya and Simeulue. Akumulasi sedimen menyebabkan kedalaman tambak-tambak yang tersisa menjadi berkurang. Aceh memberikan sumbangan substansial untuk larva udang liar (Penaeus monodon) untuk tambak udang. Tidaklah jelas dampak kerusakan tersebut terhadap budidaya udang di Indonesia. Diperlukan sekitar 6-12 bulan untuk memperbaiki tambak, dan produksi kemungkinan baru lagi terjadi dua tahun kemudian. Perikanan Tangkap: Total kerusakan sektor perikanan tangkap diperkirakan sekitar US$ 52 juta akibat hancurnya sekitar 65-70% armada perikanan skala kecil Aceh. Perikanan adalah kegiatan ekonomi utama di kawasan bencana, melibatkan sekitar 42.000 – 58.000 nelayan dan keluarganya. Aceh juga memiliki industri besar pembuatan perahu untuk nelayan. Perancis telah mendanai program perbaikan pukat udang, sementara USAID memberikan hibah untuk membangun pabrik-pabrik es. Walaupun bantuan tersebut sukses, kebanyakan nelayan belum kembali ke pekerjaan semula. Hal ini terjadi karena mereka masih kekurangan perahu atau mereka masih tinggal di kantong-kantong pengungsian yang terlalu jauh dari lautan. 53

Status Terumbu Karang di Negara-negara yang Terkena Dampak Tsunami 2005

Wisata: Industri wisata di Aceh tidaklah besar. Sektor perhotelan dan restoran hanya menyumbang 6.3% pendapatan daerah. Namun, sektor bisnis di kawasan bencana telah hancur sehingga sangat diperlukan bantuan untuk merehabilitasi industri wisata di Propinsi ini.

UPAYA-UPAYA REHABILITASI DAN PEMULIHAN Kehancuran total di Propinsi Aceh telah mengundang tanggapan dari dunia internasional. Lebih dari 100 LSM dan lembaga donor internasional, 430 LSM lokal, serta berbagai lembaga pemerintah dan antarpemerintahan telah mulai melakukan rehabilitasi dan pemulihan. Sebagai contoh, pemerintah Australia telah menjanjikan US$ 800 juta untuk membantu rehabilitasi Indonesia. Kegiatan pemerintah: BAPPENAS telah membentuk sebuah unit Aceh untuk mengkoordinasi sejumlah besar bantuan skala nasional dan internasional untuk rehabilitasi dan rekonstruksi. Kementrian Lingkungan Hidup sedang menganalisis masalah-masalah yang berkaitan dengan polusi, kualitas air, serta kerusakan pada sumber daya pesisir. Departemen Kehutanan sedang melakukan rehabilitasi hutan pesisir serta melindungi hutan-hutan yang tersisa dari kegiatan manusia yang merusak serta penebangan hutan untuk bahan-bahan bangunan. Kegiatan non-pemerintah: WWF sedang mengembangkan Panduan Rekonstruksi Hijau untuk Aceh dan juga bekerja sama dengan LSM-LSM lain untuk mengirim gelondongan kayu hasil hutan yang dipelihara secara lestari ke kawasan-kawasan yang memerlukan kayu untuk bangunan. USAID kini berfokus pada upaya pengembalian masyarakat ke desa-desa asal mereka dengan cara membangun dan menyediakan bantuan teknis untuk kepemerintahan dan rekonsiliasi. Proyek-proyek besar tersebut meliputi pembangunan lebih dari 240 km jalan, 110 jembatan, berbagai sekolah, sebuah pusat pelatihan guru di Universitas Banda Aceh, pasar-pasar, serta sistem sanitasi. Pinjaman bisnis dan program kerja-untukpangan juga akan merangsang perekonomian lokal sehingga dapat membantu sekitar 200.000 orang.

Tutupan Karang (%)

Sebelum tsunami (1999) Sesudah tsunami (1999)

Titik Teupinpineung

Pulau Rubiah

Laguna Gapang

Pantai Ibioh

Pulau Seulako

Terdapat perbedaan besar tutupan karang sebelum dan sesudah tsunami di berbagai titik di Pulau Weh. Terumbu karang di teluk atau selat antar pulau mengalami kerusakan paling parah (dari Allen and Erdmann 2005). Catatan: Perlu diketahui bahwa kerusakan terumbu karang antara kurun waktu di atas tidak hanya disebabkan oleh tsunami.

54

Status Terumbu Karang di Indonesia Pasca Tsunami Desember 2004

ORGANISASI-ORGANISASI KONSERVASI BEKERJA SAMA UNTUK MENELITI TERUMBU KARANG Selama dua minggu, Khaled bin Sultan Living Oceans Foundation, Reef Check, dan IUCN – The World Conservation Union melakukan survey di pesisir barat daya Aceh sepanjang lebih dari 660 kilometer. Survei tersebut menghasilkan perkiraan bahwa sedimentasi (yang diperparah oleh tsunami), penangkapan ikan yang berlebih, serta penggunaan metode-metode perikanan yang merusak akan lebih mengancam ekosistem terumbu karang Aceh dibandingkan dampak langsung dari gempa bumi dan tsunami. Sebuah tim multibangsa yang terdiri dari 7 ilmuwan dan 3 kru pendukung mensurvei kawasan yang dilanda gempa bumi dan tsunami. Dengan menggunakan protokol standar global Reef Check, tim mencatat ukuran dan kelimpahan ikan konsumsi, serta avertebrata bergerak maupun menetap termasuk karang. Sebuah survei khusus dilakukan untuk mendeteksi adanya karang yang baru tumbuh sebagai tanda-tanda kepulihan ekosistem. Secara relatif, terumbu karang menderita kerusakan fisik yang minimum dibandingkan dengan kehancuran yang diderita daratan. Kerusakan akibat tsunami meliputi karang yang terbalik serta daerah-daerah karang yang hancur dengan banyak cabang dan batang pohon besar yang menabrak terumbu karena terhempas gelombang tsunami. Bahkan di kawasan dengan kerusakan tsunami yang parah sekalipun, tim mencatat adanya kawasan terumbu karang yang masih utuh dan hidup di dekatnya. Kawasan-kawasan ini dapat berperan sebagai sumber larva yang penting untuk rekolonisasi terumbu yang rusak. Namun, dari 5.280 kuadrat yang disurvei untuk karang muda, hanya 18 karang muda yang berhasil dideteksi, dengan 15 di antaranya terdapat di kelompok Pulau Banyak. Rendahnya densitas karang baru ini menunjukkan bahwa proses pemulihan berjalan sangat lambat. Kerusakan karang yang tak kentara namun juga berbahaya dapat terjadi jika turbiditas dan sedimentasi terus berlangsung, sebagaimana teramati dalam survei. Selain menghambat tumbuhnya karang baru, sedimentasi dapat secara langsung merusak dan membunuh karang dewasa. Sebanyak 10 suku ikan konsumsi terdeteksi di Aceh dalam kelimpahan yang rendah dan ukuran rata-rata yang kecil, yang menandakan bahwa stok ikan-ikan tersebut telah dipanen secara berlebihan. Ada banyak juwana, namun ikan besar dewasa hanya sedikit sekali terlihat. Di mana-mana terlihat bukti kegiatan perikanan yang merusak. Lebih dari sebelumnya, gempa bumi dan tsunami telah membuat masyarakat Aceh jauh lebih bergantung pada sumber daya bahari untuk keberlangsungan hidupnya. Terumbu karang dapat pulih dengan relatif cepat jika ada pengurangan tekanan terhadap kegiatan perikanan. Kini terdapat kesempatan untuk berinvestasi dalam strategi jangka panjang untuk merehabilitasi sumber daya bahari Aceh melalui pendidikan, pengelolaan wilayah pesisir, pemantauan yang terus menerus, serta penetapan dan pemeliharaan daerah perlindungan laut (dari Craig Shuman dan Greg Hodgson, [email protected]; Foster et al. 2006).

KESIMPULAN DAN REKOMENDASI Satu tahun setelah tsunami, Indonesia masih berada dalam proses transisi dari upaya-upaya penyelamatan jangka pendek menuju pemulihan jangka panjang mata pencaharian, kemasyarakatan, serta perekonomian. Namun, ancaman-ancaman terhadap lingkungan pesisir masih sama seperti sebelum tsunami, sehingga perlu ditangani untuk mempercepat proses pemulihan. Tekanan antropogenik dalam jumlah besar yang sebelumnya telah merusak terumbu karang dan sumber daya terkait di Indonesia, masih ada setelah tsunami berakhir. Dukungan internasional yang diperoleh telah memberikan kesempatan untuk mengurangi tekanan pesisir yang terus berlangsung, seperti penangkapan ikan yang berlebihan, kualitas air yang rendah, serta pembangunan yang tidak pada tempatnya, sehingga pada akhirnya mampu meningkatkan kesehatan dan daya lenting terumbu karang di Indonesia. Sumber daya keuangan yang ada harus dititikberatkan untuk menangani akar masalah yang menyebabkan degradasi terumbu karang Indonesia yang terus terjadi, daripada dipakai untuk membuat proyek-proyek jangka pendek. Fokus keuangan harus disalurkan untuk rehabilitasi terumbu karang jangka panjang dan skala besar untuk menjamin bahwa sumber daya tersebut, berikut masyarakat yang tergantung padanya, dapat terus hidup

55

Status Terumbu Karang di Negara-negara yang Terkena Dampak Tsunami 2005

melintasi waktu. Rekomendasi-rekomendasi berikut ini diberikan untuk menangani ancaman-ancaman di bawah ini dan menstimulir pemulihan pasca bencana tsunami: Bahan-bahan bangunan seperti kayu, batu, dan pasir harus diambil dari sumber-sumber yang lestari, dan tidak dari hutan lindung maupun kawasan terumbu setempat; Kegiatan pemantauan dan pencegahan perikanan yang merusak harus ditingkatkan untuk membantu proses pemulihan terumbu karang; Diperlukan pemetaan kawasan pesisir yang rawan untuk membantu para pengelola menentukan kawasan-kawasan mana yang paling berbahaya, sehingga kawasan tersebut dapat ditetapkan sebagai kawasan yang bebas dari pembangunan; Untuk membantu suksesnya proses pemulihan sumber daya pesisir, masyarakat harus dilibatkan dalam pembuatan keputusan rehabilitasi serta penetapan peraturan dan kebijakan; Masyarakat nelayan harus dipandu dalam melaksanakan kegiatan perikanan yang lestari. Mereka juga harus diberikan insentif ekonomi untuk mengurangi kegiatan yang merusak maupun ilegal;

Ikan per 500m

2

Juwana Dewasa

Herbivora

Chaetodontidae

Pulau Lakon

Herbivora

Chaetodontidae

Teluk Langi

Herbivora

Chaetodontidae

Salaut Kecil

Jumlah ikan herbivora (Acanthuridae, Scaridae, Siganidae) dan ikan pemakan karang (Chaetodontidae) per 500 m2 (rata-rata ± SE) pada dua titik di utara Pulau Simeulue dan di Salaut Kecil menunjukkan bahwa kebanyakan situs memiliki lebih banyak ikan juwana (batang putih) dibandingkan ikan dewasa (batang hitam) (dari Giorgio Bavestrello).

Harus lebih banyak upaya untuk perbaikan peraturan perlindungan terumbu karang serta perbaikan desain daerah perlindungan laut (MPA – Marine Protected Areas) untuk lebih menjamin perlindungan terumbu karang, terutama jika hal tersebut dilakukan di dalam jaringan kerja MPA; dan Semakin kuatnya kemitraan antara masyarakat dengan pemerintah akan meningkatkan pula upaya pemantauan terumbu karang, sistem pengelolaan data, serta konservasi terumbu karang. Hal ini dilakukan melalui upaya berbagi informasi untuk meningkatkan kesadaran masyarakat akan pentingnya konservasi sumber daya alam.

56

Status Terumbu Karang di Indonesia Pasca Tsunami Desember 2004

PENINJAU Karenne Tun, Kristian Teleki, Joanna Ruxton, dan Stuart Campbell.

UCAPAN TERIMA KASIH Data dan informasi untuk laporan ini diperoleh dari berbagai halaman internet seperti: The New England Aquarium (2005), (www.neaq.org/temp/tsunami_report.pdf); FAO (2005), (www.fao.org/tsunami/); USAID (2005), (www.usaid.gov/id/); UNEP (2005), (www.unep.org/ tsunami/tsunami_rpt.asp); Wetlands International-Indonesia Programme (2005), (www.wetlands.or.id/ tsunami/tsu-index.htm); Wildlife Conservation Society - Indonesia Program (2005), (www.reefbase.org/ tsunami.asp).

APAKAH TSUNAMI MEMBANTU TANAMAN PANGAN DI INDONESIA? Dari pucuk pohon kelapa tempatnya melarikan diri dari air bah, Muhammad Yacob melihat betapa tsunami mengubah sawahnya menjadi rawa-rawa air asin dengan banyak sampah. Namun, sembilan bulan kemudian sawahnya memberikan hasil panen terbaik yang pernah dinikmatinya. Pada awalnya, para petani khawatir bahwa air asin telah meracuni lahan mereka. “Ternyata air asin tersebut malah menjadi pupuk yang sangat hebat, dan hasil panen kami berlipat ganda dibanding tahun lalu,” ujar Yacob, 66. Padi adalah tanaman pangan pokok di Aceh. Namun bukan hanya tanaman padi yang tumbuh subur di lahan Aceh yang sempat dilanda tsunami. Para petani berkata bahwa sayur-mayur, kacang-kacangan, serta buah-buahan juga tumbuh dengan baik. Hal ini memberikan harapan bahwa sektor pertanian akan pulih lebih cepat dari dugaan. Namun, panen yang melimpah ini bisa menjadi salah kaprah. Survei PBB memberikan indikasi bahwa 81% dari lahan pertanian di Indonesia, Sri Lanka, Maladewa, India, dan Thailand yang hancur karena tsunami memang sudah dapat ditanami kembali. Namun, kebanyakan lahan subur masih terkontaminasi air laut atau pasir laut. Proses pemulihan di wilayah-wilayah terparah mungkin memerlukan waktu 3-5 tahun. Tsunami dan lumpur telah merusak atau menyumbat begitu banyak sistem drainasi, sementara hanya sedikit orang yang tertinggal untuk membersihkan lahan dan menanam kembali. Sebagai ayah dari 8 anak, Yacob tidak menerima satu pun bantuan tsunami dari pemerintah. Jarinya menunjuk pada mesin perontok padi yang sudah karatan, rusak karena tsunami. Petani tua ini kehilangan 1.000 tanaman coklat, namun tidak memiliki dana untuk pembenihan. Pada awalnya, bapak ini memperkirakan bahwa dia akan kehilangan setengah dari lahannya. Namun kini, hamparan padi menghijau di depan mata telah memberikan janji masa depan yang lebih optimis. Curah hujan yang tinggi di kebanyakan negara Samudera Hindia telah mencuci air asin lebih cepat dari perkiraan semula. Hasil panen yang melimpah saat ini bisa disebabkan oleh adanya lapisan humus dan kompos baru yang ‘dihadiahkan’ oleh tsunami. Panen padi berlimpah ini telah membantu proses pemulihan irama kehidupan pedesaan seperti sebelum tsunami, walaupun masih banyak terlihat bangunan rusak dan tenda-tenda pengungsi yang menampung ribuan korban yang selamat. Program Pangan Dunia PBB berharap dapat memberikan pangan bagi 750.000 jiwa korban tsunami hingga 2006. Hidup masihlah sulit, bahkan bagi para petani yang mendapatkan hasil panen berlimpah. Sur Salami tidak pernah mendapatkan tanaman jagung setinggi yang dia panen sekarang. Namun hujan lebat dan air pasang tinggi dapat saja membanjiri setengah dari lahannya. Gempa bumi telah menyebabkan lahannya menjorok ke laut, hingga hanya berjarak 50 m dari pantai. “Tapi kita tidak boleh patah semangat. Lagipula, kepada siapa saya dapat mengeluh?” (dari Chris Brummitt, Associated Press).

57

Status Terumbu Karang di Negara-negara yang Terkena Dampak Tsunami 2005

SUAKA PERLINDUNGAN DI DAERAH PERLINDUNGAN LAUT

Kelimpahan ikan karang

250000 200000

Aug-04 Apr-05 Feb-06

150000 100000 50000 0 Lhong Angen1

Gapang

Pulau Weh Akses Bebas

Benteng

Kanal Rubiah

Pulau Weh (Panglima Laut)

Taman Laut Rubiah

Pulau Weh (Kawasan Wisata)

Daerah Perlindungan Laut

Rata-rata (+SE) kelimpahan ikan karang di 5 situs di Pulau Weh sebelum (Agustus 2004) dan sesudah (April 2005 dan Februari 2006) tsunami. Data dikumpulkan oleh Fisheries Diving Club – Institut Pertanian Bogor, Universitas Syiah Kuala, dan Wildlife Conservation Society – Program Kelautan Indonesia). Sebagai bagian dari proses kerjasama antara WCS dengan pihak-pihak universitas, pemantauan terumbu karang di Pulau Weh dan gugusan kepulauan Pulau Aceh di Utara Sumatra telah mengevaluasi dampak tsunami serta proses pemulihannya yang masih berjalan. Perubahan dalam kelimpahan ikan karang antara bulan Agustus 2004 dan April 2005 di 5 situs di Pulau Weh tak dapat hanya dihubungkan dengan dampak tsunami. Tingginya kelimpahan ikan karang disebabkan oleh berkurangnya tekanan perikanan, yang memperlihatkan bahwa praktik pengelolaan akan mempengaruhi populasi ikan karang. Survei tahun 2006, 14 bulan setelah tsunami, menunjukkan bahwa keseluruhan nilai rata-rata kelimpahan ikan karang jauh lebih besar dibandingkan pada bulan April 2005, peningkatan terjadi di dua kelompok tempat yaitu di wilayah Panglima Laot dan Kawasan Wisata. Peningkatan kelimpahan ikan sepanjang periode ini sebagian besar terdiri atas juwana (5-10 cm) Pomacentridae, Acanthuridae, dan Chaetodontidae; keluarga ikan karang yang sangat bergantung pada habitat terumbu karang. Ketidakhadiran keluarga Chaetodontidae di lokasi akses bebas kemungkinan disebabkan oleh rendahnya tutupan karang di daerah tersebut, serta mengindikasikan bahwa kerusakan karang telah terjadi sebelum tsunami. Peningkatan besar populasi ikan karang di kawasan lindung sangat bergantung pada banyak faktor yang saling terkait termasuk ukuran terumbu, struktur populasi ikan karang, kedekatan jarak dengan terumbu lain, variabilitas laju kemunculan karang muda per tahun, ketersediaan habitat, perlindungan terhadap penangkapan, serta hidrodinamika lokal. Penemuan ini sejalan dengan laporan yang menyatakan bahwa terumbu karang di utara Aceh tidak hancur parah oleh tsunami (Baird et al. 2005) serta praktik perikanan dan pengelolaan sebelumnya mempengaruhi kesehatan kawasan terumbu karang. Terlepas dari kerusakan parah terumbu karang akibat perikanan yang merusak dan tingginya sedimentasi setelah tsunami, jumlah rata-rata karang muda yang ditemukan (8,0 karang muda/ m2) pada terumbu yang rusak di Pulo Aceh besarnya hampir dua kali lipat dari di Pulau Weh (4,9 karang muda/ m2), menunjukkan tingginya tingkat pemulihan terumbu karang di pulaupulau tersebut. Hasil tersebut menggarisbawahi pentingnya peran kawasan lindung dalam menyediakan suaka bagi ikan-ikan serta mempertajam daya tahan ekosistem terumbu karang dalam menghadapi berbagai gangguan. Kualitas terumbu di daerah perlindungan laut, dimana perikanan yang merusak telah dibatasi, menyediakan beberapa pelajaran tentang pengelolaan sumber daya yang berhasil di Indonesia, baik dengan menggunakan sistem tradisional maupun cagar alam laut. (Sumber: Campbell et al. 2006 dalam persiapan. Hubungi: [email protected]).

58

KONTAK PENULIS Cipto Aji Gunawan, Ibnu Hazam, Yan Manuputty, Ivan Silaban, dan Yunaldi Yahya, Reef Check Indonesia, JI. Pengembak no. 1, Sanur, Bali, Indonesia, 80228, Telepon: +62 361 285 297, Fax: +62 361 286 383, [email protected]; Gerry Allen, [email protected]; Giorgio Bavestrello, Università Politecnica delle Marche, [email protected]; Carlo Cerrano, Università di Genova, Corso, [email protected]; Ayu Destari, Fisheries Diving Club, Bogor Agricultural University, Indonesia, [email protected]; Bob Foster, Reef Check Foundation, [email protected]; Annelise Hagan, Khaled bin Sultan Living Oceans Foundation, [email protected]; Zeehan Jaafar, National University of Singapore, [email protected]; Nishan Perera, IUCN - The World Conservation Union, [email protected]; Silvia Pinca, College of Marshall Islands, [email protected]; Jan Henning Steffen, Wasistini Baitoningsih, Anisa Budiayu, UNESCO Office Jakarta, Jl. Galuh (II) No.5, Kebayoran Baru, Jakarta 12110, Indonesia, Telepon: +62 21 7399 818, Fax: +62 21 7279 6489, e-mail: [email protected]. (Daftar penulis menurut abjad.)

