Analisis Terhadap Indikasi Adanya Motif War

January 16, 2018 | Author: Anonymous | Category: Ilmu sosial, Ilmu politik, American Politics
Share Embed Donate


Short Description

Download Analisis Terhadap Indikasi Adanya Motif War...

Description

Analisis Terhadap Indikasi Adanya Motif War Profiteering di Balik Perang Irak Joshua Francis Departemen Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Airlangga

Abstract The Iraq War that lasted between 2003 and 2011 was United States of America’s biggest and most expensive military operation after the Vietnam War. Aside of spending quite a lot of expenses, this war was also unauthorized by the UN. When discussing about the reason of USA’s war in Iraq, we usually focus on classic reasons such as politics, security, and territorial matter. We also tend to discuss about the national interest of state actors as the reason. What is less discussed is economic motives of the war, and historically there are too few studies regarding economic motives that becomes the interest of sub-state actors behind the Iraq War. Economic profit is gained from the Iraq War through government projects and contracts that is given to private contractors. The practice of gaining economic profit from war is called war profiteering. Key Words: War Profiteering, Iraq War, USA, Elite Interest. Perang Irak yang berlangsung antara 2003 dan 2011 adalah operasi militer terbesar dan termahal Amerika Serikat setelah Perang Vietnam. Selain menghabiskan cukup banyak biaya, perang ini juga tidak sah-kan oleh PBB. Ketika membahas tentang alasan perang oleh Amerika Serikat di Irak, kita biasanya fokus pada alasan klasik seperti politik, keamanan, dan materi teritorial. Kita juga cenderung membahas tentang kepentingan nasional dari aktor negara sebagai alasan. Apa yang kurang dibahas adalah motif ekonomi dari perang, dan secara historis, terlalu sedikit penelitian mengenai motif ekonomi yang menjadi kepentingan aktor sub-negara di balik Perang Irak. Terdapat keuntungan ekonomi yang diperoleh dari Perang Irak melalui proyek-proyek pemerintah dan kontrak yang diberikan kepada kontraktor swasta. Praktik mendapatkan keuntungan ekonomi dari perang disebut pencatutan perang. Kata Kunci: Pencatutan Perang, Perang Irak, Amerika Serikat, Kepentingan Elit

Perang Irak dimulai dari invasi Amerika Serikat ke Irak pada tanggal 20 Maret 2003 dan berakhir secara resmi pada 18 Desember 2011 dan menjadikan perang ini sebagai operasi militer yang terlama, terbesar, dan paling mahal setelah Perang Vietnam. Perang Irak juga merupakan operasi militer Amerika Serikat yang pertama kali dilakukan tanpa ada persetujuan dari organisasi internasional seperti PBB setelah Perang Dingin berakhir dan juga pertama kalinya pasukan militer Amerika Serikat menduduki suatu wilayah di kawasan timur tengah (Lieberfeld, 2005). Menurut Congressional Research Service, Amerika Serikat sudah

menghabiskan biaya sebanyak 815 milyar dolar Amerika Serikat (Belasco, 2014). Selain menghabiskan uang yang tidak sedikit, Perang Irak juga menelan korban jiwa yang banyak. Amerika Serikat telah mengalami korban jiwa sebanyak 4424 jiwa selama Perang Irak. Biaya dan korban jiwa yang tidak sedikit menimbulkan pertanyaan – pertanyaan mengenai Perang Irak dan alasan dari mengapa Amerika Serikat menyerang Irak. Dalam membahas mengenai alasan sebuah negara maju berperang, kita selalu cenderung melihat alasan – alasan besar seperti masalah keamanan,

Jurnal Analisis Hubungan Internasional, Vol. 5 No. 3, Oktober 2016

63

Joshua Francis

politik, kemanusiaan dan teritori Karena itu, Perang Irak menjadi sebagai penyebab terjadinya perang. kesempatan besar bagi perusahaan – Seperti bahwa Irak mensponsori perusahaan swasta terutama dalam organisasi teroris yang anti-barat, bidang logistik perang, akomodasi bagi bahwa Irak memiliki senjata pemusnah tentara Amerika Serikat di Irak, massal, dan bahkan sampai masalah pengelolaan industri minyak Irak dan politik seperti bahwa Perang Irak juga sektor konstruksi dan teknik sipil dijalankan sebagai bentuk show of force melalui proyek rekonstruksi sarana dan oleh Amerika Serikat untuk infrastruktur Irak. Dengan jumlah dana mempertahankan posisinya sebagai sebesar 60 milyar dolar Amerika Serikat hegemon setelah peristiwa 9/11 yang dialokasikan untuk proyek (Lieberfeld, 2005). Namun, seringkali pembangunan kembali Irak, maka kita melewatkan motif ekonomi sebagai banyak perusahaan yang saling berebut alasan sebuah negara untuk berperang. untuk memenangkan kontrak mewah Hal ini menjadi sangat tersebut dimana mereka juga menarik karena jika kita menggunakan koneksi merunut sejarah umat mereka di pemerintahan Dalam penelitian ini manusia, perang memang untuk memenangkan penulis akan didasari oleh berbagai alasan kontrak tersebut. menggunakan Teori namun dari berbagai alasan Dalam penelitian ini penulis Kepentingan Elit tersebut ada satu konstan akan menggunakan Teori yang sama yaitu motif sebagai alasan Amerika Kepentingan Elit sebagai ekonomi (Anderton, 2003). Serikat maju berperang alasan Amerika Serikat maju Secara historis, manusia di Irak. Kepentingan berperang di Irak. selalu berperang didasari yang dimaksud disini Kepentingan yang dimaksud oleh motif ekonomi adalah keuntungan disini adalah keuntungan meskipun seringkali dibalut ekonomi yang akan ekonomi yang akan didapat oleh berbagai alasan didapat oleh para oleh para kelompok elit normatif lainnya (Robinson, melalui Perang Irak. Hal ini kelompok elit melalui 1900 ; Mills, 2002) namun didasari oleh sebuah premis dalam konteks spesifik Perang Irak. bahwa dalam membahas Perang Irak, kajian alasan sebuah negara maju berperang, mengenai hal tersebut masih sangat kita selalu cenderung melihat alasan – sedikit. alasan besar seperti masalah keamanan, Sebelumnya, militer dan pemerintahan politik, dan teritori sebagai penyebab Amerika Serikat merupakan salah satu terjadinya perang. Yang seringkali rezim yang paling mandiri dan self terlewatkan adalah motif ekonomi sufficient di dunia, namun sekarang sebagai alasan sebuah negara untuk Amerika Serikat sangat bergantung berperang. Hal ini menjadi sangat kepada sektor privat (Surowiecki, 2004). menarik karena jika kita merunut Sejak tahun 1990an Amerika Serikat sejarah umat manusia, perang memang mulai mendelegasikan berbagai macam didasari oleh berbagai alasan namun tugasnya kepada kontraktor swasta dari berbagai alasan tersebut ada satu melalui kontrak – kontrak pemerintah. konstan yang selalu muncul yaitu motif Seiring dengan berjalannya kampanye ekonomi (Anderton, 2003). War On Terror, maka semakin banyak Penulis menggunakan teori ini karena konflik yang harus dihadapi oleh militer motif perang yang akan menjadi Amerika Serikat. Dengan adanya perang bahasan merupakan motif keuntungan di Afghanistan dan Irak, muncul ekonomi yang tidak berasal dari kesempatan besar bagi berbagai kepentingan nasional aktor negara tapi korporat swasta untuk memperoleh kepentingan partisan dari aktor subkeuntungan. Praktek untuk memperoleh negara. Penulis menggunakan Teori keuntungan dari perang ini dikenal Kepentingan Elit karena teori ini dengan sebutan war profiteering.