ACUAN Allen GR, Erdmann MV (2005) Post-Tsunami Coral Reef Assessment Survey, Pulau Weh, Aceh Province, Sumatra. Laporan untuk Conservation International-Indonesia. Baird AH, Campbell SJ, Anggoro AW, Ardiwijaya RL, et al. (2005) Acehnese Reefs in the Wake of the Asian Tsunami, Current Biology, 15: 1926-1930. BAPPENAS and the International Donor Agency (2005) Indonesia: Preliminary Damage and Loss Assessment, the December 26, 2004 Natural Disaster. Consultative Group on Indonesia, 99 pp. (www.bappenas.go.id). Foster R, Hagan A, Perera N, Gunawan CA, et al. (2006) Tsunami and earthquake damage to coral reefs of Aceh, Indonesia. Reef Check Foundation, Pacific Palisades, California, USA, 32 pp. Samek JH, Skole DL, Chomentowski W (2004) Assessment of impact of the December 26, 2004 tsunami in Aceh Province Indonesia. Center for Global Change and Earth Observations, 16 pp. Tun K, Oliver J, Kimura T (2005) Summary of Preliminary Rapid Assessments of Coral Reefs in Affected Southeast Asian Countries following the Asian Tsunami Event on December 26 2004. WorldFish Center, GCRMN, the Government of Japan and the Japan Wildlife Research Center.

59

4. KEADAAN TERUMBU KARANG PASCA-TSUNAMI DI MALAYSIA

KARENNE TUN, YUSRI YUSUF DAN AFFENDI YANG AMRI

RINGKASAN Malaysia tidak menderita kerusakan yang terlalu besar akibat tsunami karena terlindungi oleh Pulau Sumatra, dan hanya menerima gelombang-gelombang sekunder; Propinsi Perlis, Kedah Perak, dan Selangor yang terletak di pesisir barat daratan Tanjung Malaysia dan pulau-pulau terluar Penang dan Langkawi mengalami kerusakan; Sebuah sistem peringatan ‘bendera merah’ pada beberapa pantai berhasil mencegah jumlah kematian yang tinggi, namun terdapat 68 korban jiwa yang sebagian besar berupa wisatawan dan anak-anak; Sebagian besar kerusakan terjadi pada sektor perikanan: 7.721 nelayan terkena dampak secara langsung; 3.626 kapal nelayan (setara US$ 7,5 juta) hilang atau rusak; desa nelayan di pesisir, tempat tinggal sementara, jetty, jembatan, dan pertokoan rusak; dan hasil tangkap perikanan perairan pesisir menurun lebih dari setengahnya. Kerusakan pada industri budidaya mempengaruhi 232 petani tambak dengan kerugian ekonomi mencapai lebih dari US$ 7,24 juta. Hanya terjadi sedikti kerusakan pada sektor pariwisata, namun demikian kedatangan wisatawan menurun akibat kekhawatiran datangnya tsunami berikutnya; Kerusakan pada terumbu karang hanya sedikit dan sebagian wilayah tidak terkena dampak. Erosi terjadi pada beberapa lereng terumbu bagian atas dan tepi, dengan sedikit sedimen tersuspensi kembali serta karang patah pada perairan dangkal; dan Pendataan yang dilakukan menggarisbawahi keadaan terumbu yang buruk sebelum tsunami menimpa, dengan muatan sedimen yang tinggi merusak terumbu karang; pendataan keadaan terumbu karang Malaysia sebelum tsunami terjadi juga kurang terekam dengan baik.

PENDAHULUAN Gelombang tsunami yang dipicu oleh gempa bumi, yang terjadi 30 km di bawah permukaan pesisir Sumatra dan sepanjang lempeng yang terletak sepanjang Kepulauan Andaman dan Nikobar, pertama kali mencapai daerah-daerah pada Peninsula Malaysia bagian barat laut dan pulau-pulau bagian terluar sekitar 3 jam berikutnya pada pukul 12.15 siang tanggal 26 Desember 2004. Gelombang-gelombang ini merupakan gelombang-gelombang sekunder (bayangan) dengan kecepatan sekitar 160 km/jam, dibandingkan dengan gelombang-gelombang primer (800 km/jam) yang menimpa wilayah lainnya. Amplitudo di dekat pantai mencapai kisaran kurang dari 1 m sampai nilai maksimum 3 m di daerah pesisir Perlis, Kedah, Perak, dan Selangor, dan pada pulau-pulau terluar dari wilayah Langkawi dan Penang. 61

Status Terumbu Karang di Negara-negara yang Terkena Dampak Tsunami 2005

Sebanyak 68 korban jiwa dilaporkan di Malaysia; 52 di Penang, 12 di Kedah, 3 di Perak dan 1 di Selangor. Di antara korban jiwa tersebut termasuk banyak wisatawan dan anak-anak yang bertamasya di pantai umum ketika ombak datang, terutama di Pantai Pasir Panjang (27 korban) dan Pantai Miami (23 korban). Mereka yang menjadi korban tidak bisa menyelamatkan diri karena adanya penghalang, seperti batas beton yang terdapat di Pasir Panjang dan sebuah jalan tol di belakang Pantai Miami, yang mencegah evakuasi cepat. Angka kematian ini bisa saja lebih tinggi, jika bukan karena sistem peringatan bendera merah yang diterapkan oleh penjaga pantai pada beberapa pantai resor di Penang. Meski sebagian besar korban jiwa terdapat di Penang, terjadi kerusakan struktural yang parah di Kuala Muda, Kedah. Ombak-ombak sekunder tidak memasuki daratan lebih dari 200 meter pada sebagian besar wilayah, dengan jarak tembusan paling jauh berkisar antara 500 m sampai 3 km di sepanjang sejumlah sungai. Oleh karena itu, sedikit kerusakan pada infrastruktur dan tidak terjadi kerusakan sama sekali pada jaringan listrik, persediaan air, sektor telekomunikasi, dan transportasi. Rel kereta api, saluran air, jalanan, dan bandar udara tidak terpengaruh, dan tidak terdapat laporan adanya wabah penyakit. 62

Keadaan Terumbu Karrang Pasca Tsunami di Malaysia

BAGAIMANA BAKAU MENYELAMATKAN NELAYAN PENANG Selama lebih dari satu dekade, para nelayan perairan lepas pantai Penang berjuang untuk melesatarikan rawa bakau dekat desa mereka. Pada 26 Desember, mereka menerima balasan yang sangat setimpal untuk upaya keras mereka; rawa-rawa tersebut menjadi penyangga melawan tsunami, menyelamatkan nyawa sejumlah nelayan dan mencegah kerusakan yang lebih parah pada rumah-rumah mereka. Penasihat Asosiasi Kesejahteraan Nelayan Lepas Pesisir Penang, P. Balan, berterima kasih bahwa upaya penanaman anakan bakau di wilayah Pulau Betong, Balik Pulau, Batu Kawan, dan Kuala Sungai Pingang terbukti bermanfaat. “Ketika ombak pasang yang pertama datang di pertengahan hari pada 26 Desember, para nelayan sedang kembali dari laut. Lalu ketika mereka menyadari kekuatan ombak tersebut, mereka berpegangan pada pohon bakau dan berhasil selamat dari tsunami. Bahkan harta mereka di daratan berhasil selamat karena hutan bakau telah menjadi penyangga,” katanya. Rousli Ibrahim dari Sungai Chenaam mengatakan bahwa 3 orang kawannya berlindung dalam hutan bakau dan selamat dari ombak kencang. “Terima kasih kepada Tuhan, pohon-pohon ini menyelamatkan mereka,” ungkap nelayan berumur 57 tahun tersebut. “Hutan bakau telah hadir di sekitar desa saya sejak awal tahun 1970 dan banyak dari kami yang menangkap kepiting disana. Meski banyak pohon yang tumbang, kami telah berhasil menanam kembali lebih banyak anakan dan sebagian besar dari masyarakat kami berterima kasih sekarang.” Ketua Asosiasi Saidin Hussein mempercayai bahwa jika terdapat lebih banyak pohon bakau di Pulau Betong, korban jiwa dan kerusakan yang parah terhadap kapal nelayan di wilayah tersebut dapat diperkecil. “Sewaktu saya menunjukkan kurangnya pohon bakau dalam wilayah ini, saya dicap sebagai orang tua bodoh,” kata Bapak berumur 73 tahun ini, yang hingga kini pergi melaut setiap hari (dari The New Straits Times, 7 Januari 2005).

Sebagian besar kerusakan menimpa sektor perikanan; lebih dari 25% nelayan terdaftar menjadi korban, dengan hilangnya 3.500 buah kapal senilai RM$ 28 juta (US$ 7,5 juta). Banyak jetty dan jembatan milik swasta maupun pemerintah mengalami hancur atau rusak berat, begitu juga sejumlah kapal layar yang terdapat di dermaga milik pribadi di Pulau Rebak dan Teluk Burau, Lengkawi.

KEADAAN TERUMBU KARANG SEBELUM TSUNAMI Terumbu karang Malaysia menutupi wilayah seluas 4.000 km2 yang sebagian besar (85%) ada di Sabah dan Serawak. Kebanyakan terumbu karang di Tanjung Malaysia berada di sepanjang pesisir timur dan pulau-pulau lepas pantai pesisir barat. Terumbu ini terletak di tepian pulau-pulau lepas pantai bagian utara dari Pulau Langkawi, Pulau Payar, dan Pulau Perak di negara bagian Kedah; dan Pulau Pangkor, Pulau Jarak, dan Pulau Sembilan di negara bagian Perak. Terumbu-terumbu kecil, yang mengalami pengembangan buruk dan terdegradasi berat terdapat di negara bagian di selatan Negeri Sembilan, tepatnya di Port Dickson dan Tanjung Tuan. Hanya terdapat beberapa laporan yang diterbitkan mengenai keadaan terumbu karang di sepanjang pesisir barat Tanjung Malaysia, dan tidak terdapat program pemantauan terumbu karang jangka panjang, namun sejumlah LSM membantu pihak berwajib Taman Laut dalam survei terumbu karang di Pulau Langkawi dan Pulau Payar. Sebelum tsunami terjadi, penutupan karang hidup pada bagian Pulau Langkawi dengan tingkat pengembangan pariwisata tinggi mencapai 20-50%, sementara bagian utara dan timur laut yang belum berkembang memiliki penutupan karang yang baik (antara 50,5% sampai 58,3%). Namun, penutupan karang hidup di Taman Laut Pulau Payar mengalami penurunan, walaupun dilindungi. Pada tahun 1982, penutupan karang hidup sebesar 43,25%, namun pada tahun 2002 telah menurun menjadi 33%. Penurunan tutupan karang hidup ikut disebabkan oleh peningkatan jumlah wisatawan ke Taman Nasional yang tidak diregulasi. 63

Status Terumbu Karang di Negara-negara yang Terkena Dampak Tsunami 2005

KEADAAN TERUMBU KARANG SETELAH TSUNAMI Para ilmuwan mengkhawatirkan terumbu karang Pulau Langkawi, Pulau Payar, dan Pulau Perak mengalami kerusakan sewaku tsunami, dan pengamatan cepat (rapid assessment) dilakukan pada Januari 2005 di Pulau Payar oleh Coral Cay Conservation (CCC) dan Institut Penelitian Perikanan, sedangkan di Pulau Langkawi dan Pulau Perak oleh beberapa lembaga, termasuk WWF – Malaysia, Universiti Malaya, Universiti Kebangsaan Malaysia, Malaysian Society of Marine Sciences and the WorldFish Center. Kepulauan Langkawi: Hanya sedikit atau tidak ada kerusakan yang ditemukan dalam pengamatan cepat (rapid assessment) serta survei oleh Reef Check. Beberapa koloni karang terjungkirkan atau mengalami patah, namun kerusakan ini bisa ditimbulkan oleh jangkar kapal. Jumlah karang yang belum lama mati, patah, atau terjungkirkan hanya sedikit. Karang yang tertutupi lapisan pasir halus ditemukan di semua lokasi, namun ini dapat disebabkan oleh sebab yang baru terjadi dan bukan karena tsunami. Keragamanan dan kelimpahan ikan serta avertebrata terumbu karang rendah; yang kemungkinan besar disebabakan oleh kondisi lingkungan yang sudah ada sebelumnya. Taman Laut Pulau Payar: Ketika tsunami terjadi, CCC sedang melakukan penelitian dengan Departemen Taman Laut. Pihak mereka melaporkan tidak ada kerusakan atau hanya kerusakan yang dapat diabaikan pada terumbu karang di Pulau Payar; hal ini disetujui oleh lembaga lainnya yang melalukan penelitian disana. Pulau Perak: Terumbu di sini berupa tembok karang yang membentang sampai kedalaman lebih dari 30 m. Kerusakan yang ditemukan dalam survei oleh Reef Check hanya minimal dan tidak mempengaruhi struktur terumbu; tidak terdapat kerusakan pada tembok karang ataupun dasar terumbu. Air laut pada lokasi ini cukup jernih dan pasir tidak melapisi terumbu karang. Terumbu ini memiliki keanekaragaman dan kelimpahan ikan dan invertebrata karang yang sangat tinggi. Pulau Jarak dan Pulau Sembilan: Meski belum ada pengamatan khusus di wilayah ini, penyelam lepas melaporkan tidak adanya kerusakan fisik pada terumbu karang ini yang disebabkan tsunami. Kerusakan Mangrove: Pengamatan hutan mangrove setelah tsunami di daerah Penang dan Kedah (kedua negara bagian dengan kerusakan tertinggi) menunjukkan kerusakan yang kecil terhadap mangrove oleh tsunami. Institut Penelitian Perikanan melaporkan adanya kerusakan fisik minim terhadap hutan mangrove di Kuala Teriang, Pulau Langkawi, dan di muara Sungai Merbok. Kerusakan Lamun: Lamun yang terdapat pada pesisir timur Penang yang terlindungi, dan pada pesisir utara Langkawi tidak mengalami kerusakan.

DAMPAK SOSIAL-EKONOMI Dampak Perikanan: Laporan resmi memprakirakan bahwa 7.721 nelayan terkena dampak tsunami secara langsung dan 3.626 kapal dengan nilai total RM$ 28 juta (US$ 7,5 juta) hilang atau rusak. Desadesa pesisir, rumah-rumah liar, jetty, jembatan, dan toko-toko juga mengalami kerusakan; dan pendaratan ikan setelah tsunami dilaporkan menurun lebih dari setengahnya. Dampak Budidaya: Industri budidaya Malaysia menderita kerugian yang parah akibat tsunami dan 232 peternak ikan kehilangan pendapatan setara RM$ 27,1 juta (US$ 7,24 juta). Biopsi pada ikan mati yang berasal dari jaring apung di satu lokasi di Sungai Udang, Penang, menunjukkan bahwa kematian disebabkan oleh luka fisik dan infeksi oleh parasit. Insang dan sebagian organ dalam ikan telah mengalami pendarahan, kemungkinan karena adanya infeksi bakteri atau virus sekunder.

64

Keadaan Terumbu Karrang Pasca Tsunami di Malaysia

SEBUAH KESAKSIAN Saya tidak merasakan gempa susulannya, namun saya berdiri untuk melihat ke arah laut dan terkejut ketika melihat adanya pusaran air di depan apartemen saya. Di sebelah kanan, saya bisa melihat gelombang tsunami menuju sudut timur laut Penang. Saat ombak-ombak itu mencapai wilayah dangkal, saya dapat melihat ombak bertambah tinggi dan menghempas pantai. Semuanya tampak seperti mesin cuci raksasa di luar apartemen saya. Kami beruntung karena berada jauh dari pantai di wilayah bukit. Tidak ada peringatan sama sekali” (Dari Reuben Walters, Penang, Malaysia).

Dampak Pariwisata: Badan Promosi Pariwisata Malaysia melaporkan bahwa pulau-pulau wisata di Langkawi dan Penang bisa luput dari dampak sepenuhnya tsunami karena terlindung oleh Sumatra. Tidak ada korban jiwa warga asing, dan hanya sedikit kerusakan terhadap infrastruktur, kapal, darmaga, dan hotel pantai (seperti masuknya air laut dan lumpur ke kolam renang). Puing-puing dibersihkan tidak lama setelah tsunami dan usaha pariwisata kembali berjalan dalam beberapa hari. Namun, jumlah wisatawan yang datang mengalami penurunan karena adanya kekhawatiran tsunami akan terjadi kembali.

UPAYA REHABILITASI DAN PEMULIHAN Pemerintahan Malaysia segera mengalirkan bantuan dana bagi semua korban bencana yang berhak menerimanya. Terdapat pula bantuan finansial tambahan seperti pinjaman lunak kepada para nelayan dari Lembaga Pengembangan Perikanan Malaysia dan pinjaman bank, yaitu dari Bank Pertanian Malaysia (detil-detil bantuan dana dapat dilihat secara langsung di www.streaminitiative.org/pdf/ MalaysiaMarch.pdf).

KESIMPULAN DAN SARAN Pengamatan pasca tsunami menunjukkan bahwa kerusakan yang ditimbulkan oleh tsunami pada terumbu karang yang teramati, tidak berarti. Namun pengamatan ini telah mengetengahkan betapa buruknya kondisi terumbu karang sebelum tsunami terjadi, dengan tingkat sedimentasi yang tinggi merusak komunitas terumbu. Malaysia termasuk beruntung karena hanya ombak-ombak sekunder dengan amplitudo 3 m yang mencapai pesisir di sebagian besar wilayah yang terkena. Dampak yang paling parah menimpa masyarakat perikanan dan sektor budidaya, dan banyak masyarakat yang masih dalam proses membangun kembali, setahun setelah bencana menimpa. Dampak terhadap infratruktur pariwisata kecil sekali, dan jumlah wisatawan kini mulai pulih. Bencana tsunami telah menggarisbawahi adanya kekurangan informasi dan data dasar untuk pengelolaan dan pelestarian terumbu karang. Hasil pengamatan terumbu karang pasca tsunami tidak dapat dibandingkan dengan data kondisi terumbu karang sebelum tsunami akibat langkanya data pembanding tersebut, atau data tersebut tidak dapat diakses karena tersebar antara berbagai lembaga sebagai data yang tidak diterbitkan, laporan, atau data mentah. Malaysia memiliki potensi tenaga ahli dan infrastruktur yang cukup baik untuk menjalankan penelitian dan pemantauan terumbu karang yang lebih mendalam, namun dana dan sumber daya yang dialokasikan untuk upaya tersebut saat ini belum mencukupi; sehingga saran yang ingin kami kemukakan: Bahwa sebuah sistem manajemen dan basis data terumbu karang nasional didirikan guna menggabungkan, memperkuat, dan menjadi pusat data dan informasi terumbu karang (dan juga data ekosistem laut lainnya) yang pernah atau sedang dijalankan di Malaysia. Hal ini akan mempermudah akses cepat terhadap informasi di waktu darurat seperti ketika tsunami, dan membantu 65

Status Terumbu Karang di Negara-negara yang Terkena Dampak Tsunami 2005

pengelolaan terumbu karang. Informasi akan tersedia bagi masyarakat melalui internet atau kesepakatan penggunaan informasi lainnya; Bahwa sebuah program pemantauan terumbu karang nasional yang terintegrasi didirikan oleh lembaga pusat yang bekerjasama dengan universitas setempat, lembaga pemerintah, dan LSM dalam mengamati dan memantau terumbu karang di Malaysia; Bahwa dikembangkan legislasi Wilayah Perlindungan Laut antar sektor khusus yang penerapannya dipantau oleh sebuah departemen yang memiliki dedikasi dan sumber daya manusia, dana dan logistik yang tepat untuk melestarikan terumbu karang Malaysia; dan Bahwa perbatasan taman laut diperluas sehingga mengikutserakan pulau-pulau di sekitar taman nasional yang ikut terkena dampak dari daratan (seperti sedimen), untuk memperbaiki pengelolaan pulau-pulau dan wilayah pesisir.

UCAPAN TERIMA KASIH Data dan informasi diambil dari sumber-sumber berikut ini, dan para penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada: CONSRN,www.streaminitiative.org/pdf/MalaysiaMarch.pdf; Coral Cay Conservation, www.reefbase.org/Tsunami.asp.

ALAMAT KONTAK PENULIS Karenne Tun dan Yusri Yusuf, WorldFish Center, PO Box 500 GPO, 10670 Penang, Malaysia, [email protected] dan [email protected]; Affendi Yang Amri, Universiti Malaya Maritime Research Institute, University of Malaya, 50603 Kuala Lumpur, Malaysia, [email protected].

PENINJAU Choo Poh Sze, David Garnett, Kevin Hiew, Lee Yoke Lee, Mohd Nizam Basiron, Joanna Ruxton, dan Kristian Teleki.