64

Analisis Terhadap Indikasi

berfokus pada analisa mengenai kepentingan aktor sub-negara dimana tindakan dari para konstituen domestik, terutama kaum elit ekonomi dan politik mempengaruhi keputusan yang berhubungan dengan militer dan perang (Lieberfeld, 2005). Dalam teori ini, aktor yang menjadi kajian utama adalah aktor sub-negara yang berupa kelompok elit baik elit politik, ekonomi, maupun militer dan bagaimana kepentingan dari aktor sub-negara tersebut mendorong negara sebagai sebuah institusi untuk maju berperang demi mencapai kepentingan mereka sendiri. Munculnya war profiteering sebagai motif perang berangkat dari teori Kepentingan Elit dimana kepentingan dari aktor sub-negara yang menjadi pendorong atau alasan sebuah negara maju berperang. Seperti yang akan dijelaskan dibawah ini, war profiteering merupakan suatu praktek pencarian keuntungan yang didapatkan oleh sekelompok elit yang menjadi aktor subnegara tersebut. Secara tradisional, war profiteering berbicara tentang mengeruk keuntungan finansial dari keadaan perang terutama melalui penjualan senjata baik kepada salah satu maupun semua pihak yang terlibat dalam perang tersebut (Vesperoni, 2014). Namun pada perkembangannya, tidak hanya produsen senjata saja yang dapat mengeruk keuntungan ekonomi dari terjadinya perang namun juga perusahaan – perusahaan yang bergerak di berbagai sektor privat. Karena itu praktek war profiteering sudah tidak lagi eksklusif hanya bagi para pedagang senjata saja namun berubah menjadi praktek eksploitasi kontrak pemerintah selama masa perang yang biasanya dilakukan oleh sektor privat yang memenangkan kontrak untuk memberikan jasa selama atau setelah konflik terjadi (Areen et al, 2004). Terjadinya War Profiteering dapat dilihat dari adanya tiga hal yang saling berhubungan satu sama lain. Ketiga hal tersebut adalah adanya inkonsistensi dalam justifikasi resmi yang dikemukakan, mekanisme kontrak

yang relatif leluasa untuk pemanfaatan peluang yang muncul, dan juga relasi antara aktor – aktor yang terlibat baik secara personal maupun institusional yang dapat dirumuskan menggunakan konsep Patron-Client dan Iron Triangle yang sudah disebutkan diatas. Ketiga faktor tersebut harus hadir dan terpenuhi agar praktek War Profiteering dapat terjadi (Areen et al, 2004 ; Ortu, 2012). Dalam kasus perang Irak, Amerika Serikat juga memiliki beberapa alasan yang sebelumnya diutarakan sebagai motif untuk menyerang Irak. Alasan – alasan tersebut sangat bervariasi dari alasan keamanan, hingga alasan personal. Secara umum, Amerika Serikat memiliki tiga alasan resmi pada saat menyerang Irak yaitu bahwa Irak terlibat bersama dengan Al – Qaeda dan Osama Bin Laden, bahwa Irak memiliki senjata pemusnah massal yang dapat membahayakan negara – negara sekitarnya, Israel, dan semua negara barat yang demokratis, dan yang terakhir adalah Irak merupakan sebuah rezim diktator yang melakukan pelanggaran HAM terhadap rakyatnya (Zizek, 2004). Yang menarik adalah, setelah invasi berlangsung ketiga alasan Amerika Serikat untuk menyerang Irak tersebut kemudian tidak dapat dibuktikan kebenarannya secara absolut. Alasan pertama yang digunakan oleh Amerika Serikat untuk menyerang Irak adalah bahwa Irak sedang mengembangkan senjata pemusnah massal. Dalam pidato State of the Union pada tahun 2002, Presiden George W. Bush menyatakan bahwa Irak dibawah rezim Saddam Hussein memiliki senjata pemusnah massal (White House Press Release, 2002). Yang kemudian menjadi permasalahan adalah, setelah invasi terhadap Irak dilangsungkan dan rezim pemerintahan Saddam Hussein berhasil dijatuhkan, alasan bahwa Irak memiliki senjata pemusnah massal tersebut pada akhirnya tidak terbukti. Menurut inspektur senjata PBB, tidak ditemukan sama sekali tanda – tanda bahwa Irak

Jurnal Analisis Hubungan Internasional, Vol. 5 No. 3, Oktober 2016

65

Joshua Francis

sedang mengembangkan senjata pemusnah massal. Bahkan, melalui resolusi Dewan Keamanan PBB nomor 1441, PBB sudah mengirimkan inspektur untuk mencari tanda – tanda senjata pemusnah massal di Irak secara berkala sejak tahun 2002 hingga tahun 2003 (Squassoni, 2003). Inspeksi senjata di Irak dilakukan oleh dua badan pengawas yaitu UNMOVIC (United Nations Monitoring, Verification, and Investigation Comission) dan IAEA (International Atomic Energy Agency). IAEA dan UNMOVIC secara total telah melakukan 750 inspeksi di 550 lokasi yang berbeda selama periode November 2002 sampai dengan Maret 2003 (Squassoni, 2003). Penyelidikan yang dilakukan berupa inspeksi mendadak, wawancara dengan personel Irak, pengambilan sampel, dan pengumpulan dokumen. Laporan berkala yang diberikan pimpinan dari IAEA Mohammed El Baradei dan UNMOVIC Hans Blix pada akhirnya tidak bisa memberikan bukti secara konkrit bahwa Irak sedang mengembangkan senjata pemusnah massal, hanya menunjukkan bukti – bukti bahwa Irak tidak bekerja sama sepenuhnya selama proses inspeksi berjalan. Resolusi Dewan Keamanan PBB nomor 1441 tidak memberikan jangka waktu yang tetap untuk lamanya proses inspeksi berjalan. Karena itu inspeksi berjalan sejak akhir tahun 2002 sampai dengan dimulainya invasi Irak pada tahun 2003 dan kemudian dilanjutkan lagi setelah Amerika Serikat menduduki wilayah Irak. Pada tanggal 27 Januari 2003, Hans Blix dan Mohammed ElBaradei memberikan laporan pertama ke Dewan Keamanan PBB mengenai kemajuan proses inspeksi senjata di Irak. Menurut laporan Blix dan ElBaradei, inspeksi telah dilakukan melalui identifikasi fasilitas – fasilitas industri di Irak melalui gambaran satelit dan melakukan inspeksi – inspeksi mendadak ke fasilitas – fasilitas tersebut. Selama inspeksi tersebut berjalan tidak ditemukan tanda – tanda bahwa Irak

66

sedang mengembangkan teknologi senjata nuklir (ElBaradei, 2003). Menurut Blix, Irak justru cukup kooperatif dengan inspektur dari UNMOVIC dan IAEA selama proses inspeksi berjalan dan memberikan akses ke semua situs serta dokumen yang diminta oleh UNMOVIC dan IAEA (Blix, 2003). Pada laporan kedua ke Dewan Keamanan PBB pada tanggal 14 Februari 2003, ElBaradei kembali melaporkan hasil yang sama dengan laporan pertama pada 27 Januari 2003 bahwa IAEA tidak menemukan bukti bahwa Irak sedang menjalankan program pengembangan senjata pemusnah massal (ElBaradei, 2003). Selain itu, dalam laporan 14 Februari tersebut, baik Blix dan ElBaradei sama – sama menekankan bahwa Irak sangat kooperatif selama proses inspeksi berjalan sehingga hal ini tidak sesuai dengan klaim Amerika Serikat bahwa Irak sangat tidak kooperatif dan menghambat proses berjalannya inspeksi. Meskipun begitu, Amerika Serikat tetap menjalankan rencananya untuk menginvasi Irak meskipun hasil laporan dari UNMOVIC dan IAEA sama – sama telah mencapai kesimpulan bahwa Irak tidak memiliki atau sedang mengembangkan senjata pemusnah massal dan bahkan sangat kooperatif selama proses inspeksi sedang berjalan. Karena itu alasan Amerika Serikat untuk menyerang Irak bahwa Irak memiliki dan mengembangkan senjata pemusnah massal menjadi tidak valid lagi dan patut dipertanyakan kebenarannya. Setelah alasan pertama tidak terbukti kebenarannya, maka saat berusaha menjawab pertanyaan mengenai mengapa Amerika Serikat menyerang Irak pada tahun 2003 akan selalu dihubungkan dengan peristiwa 9/11 dan isu – isu yang muncul karenanya. Isu – isu tersebut contohnya adalah isu terorisme global, dan yang lebih penting lagi adalah persenjataan yang dimiliki oleh Al-Qaeda sebagai aktor non-negara dalam peperangan yang bersifat transnasional dan asimetris. Hal inilah yang kemudian menjadi dasar bagi kampanye