REFERENSI Chee PE, Siow R, Ali M (Eds.). Interim report of impact of tsunami on fisheries and coastal areas. Fisheries Research Institute, Penang, Malaysia; isi makalah oleh: Alias AH, Latun AR, Arshad MA, Ali M, Harith H (2005) and Kua BC, Bakar P, Abdul Latif F, Ramly R, Abdullah SZ, Abdullah A, Veloo P (2005). Khor HT, Lim WS (2005). Impact of the tsunami on Penang’s economy. Penang Economic Monthly, Volume 7, Issue 1: 1-10, (www.seri.com.my/EconBrief/EconBrief2005-01.pdf). Lee YL, Affendi YA, Tajuddin BH, Yusuf YB, et al. (2005). A post-tsunami assessment of coastal living resources of Langkawi Archipelago, Peninsular Malaysia. NAGA, WorldFish Center Newsletter Vol. 28 No. 1 & 2: 17-22. WorldFish Center (2005). Result of preliminary studies on the impact of the tsunami on fisheries and coastal areas of Penang and Kedah in Malaysia. NAGA, WorldFish Center Newsletter Vol. 28 No. 1 & 2: 23-25. Yalciner AC, Ghazali NH, Abd Wahab AK (2005). Report on December 26, 2004, Indian Ocean Tsunami, Field Survey on July 09-10, 2005 North West of Malaysia, Penang and Langkawi Islands. (http:// yalciner.ce.metu.edu.tr/malaysia-survey/yalciner-etal-malaysia-surveysep-22-2005.pdf). 66

5. KEADAAN TERUMBU KARANG DAN EKOSISTEM PESISIR LAINNYA DI LAUT ANDAMAN, THAILAND PASCA-TSUNAMI

NIPHON PHONGSUWAN, THAMASAK YEEMIN, SUCHAI WORACHANANANT, MAITREE DUANGSAWASDI, CHERDCHINDA CHOTIYAPUTTA, DAN JAMES COMLEY

RINGKASAN Jumlah korban jiwa mencapai 5.395 dengan 2.932 lainnya dinyatakan hilang; lebih dari 8.000 terluka; 407 desa, 4.800 bangunan rumah dan sekolah rusak atau hancur; Terjadi kerugian maha besar terhadap industri perikanan dan budidaya; lebih dari 5.000 kapal nelayan hilang, beserta alat tangkap, tambak, keramba, dan penetasan benur; 8 dermaga rusak parah; 150 kapal pariwisata besar dan 776 kapal pariwisata kecil rusak atau hilang; Lebih dari 1.500 hektar lahan pertanian terendam air laut; dan lebih dari 2.000 ekor babi dan 7.600 unggas ternak hilang; Kerugian ekonomi ditaksir mencapai US$ 321 juta untuk sektor pariwisata dan US$ 43 juta untuk sektor perikanan; Secara umum, terumbu karang tidak rusak parah; 13% rusak parah; 47% menderita kerusakan rendah sampai sedang; dan 40% tidak menunjukkan dampak yang berarti akibat tsunami. Kerusakan yang ada bergantung pada lokasi, dengan perbedaan yang cukup tinggi antar lokasi dan dalam masing-masing lokasi itu sendiri; Hutan mangrove dan padang lamun tidak rusak parah; Warga Thailand membersihkan sebagian besar dari puing-puing akibat tsunami dari daratan, tidak lama setelah tsunami menimpa; Sebagian besar terumbu karang akan pulih secara alami dalam kurun waktu 5 sampai 10 tahun, karena terdapat wilayah besar dengan terumbu karang sehat di wilayah yang di dekatnya. Namun, pemulihan bergantung kepada kerusakan dari manusia yang dapat membatasinya; dan Tsunami telah meyediakan sebuah kesempatan untuk menerapkan pengelolaan pesisir terpadu yang tepat guna, sehingga dapat menjadikan pariwisata dan perikanan yang berkelanjutan, mengendalikan kerusakan dari perbuatan manusia, dan untuk memperkuat kekebalan terumbu karang dan habitat pesisir terhadap ancaman alam.

67

Status Terumbu Karang di Negara-negara yang Terkena Dampak Tsunami 2005

PENDAHULUAN Pesisir Thailand di Laut Andaman terletak 460 km ke arah timur dari sumber gelombang tsunami yang menerjang pada 26 Desember 2004, tepat 1,5 jam setelah terjadi gempa bumi di perairan Kepulauan Andaman dan Nikobar. Serangkaian gelombang menimpa pesisir timur antara pukul 9.40 dan 10.30 pagi waktu setempat. Gelombang-gelombang pertama berlalu hampir tanpa sepengetahuan penduduk di beberapa wilayah (meski beberapa wilayah mendapatkan gelombang setinggi 4 sampai 10 meter). Namun, rangkaian gelombang yang kedua tingginya berkisar antara 2 sampai 16 meter dan menimbulkan kerusakan yang parah pada sumber daya pesisir yang terdapat di sepanjang 6 propinsi di Laut Andaman: Ranong; Phang Nga; Phuket; Krabi; Trang; dan Satun. Phang Nga merupakan propinsi yang paling parah kerusakannya, namun Phuket dan Krabi juga mengalami kerusakan yang berat. Tingkat kerusakan bervariasi, bergantung pada beberapa hal seperti bentuk pesisir, topografi, batimetri dasar laut di perairan lepas, kemiringan, ketinggian dan ada atau tidaknya rintangan alami, dan juga faktor-faktor buatan manusia, seperti pemanfaatan daratan dan pengembangan pesisir. Laporan resmi mencatat 5.395 korban jiwa, 2.932 orang masih hilang, dan lebih dari 8.000 terluka, namun perkiraan angka-angka tersebut berkisar cukup besar. Korban jiwa wisatawan banyak sekali, terutama mereka yang berasal dari Eropa, dengan 543 orang dari Swedia dipastikan meninggal atau hilang. Banyak masyarakat lokal dan wisatawan yang tidak mengetahui bahaya tsunami yang dapat mengikuti sebuah gempa bumi, karena mereka tidak

68

Keadaan Terumbu Karang dan Ekosistem Pesisir Lainnya di Laut Andaman, Thailand Pasca-Tsunami

memiliki pengetahuan tradisional. Jumlah korban jiwa pasti, mungkin tidak akan pernah diketahui mengingat banyak dari masyarakat etnis Moken (sea gypsies) dan asal Burma tidak tercatat; banyak masyarakat Moken yang berhasil lolos dari tsunami karena pengetahuan tradisional tentang tsunami telah diceritakan secara turun temurun. Telah diperkirakan bahwa sedikitnya 3.000 orang Burma kemungkinan tewas dalam tsunami di Thailand. Pemerintahan Kerajaan Thailand langsung menyiapkan dana bencana sebesar US$ 2,5 juta (100 juta Baht) untuk pendataan sumber daya sebagai bagian dari program pemulihan dan rehabilitasi sumber daya alam dan lingkungan. Dari dana ini, sebanyak US$ 123.000 (4.950.000 Baht) ditetapkan untuk terumbu karang, lamun, dan biota laut yang terancam punah. Setelah upaya-upaya kemanusiaan bergulir, prioritas pemulihan bergeser ke bidang lingkungan, kebutuhan psikologis dan sosial, perawatan untuk kelompok-kelompok yang rentan dan pemulihan sumber penghidupan. Departemen Sumber Daya Kelautan dan Pesisir (DMCR) dari Kementerian Sumber Daya Alam dan Lingkungan (MONRE), bekerjasama dengan 9 perguruan tinggi di Thailand dan sektor swasta, segera menjalankan pendataan cepat pada terumbu karang, padang lamun, dan hutan mangrove dibawah koordinasi Pusat Biologi Kelautan Phuket (PMBC). Dalam kurun waktu 2 minggu sejak tsunami, 220 orang telah mensurvei lebih dari 300 lokasi dalam 174 kawasan terumbu karang. Para ilmuwan yang ikut serta termasuk mereka yang mengetahui status ekosistem-ekosistem tersebut secara rinci sebelum terjadi tsunami. Departemen Taman Nasional, Konservasi Satwa dan Tumbuhan mendata dampak terhadap infrastruktur dan fasilitas yang terdapat di dalam kawasan lindung, kapal-kapal dan infrastruktur budidaya air. Pemerintahan Thailand juga membentuk sub-komisi untuk menangani rehabilitasi lingkungan dan sumber penghidupan dan sejumlah gugus tugas yang khusus menangani habitat terumbu karang, ancaman daratan, dan kehidupan masyarakat. Secara besamaan, sejumlah pemerintahan negara, lembaga dan LSM internasional datang untuk membantu dalam pendataan dan menawarkan bantuan kemanusiaan. Contohnya, sebuah utusan polisi Perancis membawa alat-alat berat untuk mengangkat benda-benda besar seperti kapal nelayan dari perairan di sekitar Ko Phi Phi.

KEADAAN TERUMBU KARANG SEBELUM TSUNAMI Thailand memiliki kurang lebih 153 km2 terumbu karang, 300 pulau, dan garis pantai yang melebihi 2.600 km. Terumbu karang Thailand ditemukan pada 4 lokasi yang khusus: bagian dalam dari Teluk Thailand (Chonburi); pantai timur dari Teluk Thailand (Rayong, Chanthaburi dan Trad); pantai barat dari Teluk Thailand (Prachuab Kirikhan, Chumporn, Surathani, Nakhon Si Thammarat, Songkhla, Pattani dan Narathiwat); dan sepanjang pesisir pada 6 propinsi di Laut Andaman. Sebelumnya terdapat lebih dari 250 jenis karang keras, namun hanya terumbu karang di sepanjang Laut Andaman yang terkena dampak tsunami. Terumbu pada pesisir Laut Andaman memiliki tingkat keanekaragaman karang tertinggi di Samudera Hindia dan secara umum tidak terpengaruh oleh fenomena pemutihan karang yang terjadi tahun 1998. Sebelum tsunami, pendataan terumbu secara rutin dilakukan oleh Departmen Perikanan pada lebih dari 250 situs di Teluk Thailand dan 169 situs pada Laut Andaman menggunakan survei manta tow antara tahun 1995 sampai 1998. Di Laut Andaman, 4% terumbu karang yang didata ditemukan berada dalam kondisi yang sangat baik, 13% dalam kondisi baik, 33% dalam kondisi sedang, namun 50% ditemukan dalam kondisi buruk. Pendataan ini berdasarkan proporsi penutupan karang hidup terhadap karang mati. Sebagian data pemantauan tersedia untuk tahun 2003-2004, namun tidak untuk semua lokasi survei.

69

Status Terumbu Karang di Negara-negara yang Terkena Dampak Tsunami 2005

Perkiraan ‘kesehatan’ terumbu karang Laut Andaman pada tahun 2002-2003 sebelum tsunami menggambarkan bahwa hanya sedikit (17.5%) dari terumbu karang yang disurvei berada dalam keadaan baik sampai sangat baik, meskipun terumbu merupakan dasar dari industri selam pariwisata (nilai yang ditampilkan menunjukkan persentase karang dalam tiap kategori). Propinsi

Sangat Baik

Baik

Sedang

Rusak

Sangat Rusak

Ranong

1,5

7,6

36,4

37,9

16,6

Phang Nga

1,8

5,4

28,2

29,9

34,7

Phuket

2,0

7,7

23,6

35,0

31,7

Krabi

3,5

13,5

49,6

23,2

10,2

Trang

5,0

26,9

28,1

16,9

23,1

Satun

10,7

19,2

36,2

18,8

15,1

Rata-rata

4,1%

13,4%

33,7%

26,9%

21,9%

Sejak rekonstruksi pemerintahan Thailand pada tahun 2002, DMCR yang baru terbentuk telah mengambil alih peran sebagai koordinator pelestarian dan pemantauan terumbu karang di Thailand, namun tidak memiliki sumber daya yang mecukupi untuk menyatukan data eksternal yang dimiliki oleh para perguruan tinggi dan lembaga lainnya. Data pemantauan terumbu karang telah dikompilasi ke dalam satu basis data di Universitas Chulalongkorn pada pertengahan 1990, namun basis data tersebut tidak dikelola. DMCR, Departemen Perikanan dan pihak Taman Nasional Laut kesemuanya memiliki mandatnya masing-masing di bawah peraturan yang berbeda untuk melindungi terumbu karang, namun koordinasi kegiatan antar lembaga nasional, pemerintahan wilayah, dan sektor swasta dalam pengelolaan terumbu karang sedikit sekali. Penegakan hukum lemah karena wilayah pengelolaan yang tumpang tindih dan kesalahpahaman dalam tanggung jawab. Fokus utama dari taman nasional adalah mendukung ekonomi pariwisata dan bukan kepada konservasi dan penegakan peraturan. Hal-hal di atas telah menyebabkan kegagalan pengendalian terhadap praktik perikanan merusak yang terus menyebar dan praktik buruk lainnya di wilayah terumbu karang, yang menyebabkan terumbu karang Thailand terdegradasi.

KEADAAN TERUMBU KARANG SETELAH TSUNAMI Survei pada 174 lokasi yang segera dilakukan setelah tsunami menunjukkan bahwa 13% dari lokasilokasi tersebut berada dalam keadaan rusak parah, 47% mengalami dampak rendah sampai sedang, dan 40% tidak menunjukkan tanda dampak tsunami. Secara keseluruhan, dampak yang ditimbulkan tergantung pada lokasi, dengan perbedaan tingkat kerusakan yang cukup tinggi di antara lokasi-lokasi dan di dalam setiap lokasi. Terumbu karang perairan dangkal dan terumbu yang tumbuh dalam selat antara pulau mendapatkan pengaruh paling besar dan mengalami kerusakan yang lebih besar, sebagian besar disebabkan oleh bentuk pesisir yang memusatkan kekuatan gelombang ke wilayah-wilayah sempit. Terumbu karang perairan dalam dan yang terdapat di sekitar Phuket mengalami sedikit kerusakan. Pada 23 lokasi, termasuk 4 lokasi di dalam Taman Nasional Mo Ko Surin, lebih dari 50% terumbu karang rusak parah. Lokasi-lokasi tersebut kemungkinan akan tertutup bagi wisatawan di waktu yang akan datang untuk memfasilitasi pemulihan. Sebagian besar dampak yang ditimbulkan bervariasi, bergantung pada masing-masing lokasi dan mayoritas dari kerusakan akibat tsunami pada terumbu karang Thailand dapat diklasifikasikan menjadi 3:

70

Keadaan Terumbu Karang dan Ekosistem Pesisir Lainnya di Laut Andaman, Thailand Pasca-Tsunami

1. Gerakan gelombang yang mencabut, mematahkan, dan memindahkan karang hidup dan karang mati; 2. Penyelimutan karang karena sedimentasi yang meningkat; dan 3. Deposisi puing-puing dari daratan dan kerusakan mekanis yang ditimbulkan. Perkiraan kerusakan akibat tsunami terhadap terumbu karang Thailand yang dikumpulkan oleh DMCR, dikembangkan dari 320 pendataan spot check pada 174 lokasi tereumbu karang di sepanjang pesisir Laut Andaman. Pendataan kerusakan terhadap karang (patah, penyelimutan, pencabutan) rampung dalam waktu 2 minggu setelah tsunami. Mayoritas dari terumbu karang tidak mengalami kerusakan, namun pada beberapa propinsi (terutama Phang Nga) terdapat kerusakan parah yang diakibatkan ombak yang terpusat di antara pulau-pulau. Angka-angka di dalam kurung menunjukkan lokasi khusus dalam setiap propinsi. Propinsi

Tidak ada Dampak (0%)

Dampak Minimal (1-10%)

Dampak Rendah (11-30%)

Dampak Sedang (31-50%)

Dampak Tinggi (>50)

Ranong

0

2

2

1

7

Phang Nga

21

12

16

10

13

Kepulauan Surin

(0 dari 21)

(5 dari 12)

(7 dari 16)

(5 dari 10)

(4 dari 13)

Kepulauan Similan

(11 dari 21)

(7 dari 12)

(8 dari 16)

(5 dari 10)

(7 dari 13)

Phuket

12

5

3

1

0

Krabi

12

8

4

4

2

(5 dari 12)

(4 dari 8)

(2 dari 4)

(3 dari 4)

(1 dari 2)

Trang

2

4

2

0

0

Satun

22

5

3

0

1

Jumlah

69 (39,7%)

36 (20,7%)

30 (17,2%)

16 (9,2%)

23 (13,2%)

Kepulauan Phi Phi

Pendataan cepat yang dilakukan secara pribadi pada 70 lokasi selam yang sangat dikenal oleh Klub Operator Selam Thailand, Phuket di kepulauan Surin dan Similan menemukan bahwa 73% dari lokasilokasi selam tersebut hanya mengalami kerusakan ringan, 8% mengalami kerusakan sedang, dan 19% mengalami kerusakan yang berat akibat tsunami. Pendataan lainnya pada 56 lokasi oleh regu yang dibentuk oleh New England Aquarium, Amerika Serikat menemukan bahwa 14% dari terumbu karang mengalami kerusakan atau hancur; sekitar 50% mengalami kerusakan sedang; dan pada 36% hanya terdapat sedikit atau tidak ada kerusakan. Terumbu karang pada perairan dangkal mengalami kerusakan yang lebih tinggi daripada terumbu karang yang terdapat pada perarian dalam. Penyelam-penyelam tersebut menemukan bahwa kegiatan manusia, terutama penangkapan yang berlebih serta pemanasan global menimbulkan kerusakan yang lebih banyak daripada tsunami. Kedua rangkaian data ini memiliki kesamaan dengan data yang ada pada DMCR. Propinsi Ranong: Ranong memiliki jumlah terumbu karang paling sedikit pada wilayah di sepanjang Laut Andaman, dengan mayoritas terumbu terdapat pada perairan dangkal yang keruh di sisi timur pulau-pulau lepas pantai. Tidak terdapat terumbu tepi pada daratan utama. Separuh dari keseluruhan terumbu karang di Ranong menunjukkan tingkat kerusakan tinggi, yang sebagian besar diakibatkan oleh hempasan ombak atau penyelimutan oleh pasir. Lokasi lainnya juga menunjukkan kerusakan. Kerusakan terumbu karang yang paling parah terjadi pada pulau-pulau di Taman Nasional Laem Son, terutama Pulau Khang Khao, Kam Yai, Kam Nui, dan Larn. 71

Status Terumbu Karang di Negara-negara yang Terkena Dampak Tsunami 2005

Propinsi Phang Nga: Terumbu karang tepi (fringing reef) paling besar dan berkembang paling baik di Thailand terdapat pada propinsi Phang Nga. Ini termasuk terumbu perairan dangkal pasang-surut dan terumbu yang terdapat pada perairan lebih dalam pada pulau-pulau lepas pantai. Terumbu yang terdapat pada perairan dangkal di daratan utama mengalami imbas besar akibat tsunami, dengan 80% terumbu yang mengalami kerusakan berat. Pulau Ka, Tanjung Krung Noi, dan Tanjung Krang Yai rusak parah dengan banyak batu karang terguling dan penyelimutan serta penguburan karang. Kerusakan ini terjadi di samping degradasi yang terjadi sejak 1970-an akibat penambangan timah lepas pantai dan peningkatan sedimen yang terbawa. Lokasi-lokasi penyelaman terkenal di Pulau Khai Nok, Khai Nai, Dok Mai, dan Batu Mu Sang tidak menunjukkan dampak tsunami, dan secara relatif tidak terkena pengaruh. Kerusakan karang yang paling parah terjadi pada kanal timur-barat di antara pulau. Karang pada lereng yang curam juga mengalami kerusakan akibat tergelincirnya substrat dan puing-puing, sementara terumbu gundukan dekat dengan substrat pasir paling rentan terhadap penyelimutan. Kepulauan Surin: Terumbu karang mengalami tingkat kerusakan yang berbeda-beda bergantung pada topografi dasar laut setempat, tipe karang yang mendominasi, dan arah terjangan ombak. Terumbu pada kanal antara Pulau North Surin dan Pulau South Surin dan juga antar Pulau South Surin dan Pulau Torinla mengalami kerusakan yang paling parah. Dimana wilayah terumbu utama menerima dampak rendah sampai sedang: individu-individu dari koloni patah; karang masif terbalik; dan banyak koloni tertutup oleh pasir. Terumbu yang terdapat pada sisi timur Pulau Tachai menunjukkan dampak yang rendah sampai sedang dan tidak terdapat kerusakan di Batu Richelieu, sebuah lokasi selam yang terkenal. Kerusakan yang paling parah terjadi di Ao Chong Kad (pantai selatan Pulau Surin) dan beberapa lokasi yang berdekatan pada jalur air antar pulau. Terjadi kerusakan yang sedang di Ao Pak Kaad dan pada terumbu perairan dangkal di Pulau Torinla, sementara terumbu tepi yang mengelilingi kepulauan tersebut hanya sedikit terkena dampak. Namun keadaan secara umum adalah kerusakan karang ringan. Permasalahan utama yang dihadapi saat ini adalah menghadirkan kembali pengelolaan taman untuk mengendalikan penangkapan ilegal dan memfasilitasi pemulihan karang pasca tsunami. Pendataan di Taman Nasional Mu Koh Surin oleh Coral Cay Conservation (CCC) menyimpulkan bahwa terumbu karang di sana dalam keadaan bagus; lebih dari 270 jenis ikan karang dan 70 jenis karang keras berhasil teridentifikasi dan penutupan karang sangat tinggi (~75%) pada pesisir timur laut Pulau North Surin. Namun demikian, tsunami telah menghancurkan sekitar 8% dari penutupan karang hidup. Kerusakan terkait tsunami yang terbesar terjadi pada wilayah yang tidak memiliki cukup banyak penutupan karang keras hidup sebelum diterjang tsunami. Telah ada tanda-tanda pemulihan karang dan taman ini diharapkan dapat pulih dalam beberapa tahun, dengan anggapan bahwa faktor stres lainnya dikelola dengan tepat. Kepulauan Similan: Terumbu karang yang terdapat di sepanjang pulau-pulau selatan menerima dampak kecil, kecuali Pulau Miang, yang mengalami kerusakan tinggi. Bagian barat laut dari Pulau Payu dan Tanjung Beacon di bagian selatan menunjukkan kerusakan sedang akibat tsunami. Lokasi-lokasi penyelaman yang sangat ternama, Sunset Point, Deep Six, West of Eden, Pusa Rock, dan Breakfast Bent, kesemuanya hampir tidak terpengaruh oleh tsunami. Namun demikian, terjadi kerusakan yang cukup parah terhadap China Wall dan Snapper Alley di Similan 9. Di Snapper Alley Point, ditemukan kerusakan yang cukup berarti sampai kedalaman 30 m, dimana 40% dari karang rusak akibat tsunami, khususnya antara kedalaman 10 sampai 20 meter. Karang-karang meja berukuran besar terjungkirkan atau patah; sejumlah besar pasir, seringkali ketebalannya mencapai 2 meter, terpindahkan; dan terdapat ledakan jenis diatom yang tidak diketahui pada permukaan batuan yang baru tersingkap.