Analisis Terhadap Indikasi

War on Terror Amerika Serikat dan alasan Amerika Serikat menginvasi Afghanistan pada tahun 2001 karena Afghanistan telah menjadi tempat persembunyian dan pusat pelatihan AlQaeda. Dalam pidatonya pada 29 Januari 2002, George W. Bush dengan jelas menyatakan bahwa Amerika Serikat tidak akan membedakan kelompok teroris dan negara yang melindungi serta mempersenjatai kelompok teroris tersebut (Bush, 2002). Tidak ada laporan yang terverifikasi yang menyatakan Irak memiliki hubungan baik dengan Al-Qaeda. Saddam Hussein justru melihat AlQaeda sebagai ancaman akan rezim pemerintahannya (Katzman, 2004). Irak dibawah Saddam Hussein merupakan sebuah negara yang meskipun mayoritas penduduknya beragama Islam, namun merupakan sebuah negara sekuler yang tidak menganut agama sebagai dasar negara dan pemerintahan. secara historis Osama Bin Laden tidak memiliki hubungan yang baik dengan Saddam Hussein. Ketika Irak menyerang Kuwait pada tahun 1990, Osama Bin Laden menawarkan perlindungan kepada Arab Saudi dengan cara mengirimkan mujahidin dari Afghanistan untuk mempertahankan Arab Saudi dari serangan Irak. Setelah Perang Teluk berakhir Osama Bin Laden juga masih terus mengkritik pemerintahan Ba’ath Saddam Hussein dan menekankan bahwa Saddam Hussein tidak dapat dipercaya (Bergen, 2005). Selain itu, ideologi Ba’athist yang dipegang oleh Saddam Hussein merupakan sebuah ideologi yang menggabungkan konsep nasionalisme pan-Arab dengan sekularisme dan sosialisme Arab. Hal ini bertentangan dengan konsep politik Pan-Islam yang dianut oleh Osama Bin Laden (Abdel-Malek, 1983). Pada 27 November 2002, Kongres membentuk komisi pencari fakta yang diresmikan dalam surat keputusan Presiden yang ditandatangani oleh George W. Bush. Komisi ini

dinamai National Commission on Terrorist Attacks Upon the United States dan seringkali dikenal dengan sebutan 9/11 Commission. Komisi ini bertugas untuk mencari fakta seputar serangan 9/11, termasuk kebenaran dari tuduhan keterlibatan Irak dalam serangan 9/11. Pada tahun 2004, komisi pencari fakta peristiwa 9/11 akhirnya menyimpulkan bahwa Irak tidak memiliki hubungan dengan Al-Qaeda dan tidak terlibat dalam peristiwa 9/11 (9/11 Commission, 2004). Dengan tidak adanya bukti konkret yang menunjukkan bahwa Irak melindungi dan bekerja sama dengan Al-Qaeda dalam merencanakan peristiwa 9/11 atau bahkan terlibat sama sekali dan fakta historis yang menunjukkan buruknya hubungan antara Osama Bin Laden dan Saddam Hussein maka alasan ini kemudian menjadi tidak dapat dijadikan sebuah alasan yang valid untuk menjustifikasi invasi Amerika Serikat ke Irak pada tahun 2003. Pemerintah Amerika Serikat sendiri juga telah menarik pernyataan yang menyatakan bahwa Saddam Hussein dan Al-Qaeda merupakan rekanan dan memiliki hubungan kerja sama. Disaat bukti yang mendukung klaim Amerika Serikat bahwa Irak bekerja sama dengan Al-Qaeda dan juga memiliki senjata pemusnah massal semakin melemah, pemerintahan Bush mulai menggeser fokusnya pada isu lain yang telah dikemukakan oleh Kongres dalam Resolusi Irak yang dikeluarkan oleh Kongres sebagai resolusi yang mengijinkan tindakan militer terhadap Irak yaitu pelanggaran HAM oleh pemerintahan Saddam Hussein sebagai justifikasi untuk melakukan intervensi militer di Irak. Memang tidak dapat diragukan lagi, pemerintahan Saddam Hussein telah melakukan pelanggaran berat terhadap HAM rakyat Irak terutama pada etnis Kurdi. Meskipun pelanggaran HAM yang dilakukan oleh Saddam Hussein ini sangatlah buruk, namun banyak yang mempertanyakan mengapa masalah ini dijadikan sebagai alasan untuk

Jurnal Analisis Hubungan Internasional, Vol. 5 No. 3, Oktober 2016

67

Joshua Francis

melakukan intervensi militer. Alasan berubah – ubah dan inkonsisten. Selain pelanggaran HAM baru mulai itu ketika invasi telah terlanjur digunakan setelah bukti yang dilangsungkan, ketiga alasan resmi menghubungkan Saddam Hussein tersebut juga tidak dapat dibuktikkan dengan Al-Qaeda tidak dapat ditemukan dengan pasti kebenarannya. Banyak hal dan pencarian senjata pemusnah massal – hal dan bukti yang melemahkan di Irak juga tidak membuahkan hasil. argumentasi Amerika Serikat dalam Kelompok pemerhati HAM Human menggunakan ketiga alasan tersebut Rights Watch dan Amnesty untuk menjustifikasi Perang International juga Irak. Dengan tidak menyatakan bahwa terbuktinya ketiga alasan Perang Irak dan meskipun jika memang resmi yang dikeluarkan oleh proyek rekonstruksi benar bahwa isu HAM Amerika Serikat tersebut, Irak yang dinamai merupakan alasan yang maka muncul pertanyaan proyek “Irak Baru” utama bagi Amerika Serikat mengenai mengapa merupakan sebuah untuk menyerang Irak, sebenarnya Amerika Serikat usaha yang sebuah intervensi militer menyerang Irak. menghabiskan biaya tetap tidak bisa dibenarkan Perang Irak dan proyek menurut dasar kemanusiaan. yang sangat banyak rekonstruksi Irak yang dan seringkali dilihat Selain itu, jika melihat dinamai proyek “Irak Baru” sebagai pengeluaran secara historis maka kita merupakan sebuah usaha sia – sia yang akan menemukan bahwa yang menghabiskan biaya dilakukan oleh Amerika Serikat dan Irak yang sangat banyak dan pemerintah Amerika sebelumnya memiliki seringkali dilihat sebagai Serikat tanpa ada hasil hubungan yang baik dan pengeluaran sia – sia yang bahkan Amerika Serikat yang memuaskan. dilakukan oleh pemerintah mendukung rezim Saddam Amerika Serikat tanpa ada Hussein pada dekade 1980an yang hasil yang memuaskan. Namun bukan menjadi periode puncak kasus berarti Perang Irak tidak memiliki pelanggaran HAM oleh rezim Saddam keuntungannya tersendiri karena perang Hussein sehingga hal ini semakin ini memunculkan banyak peluang untuk membuat klaim bahwa Amerika memperoleh berbagai macam menyerang Irak karena masalah keuntungan. Dalam sub-bab ini penulis pelanggaran HAM oleh Saddam Hussein akan memaparkan tentang bagaimana semakin diragukan. Amerika Serikat Perang Irak memunculkan peluang juga sebelum melakukan invasi, peluang umtuk memperoleh keuntungan mengkategorikan Irak sebagai negara – ekonomi dan bagaimana peluang negara “poros setan” yang merupakan peluang tersebut dimanfaatkan oleh sekelompok negara diktator yang kelompok – kelompok yang memiliki melanggar HAM rakyatnya bersama kepentingan tersendiri. dengan Iran dan Korea Utara. Namun Jika berbicara tentang perang, maka yang aneh adalah sampai sekarang seringkali pikiran kita akan tertuju hanya Irak saja yang di invasi oleh kepada akibat – akibatnya seperti Amerika Serikat sedangkan Iran dan kerusakan – kerusakan infrastruktur, Korea Utara sampai sekarang tidak serta pengeluaran dan biaya yang disentuh oleh Amerika Serikat. diperlukan untuk menjalankan sebuah Berdasarkan penjelasan diatas, kita usaha perang. Beberapa dampak negatif dapat melihat bahwa ketiga alasan resmi perang terhadap ekonomi termasuk Amerika Serikat menyerang Irak tidak meningkatnya utang publik dan pajak dapat dibuktikan kebenarannya. untuk membiayai perang, penurunan Berdasarkan penjelasan diatas maka tingkat persentase konsumsi terhadap dapat dilihat bahwa alasan Amerika GDP, penurunan tingkat persentase Serikat untuk menyerang Irak selalu investasi terhadap GDP, dan