72

Keadaan Terumbu Karang dan Ekosistem Pesisir Lainnya di Laut Andaman, Thailand Pasca-Tsunami

KEMATIAN IKAN YANG ANEH DI SNAPPER ALLEY Pada pukul 9:26 pagi tanggal 26 Desember 2004, sementara kapal khusus penyelaman Philkade mengapung di atas perairan Snapper Alley di kepulauan Similan, 4 orang wisatawan yang sedang menyelam dan seorang guru selam bernama Anaknan Kirklit tiba-tiba menyadari bahwa air mulai berputar dan mereka terhisap ke kedalaman 20 m dan terdorong kembali ke atas. Gelembung udara mereka terhembus ke arah samping dan kapal Philkade sepanjang 30 meter terombang-ambing bagaikan kapal mainan dalam bak mandi; terdorong ke satu arah, berputar di dalam pusaran air. Para penyelam muncul kembali ke permukaan dan dikelilingi oleh ratusan ikan kerapu warna putih-merah yang mengapung, dengan gelembung renang yang muncul membengkak dari mulut mereka; mereka sekarat karena dipaksa naik ke permukaan terlalu cepat. Kapal tersebut kembali ke Snapper Alley pada April 2005 bersama 7 orang ahli biologi kelautan yang didukung oleh National Geographic Society dan diketuai oleh Greg Stone dari New England Aquarium untuk mengamati kerusakan yang ada. Pemandangan yang mereka temukan sangat memilukan; ratusan karang Acropora meja terserak patah seperti piring makan berukuran raksasa. Namun sebagian besar kerusakan yang ada hanya pada petakan-petakan wilayah tertentu; karena beberapa tempat telah ditekan oleh ombak sementara yang lain tidak tersentuh. Pada sebuah jalur antara dua pulau Surin, ombak telah memahat dinding-dinding pasir bawah air yang luar biasa indah, setinggi 3 meter. Ahli ekologi karang, Emre Turak menemukan gundukan karang gorgonia dan Acropora yang telah patah, terpenggal dan terselimuti oleh sedimen. Kebanyakan karang patah dapat beregenerasi dalam waktu 3 sampai 10 tahun, namun, banyak dari karang-karang ini terkubur dalam pasir dan telah mati. Di dekat Pulau Tachai, kepulauan Surin, Gerry Allen, seorang ahli ikan dari Western Australian Museum, melaporkan bahwa karang Porites berukuran besar telah terangkat secara paksa, dan tergulingkan seperti patung-patung di Easter Island. Di dekat pesisir Teluk Patong, terdapat karang mati, namun juga ditemukan tanda-tanda pengaruh manusia yang tidak diragukan. Tsunami hanya menambah kerusakan yang sebelumnya disebabkan oleh limbah perkotaan dan perusakan karang oleh jangkar kapal. Di Kepulauan Phi Phi, dimana lebih dari 1.000 orang meninggal, terumbu karang juga mengalami kerusakan. Keadaan terburuk ditemukan di Teluk Lanah dimana 80 sampai 90% dari karang terjungkirkan dan mati karena terkubur sedimen, termasuk koloni Porites yang berumur 500-700 tahun. Namun angka-angka terakhir menunjukkan sedikit harapan: 36% lokasi pengamatan mengalami kerusakan ringan atau tidak sama sekali; 50% mengalami kerusakan sedang; dan hanya 14% mengalami kerusakan parah. Ikan karang secara umum tidak terpengaruh, kecuali kematian pada lokasi tertentu di Snapper Alley. Gerry Allen mengatakan terumbu yang rusak bagaikan “kota mati”, namun hamparan patahan karang di perairan yang lebih dalam seperti kemah pengungsi bagi ikan, dengan konsentrasi ikan yang sangat tinggi”. Terumbu karang yang rusak ini seharusnya pulih dengan cepat, kecuali pada wilayah yang terkubur oleh pasir; namun pemulihan akan bergantung kepada seberapa besar pengaruh antropogenik terhadap terumbu. Ilmuwan karang Australia, Charlie Veron mengatakan “Bagi terumbu, ...tsunami ini hanya merupakan hari buruk biasa.” Terumbu telah mengalami badai angin, tsunami dan gempa bumi selama jutaan tahun, dan selalu pulih. Namun berbeda dari bencana alam, pengaruh antropogenik tidak pernah berlalu; sang ilmuwan mendapati buktibukti jelas penangkapan yang berlebih, pengembangan pesisir dan pemanasan global. Kesemuanya ini terjadi sebelum tsunami, dan akan terus berlanjut saat kerusakan akibat gelombang tersebut telah pulih (sebagian telah dicetak di majalah National Geographic, Desember 2005).

Propinsi Phuket: Tsunami menyebabkan sedikit kerusakan pada kebanyakan terumbu karang di sekitar Phuket, dengan pengecualian pada lengkung selatan Teluk Patong, dimana 10-30% dari karang rusak. Kerusakan terbatas pada komunitas karang perairan dangkal di sepanjang rataan terumbu dan pada dasarnya disebabkan oleh terseretnya puing-puing diatas terumbu. Tidak terdapat kerusakan yang berart pada dataran terumbu di sekitar ujung tenggara Phuket, dimana terumbu karang telah dipantau secara reguler selama 27 tahun terakhir. Penutupan karang pada awal tahun 2005 lebih tinggi dari yang pernah terukur sebelumnya. Ketinggian ombak tsunami maksimum sebesar 3 meter dan mengangkat sejumlah besar batuan Acropora (yang mati akibat anomali permukaan air laut surut pada tahun 1997-98) sehingga 73

Status Terumbu Karang di Negara-negara yang Terkena Dampak Tsunami 2005

patahan karang kini menutupi karang hidup pada bagian-bagian tertentu di rataan terumbu. Karang yang terletak di perairan lebih dalam sepanjang Pulau Waeo, Pulau Pu, Teluk Kata, Pulau Hae, dan Pulau Racha Noi hanya sedikit terpengaruh. Pemulihan terumbu karang yang berada dan mengelilingi Phuket telah diperkirakan akan berjalan relatif cepat, dengan wilayah dengan tingkat kerusakan paling tinggi memerlukan 5-10 tahun, dengan catatan tidak ada faktor penekan lainnya (seperti pemutihan karang dan kematian akibat peningkatan suhu air laut yang terjadi secara anomali). Perkiraan optimis ini berdasarkan: tingkat pemulihan yang cepat sewaktu terjadi kerusakan akibat badai; laju pertumbuhan karang yang tinggi; dan keadaan terumbu yang baik dalam wilayah yang berdekatan. Propinsi Krabi: Kebanyakan terumbu karang di sepanjang Pulau Hong dan Pulau Dam Hok-Dam Kwan yang terletak dekat pantai mengalami hanya sedikit kerusakan akibat tsunami. Namun demikian, tepatnya 30% dari jumlah karang di jalur air antara Dam Hok dan Dam Khwan dan di Tanjung Hang Nak mengalami kerusakan berupa karang yang terguling oleh ombak atau hancur karena tertimpa oleh benda-benda berukuran besar. Kepulauan Phi Phi: Terdapat sedikit kerusakan terhadap 20% terumbu karang (0-33% koloni karang yang rusak atau mati), pada sisi timur Phi Phi Leh (terletak 6 km ke arah selatan Phi Phi Don) dan Pulau Koh Bida, dan 20% mengalami kerusakan sedang (34-66% karang rusak/mati), dan terjadi kerusakan yang tinggi pada 60% terumbu (67%-100% karang yang rusak/mati). Karang lunak dan gorgonia merupakan yang paling rentan terhadap sedimen dari luar dengan beberapa karang tersebut terfragmentasi. Hilangnya karang sebagian besar disebabkan oleh limpahan sedimen dari daratan, dan sejumlah besar puing yang berasal dari rumah penduduk dan resor wisata yang terbawa ke Phi Phi Ley dari wilayah Phi Phi Don yang memiliki kepadatan penduduk tinggi. Puing-puing masih ditemukan menyelimuti beberapa bagian karang 6 bulan setelah tsunami. Sejumlah karang lunak telah pulih, namun pemuilihan karang keras akan memakan waktu beberapa tahun. Telah dijalankan operasi pembersihan secara besar-besaran di Phi Phi oleh ratusan sukarelawan. Dampak merusak lainnya dari tsunami termasuk berkurangnya jumlah penyu, kuda laut, dan ikan berukuran kecil (seperti Blenniidae) dalam jumlah yang cukup tinggi, dimana beberapa makhluk tersebut bergantung pada terumbu untuk habitatnya (dari Universitas Plymouth). Ditemukan kerusakan yang tinggi pada Pulau Mai Phai, Teluk Lolana, dan Pulau Phi Phi Leh bagian utara. Terumbu karang yang terdapat pada kanal antara Pulau Rok Nai dan Rok Nok mengalami kerusakan yang tinggi. Namun demikian, lokasi penyelaman terkenal yang terletak dekat Pulau Bida, Teluk Maya, Pulau Ngai, dan formasi batu Hin Muang-Hin Daeng berada dalam kondisi yang cukup baik dan masih dibuka untuk penyelaman. Propinsi Trang: Hanya sedikit atau tidak ada kerusakan pada kebanyakan (75%) terumbu karang di Propinsi Trang. Beberapa karang tergulingkan pada terumbu perairan dangkal di sekitar Pulau Muk dan Takeang, dan dampak secara keseluruhan pada terumbu karang di propinsi ini termasuk kecil dan seharusnya tidak menyebabkan gangguan terhadap kegiatan penyelaman dan wisata. Propinsi Satun: Sebanyak 87% dari terumbu yang disurvei tidak terkena dampak tsunami, seperti terumbu di sekitar Pulau Bulon dan Pulau Tarutao yang tidak menunjukkan sedikit pun kerusakan. Terdapat kerusakan yang cukup parah pada beberapa karang di Kata dan sisi selatan serta barat Pulau Adang di kepulauan Adang-Rawi, namun kerusakan ini merupakan pengecualian di propinsi tersebut.

74

Keadaan Terumbu Karang dan Ekosistem Pesisir Lainnya di Laut Andaman, Thailand Pasca-Tsunami

KESAKSIAN DARI PROPINSI KRABI 26 Desember 2004: Sebelum ombak-ombak tsunami datang, laut tenang, jarak pandang tergolong bagus (30 m) dan kondisi penyelaman terlihat sempurna. Malam sebelumnya bulan dalam keadaan purnama, dan kami sudah memprakirakan arus laut akan kuat, namun semuanya tampak baik-baik saja. Saya dan kelima penyelam yang belum berpengalaman turun memasuki kedalaman 2 m di mulut Teluk Bidah Nok. Arus terkuat yang pernah saya alami mendorong kami 500 m ke arah barat dan laut lepas. Saya mengembangkan pelampung para penyelam dan kami melewati bebatuan dangkal di perbatasan teluk. Semua itu memakan waktu 1 menit, namun kami telah berpindah 500 m. Beberapa penyelam tersapu sampai beberapa ratus meter ke selatan, sementara yang lain terhisap ke dalam air, meski telah melepas pemberat dan mengembangkan pelampung mereka. Beberapa penyelam melihat pasir terangkat dari dasar laut dalam pusaran. Kebanyakan penyelam menyaksikan pusaran, baik yang kecil maupun besar, dimana-mana. Beberapa pusaran tersebut tampak seperti angin puyuh yang tipis dan tinggi di dalam air, sementara yang lain memiliki diamter 100 m dan menangkap para penyelam dan kapal. Sebuah pusaran yang sangat besar di luar Teluk Bidah Nok begitu kuat sehingga kapal-kapal tercabut dari penambat apung, atau tali jangkar mencabuti karang-karang besar dari dasarnya. Arus tersebut perlahan reda dan para penyelam beserta kapal terbawa ke laut lepas dengan aman. Dari kapal, laut seakan berubah menjadi warna putih, kemungkinan karena pasir yang terangkat, laut begitu bingung dengan ombak yang terbentuk dari segala arah, pusaran-pusaran air dan keadaan rusuh. Para penyelam melaporkan melihat jumlah ikan hiu dan tuna lebih banyak dari biasanya, yang semuanya berenang dengan cepat ke arah laut lepas. Tidak satu pun penyelam yang menyadari bahwa tsunami telah terjadi, dan menganggap bahwa semua kejadian aneh tersebut berkaitan dengan bulan purnama malam sebelumnya. Kemudian kami menyelam di sisi pulau yang terlindungi dalam kondisi yang lebih tenang, meski arus yang ada tidak seperti biasa dan terus berganti arah. Jumlah ikan juga lebih sedikit dari biasanya. Waktu kedua penyelaman secara keseluruhan sekitar 1 jam, dan pusaran air yang sangat besar terus berlangsung. Laporan adanya ombak-ombak besar menghempas di daratan mulai bergulir dari radio kapal, maka kami memutuskan untuk kembali ke daratan meski kami tidak menyadari apa yang terjadi. Lalu kami melihat sejumlah besar puing-puing yang mengapung ke arah laut sejauh 500-600 m dari Lanta. 30 Desember 2004: Kami melakukan penyelaman kembali, yang pertama dekat Ko Phi Phi untuk mencari mayat-mayat yang mungkin tersangkut. Teluk Ton Sai dipenuhi rongsokan kapal, bungalow, bongkahan gedung, dan puing-puing yang sangat banyak. Pantai pada sisi barat tertutupi oleh puing-puing dan pulau tersebut dalam keadaan hancur berantakan. Dua buah hotel yang dibangun dari beton masih berdiri namun dikelilingi oleh tumpukan puing-puing setinggi 1-2 m. Terumbu di Teluk Toran Sai mengalami kerusakan yang cukup parah dan tersangkuti oleh mebel, pakaian, kabel listrik, dan lainnya. Terdapat rongsokan lebih dari 150 buah kapal di daerah ini. Penyelam lainnya melaporkan bahwa sedikit sekali kerusakan karang di Bidah Nok dan Nai, walau terdapat lapisan pasir di atas sebagian besar terumbu; ikan-ikan tampaknya membersihkan pasir dari atas karang. 15 Januari 2005: Saya kembali ke lokasi-lokasi penyelaman yang sebelumnya di Ko Haa dan hanya melihat sedikit kerusakan, meski beberapa karang patah dan patahan karang tersebar di wilayah itu. Kuda laut dan ikan pipefish berada dalam habitat alami mereka dan kehidupan laut tampaknya lebih melimpah. Sotong terlihat sedang bereproduksi, ikan kodok yang langka dan kerondong yang aneh hadir, dan beberapa hiu paus terlihat. Pendapat umum mengemukakan bahwa kegiatan penyelaman lebih memuaskan dari biasanya, meski masih terjadi beberapa kejadian dan jarak pandang masih lemah (dari Saffron Kiddy, Narima Diving Thailand, [email protected]).

75

Status Terumbu Karang di Negara-negara yang Terkena Dampak Tsunami 2005

Kerusakan pada Bakau dan Tumbuhan Pesisir: Hanya terdapat sedikit kerusakan pada 181.347 hektar mangrove yang terdapat di sepanjang pesisir Laut Andaman. Mangrove ini menstabilkan tepian perairan, berperan sebagai daerah asuhan bagi ikan karang, dan melindungi terumbu karang dari limpasan air darat dan sedimen; namun hutan ini terancam karena pengembangan infrastruktur yang meningkat, budidaya di pesisir dan penggunaan wilayah bakau sebagai tempat pembuangan (sampah) akhir. Menurut DCMR, hanya 306 hektar hutan bakau (0.2% dari wilayah nasional) mengalami kerusakan akibat tsunami, sebagian besar di Propinsi Phang Nga. Hanya terdapat 1,6 hektar hutan bakau yang mengalami kerusakan di Propinsi Satun. Hutan pesisir dan rawa gambut yang bersumber air tawar mengalami kerusakan akibat peningkatan salinitas dan kekuatan ombak. Lebih dari 700 hektar pepohonan terpatahkan atau rusak berat dan harus ditanam kembali, dan 14.000 hektar pohon lainnya yang kehilangan daunnya akibat peningkatan kadar garam dapat pulih kembali dalam waktu beberapa bulan. Namun demikian, dampak merusak yang ditimbulkan oleh garam di rawa gambut mungkin berlangsung untuk beberapa bulan, karena kebanyakan rawa tersebut belum terisi atau terlewati oleh air tawar secara penuh. Telah direkomendasikan bahwa sebuah program pemantauan jangka panjang pada beberapa jenis khusus, seperti rotifera dan plankton lainnya, sebaiknya dilakukan. Kerusakan lamun: Hanya 3.5% dari lebih dari 7.900 hektar padang lamun sepanjang pesisir Andaman terkena dampak dari tsunami, dengan kerusakan yang ada sebagian besar disebabkan oleh sedimentasi. Kerusakan total hanya menimpa 1.5% dari padang lamun. Namun demikian, padang lamun di Thailand berada dibawah ancaman yang lebih besar dari pencemaran dan sedimentasi dari perkembangan industri, perumahan, dan pariwisata, pengaruh dari budidaya udang, praktik penangkapan ikan yang merusak, dan siltasi dari penambangan timah. Padang lamun ini berperan sebagai dasar produktifitas yang penting untuk perikanan, membantu dalam stabilisasi pesisir, dan merupakan sumber makanan yang baik untuk biota langka seperti dugong dan penyu hijau. Wilayah yang paling terkena dampak adalah Pulau Yao Yai di propinsi Phang Nga, yang kehilangan 10% dari habitat lamunnya. Lamun yang tumbuh pada wilayah pasang surut di Kuraburi, Propinsi Phang Nga mungkin telah mengurangi erosi pantai saat tsunami. Hanya sedikit kerusakan atau kehilangan habitat di Pulau Talibog, Propinsi Trang, yang memiliki padang lamun terbesar yang berfungsi sebagai daerah pencarian makan dugong. Sekitar 10% wilayah tersebut terkena dampak dari siltasi dan erosi permukaan dasar laut; lamun ini diperkirakan pulih dalam waktu satu tahun, meski lamun yang terkubur dalam pasir yang lebih tebal mungkin akan membutuhkan waktu lebih lama untuk pulih.

DAMPAK SOSIAL DAN EKONOMI Tsunami telah mengakibatkan kerugian besar terhadap dua sektor ekonomi utama Thailand: diperkirakan US$ 321 juta di sektor pariwisata dan US$ 43 juta di perikanan. Lebih dari 300 hotel/resor rusak dengan 40% dari 53.000 kamar rusak atau hancur. Disamping itu, 200 rumah makan dan 4.300 toko yang bergantung pada pariwisata rusak total atau sebagian. Kerusakan nyata dan yang diperkirakan terjadi terhadap prasarana pendukung, akan membuat kebanyakan dari fasilitas wisata yang bertahan harus menderita (dan terus merugi) akibat penurunan jumlah wisatawan. Penurunan jumlah wisatawan berarti bahwa mereka yang sebelumnya bekerja dalam industri tersebut atau menyediakan produk, telah kehilangan sumber pencaharian. Tsunami telah memberikan dampak bagi 58.000 orang karena menghancurkan 407 desa, 4.800 rumah, dan 24 sekolah. Jumlah tangkapan ikan total pada tahun 2000 diperkirakan 3,7 juta ton metrik senilai US$ 1,1 miliar, namun tsunami telah mengakibatkan kerugian besar-besaran terhadap industri perikanan dan budidaya

76

Keadaan Terumbu Karang dan Ekosistem Pesisir Lainnya di Laut Andaman, Thailand Pasca-Tsunami

dengan hancurnya kapal nelayan, alat tangkap, tambak, keramba, dan penetasan benur. Delapan dermaga rusak berat dan tepatnya 150 kapal wisata besar dan 776 kapal wisata kecil rusak atau hilang. Sektor pertanian juga terkena dampak tsunami: lebih dari 1.500 hektar lahan pertanian terendam oleh air asin dan lebih dari 2.000 ekor babi serta 7.600 ekor unggas ternak hilang. Masalah hak dan kepemilikan tanah kemungkinan merupakan alasan terpenting timbulnya masalah sosial setelah tsunami. Berakumulasinya masalah ketidakjelasan dokumentasi dan kurangnya kepercayaan terhadap sistem laporan kepemilikan, telah diperparah oleh tsunami sehingga permasalahan tanah dan perumahan menjadi sangat sulit. Saat ini terdapat banyak konflik atas tanah untuk konservasi dan penggunaan pribadi.

KESAKSIAN DARI WWF Sejumlah besar korban yang terkena dampak tsunami merupakan wisatawan asing yang sedang berlibur di pantai-pantai popular seperti Phuket, Khao Lak, dan Pulau Phi Phi. Di antara korban jiwa terdapat 3 jagawana Taman Nasional Laut yang bekerja di proyek Konservasi Penyu Naucrates di Pulau Phra Thong. Enam jagawana lainnya terluka parah. “Saya baru saja mengunjungi Pulau Surin. Infrastruktur pada pulau tersebut hancur sampai rata, namun staf Taman Nasional dan 180 masyarakat Moken yang tinggal disana dalam kondisi aman. Mereka melihat tanda-tanda peringatan ketika air surut dengan cepat dan mengingat cerita rakyat setempat, sehingga mereka sudah mengetahui apa yang akan datang dan secepatnya menuju dataran tinggi. Ini merupakan satu lagi pelajaran yang dapat kita petik mengenai pentingnya pengetahuan lokal. Tsunami telah menjadi tragedi buruk bagi semua yang terlibat, dan sebuah tamparan bagi masyarakat dunia. Di saat kita mulai membangun kembali, kita harus belajar dari pengalaman dan memastikan bahwa dunia pariwisata pesisir Thailand dibentuk dengan cara yang lebih sensitif dan adil, yang dalam jangka panjangnya menyediakan kualitas hidup dan kehidupan berbasis perikanan dan wisata yang berkelanjutan bagi masyarakat setempat, dan pengalaman wisata yang lebih baik bagi generasi berikutnya termasuk dari keluarga yang berhasil selamat dari tsunami”. WWF Thailand sedang mendirikan sebuah program penelitian dan pemantauan pemulihan terumbu karang di Kepulauan Surin. Survei menunjukkan 2-10% dari seluruh terumbu karang di Kepulauan Andaman telah rusak, patah, atau tertutupi sedimen dan puing-puing. Di Koh Phi Phi, seperempat dilaporkan rusak. Sementara itu, WWF Thailand menyediakan informasi bagi penyelam asing yang berkeinginan untuk membantu upaya pembersihan terumbu karang (dari Robert Mather, Direktur, WWF Thailand).

Tabel ini menampilkan daftar kerugian yang dialami usaha perikanan Thailand akibat tsunami. Peralatan Perikanan

Jumlah kerusakan/kehilangan

Kapal besar

1.137 buah

Kapal kecil

4.228 buah

Jaring lempar

3.313 nelayan terkena dampak

Stake traps

683 nelayan terkena dampak

Bubu bambu

2.537 nelayan terkena dampak

Tambak

11 tambak

Karamba

5.977 nelayan terkena dampak

Penetasan Benur

277 rusak

77

Status Terumbu Karang di Negara-negara yang Terkena Dampak Tsunami 2005

UPAYA REHABILITASI DAN PEMULIHAN Salah satu hasil yang diakibatkan tsunami adalah sejumlah besar benda asing yang tersapu dari daratan, yang menjadi sebuah permasalahan langsung bagi sumber daya pesisir. Upaya pembersihan terumbu karang, pantai, dan hamparan lamun merupakan salah satu prioritas utama pemerintah Thailand dan lembaga yang memberikan bantuan, dan aktivitas ini segera dijalankan setelah kejadian tsunami. Misalnya, UNDP menyalurkan untuk pembelian kapal, peralatan selam, dan karung plastik khusus selang beberapa minggu setelah tsunami dan juga memulai sebuah program pembersihan jangka panjang yang lebih besar. Kegiatan-kegiatan ini dikoordinir oleh MONRE dengan dukungan dari sektor swasta, pihak-pihak yang memegang peranan kunci, dan lembaga internasional sepert UNEP.

PERKEMAHAN SELAM TSUNAMI PHI PHI Perkemahan Selam Phi Phi merupakan proyek swasta yang didirikan untuk mengelola kerusakan yang ditimbulkan oleh tsunami dan mengurangi dampak jangka panjang terhadap terumbu karang akibat keberadaan jumlah puing di perairan sekitar kepulauan Phi Phi yang berada dalam jumlah sangat besar. Pantai-pantai dan atraksi lain di lokasi tersebut membutuhkan pembersihan sangat cepat agar keadaan Taman Nasional itu dapat kembali indah seperti semula. Pendanaan dari Piers Simon Appeal Fund, Pacific Asia Travel Association (PATA) dan sumbangan dana pribadi lainnya, turut membantu mendirikan perkemahan selam ini untuk lebih dari 4.000 sukarelawan dan 25 pegawai asal Thailand. Penyelam-penyelam dengan pengalaman sedikitnya 100 kali penyelaman bekerja 6 hari setiap minggu selama 6 bulan dan tercatat melakukan penyelaman lebih dari 7.500 kali. Jumlah orang yang bekerja di atas air dua kali lipat, termasuk para perenang snorkel, regu-regu pembersih pantai, dukungan kapal, dan staf registrasi. Segala rupa peralatan rumah tangga yang dapat dibayangkan berhasil terangkat, termasuk televisi, stereo, kulkas, mesin cuci, kabel-kabel listrik, dan ratusan kasur yang beratnya berlipat-lipat dalam keadaan basah. Barang-barang pribadi seperti baju, sepatu, mainan, kartu identitas, dan paspor berada diantara temuan yang paling mengejutkan. Benda-benda berukuran besar, seperti rumah bungalow utuh, gedung, bongkahan atap, tembok dan bongkahan semen diangkat dengan bantuan kantong khusus; 280 ton puing dipindahkan dengan tangan. Operasi pembersihan ini telah berjalan dengan cukup menyeluruh dan kini penyelaman untuk pembersihan hanya dijadwalkan sebulan sekali, dan regu-regu relawan pembersih pantai bekerja membersihkan pantai seiring ombak yang terus membawa masuk rongsokan. Lokasi Kepulauan Phi Phi cukup baik untuk didirikan sistem pemantauan perlindungan sumber daya alam, namun suatu hal penting yang harus diingat adalah kesalahan pembangunan masa lalu agar tidak diulang (dari Andrew Hewett, Koordinator Proyek, [email protected])

Para peneliti dari Universitas Ramkhamhaeng dan 35 penyelam relawan dari ‘Save Whaleshark’-Thai Sea Conservation Club, membantu dalam restorasi Propinsi Krabi dengan membalikkan karang yang terbalik kembali ke dalam keadaan semula dan menempelkan patahan karang ke substrat keras untuk mencegahnya tergerus oleh bahan sedimen. Setelah 3 bulan, 40% dari karang yang dibiarkan terbalik telah mati, sementara hanya 4.5% dari karang yang telah direhabilitasi dengan pembalikkan kembali telah mati, dan hanya 19% dari karang yang dibalikkan kehilangan jaringan karang. Mayoritas (95%) dari fragmen karang Acropora yang ditempel kembali dengan kawat plastik berhasil hidup, dan 70% menunjukkan peningkatan jumlah jaringan hidup dengan cabang baru setelah 5 bulan. Sisi pengelolaan lingkungan dan konservasi juga mendapatkan keuntungan setelah masyarakat mulai tertarik dengan hasil yang dicapai oleh para peneliti dan relawan tersebut. Segera setelah tsunami, pemerintahan Thailand mengajukan permohonan dukungan teknis dalam bentuk tenaga ahli, peralatan, peningkatan kapasitas, rehabilitasi lingkungan, dan pemulihan kehidupan masyarakat. Permohonan susulan mencakup dukungan PBB untuk pendataan lingkungan cepat (rapid

78

Keadaan Terumbu Karang dan Ekosistem Pesisir Lainnya di Laut Andaman, Thailand Pasca-Tsunami

environmental assessment), rencana cepat tanggap, dan sistem peringatan dini. PBB merespon dengan menyusun tiga misi yang melibatkan kerjasama antar lembaga: antara 28 Desember sampai 12 Januari 2005, kantor koordinasi kegiatan kemanusiaan (OCHA) mengirimkan regu pendataan dan koordinasi bencana PBB (UNDAC) agar mendata kebutuhan darurat; antara 4-8 Januari 2005, sebuah misi UNDP/World Bank/FAO mendata kerusakan jangka menengah dan jangka panjang dan kerjasama potensial untuk membantu pemulihan kehidupan dan lingkungan; antara 10-13 Januari 2005, sebuah misi PBB/ILO/IOM mendata kebutuhan lembaga-lembaga pemerintah dan individual yang bekerja di lapangan, termasuk pekerja imigran dan masyarakat setempat. Menyusul pembicaraan dengan perwakilan pemerintah, Australian Agency for International Development (AusAID) menyediakan AU$ 400.000 untuk mendanai sebuah program berjangka 18 bulan yang bertujuan untuk memperbaiki kapasitas Thailand dalam mengelola zona-zona pesisir secara berkelanjutan, baik untuk budidaya maupun pariwisata. Program tersebut akan mengembangkan panduan untuk pengelolaan pesisir yang lebih baik dengan memfokuskan pada Taman Nasional dan termasuk di dalamnya tindakan dalam perbaikan kualitas air, pengelolaan limbah, pengoperasian kegiatan budidaya dan pariwisata. WWF telah mencanangkan program untuk para penyelenggara penyelaman dan para penyelam individual agar: mengembangkan standar ‘best practice’; mencegah perdagangan barang yang bersumber dari laut yang ilegal; melaporkan kegiatan ilegal yang terjadi di dalam taman nasional; dan mendukung perubahan kebijakan yang sah agar mendukung pengelolaan dan perlindungan terumbu karang. Lebih dari 45 rekan kerja internasional telah memberikan bantuan senilai US$ 61 juta dalam hampir 200 proyek yang mendukung berbagai lembaga pemerintah dan masyarakat, untuk membantu mereka yang berada dalam daerah yang terkena dampak tsunami di Thailand.

KESIMPULAN DAN SARAN Konservasi dan pengelolaan terumbu karang merupakan prioritas bagi Thailand. Meskipun terdapat peningkatan kesiapan dan implimentasi tindakan pertahanan untuk bencana, masih lebih banyak yang dapat dilakukan untuk memperbaiki pengelolaan sumber daya pesisir. Saran-saran yang diajukan dibawah ini dimaksudkan untuk memastikan keberlanjutan jangka panjang dari kehidupan dan sumber daya pesisir: memulai program-program peningkatan kapasitas yang terintegrasi dan termasuk di dalamnya pengelolaan Daerah Perlindungan Laut (MPA); mendirikan koordinasi dan kerjasama yang lebih baik antar para pemangku melalui Pengelolaan Pesisir Terintegrasi dan mengukuhkan program-program kolaboratif dengan pertukaran pelajaran terpetik yang lebih banyak; melanjutkan kegiatan menuju keefektifan MPA dalam perlindungan terumbu karang dan pelebaran serta perluasan jaringan MPA; daerah terumbu yang terkena dampak besar tsunami seharusnya ditutup dari kegiatan pariwisata agar membantu penyembuhan alami tanpa gangguan manusia; mendorong DMCR untuk meminta upaya legislatif dan pemantauan yang lebih kuat dalam melindungi terumbu karang dan untuk memantau pemulihan jangka panjang;

79

Status Terumbu Karang di Negara-negara yang Terkena Dampak Tsunami 2005

mengembangkan indeks universal yang kuat dan efektif dalam mendata keadaan terumbu karang; memperkenalkan praktik-praktik perikanan yang berkelanjutan dan insentif ekonomi untuk memastikan cara-cara ilegal tidak lagi digunakan dalam pemulihan kehidupan masyarakat pelaku perikanan; mengembangkan sistem peringatan dini yang efektif dan memberikan penekanan terhadap kesiapan masyarakat pesisir dalam menghadapi bencana; memanfaatkan pengetahuan lokal dari masyarakat pesisir setempat dalam kurikulum pelajaran, dengan memusatkan perhatian pada ancaman terhadap sumber daya pesisir; mengembangkan sistem pengelolaan data informasi terumbu karang skala nasional dan untuk akses per wilayah; dan meningkatkan kesadaran masyarakat dan program-program pendidikan agar memastikan bahwa masyarakat secara umum lebih terinformasi mengenai terumbu karang dan permasalahan zona pesisir. Ekosistem-ekosistem pesisir di Thailand akan pulih secara alami dari dampak tsunami; namun pendataan sistematis dibutuhkan untuk mengikuti perkembangannya dan mengetahui keefektifan dari tindakan pengelolaan yang menerapkan rehabilitasi. Perlu ada peningkatan keahlian teknis, peralatan, kapasitas pemantauan, dan penelitian sistem informasi geografis (GIS) agar dapat memantau secara ketat keadaan sumber daya pesisir yang terkena dampak dan menyediakan bahan pertimbangan untuk pengelolaan sumber daya. Tsunami telah membawa sebuah kesempatan untuk mengimplimentasikan pengelolaan pesisir terintegrasi yang efektif, sehingga dapat menjadi penghubung antara datangnya bencana alam dengan pemulihan kehidupan masyarakat, terumbu karang, dan habitat-habitat pesisir.

PENYELAM RELAWAN MEMBERSIHKAN PUING-PUING TSUNAMI: DARI KURSI TERAS SAMPAI WASTAFEL Sebuah misi gabungan yang dilakukan oleh UNDP, World Bank, dan FAO telah mendorong UNDP untuk menyediakan peralatan bersih-bersih untuk membantu merehabilitasi terumbu karang Thailand yang terkena dampak tsunami 26 Desember 2004. Barang rongsokan berukuran besar, dari kursi teras sampai wastafel, merusak terumbu karang. “Kita sudah melihat kopor, wastafel, kursi teras, dan seprai tempat tidur diam di atas terumbu,” kata Hakan Bjorkman, Perwakilan Deputi Wilayah dari UNDP di Thailand. “Barang rongsok yang tidak biasa seperti ini membutuhkan perhatian khusus. Kami bekerja dengan cepat agar Departmen Kelautan dan Sumber Daya Pesisir (DMCR) bisa memperoleh peralatan yang dibutuhkan untuk membersihkan terumbu karang di sini. Terumbu karang di sepanjang pesisir Andaman bukan hanya habitat bagi kehidupan bawah laut yang penting bagi pendapatan nelayan setempat, tapi juga merupakan sumber pendapatan yang penting untuk dunia pariwisata Thailand,” kata Mr. Bjorkman. DMCR mengharapkan bantuan dari penyelam relawan untuk membantu membersihkan barang-barang yang tersapu ombak dari terumbu karang sepanjang pantai, dan dengan hati-hati menempelkan kembali patahan karang. Misi Pendataan Bencana PBB yang berlangsung selama 3 hari, menemukan bahwa rata-rata 5% dari terumbu karang di sepanjang pesisir dan sekitar pulau utama telah rusak. Namun, Kepulauan Similan mengalami sedimentasi yang amat parah dari pasir yang terlempar ke atas terumbu karang. Tim pendata ini menyimpulkan bahwa perkembangan ekoturisme yang berkelanjutan di masa mendatang dan pemulihan serta diversifikasi dari sumber pendapatan di dalam komunitas pelaku perikanan akan bergantung pada terumbu karang (dari Cherie Hart, UNDP, [email protected]).

80

Keadaan Terumbu Karang dan Ekosistem Pesisir Lainnya di Laut Andaman, Thailand Pasca-Tsunami

UCAPAN TERIMA KASIH Laporan ini disusun dengan kontribusi tambahan dari: Australian Government AusAID Report; Coastal Habitats and Resources Management (CHARM); Department of Marine and Coastal Resources; Dive Operators Club Thailand – Phuket; FAO; Hollie Bailey, Tadashi Kimura; Robert Mather; Phuket Marine Biological Center, WWF – Thailand; dan Cherdsak Virapat.

KONTAK PENULIS Niphon Phongsuwan, Phuket Marine Biological Center, Phuket, [email protected]; Thamasak Yeemin, Ramkhamhaeng University, Bangkok, [email protected]; James Comley, Coral Cay Conservation, London, [email protected]; Suchai Worachananant, Kasetsart University, Bangkok, Thailand, [email protected]; Maitree Duangsawasdi and Cherdchinda Chotiyaputta, Dept of Marine and Coastal Resources, Bangkok

PENINJAU Barbara Brown, Suchana Chavanich, Yves Henocque, Anond Snidwongs, Kristian Teleki, Songpol Tippayawong, dan Alphons van Lieshout.

ACUAN Phongsuwan N, Brown BE (in press) The influence of the Indian Ocean tsunami on coral reefsof western Thailand, Andaman Sea, Indian Ocean. Atoll Res Bull (Theme Issue on the Indian Ocean Tsunami). Rigg J, Law L, Tan-Mullins M, Warr CG (in press) The Indian Ocean tsunami – socio-economic impacts in Thailand. Journal of Geography. Satapoomin U, Phongsuwan N, Brown BE (in press) A preliminary synopsis of the effects of the Indian Ocean tsunami on the coral reefs of western Thailand. Phuket Marine Biological Center Research Bulletin. Sejumlah laporan online digunakan, termasuk: Australian Government: AusAID (2005), (www.ausaid.gov.au); Coral Cay Conservation (2005), (www.coralcay.org/science/download_reports.php); Chulalongkorn University (2005), serta Department of Marine and Coastal Resources dan Phuket Marine Biological Center (2005), laporan mengenai dampak tsunami terhadap sumber daya pesisir; Mather R (2005), (www.wwfthai.org/eng/resources/publication/publication.asp); UNDP (2005), (www.undp.or.th/focus/tsunami.html); UNDP/World Bank/FAO (2005), (www.un.or.th/tsunamiinthailand/assesmentreps.html); UNEP (2005), (www.unep.org/tsunami/tsunami_rpt.asp); USAID (2005), (www.usaid.gov/pubs/cbj2003/ane/th/); WWF (2005), (www.wwf.org.au/news/n187).

81

6. KEADAAN TERUMBU KARANG DI MYANMAR: EVALUASI PASCA-TSUNAMI

KARENNE TUN DAN GEORG HEISS

RINGKASAN Sebanyak 61 - 65 korban tsunami dilaporkan dari Burma/Myanmar, namun sejumlah warga Burma yang bekerja di Thailand dilaporkan hilang; Walaupun kerusakan yang terjadi relatif kecil, namun 32 desa dari 12 wilayah yang terletak di daerah pesisir terkena imbasan, dengan 1.000 - 1.300 buah rumah hancur atau rusak, dan kerusakan terhadap bangunan sekolah, pagoda, jembatan, serta penggilingan padi; Sebanyak 144 kapal nelayan berukuran kecil dilaporkan hilang atau rusak, dengan kerugian finansial yang ditaksir mencapai US$ 250.000; Tsunami yang terjadi tidak menimbulkan kerusakan.

PENDAHULUAN Sebagian besar pesisir Myanmar/Burma didominasi oleh sungai-sungai utama, kesatuan-kesatuan muara dan delta yang besar, hutan mangrove yang luas, lingkungan bersedimen lembut. Kebanyakan terumbu karang ditemukan di sekitar 800 pulau pada kepulauan Myeik di bagian selatan negara. Gelombang tsunami berhasil mencapai pulau-pulau terluar dari kepulauan Myeik 2-4 jam setelah gempa bumi yang pertama terjadi, dan mencapai pantai utara Myanmar 3 - 5,5 jam setelahnya. Pendataan resmi dari 22 lokasi pemukiman di kepulauan Myeik, Divisi Taninthayi dan Muara Ayeyarwaddy mengindikasikan bahwa tinggi gelombang sepanjang pesisir Myanmar mencapai 0,5 sampai 2,9 meter, yang dikatakan warga setempat menyerupai ‘pasang tinggi musim hujan’. Meski Myanmar terletak lebih dekat dengan pusat gempa daripada Sri Lanka, India, atau Kepulauan Maladewa, namun kerusakan yang ditimbulkan oleh tsunami relatif lebih sedikit. Menurut pemerintahan Myanmar, lembaga PBB, dan LSM, sebanyak 32 desa pesisir dari 12 wilayah terkena dampak dengan 6165 korban meninggal, 1.000-1.300 rumah hancur atau rusak, 144 kapal nelayan hancur atau rusak, dan terdapat sejumlah kerusakan terhadap bangunan sekolah, pagoda, jembatan, serta penggilingan padi. Masih terdapat kemungkinan korban meninggal di Thailand merupakan orang Burma yang bekerja disana, karena banyak yang dilaporkan hilang.

83

Status Terumbu Karang di Negara-negara yang Terkena Dampak Tsunami 2005

KEADAAN TERUMBU SEBELUM TSUNAMI Terumbu karang di Myanmar bisa jadi merupakan terumbu karang yang paling sedikit dipelajari di dunia, dimana kurang dari 8 laporan yang menyajikan keadaan terumbu karang bisa diperoleh. Beberapa survei telah dilakukan oleh Reef Check Eropa, namun kebanyakan sumber informasinya sekunder. Kepulauan/Nusantara Myeik memiliki lahan seluas 12.500 km2 dan terumbu karang seluas 1.700 km2, termasuk terumbu tepi (fringing), hamparan bukit bawah laut, gua kapur, tebing batu yang terjal maupun tegak, dan hamparan pasir bercampur batuan besar dengan sejumlah jenis karang yang belum diketahui spesiesnya (perkiraan yang ada berkisar antar 65-97 jenis karang batu). Sebelum terjadi tsunami, informasi

84

Keadaan Terumbu Karang di Myanmar: Evaluasi Pasca-Tsunami

TIDAK ADA DAMPAK TSUNAMI-‘LEMPENG BURMA AMAN!’ “Ketika tsunami menerjang wilayah pesisir Asia lain, saya berada di Pantai Ngapali, Myanmar, di depan Penginapan Laguna. Pukul 7:45 di pagi hari, laut masih tenang dan matahari keluar. Hari ini tampak seperti biasa, dan kami tidak memiliki komunikasi telepon maupun televisi. Kami baru mendengar beritanya keesokan hari ketika kembali ke Yangon, dan semua membicarakan betapa beruntungnya kami. Tapi itu bukan keberuntungan – karakteristik alami ‘Lempengan Burma’-lah yang menyelamatkan pesisir Myanmar. Para tetua di wilayah pesisir Myanmar sudah mengetahui bahwa ini bukan keberuntungan, namun berkat desain alami dunia bawah laut di Teluk Bengal. Di negara bagian Rakhine, karakteristik ‘Lempeng Burma’ menjelaskan kenapa pesisir barat laut Myanmar aman dari tsunami. Sampai sejauh 30-35 kilometer dari pantai ke arah laut lepas, kedalaman air hanya sampai 3-10 meter, dikuti terumbu yang bertepi tembok tegak, yang masuk ke laut dalam sejauh 30-80 m dan berfungsi sebagai perlindungan alami. Gelombang-gelombang tsunami menabrak tembok tersebut dan terhenti secara efektif. Tidak terdapat, dan tidak pernah akan terjadi dampak di masa mendatang dari bencana yang serupa terhadap pesisir negara bagian Rakhine. Bagi para nelayan sesepuh, ini juga merupakan alasan kenapa pantai bagian ini bebas dari ikan hiu berukuran besar, yang cenderung berputar saat mendekati tembok bawah laut tersebut” (dari Mrauk Oo, Ngwe Saung, www.exploremyanmar.com)

mengenai terumbu terbaik berasal dari kesaksian para penyelam yang berekreasi, mengunjungi pantai Burma dan kepulauan Myeik di atas kapal wisata selam yang beroperasi dari Thailand. Informasi-informasi ini relatif sama: mayoritas terumbu karang berada dalam kondisi baik sampai sempurna, dengan penutupan karang yang tinggi di sebagian besar wilayahnya; ikan berukuran besar yang melimpah, terdapat ikan hiu, pari, dan ikan kue yang sering dijumpai menggerombol, terutama pada pulau-pulau terluar dan tepian paparan benua. Namun, terdapat bukti-bukti kerusakan yang ditimbulkan manusia, laporan-laporan mengenai pengeboman ikan, bekas-bekas bom ikan terlihat pada beberapa terumbu, dan rongsokan kegiatan penangkapan seperti jaring yang kusut. Pemanenan teripang untuk keperluan konsumsi dan ekspor termasuk intensif, begitu juga pengumpulan invertebrata bawah laut lainnya sebagai hiasan dan perdagangan biota ornamental. Data-data terumbu karang pertama kali dikumpulkan oleh Reef Check Eropa pada tahun 2001, ketika berlangsung ekspidisi “The Quicksilver Crossing”. Survei-survei berikutnya diadakan pada tahun 2003, 2004, dan 2005 atas kerjasama dengan ‘Europe Conservation Switzerland’ (www.reefcheck.de). Surveisurvei tersebut dilakukan dengan mengambil 9 titik contoh di wilayah pertengahan sampai selatan kepulauan Myeik, di sekitar pulau-pulau yang terletak dekat Pulau Lampi (Kyunn Tann Shey), yang merupakan Taman Nasional. Penutupan karang batu berkisar antara 32,5% sampai 82,5%. Indeks ‘Kartu nilai’ tentang dampak, milik Reef Check, menunjukkan tingkat dampak yang berkisar antara sedang sampai tinggi akibat pemanenan ikan yang berlebih, dan dampak yang sedang sampai tinggi akibat pemanenan invertebrata.

KEADAAN TERUMBU KARANG PASCA-TSUNAMI Informasi mengenai Myanmar pasca-tsunami cukup terbatas, meski daerah pesisir yang diduga terkena dampak tsunami pada awalnya cukup luas. Pernyataan resmi dari pemerintah hanya menyebutkan bahwa dampak yang ditimbulkan tsunami ringan, dan pendataan lanjut dari sejumlah LSM serta laporan tidak resmi dari pengoperasi tur wisata dan para wisatawan membenarkan pernyataan tersebut. Pendataan terumbu karang yang pertama dilakukan pada tujuh lokasi contoh antara bulan Februari sampai Maret 2005 di sekitar wilayah selatan kepulauan Myeik, sedikit di atas wilayah Thailand, oleh 85

Status Terumbu Karang di Negara-negara yang Terkena Dampak Tsunami 2005

PESISIR BERBATU MEMBANTU MYANMAR 14 Januari 2005 – Negara Myanmar yang letaknya tersembunyi termasuk ‘sangat beruntung’ hanya sedikit merugi dari tsunami, kata Joanna MacLean dari International Federation of the Red Cross (IFRC). Menurut laporan-laporan dari PBB, lembaga-lembaga setempat, dan IFRC, jumlah korban meninggal diduga tidak melebihi 100. “Ini benar-benar luar biasa. Pada saat [tsunami] itu saya sedang berada di Thailand dan pulang dengan segera, membayangkan yang terburuk.” Pemerintahan militer Myanmar sejauh ini sangat kooperatif dalam upaya pemulihan setelah tsunami, namun MacLean mensyukuri keberadaan pantai berbatu Myanmar dan sudut pantai tersebut sebagai pencegah kerusakan dari gelombang yang menewaskan ribuan orang di Thailand dan masih banyak lagi di Kepulauan Andaman, yang terletak 320 km dari Myanmar. Delta Irrawaddy yang terletak di selatan Yangon terkena dampak paling parah, namun, korban jiwa masih dapat diselamatkan, karena mereka yang selamat dari gelombang pertama langsung berlari menuju dataran yang lebih tinggi. Terdapat tiga gelombang yang datangnya berselang setengah jam, sehingga mereka yang berkesempatan menyaksikan gelombang pertama, bahkan yang kedua, masih memiliki waktu untuk menuju biara-biara, yang selalu terletak pada dataran tinggi, dan bangunan sekolah. Antara 5.000-6.000 orang kehilangan tempat tinggal, namun banyak yang sudah kembali ke desa mereka (dari Joanna MacLean, International Federation of the Red Cross).

Reef Check Eropa yang bekerjasama dengan WorldFish Center dan GCRMN. Kerusakan yang ditemukan sedikit sekali, dengan beberapa karang patah atau terbalik, dan beberapa yang tertutup lapisan tipis pasir pada tiga lokasi paling selatan. Tidak ditemukan akumulasi patahan karang atau penguburan oleh pasir. Terumbu di kepulauan Myeik relatif selamat dari tsunami, meski terletak cukup dekat dengan terumbu di Thailand, yang mengalami kerusakan. Gelombang tsunami telah mengecil sampai 0,5 m ketika sampai di bagian selatan Kepulauan Myeik dan pesisir Myanmar. Beberapa penyelam juga mengindikasikan bahwa terumbu karang yang terdapat di wilayah Pulau Lampi tidak terpengaruh oleh tsunami.

DAMPAK SOSIO-EKONOMI Dampak Terhadap Perikanan: Mayoritas desa yang terkena dampak tsunami merupakan desa yang bergerak di bidang perikanan. Perkiraan awal kerugian dari kapal dan peralatan perikanan yang hilang ditaksir mencapai US$ 185.000. Laporan terkini menyebutkan sekitar 144 kapal yang hilang, dan kerugian finansial mencapai US$ 250.000. Dampak Terhadap Budidaya: Dampak terhadap kegiatan budidaya sepanjang pesisir tidak terlalu banyak, namun terdapat sedikit kerusakan pada karamba budidaya kerapu.

UPAYA REHABILITASI DAN PEMULIHAN Upaya rehabilitasi dan pemulihan terumbu karang di Myanmar tidak diperlukan, mengingat kerusakan yang sangat sedikit dari tsunami.

SARAN, KESIMPULAN DAN PREDIKSI Myanmar merupakan satu-satunya negara di Asia Tenggara yang tidak memiliki program pemantauan terumbu karang yang didukung lembaga pemerintah maupun LSM. Pemerintah Myanmar telah menyatakan ketertarikannya untuk memulai program pemantauan terumbu karang, namun masih kekurangan kapasitas atau tenaga ahli untuk mewujudkannya.

86

Keadaan Terumbu Karang di Myanmar: Evaluasi Pasca-Tsunami

Myanmar memiliki sejumlah terumbu paling indah di wilayah Asia Tenggara, namun keadaan terumbu sulit ditentukan akibat kurangnya informasi dasar. Dari hasil konsensus saat ini, secara umum keadaan terumbu karang di Myanmar dalam keadaan baik sampai sangat baik. Namun, terdapat kekhawatiran akan meningkatnya praktik perikanan yang merusak, termasuk penggunaan pukat dan pancing rawai (long-line) di sekitar terumbu karang, dan pengeboman. Terdapat banyak laporan adanya praktik perikanan ilegal dan merusak oleh nelayan asing, dan pengumpulan hewan invertebrata dari terumbu untuk perdagangan biota dan akuarium hias semakin meningkat. Terumbu karang di Myanmar saat ini sedang terancam sebab: kurangnya hukum dan peraturan; kapasitas pengetahuan dan penegakan hukum oleh pemerintahan yang lemah; banyak LSM yang tidak dapat menjalankan program pemantauan terumbu di Myanmar; dan penangkapan ikan berlebih serta pertumbuhan pengembangan pesisir yang semakin meningkat. Diperlukan tindakan yang segera untuk mencegah terumbu karang Myanmar sampai pada taraf tak berkelanjutan. Seharusnya konservasi dan pengelolaan terumbu karang di Myanmar menjadi isu utama, dan sudah seharusnya dimulai proses penggarapan program yang komprehensif dan mencakup berbagai tingkatan. Tetapi karena saat ini belum terdapat program yang menyangkut terumbu karang di Myanmar, akan sangat tepat jika diformulasikan program konservasi yang meliputi: sebuah pendataan biodiversitas ekosistem terumbu karang yang komprehensif; program pemantauan ekosistem, dengan penekanan khusus terhadap terumbu karang dan hutan mangrove; program pelatihan untuk membangun kapasitas masyarakat setempat dalam pengelolaan ekosistem mangrove; keikutsertaan Myanmar dalam berbagai program regional dan sub-regional untuk memfasilitasi kerjasama dan koordinasi wilayah, dan untuk saling bertukar pengalaman; identifikasi wilayah-wilayah kunci untuk perlindungan, dan peresmian wilayah tersebut sebagai taman nasional laut di masa mendatang; dan inisiasi program-program pendidikan dan kesadaran masyarakat.

PENINJAU Barbara Brown, Sekolah Biologi, Universitas Newcastle upon Tyne, Inggris; Chou Loke Ming, Universitas Nasional Singapura; Niphon Phongsuwan, Phuket Marine Biological Center, Joanna Ruxton, Perpusatakaan AIMS.

KONTAK PENULIS Karenne Tun, WorldFish Centre, PO Box 500 GPO, 10670 Penang, Malaysia, [email protected]; Georg Heiss, Reef Check Eropa, Center for Tropical Marine Ecology (ZMT), Fahrenheitstr. 6, 28359 Bremen Germany, [email protected].

ACUAN CONSRN (2005) Impacts of the tsunami on fisheries, aquaculture and coastal living livelihoods in Myanmar (www.streaminitiative.org/pdf/050203Myanmar.pdf). ReliefWeb (February 2005) Impact of the tsunami on the lives and livelihood of people in Myanmar with special focus on

87

Status Terumbu Karang di Negara-negara yang Terkena Dampak Tsunami 2005

Labutta township, Ayeyarwaddy division (www. reliefweb.int/rw/rwb.nsf/db900SID/EVIU6AKDE8?OpenDocument). Satake Y, et al. (June 2005) Report on Post Tsunami Survey along the Myanmar Coast for the December 2004 Sumatra-Andaman Earthquake. Active Fault Research Center. National Institute of Advanced Industrial Science and Technology, (www.unit.aist. go.jp/actfault/english/topics/Myanmar/index.html). WHOSEA (January 2005) Myanmar tsunami situation report, ( w w w. w 3 . w h o s e a . o r g / E N / S e c t i o n 2 3 / S e c t i o n 1 1 0 8 / S e c t i o n 1 8 3 5 / S e c t i o n 1 8 5 1 / Section1869_8657.htm).

KETAKUTAN TSUNAMI MYANMAR REDA 01 April 2005- Teramatinya ratusan lumba-lumba, paus, dan porpoise di lepas pesisir selatan Myanmar telah meredakan ketakutan berbagai pihak akan terpengaruhnya mamalia laut akibat tsunami bulan Desember, tulis sebuah harian semi-resmi. Ahli konservasi Myanmar dan asing telah mengadakan pengamatan sewaktu melakukan survei pesisir Tanintharyi dan secara khusus di perairan Kepulauan Myeik, yang kaya akan biodiversitas laut. Survei tersebut telah menghilangkan kekhawatiran tentang rusaknya habitat (lumba-lumba dan paus) karena tsunami, kata Mya Than Tun, seorang peniliti dari Departemen Perikanan, dalam laporannya. Myanmar menderita kerugian dan korban jiwa yang relatif sedikit akibat tsunami. Sebuah survei yang berdurasi 2 minggu oleh Wildlife Conservation Society, Whales and Dolphin Conservation Society dan Convention on Migratory Species di Jerman diikuti ilmuwan dari Myanmar, Bangladesh, India, dan Sri Lanka, yang dipimpin oleh Brian Smith, seorang ahli zoololgi konservasi. Ini merupakan pertama kali sebuah survei seperti ini dilakukan di Myanmar dan Tint Tun, kata seorang ahli biologi Myanmar dari Wildlife Conservation Society, dan survei ini akan digunakan untuk memastikan populasi mamalia laut di perairan pesisir (dari The China Post).

88

7. DAMPAK TSUNAMI TAHUN 2004 PADA DARATAN UTAMA INDIA SERTA KEPULAUAN ANDAMAN DAN NIKOBAR

JK PATTERSON EDWARD, SARANG KULKANRI, R. JEYABASKARAN, SRI LAZARUS, ANITA MARY, K. VENKATARAMAN, SWAYAM PRABHA DAS, JERKER TAMELANDER, ARJAN RAJASURIYA, K. JAYAKUMAR, A.K. KUMARAGURU, N. MARIMUTHU, ROBERT SLUKA, DAN J. JERALD WILSON

RINGKASAN Tingkat kematian akibat tsunami termasuk tinggi, lebih dari 7.000 korban jiwa di Kepulauan Nikobar saja (angka pasti kemungkinan tidak akan pernah diketahui karena sejumlah masyarakat adat pada pulau-pulau terpencil mungkin menjadi korban). Pada daratan utama, terdapat jumlah kematian serupa; Kerugian terbesar terjadi pada masyarakat nelayan walaupun gelombang tsunami ikut menghancurkan jalan-jalan, jetty, infrastruktur dasar lainnya serta desa-desa secara keseluruhan; Terjadi kerusakan yang sangat parah terhadap sumber daya pesisir India bagian tenggara, khususnya terhadap hutan mangrove dan pesisir. Pada Kepulauan Andaman dan Nikobar terjadi kerusakan yang cukup parah terhadap terumbu karang dan pantai, begitu juga pada hutan-hutan; Gempa bumi telah mengubah bentuk daratan dari terumbu karang dan pesisir Andaman dan Nikobar: terumbu karang pada Andaman bagian selatan sampai Nikobar menurun 1-3 meter; dengan sejumlah terumbu pada Andaman bagian utara terangkat keluar air dan mati; dan beberapa pantai hampir hilang sama sekali, sementara pantai-pantai baru telah terbentuk; Terdapat kerusakan yang parah pada sebagian besar terumbu karang di Andaman dan Nikobar, khususnya dikarenakan benda-benda yang tersapu dari daratan dan penyelimutan oleh material sedimen; Terumbu karang pada daratan utama di Teluk Myanmar dan tempat lainnya hanya sedikit rusak, dengan kerusakan yang terpusat. Kebanyakan pantai daratan utama mengalami erosi; dan Wilayah-wilayah yang terkena dampak diperkirakan akan pulih dalam waktu 5-10 tahun, jika terdapat pengelolaan sumber daya yang efektif dan penegakan hukum yang mengendalikan praktik penangkapan yang merusak, penambangan terumbu, penangkapan berlebih akan sumber daya terumbu, pengembangan pesisir, sedimentasi, dan pencemaran.

89

Status Terumbu Karang di Negara-negara yang Terkena Dampak Tsunami 2005

PENDAHULUAN Gempa bumi pertama pada 26 Desember 2004 mencetuskan sebuah reaksi gempa bumi berantai dibawah Kepulauan Andaman dan Nikobar yang mengguncang seluruh wilayah Laut Andaman. Pada akhirnya, lempengan Burma, yang menopang kepulauan tersebut, bergerak miring setelah rentetan gempa yang berlangsung selama 8 menit mengikuti gempa utama yang berlangsung di lepas Sumatra. Sehingga, pulau-pulau ini menjadi sebuah sumber tsunami yang menyebar di Samudera Hindia dan juga terkena dampak dari tsunami akibat pergerakan-pergerakan lempeng bumi yang berlangsung pagi itu. Dampak yang timbul cukup berbeda antara daratan utama India dan Kepulauan Andaman dan Nikobar. Karena inilah kedua wilayah tersebut dibahas secara terpisah dalam bab ini.

90

Dampak Tsunami Tahun 2004 pada Daratan Utama India serta Kepulauan Andaman dan Nikobar

Kepulauan Andaman dan Nikobar: Kerusakan di kepulauan ini disebabkan dua hal: rangkaian gempa bumi dan gelombang-gelombang tsunami. Dalam kurun waktu 10 menit dari gempa, gelombang laut setinggi 15 meter pada kepulauan Nikobar dan 4 meter pada kepulauan Andaman menyapu diatas daratan pulau. Gedung-gedung di pulau Great Nicobar, Car Nicobar, dan Little Andaman tersapu bersih, sementara yang lain, seperti gedung terminal penumpang di Teluk Phoenix, Port Blair, runtuh akibat goncangan. Gelombang-gelombang menelan korban jiwa lebih dari 7.000 di Kepulauan Nikobar sendiri dan menghancurkan jalan-jalan, jetty, dan bangunan infrastruktur lainnya. Jumlah keseluruhan korban jiwa kemungkinan tidak akan pernah diketahui karena korban dari masyarakat adat yang tinggal pada pulau terpencil tidak diketahui secara pasti. Upaya pemulihan berupa pengiriman berbagai persediaan serta bantuan medis ke pulau-pulau tersebut terhambat karena jarak yang jauh dari daratan utama serta dermaga, bandara, atau jalan menuju lokasi masyarakat yang sangat sulit, terbatas dan tidak mudah dijangkau. Gerakan subduksi Lempeng Hindia yang terletak di bawah Lempeng Burma, yang menyangga pulaupulau Andaman dan Nikobar, telah mengubah topografi terumbu karang dan pesisir setempat. Keseluruhan Lempeng Burma bergerak miring sehingga hamparan terumbu dangkal yang terdapat pada bagian selatan Andaman sampai Nikobar menurun 1-2 meter, sehingga rataan terumbunya kini berada beberapa meter dibawah permukaan air laut. Namun, di bagian utara Andaman, hamparan pasang-surut yang luas kini terangkat sedemikian rupa sehingga beberapa terumbu muncul di atas permukaan secara permanen, dan mengakibatkan banyak terumbu di wilayah ini mati. Perubahan lainnya yang terjadi adalah hilangnya

91

Status Terumbu Karang di Negara-negara yang Terkena Dampak Tsunami 2005

beberapa pantai akibat erosi besar-besaran, sementara beberapa pantai lainnya terbentuk. Sejak 26 Desember, telah terjadi lebih dari 400 gempa susulan, yang mengakibatkan beberapa pulau di selatan Andaman sampai Nikobar terangkat 20-25 cm lebih lanjut. Hampir 6,8% daratan dari kelompok pulau Nancrowy kini telah tenggelam. Daratan utama India: Gelombang-gelombang tsunami mencapai daratan utama India tepat 2 jam setelah Gempa Sumatra-Andaman yang dahsyat, dan mencapai pesisir pantai barat India setelah 3 jam. Meskipun pesisir timur Sri Lanka menyerap sebagian besar dari energi gelombang, gelombang-gelombang tersebut masih terpantul di sekitar Sri Lanka dan melewati bagian pesisir lainnya yang telah tenggelam. Pesisir Tamil Nadu yang terdapat di tenggara India merupakan wilayah yang paling parah terkena dampak pada daratan utama India, dengan kerusakan parah pada wilayah kabupaten Chennai, Cuddalore, dan Nagapatinam Kaniyakumari dan gelombang setinggi 2,5-5 meter. Wilayah yang luas pada pesisir Chennai terendam sampai sejauh 590 meter mengintrusi daratan. Pada beberapa dermaga, arus tsunami yang luar biasa menyeret kapal-kapal keluar dari laut. Perairan sungai Adyar dan Cooum yang sangat tercemar, terhempas ke laut setelah gelombang tsunami membuka lebar-lebar mulut sungai-sungai tersebut, yang biasanya terhambat oleh endapan pasir. Air sungai ini mencemari lingkungan pesisir dengan bakteri E. coli dan Salmonella, yang ditemukan lebih dari 10 km dari lepas pantai. Lebih lanjut lagi, masuknya kandungan nutrien yang melimpah mengakibatkan ledakan fitoplankton dan mikrobial di lepas pantai Chennai.

KEADAAN TERUMBU KARANG SEBELUM TSUNAMI Terumbu karang di India menutupi areal seluas 5.790 km2 yang dibagi menjadi tiga zona utama: Pulaupulau Andaman dan Nikobar; terumbu karang pada daratan utama; dan pulau-pulau Lakshadweep. Struktur terumbu dan diversitas jenis berbeda antara lokasi-lokasi di atas karena terdapat perbedaan ukuran wilayah dan kondisi lingkungan yang mendominasi. Lebih dari 260 jenis karang batu, 145 jenis karang lunak, dan 1.200 jenis ikan telah tercatat dari terumbu karang India.

EYEWITNESS ACCOUNT FROM WWF-INDIA Kepulauan Andaman dan Nikobar terkena hantaman keras tsunami, dengan jumlah korban lebih dari 10.000 jiwa. Kebanyakan dari 356.000 penduduk di rantai pulau terpencil, termasuk mayoritas yang tinggal di ibu kota Port Blair, terkena dampaknya dan ribuan orang menjadi tuna wisma. Beberapa cukup beruntung karena dapat meninggalkan rumahnya dan mencapai tempat yang lebih tinggi saat pasang besar menyapu sepanjang daerah dataran rendah. “Saat itu pagi tanggal 26 Desember, saat gempa bumi pertama datang. Kira-kira satu jam kemudian, kami mendengar orang-orang berteriak dari segala penjuru, mengatakan bahwa ‘air datang, air datang’. Rumah kami dikelilingi oleh anak sungai, dan mendadak tinggi air meningkat lalu meluber melewati bantaran dan memasuki rumah. Pada saat itu aku dan istriku serta kedua anjing kami menuju ke bagian belakang rumah, memanjat sebuah bukit kecil dan duduk di sana sampai satu jam sebelum akhirnya air surut. Kemudian kami turun untuk melihat kerusakan; rumah kami rusak parah akibat gempa bumi dan air laut. Secara umum, suasana hati sangatlah gundah. Masyarakat sangatlah menderita. Aku telah kehilangan segalanya yang kukumpulkan dari seluruh dunia selama 29 tahun mengabdi di Angkatan Laut India dan Pengawas Pantai. Ini merupakan kerugian pribadi bagiku, tetapi hidup berjalan terus. Pada saat ini, pikiran dan tindakan kami bersama orangorang yang telah menderita atas tragedi yang terjadi. Namun bisa dipastikan bahwa masyarakat yang hidup dan penghidupannya di laut, akan kembali lagi. Lagipula, tak ada yang dapat mengharapkan bahwa nelayan dapat tinggal diam di bukit. Kehidupan harus terus berjalan” (dari Debesh Banerjee, Sekretaris Kehormatan, WWF-India, Kepulauan Andaman dan Nikobar).

92

Dampak Tsunami Tahun 2004 pada Daratan Utama India serta Kepulauan Andaman dan Nikobar

Penurunan jumlah jenis dan marga karang keras di wilayah Kepualuan Andaman, Nikobar sampai pantai barat India Wilayah

Jumlah Marga

Jumlah Jenis

Kepulauan Andaman dan Nikobar

43

134

Teluk Mannar

36

128

Kepulauan Lakshadweep

37

103

Teluk Kachchh

24

37

Gundukan terumbu di pantai barat

17

29

Sebelum tsunami terjadi, terumbu karang di sepanjang pesisir India mengalami eksploitasi tinggi dan terancam kerusakan yang terus-menerus dari praktik penangkapan ikan yang merusak, penambangan karang, pemanenan sumber daya terumbu yang berlebih, pengembangan pesisir, sedimentasi, dan pencemaran. Ancaman-ancaman tersebut tidak terlalu besar pada Kepulauan Andaman dan Nikobar, dimana sedimentasi dan penangkapan ikan berlebih merupakan ancaman utama, mempengaruhi 55% dari terumbu. India telah mengembangkan Rencana Tindak Lanjut Strategi Biodiversitas Nasional pada tahun 2004, yang mencakup strategi konservasi terumbu karang, walaupun sudah terlindungi dibawah Akta Perlindungan Lingkungan 1972. Walaupun telah hadir sejumlah daerah perlindungan laut, terumbu di wilayah tersebut semakin rusak akibat meningkatnya kemiskinan diantara masyarakat pesisir, praktik pengelolaan yang buruk, dan kegiatan pemantauan yang tidak konsisten. Kepulauan Andaman dan Nikobar merupakan gugusan 530 pulau terpencil, yang letaknya lebih dekat terhadap Thailand daripada India daratan, dan memisahkan Teluk Bengal dari Laut Andaman. Meskipun hanya 38 pulau yang berpenghuni, namun pertumbuhan jumlah penduduk cukup pesat, meningkat dari 279.000 pada tahun 1991 menjadi 405.000 pada 2001. Sebelum tsunami, sebagian besar pulau-pulau tersebut berada dalam kondisi alami, dengan terumbu karang tepi yang melimpah, dalam kondisi baik. Biodiversitas terumbu karang pada Kepulauan Andaman dan Nikobar lebih menyerupai yang terdapat di Asia Tenggara daripada biodiversitas terumbu karang Asia selatan, dikarenakan arus yang ada memfasilitasi perpindahan larva yang lebih tinggi dengan terumbu yang terdapat di arah timur. Lebih dari 1.000 jenis ikan dan 200 jenis karang telah teridentifikasi. Marga Porites ditemukan mendominasi di sebelah utara

TSUNAMI MENAMPAKKAN KUIL-KUIL INDIA Walaupun tsunami menyebabkan kerugian nyata, namun juga menampakkan beberapa harta karun: peninggalan leluhur berupa kuil-kuil yang telah lama terlupakan di pesisir India. Gelombang tsunami mengerosi pasir di sekitar 3 batuan besar yang menampilkan ukiran binatang, termasuk juga jejak dari 2 buah kuil di dekat kota pesisir Mahabalipuram di Tamil Nadu. Mahabalipuram dikenal dengan kuil-kuil batu kuno berukiran rumit di sepanjang pantai, dan peninggalan yang belum pernah diketahui ini tampaknya berasal dari kota pelabuhan yang dibangun pada abad ke 7. Menurut pemaparan para penulis dari Eropa yang pertama, daerah ini merupakan tempat bagi 7 kuil, 6 diantaranya dianggap tenggelam. Batuan berukuran 2 meter yang kini muncul diatas permukaan memuat pahatan kepala gajah yang jelas, seekor kuda yang sedang terbang, seekor singa sedang istirahat, dan sebuah cekungan yang terdapat ukiran dewa di tengahnya. Menurut para pakar arkeologi, binatang singa, gajah, dan burung merak menghiasi candi-candi pada periode Pallava di abad ke 7 dan 8. Para arkeolog dari Archaeological Survey of India terus melakukan penggalian. Alok Tripathi, yang memimpin penggalian ini, mengatakan tidak ada keraguan bahwa temuan-temuan tersebut merupakan peninggalan strkuturstruktur abad ke-8 agama Hindu (dari Science, Volume 308, Isu 5720).

93

Status Terumbu Karang di Negara-negara yang Terkena Dampak Tsunami 2005

NELAYAN INDIA YANG TERKENA TSUNAMI MEMILIH TINGGAL DI PESISIR Meski sudah diperintahkan pemerintahan Tamil Nadu, India Selatan agar membangun rumah berjarak 200 meter dari pantai, para nelayan lebih memilih untuk tinggal dekat dengan laut. Mereka mengatakan tak punya pilihan, karena kehidupan mereka yang menjadi terancam. Keputusan Pemerintah No. 172 yang baru, berisi panduan untuk pembangunan rumah, yang menyebutkan rumah-rumah yang telah hancur dan terletak dalam wilayah 200 meter dari pantai harus dibangun kembali di luar wilayah 200 meter dari pantai tersebut. Jika tidak, pemerintah menolak membantu pembangunannya. Para nelayan telah menyatakan kekecewaan yang sangat mendalam akibat putusan tersebut, “Kami tidak takut jika akan ada tsunami berikutnya. Kami perlu berada dekat laut, karena hal kecil seperti perubahan warna air laut atau arah dan perubahan angin sepanjang pesisir membantu kami mengetahui ikan seperti apa yang akan kami tangkap hari itu. Kehidupan kami bergantung pada laut”, ungkap Vanaja, seorang nelayan wanita dan pekerja sosial. Para LSM kini membangun rumah-rumah di sepanjang pesisir, karena pemerintah telah menolak bantuan untuk rumah yang berada dalam wilayah 200 meter tersebut. “Pelanggaran dari bangunan wisata dan industri banyak sekali di wilayah pesisir. Mengapa pemerintah tidak menindak hal tersebut? Jika kita pergi dari sini, mungkin [wilayah ini] akan diserahkan ke pihak swasta. Keadaan seperti ini sangat mengecewakan, bahwa pemerintah wilayah belum menangani masalah tersebut”, ungkap Jesuratnam, seorang pekerja sosial. Pemerintah telah menyita 520 lokasi agar dijadikan wilayah perumahan tetap yang berjarak 500 meter dari pantai (dari www.newindpress.com dan International Collective in Support of Fishworkers, [email protected]).

dan selatan kepulauan Andaman, sementara marga Acropora yang paling sering dijumpai pada pertengahan Andaman dan kepulauan Nikobar. Pemutihan karang yang terjadi pada 1998 sedikit Terumbu karang India daratan ditemukan pada 2 wilayah umum: Teluk Mannar dan Teluk Kachchh. Terumbu tepi juga terdapat mengelilingi pulau-pulau lepas pantai di wilayah tengah pesisir barat. Wilayah laut di Teluk Mannar, India Tenggara telah diresmikan sebagai Cagar Biosfer Laut India yang pertama. Sebelum terjadi tsunami, 530 jenis ikan dan lebih dari 100 jenis karang batu telah diidentifikasi. Terumbu karang ditemukan di sekitar 21 pulau antara wilayah Rameshwaram dan Tuticorin, namun dua pulau telah tenggelam akibat penambangan karang. Penutupan karang diperkirakan mencapai 41% pada tahun 2004, dengan penutupan tertinggi pada pulau Keezhakkarai dan Tuticorn, dan didominasi oleh jenis Acropora dan Montipora, dan terdapat juga jenis Favia, Hydnophora, Goniastrea dan Goniopora yang masif. Terumbu pada pulau Thalayari dan Upputhani didominasi oleh karang padat, sementara di pulau Kariyachalli dan Anaipar didominasi oleh karang meja (Acropora cythera dan Acropora corymbosa). Kelompok pulau Tuticorn mengalami degradasi yang cukup parah akibat penambangan karang sehingga diversitasnya rendah. Terumbu karang pada kelompok Pulau Vembar sebagian besar hanya berupa batuan karang mati berukuran besar dan komunitas makro-alga. Terdapat terumbu gundukan (patch reefs) dangkal yang tumbuh pada substrat batuan paras di sekitar 34 pulau pada Teluk Kachchh. Terumbu ini memiliki diversitas yang rendah akibat tingkat salinitas yang tinggi, fluktuasi suhu yang besar, dan sedimentasi yang tinggi, dengan penutupan karang sebesar 20%. Kepulauan Lakshadweep: Kepulauan ini terdiri atas 12 atol yang terletak di ujung utara tebing LaccadiveChagos, dimana pada tahun 1998 terjadi pemutihan karang yang menyebabkan kematian karang yang cukup parah. Penutupan karang hidup pada laguna-laguna terumbu menurun sampai 10% pada tahun 2002, namun kembali meningkat sampai 20% pada tahun 2004, yang ditunjukkan oleh pemulihan yang baik pada atol Kadmat dan Agatti. Pulau Kadmat diresmikan sebagai daerah perlindungan laut karena pentingnya terumbu tersebut, padang lamun, serta sebagai wilayah peneluran penyu. 94

Dampak Tsunami Tahun 2004 pada Daratan Utama India serta Kepulauan Andaman dan Nikobar

APAKAH SUKU-SUKU DI PULAU MENGGUNAKAN ILMU KUNO UNTUK MENGHINDARI TSUNAMI? Kepulauan Andaman dan Nikobar berada di bawah pemerintahan India dan merupakan tempat tinggal bagi sejumlah suku pemburu-pengumpul yang hanya sedikit sekali memiliki kontak dengan dunia luar sampai baru-baru ini. Pada awalnya, para ahli arkeologi mengkhawatirkan sukusuku tersebut lenyap disapu tsunami. Namun pilot-pilot Angkatan Udara India yang melakukan pemantauan melalui satu pesawat di atas pulau-pulau tersebut melaporkan adanya penembakan panah-panah terhadap helikopter mereka. Sejak itu terdapat laporan bahwa para penduduk pulau menggunakan ilmu kuno yang mereka miliki tentang alam dalam menghindari tsunami. Laporan-laporan terpercaya yang pertama kali datang tentang nasib suku-suku Andaman mengindikasikan bahwa sebagian besar berhasil selamat. Kesadaran mereka mengenai laut, bumi, dan pergerakan hewan-hewan telah terakumulasi dalam waktu 60.000 tahun menghuni pulau-pulau tersebut. Pengajaran sejarah secara lisan dan gaya hidup pemburu-pengumpul yang mereka miliki kemungkinan telah mempersiapkan mereka untuk berpindah ke dalam hutan setelah merasakan getaran gempa yang pertama. Suku-suku ini membawa suatu misteri kepada para antropolog. Empat suku Andaman: Andaman Besar; Onge; Jarawa; serta Sentinel, dikenal sebagai suku Negrito yang berketurunan Afrika. Mereka adalah pemburu-pengumpul yang hidupnya terisolasi sampai 50 tahun yang lalu, dengan sedikit interaksi dengan dunia luar. Suku ini terpaksa mengungsi lebih dalam ke hutan-hutan di pulau akibat datangnya penghuni dan pembangunan baru ke wilayah mereka. Mayoritas suku tersebut terancam punah; terancam oleh penyakit, populasi yang berlebih, dan kekurangan sumber daya, dan populasi mereka telah menyusut menjadi beberapa ratus (dari Bernice Notenboom, National Geographic News).

KEADAAN TERUMBU KARANG PASCA-TSUNAMI Pada awalnya terdapat kekhawatiran akan terjadi kerusakan jangka panjang terhadap terumbu karang India, termasuk hilangnya habitat dan daerah asuhan. Namun, pendataan di wilayah India menunjukkan bahwa kecil kemungkinan terjadi kerusakan jangka panjang. Kepulauan Andaman dan Nikobar: Dampak yang ditimbulkan oleh tsunami tahun 2004 terhadap terumbu karang di Kepulauan Andaman dan Nikobar bervariasi, dari kerusakan ringan sampai parah dengan luas terumbu rusak sebesar 40.000 hektar. Kerusakan yang paling umum terjadi adalah akibat masuknya benda-benda yang terseret tsunami, seperti batang pohon, yang mengabrasi dan menyelimuti karang. Namun, dampak yang paling terlihat terjadi akibat pergerakan lempeng tektonik di wilayah tersebut sehingga sebagian terumbu menjadi terangkat keluar air. Gelombang tsunami yang terjadi lebih kuat pada wilayah utara dan pertengahan Kepulauan Andaman, dan pada seluruh Kepulauan Andaman bagian selatan serta Kepulauan Ritchie. Mayoritas kematian karang terjadi pada jalur-jalur sempit dimana kekuatan tsunami menjadi terpusat. Pulau-pulau tersebut berada diatas Lempeng Burma, yang terangkat di bagian barat daya dan tenggelam di wilayah tenggara, sehingga menaikkan rata-rata nilai kedalaman terumbu pada Andaman bagian selatan dan kepulauan Nikobar sebanyak 1-3 meter. Sebelum tsunami terjadi, pertumbuhan karang di rataan terumbu yang luas (kedalaman 2m) terangkat dan tersebar di terumbu. Patahan Acropora spp. dan Hydnophora rigida seringkali terlihat di sepanjang tepi terumbu. Kelimpahan populasi ikan menurun dan keragaman ikan pun turut berkurang. Redskin: Terumbu karang, termasuk Porites lutea yang mendominasi, rusak parah. Meskipun kerusakan pada rataan terumbu hanya sedikit, koloni karang pada lereng terumbu rusak parah, dengan beberapa koloni berukuran besar patah dan terbawa arus sampai pada kedalaman 15 meter. Jarak pandang telah menurun dan topografi pantai telah berubah. Pantai telah berubah ukuran dan kemiringannya telah bertambah.

Tutupan substrata (%)

Sebelum tsunami (2002-2004) Sesudah tsunami (2005)

Karang hidup

Karang hidup beralga

Batu karang terbuka

Alga

Data dari 11 lokasi pada pulau-pulau di Teluk Mannar di atas, sebelum dan sesudah tsunami, tidak menunjukkan perubahan yang berarti terhadap tutupan karang akibat tsunami (dari Patterson Edward)

96

Dampak Tsunami Tahun 2004 pada Daratan Utama India serta Kepulauan Andaman dan Nikobar

Alexandra: Kerusakan karangnya mirip dengan yang menimpa pulau Jolly Buoy dan Redskin, namun lebih ringan. Karang yang terletak lebih dalam dari 15 m tertutupi sedimen. Jenis Acropora paling besar dampaknya, dan beberapa koloni Porites lutea tercabut. Jarak pandang di bawah air berkurang secara signifikan karena input sedimen yang besar. Grub: Dampak yang ditimbulkan tsunami pada wilayah ini tidak terlalu besar, hanya beberapa koloni Acropora, Porites, Echnipora, dan Psammacora yang patah atau terguling. Koloni-koloni Acropora besar bertahan dalam keadaan sangat baik dan kini tampak lebih melimpah, sebelumnya terjadi dominasi oleh Porites dan Echinopora lamellosa. Teluk Utara: Wilayah ini lebih dekat dengan Port Blair dan sedikit menunjukkan dampak tsunami. Terumbu ini didominasi oleh Porites lutea, Porites nigrescens, dan Acropora spp. dan jarang terdapat laporan adanya koloni patah. Namun demikian, topografi dan komposisi pantai telah berubah. Terumbu Utara, Interview, dan Terumbu Selatan: Terdapat lokasi peneluran penyu penting, namun erosi dari gelombang-gelombang tsunami telah menyapu pergi sarang-sarang penyu dan menaikkan terumbu karang, sehingga menciptakan rintangan yang menyulitkan jalan penyu ke lokasi peneluran. Kepulauan Nikobar: Kerusakan akibat tsunami pada kepulauan Nikobar lebih parah daripada di Kepulauan Andaman. Ombak raksasa setinggi 10-15 m menewaskan ribuan orang (mayoritas masyarakat suku di Nicobar), mengahancurkan hutan pesisir dan meratakan sebagian besar infrastruktur daratan di pulau tersebut. Terjadi peralihan habitat yang besar dan sejumlah habitat terumbu baru di sepanjang kepulauan telah tenggelam, termasuk di Car Nicobar, Tarasa, Comorta, Trinkat, Nancowry, Katchal, dan Great Nicobar (Nikobar Besar). Meningkatnya sedimentasi telah menyebabkan stres sehingga terjadi pemutihan dan kematian karang secara masal; dengan lebih dari 70% karang yang sebagian besar berupa Acropora tercabuti dan tersebar di wilayah Teluk Sawai pada Pulau Car Nicobar. Pulau Trinkat hampir terbelah menjadi dua dan pasir telah terpindahkan ke wilayah terumbu luas di pesisir barat, menyebabkan matinya jenis-jenis dari marga Acropora dan Porites yang pernah mendominasi. Kerusakan fisik juga ditemukan pada jalur di antara Camorta dan Nancowry, yang sebelumnnya didominasi oleh jenis Millepora, Acropora, dan Porites. Koloni-koloni besar terangkat, dan terdorong ke laut dangkal atau tersapu ke laut dalam. Terumbu yang terdapat pada wilayah timur laut Nancowry yang dikenal memiliki koloni Acropora yang

Jumlah jenis ikan

Sebelum tsunami Sebelum tsunami (1 minggu) Sebelum tsunami (5 bulan)

Tuticorin

Vembar

Keezhakkarai

Mandapam

Tidak terdapat perbedaan yang berarti pada keragaman ikan di sepanjang 4 kelompok pulau di Teluk Mannar sebelum atau sesudah tsunami (dari Patterson Edward)

97

Status Terumbu Karang di Negara-negara yang Terkena Dampak Tsunami 2005

melimpah, nyaris hilang. Lokasi peneluran penyu belimbing terluas pada pantai Galathea, Pulau Great Nicobar, telah hilang. India Daratan: Terumbu pada Teluk Mannar merupakan satu-satunya terumbu pada India daratan yang terpengaruh tsunami. Sejumlah karang mengalami pemutihan, sementara yang lain terpengaruh karena meningkatnya siltasi akibat masuknya puing-puing yang mematahkan dan menyebabkan tergulingnya beberapa koloni. Namun dampak yang ditimbulkan sangat kecil terhadap karang, habitat terumbu karang dan sumber daya perikanan yang terkait. Pendataan pada 11 lokasi yang dipilih secara acak (Pulau Vaan, Kariyachalli, Upputhanni, Pulvinichalli, Yaanipar, Vali Munai, Thalaiyari, Mulli, Poomarichan, Kurusadai, dan Shingle) menunjukkan bahwa kerusakan fisik, dampak terhadap keanekaragaman bentik dan deposisi puing, pasir, tanah serta patahan karang tidak jauh berbeda dengan hasil survei-survei sebelum tsunami. Namun demikian, beberapa kerusakan yang terlihat: 1-2% dari karang meja dan karang bercabang menunjukkan tanda-tanda kerusakan fisik, dengan sejumlah karang meja (Acropora cynthera) terbalik dan sejumlah jenis bercabang dengan cabang-cabang yang patah. Dampak lainnya termasuk tersangkutnya lamun dan rumput laut pada cabang-cabang karang, deposisi pasir dalam 25% dari jumlah karang cawan (Turbinaria spp.) dan pohon yang tercabuti dari akarnya disertai erosi tanah pada 2 lokasi, yaitu Pulau Thalayari dari kelompok Pulau Keezhakkarai dan Pulau Krusadai dari kelompok Mandapam. Pusat Pengkajian Pesisir dan Laut Universitas Madurai Kamaraj mengamatai kecenderungan yang serupa di Teluk Mannar dan Teluk Palk. Karang batu, alga, serta padang lamun tidak terpengaruh oleh ombak meskipun terjadi peningkatan sedimentasi di Teluk Palk dari 32,5 mg/hari pada bulan November 2004 menjadi 53,4 mg/hari setelah tsunami. Institut Penelitian Kelautan Suganthi Devadason menemukan bahwa kisaran sedimentasi sebesar 50-110 mg/cm2/hari pada pesisir Tuticorin sejak Februari 2003, dan nilai ini tidak memengaruhi karang. Pada bulan Januari 2005, setelah tsunami terjadi, laju sedimentasi menjadi sebesar 56 mg/cm2/hari dan ini juga tidak merusak karang. Pada bulan Mei 2005, terjadi pemutihan karang di Teluk Mannar, terutama di bagian Pulau Keelakarai dan Tuticorin dimana 34% dari karang yang terdapat di wilayah pasang surut mengalami pemutihan. Kebanyakan karang masif terpengaruh ketika suhu air laut di permukaan mencapai 31,7°C dan arus permukaan menyimpang dari yang biasa. Penutupan karang hidup di Pulau Tuticorin menurun dari 42% sebelum tsunami menjadi 31% seperti yang ditunjukkan survei pasca-tsunami pada Januari 2005. Sejumlah besar karang terselimuti oleh tanah, yang megakibatkan kematian. Tidak terdapat laporan kerusakan pada terumbu karang di pada Pulau Lakwadsheep, Teluk Kachchh, dan Pulau Grand yang terletak di lepas wilayah Goa (dimana penutupan karang sebesar 31% pada tahun 2002 dan 36% pada 2005). Tidak ada pengaruh tsunami yang besar terhadap kelimpahan dan penyebaran ikan karang, setelah dilakukan survei di sekitar wilayah Teluk Mannar 1 minggu dan 5 bulan setelah tsunami, dan tidak menunjukkan tanda-tanda perubahan komposisi jenis. Ikan karang yang kerap ditemukan seperti kakap (Lethrinus), baronang (Siganus), kue (Carangoides malabaricus), dan ikan soldierfish (Sargocetron) kesemuanya melimpah. Tidak ada dampak pada krustasea maupun moluska. Kerusakan pada Mangrove: Pengamatan melalui satelit menunjukkan bahwa telah terjadi erosi yang tinggi terhadap wilayah pertumbuhan mangrove di sepanjang sisi timur kepulauan Andaman dan Nikobar. Mangrove pada utara Andaman secara umum tidak terpengaruh, sementara mangrove yang terdapat di wilayah tengah Andaman yaitu pulau Long, North Passage, dan Porlob hampir rusak sepenuhnya. Mangrove pada Andaman Selatan hanya sedikit mengalami kerusakan, sementara terumbu di Pulau Andaman Kecil mengalami kerusakan berat. Kerusakan mangrove pada Kepulauan Nikobar bergantung pada pulau; dengan hampir semua mangrove pada Pulau Car Nicobar dan Katchal hancur, sementara 98

Dampak Tsunami Tahun 2004 pada Daratan Utama India serta Kepulauan Andaman dan Nikobar

PEMERINTAH MENCABUT LARANGAN PENEBANGAN POHON GUNA MENDUKUNG UPAYA PEMBANGUNAN KEMBALI Sebagai upaya rekonstruksi awal dan perlunya penyediaan rumah bagi mereka yang kini tanpa rumah, pemerintah kepulauan Andaman dan Nikobar telah mencabut larangan penebangan pohon. Pencabutan larangan ini akan berlangsung selama 6 bulan, namun pelarangan masih berlaku untuk pohon yang terletak dalam jarak 1.000 m dari laut, pohon yang berada dalam wilayah taman nasional, suaka, dan hutan bakau pesisir. Walau WWF menyadari mendesaknya keperluan kayu untuk membangun perumahan dalam keadaan darurat, mereka menghimbau dengan keras agar kayu yang digunakan untuk upaya rekonstruksi jangka-panjang sebaiknya berasal dari hutan yang dikelola secara bertanggung-jawab. Penebangan yang tidak disertai peraturan dapat memberikan kontribusi terhadap bencana lainnya dimasa yang akan datang, seperti tanah longsor dan banjir (dari Mark Schulman, WWF International).

80% hutan mangrove pada Pulau Comorta dan Trinkat hilang. Hutan mangrove di Tamil Nadu pada India daratan tidak mengalami kerusakan berat akibat tsunami. Sistem Ekologi lainnya: Pasir dan sedimen lain dari daratan terpindahkan ke padang lamun dan memiliki potensi untuk mengakibatkan stres jangka panjang terhadap popolasi dugong yang bergantung kepada lamun. Krustasea seperti ketam kelapa raksasa juga terpengaruh, dan pantai peneluran penyu pulau Andaman Selatan, Andaman Kecil, dan Kepulauan Nikobar hampir hilang sepenuhnya. Kehilangan ini dapat menurunkan peneluran oleh penyu belimbing, penyu hijau, penyu sisik, penyu lekang, namun terbentuknya pantai baru di wilayah sekitarnya dapat menyediakan lokasi pengganti yang tepat. Kelimpahan kerang penempel menurun dari 42% menjadi 0% dari tahun 2002 sampai 2005 pada terumbu berbatu di lepas pantai Mutton, Tamil Nadu dan kerang tersebut telah tergantikan oleh alga berfilamen, patahan karang serta spong. Kerusakan terhadap Pertanian: Instrusi air laut lebih rendah di wilayah yang memiliki vegetasi lebat daripada di wilayah yang tidak memiliki tumbuhan. Deposisi pasir merusak tanaman bakal panen pada wilayah muara dan menurunkan kesuburan tanah, namun pengaruh potensial terhadap produksi pertanian belum diketahui. Kerusakan terhadap Perikanan: Masyarakat nelayan di sepanjang pesisir mengalami kerugian yang paling besar, dengan desa-desa yang hancur secara keseluruhan, korban jiwa dalam jumlah tinggi dan rusaknya sejumlah besar rumah, kapal, serta peralatan perikanan. Sejumlah kapal terlepas dari dermaga dan pelabuhan, mengakibatkan kerusakan pada kapal lainnya dan infrastruktur.

UPAYA REHABILITASI DAN PEMULIHAN Stasiun penelitian Reef Watch Marine Conservation di Wandoor, Pulau Andaman Selatan rusak cukup parah karena tsunami, namun mereka bisa berpartisipasi dalam upaya pemulihan dengan mendistribusikan pakaian, makanan, dan obat-obatan kepada mereka yang terkena dampak. Regu Penelitian Terumbu dari Institut Penelitian Lingkungan dan Pendidikan Sosial (IERSE) berencana melakukan penelitian pada terumbu dan sumber dayanya demi kemaslahatan masyakarat perikanan yang terkena dampak tsunami. Sejak tahun 2001, SDMRI menjalankan upaya resotrasi terumbu karang dengan tranplantasi karang. Sejauh ini, lebih dari 100m2 terumbu telah direstorasi. United States Agency for International Development (USAID) membantu rehabilitasi kegiatan perikanan dan pertanian di India dengan menyediakan bantuan untuk mengembangkan kembali pelabuhan lokal 99

Status Terumbu Karang di Negara-negara yang Terkena Dampak Tsunami 2005

dan infrastruktur lainnya. USAID juga akan membantu pemerintah wilayah dalam administrasi dan rencana pengelolaan dana, dan menciptakan jaringan di antara perwakilan dinas pada kota-kota yang terkena tsunami dengan kota lainnya agar dapat membahas pengalaman yang telah lalu dan best practices. Lebih dari 170 kapal telah diperbaiki dan 232 mesin kapal serta 200 jaring telah disediakan melalui program ‘dana untuk kerja’; sehingga 300 nelayan dari 4 desa pada wilayah sekitar Tirumallivasal telah kembali beraktivitas.

SARAN DAN KESIMPULAN Terumbu karang pada kepulauan Andaman dan Nikobar yang telah rusak parah oleh gempa bumi dan tsunami tahun 2004 kemungkinan besar akan pulih dalam jangka waktu 5 sampai 10 tahun. Dampak jangka panjang yang mungkin terjadi meliputi kegiatan manusia seperti perikanan, pertanian, dan kehutanan. Rusaknya terumbu serta hilangnya sejumlah pantai dapat mengakibatkan menurunnya kegiatan wisata pada kepulauan tersebut, terutama penyelaman dan aktifitas pantai. Gelombang-gelombang tsunami tahun 2004 menyebabkan sedikit kerusakan terhadap terumbu karang pada India daratan, namun, terumbu ini tetap berada dibawah ancaman dari kegiatan manusia. Jika proses ekstraksi sumber daya yang merusak serta penangkapan berlebih tidak diregulasi lebih baik, maka terumbu ini akan terus mengalami degradasi. Oleh karena itu, diperlukan pengelolaan dan pemantauan yang lebih baik. Terumbu-terumbu India yang terisolasi pada pulau-pulau terus diancam oleh perubahan iklim dunia. Saran untuk pengelolaan yang berkelanjutan dan konservasi jangka panjang pada semua terumbu yang terkena dampak dan semua industri terkait adalah: Mendirikan sebuah jaringan regional dari wilayah-wilayah perlindungan laut agar memastikan kesinambungan ekologis dan penegakan hukum yang benar; Meningkatkan pengaturan dari sumber daya perikanan, yang kemungkinan dapat dilakukan melalui perkenalan skema sertifikasi, memperbaiki legislasi dan patroli untuk menurunkan pemburuan tanpa izin, dan menggalakan penegakan hukum yang telah ada untuk memastikan keberlanjutan perikanan; Memperkenalkan program pemerintahan yang meningkatkan kesadaran masyarakat akan keadaan dan pentingnya terumbu karang dan sumber daya pesisir lainnya; Meningkatkan pendanaan untuk mendukung pemantauan, pengelolaan, dan data terumbu karang yang lebih baik; termasuk data ekologi dan sosio-ekonomi; Mengembangkan hubungan kerja sama yang saling menguntungkan di antara setiap pihak yang berkepentingan utama, instansi pemerintahan, dan LSM; Lebih memusatkan perhatian pada perkembangan sumber pendapatan alternatif untuk mengurangi tekanan pada lingkungan terumbu karang; Melakukan penelitian tentang keadaan konservasi terkini terumbu karang dan fauna yang terkait; Meningkatkan kegiatan legislatif dan penegakan hukum yang berhubungan dengan perburuan satwa dan eksploitasi sumber daya laut; dan Meningkatkan pendanaan kepada institusi kunci dan memastikan pengoperasian institusi tersebut yang efektif dan transparan.

100

Dampak Tsunami Tahun 2004 pada Daratan Utama India serta Kepulauan Andaman dan Nikobar

PENINJAU Kristian Teleki

UCAPAN TERIMA KASIH Bab in mengandung informasi dari laporan yang diberikan oleh: SP Das, Z Islam, T Shumugaraj, dan Pemerintahan India melalui Departemen Pengemabangan Laut, Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Laut Terintegrasi, Chennai Indian Institute of Technology Kanpur, dan Suganthi Devadason Marine Research Institute.

KONTAK PENULIS Jerker Tamelander, IUCN Asia Regional Marine Programme CORDIO and GCRMN, jet@ iucnsl.org; JK Patterson Edward, Suganthi Devadason Marine Research Institute, [email protected]; K Jayakumar, AK Kumaraguru, N Marimuthu, dan J Jerald Wilson, Madurai Kamaraj University, [email protected], [email protected], [email protected], dan [email protected]; R Jeyabaskaran, National Coral Reef Research Institute, [email protected]; Sarang Kulkanri, Reef Watch Marine Conservation, [email protected]; Sri Lazarus, Institute for Environmental Research and Social Education, [email protected]; Anita Mary, WWF-India, [email protected]; Arjan Rajasuriya, National Aquatic Resources Research & Development Agency, [email protected]; Robert D Sluka, Millennium Relief and Development Services, [email protected]; K Venkataraman, National Biodiversity Authority, [email protected].

ACUAN Kulkarni S (2005) Tsunami impact assessment of coral reefs in Andaman and Nicobar Islands: Interim report. Reef Watch Marine Conservation, Mumbai, India, funded by CORDIO. Space Applications Centre (ISRO) (2005) Assessment of damages to coastal ecosystems due to the recent tsunami: summary report. Ministry of Environmental and Forests, Government of India, 36 pp. Kumaraguru AK, Jayakumar K, Wilson JJ, Ramakritinan CM (2005) Impact of the tsunami of 26th December 2004 on the Coral reef environment of Gulf of Mannar and Palk Bay regions in the southeast coast of India. Current Science, 89(10): 1729-1741. Marimuthu N, Wilson JJ, Kumaraguru AK (2005) Teira batfish, Platax teira (Forsskal, 1775) in Pudhumadam coastal waters, drifted due to the tsunami of 26 December 2004. Current Science, 89(8): 13101312. Patterson Edward JK(2005) Pre and post tsunami reef status in Gulf of Mannar. Suganthi Devadason Marine Research Institute – Reef Research Team (SDMRI-RRT). Wilson, JJ, Marimuthu N, Kumaraguru AK (2005) Sedimentation of silt in the coral reef environment of Palk Bay. J.Mar.Biol.Ass.India, 47(1): 83-87.

101

8. KEADAAN TERUMBU KARANG DI SRI LANKA SETELAH TSUNAMI

ARJAN RAJASURIYA, NISHAN PERERA, CHAMIN DA KARUNARATHNA, MALIK FERNANDO, DAN JERKER TAMELANDER

RINGKASAN Antara 31.000 sampai 37.000 orang meninggal dunia di Sri Lanka akibat tsunami; 100.000 rumah hancur; 90.000 keluarga nelayan kini tanpa tempat tinggal setelah kehilangan rumah mereka; lebih banyak warga yang terkena dampak di wilayah timur (35% dari Kilinochchi sampai 78% di Ampara dan 80% di Mullaitivu) daripada di wilayah selatan (20% di Galle, Matara dan Hambantota); Terjadi kerusakan yang cukup parah sampai elevasi 3 m, sepanjang 1.000 km dari wilayah timur laut sampai wilayah barat daya pulau tersebut; terjadi gangguan cukup parah terhadap dunia pariwisata dan perikanan: 60-80% dari armada dan peralatan hancur dan sejumlah besar pelabuhan perikanan besar rusak; Kerugian yang timbul akibat kerusakan diestimasi mencapai US$ 1milliar (4,5% dari PDB); Kerusakan terhadap terumbu karang cukup bervariasi; dengan beberapa terumbu pada wilayah timur dan timur laut rusak parah; sementara terumbu pada wilayah barat laut tidak rusak; karang yang menghadap laut terbuka mengalami kerusakan yang lebih tinggi daripada yang terletak di dalam laguna; terjadi erosi pantai yang parah namun berupa petak-petak, yang diperparah dengan adanya penambangan karang yang ilegal dan meliputi wilayah yang luas; dan Menghidupkan kembali sektor perikanan dan pariwisata adalah hal yang vital, namun, jika karang diinginkan kembali pulih, harus ada penekanan khusus terhadap sumber penghidupan yang berhasil secara ekonomi, diterima oleh masyarakat, dan berkelanjutan. Rehabilitasi terumbu harus memusatkan perhatian terhadap penghilangan penyebab-penyebab stres yang ada, sehingga dapat menyediakan kondisi yang sesuai untuk pertumbuhan karang yang sehat.

PENDAHULUAN Gelombang pertama tsunami menghantam pesisir timur Sri Lanka pada pukul 8:40 pagi, sekitar 100 menit setelah setelah gempa bumi pertama. Gelombang-gelombang tsunami secara progresif melengkung dan mengitari pesisir selatan dan barat daya Sri Lanka. Rangkaian gelombang kedua menghantam pesisir tersebut 20 menit kemudian. Ketinggian ombak berkisar antara 5 sampai 6,5 meter, sehingga air laut dapat mengintrusi darat sampai puluhan dan ratusan meter, dan menyebabkan salinasi terjadi pada

103

Status Terumbu Karang di Negara-negara yang Terkena Dampak Tsunami 2005

sumur-sumur dan tanah pertanian. Pada kasus-kasus terburuk, air laut mencapai beberapa kilometer ke daratan. Air tersebut biasanya surut dalam waktu 30 menit, dan membawa sejumlah besar puing-puing dan sedimen. Dampak yang ditimbulkan tsunami bervariasi, bergantung pada energi gelombang, batimetri, dan bentuk daratan. Terdapat kerusakan yang cukup parah pada daratan sampai pada ketinggian 3 meter di atas permukaan laut di sepanjang 1.000 km pesisir dari wilayah timur laut sampai barat daya negara tersebut. Gelombang-gelombang tsunami telah menelan korban jiwa sebanyak 31.000 sampai 37.000 orang, akibat tenggelam atau terhantam puing-puing. Diantara korban jiwa tersebut, terdapat 27.000 nelayan dan keluarganya dari desa-desa pesisir. Tragisnya, wilayah yang paling parah terkena tsunami merupakan wilayah timur, yang telah mengalami konflik sosial berabad-abad. Jumlah orang yang terkena dampak pada wilayah pesisir timur berkisar dari 35% di Kilinochchi, sampai 78% di Amparai, dan 80% di Mullaitivu. Kehilangan ini merupakan angka yang jauh lebih besar daripada di wilayah selatan di Galle, Matara, dan Hambantota, dimana 20% dari populasi terkena. Gelombang-gelombang tsunami telah menghancurkan infrastruktur: hampir 100.000 rumah dan antara 60% sampai 80% dari kapal-kapal perikanan Sri Lanka hancur. Jumlah kerugian yang ditimbulkan ditaksir mencapai US$ 1 milliar (4,5% dari PDB), yang terjadi karena kerugian sektor pariwisata dan perikanan

104

Keadaan Terumbu Karang di Sri Lanka setelah Tsunami

akibat pendapatan dan produksi yang hilang. Kehilangan-kehilangan ini akan meningkatkan kerentanan terhadap kemiskinan, khususnya diantara mereka yang memiliki pekerjaan non-formal.

KEADAAN TERUMBU KARANG SEBELUM TSUNAMI Terdapat 680 km2 terumbu batuan dan batu kapur berupa terumbu tepi, gundukan, serta meja di Sri Lanka, dengan sedikitnya 190 jenis karang keras. Terumbu paling luas terdapat di Teluk Mannar, namun terumbu tepi telah berkembang pada pesisir berbatu, pulau lepas daratan dan formasi bebatuan di lepas pantai di sepanjang pesisir timur dan pada sisi pantai berbatu yang terlindungi dari angin di wilayah barat daya, yang juga terlindungi dari muson barat daya. Kebanyakan terumbu karang di Sri Lanka telah dieksploitasi secara besar-besaran, dan terdegradasi oleh eksploitasi yang tidak disertai peraturan dan juga oleh praktik perikanan yang merusak, khususnya pengeboman, jaring dasar yang diperuntukkan lobster dan jaring bermata kecil; termasuk di dalam wilayahwilayah perlindungan laut, seperti di Taman Nasional Pulau Merpati, di dekat Trincomalee, dan Suaka Laut Terumbu Bar serta Rumassala. Disamping itu, telah terjadi penambangan karang yang luas untuk semen, seperti di Rekawa dan sejumlah lokasi lainnya di wilayah pesisir barat, selatan, dan timur. Degradasi terumbu karang merupakan akibat dari ketergantungan masyarakat pesisir terhadap sumber daya alam pesisir dan kegagalan dalam penegakan hukum yang berlaku, meskipun sudah ada daerah perlindungan laut, dikarenakan kurangnya sumber daya manusia, institusional, serta biaya. Pada tahun 1998, terumbu karang di Sri Lanka merupakan salah satu terumbu yang paling parah terkena dampak pemutihan di Samudera Hindia, dengan kebanyakan terumbu di wilayah barat dan timur yang mengalami kematian karang 90%.

Kerusakan karang yang parah akibat tsunami terlihat jelas di Kirankulam, Sri Lanka timur, dimana kubah Porites berukuran besar terlempar ke daratan sampai sejauh 150 meter dari garis pantai (Foto dari Arjan Rajasuriya).

105

Status Terumbu Karang di Negara-negara yang Terkena Dampak Tsunami 2005

PEMBERSIHAN TERUMBU PASCA-TSUNAMI DI SRI LANKA Salah satu dampak dari tsunami yang paling nyata adalah jumlah puing-puing yang tercipta; terdapat batang ranting pohon, bahan konstruksi, peralatan rumah tangga, tekstil, plastik, dan peralatan nelayan yang terserak di pantai dan terumbu. Puing-puing ini merupakan ancaman yang akan terus menimbulkan stres terhadap terumbu karang, sekaligus memperlambat proses pemulihan industri pariwisata, yang membutuhkan upaya pembersihan agar dapat menarik wisatawan. IUCN memulai pembersihan terumbu dan pantai di lokasi-lokasi penting di Sri Lanka, dengan bantuan dana dari Italy Directorate General for Development Cooperation, International Water Management Institute, Project Aware, dan dari Sustainable Ecosystems Institute. Klub Sub-Aqua Sri Lanka memobilisasi pihak-pihak kunci sektor swasta dan para penyelam relawan, termasuk dari Klub St. Thomas College sub-Aqua, Marine Conservation Society of Sri Lanka, dan Sewalanka Foundation. Panduan pembersihan terumbu dari Coral Reef Alliance diadaptasi untuk Sri Lanka, misalnya dengan memanfaatkan tempat pembuangan resmi yang ditunjuk oleh Central Environmental Authority, dan hasil konsultasi dengan Coast Conservation Department, Department of Wildlife Conservation, dan Marine Pollution Prevention Authority. Poster-poster dan selebaran dengan tujuan peningkatan kesadaran dan penyebaran informasi, bahwa dibutuhkan upaya pembersihan, dicetak dalam bahasa Inggris, Sinhala, dan Tamil untuk menginformasikan dan meningkatkan partisipasi masyarakat, pekerja medis, dan wisatawan. Pekerja hotel dan operator penyelaman memberikan dukungan yang tak ternilai, termasuk subsidi untuk penginapan dan makanan, peralatan selam dan kapal, seperti yang disediakan oleh Diving The Snake di Sekolah Selam Internasional Nilaveli dan Hikkaduwa. Daerah Hikkaduwa, Unuwatuna, dan Trincomalee-Nilaveli dibersihkan dari puing-puing dengan 10-50 sukarelawan yang ikut serta dalam setiap pembersihan. Upaya-upaya ini sangat disyukuri oleh masyarakat, pengelola hotel, dan operator selam, yang merupakan pihak-pihak yang secara langsung akan mendapatkan untung dari kegiatan tersebut. Kegiatan ini mendapatkan perhatian dan pujian di dalam dan luar Sri Lanka dan merupakan gambaran bahwa intervensi yang kecil dapat memusatkan perhatian masyarakat dan juga mendidik secara umum. Namun, hasil ini juga menggambarkan bahwa kesadaran masyarakat yang rendah akan pentingnya pembuangan sampah padat yang tepat guna menyusutkan pengaruh dan keberlanjutan dari upaya pembersihan; dan menjadi prioritas yang utama bagi Sri Lanka (dari Jerker Tamelander dan Marten Meynell).

Proses pemulihan kerusakan telah berjalan lambat dan tidak merata, seringkali dihadang oleh kompetisi dengan makro-alga. Misalnya, di Unuwatuna yang terdapat di pesisir barat daya, pemutihan telah menurunkan penutupan karang hidup dari 47% pada 1997 menjadi
View more...

Comments

Copyright � 2017 NANOPDF Inc.
SUPPORT NANOPDF