68

Analisis Terhadap Indikasi

peningkatan inflasi selama kondisi perang atau sebagai akibat langsung dari perang (The Institute of Economics and Peace, 2011). Namun, pada saat yang sama kondisi perang juga menjadi kesempatan untuk memperoleh keuntungan finansial dari berbagai macam sektor terutama sektor privat. Yang seringkali terlewatkan adalah bagaimana perang tersebut dapat memunculkan peluang – peluang untuk mendapatkan keuntungan. Perang Irak juga tidak berbeda dengan perang lainnya. Pertama dimulai dari dimulainya perang Irak yang dikenal dengan sebutan Operation Iraqi Freedom itu sendiri, sebuah usaha perang membutuhkan biaya yang banyak terutama dalam hal persediaan senjata, perlengkapan tentara, serta logistik dan akomodasi tentara Amerika Serikat selama di Irak. Operation Iraqi Freedom mencakup segala bentuk persiapan menuju perang yang dimulai pada musim gugur 2002, invasi pada Maret 2003, dan operasi – operasi anti-pemberontakan dan stabilisasi selama pendudukan Irak oleh militer Amerika Serikat sampai tahun 2010 (Belasco, 2014). Operation Iraqi Freedom kemudian dilanjutkan oleh Operation New Dawn dimana keberadaan militer Amerika Serikat di Irak bersifat sebagai konsultan dan penasihat bagi Irak dan berakhir dengan penarikan militer Amerika Serikat dari Irak pada tahun 2011. Kedua operasi ini telah menghabiskan biaya sebanyak US$ 815 milyar (Belasco, 2014). Selain menghabiskan biaya yang tidak sedikit, Operation Iraqi Freedom juga menimbulkan kerusakan pada sarana dan infrastruktur Irak. Setelah invasi berjalan dan Saddam Hussein berhasil dilengserkan, proyek rekonstruksi Irak dimulai. Ada tujuh sektor yang menjadi prioritas dalam rekonstruksi Irak yaitu listrik, air bersih, sanitasi, infrastruktur fisik seperti bangunan dan jalan, fasilitas kesehatan, sistem pendidikan, dan infrastruktur minyak. Ketujuh sektor ini kemudian dijadikan satu dibawah program Iraq

Relief and Reconstruction Fund atau IRRF. Selain itu rekonstruksi Irak juga mencakup pelatihan dan pengadaan perlengkapan untuk pasukan keamanan dan militer Irak dibawah program Iraq Security Forces Fund atau ISFF (Bowen Jr, 2013). Selain rekonstruksi dalam bidang fisik dan keamanan, Amerika Serikat juga menjalankan program rekonstruksi dalam hal demokrasi, capacity-building, dan segala pembangunan yang berhubungan dengan sektor ekonomi dibawah program Economic Support Fund atau ESF. Dalam rekonstruksi Irak, terdapat ratusan hingga ribuan proyek yang dapat dikerjakan dan dikontrakkan kepada kontraktor – kontraktor swasta untuk pengerjaannya. Kontrak yang digunakan semua menggunakan model cost-plus dengan sistem pembayaran reimbursement dan diberikan dalam proses kompetisi terbatas dimana hanya perusahaan – perusahaan yang diundang untuk berkompetisi saja yang bisa mengajukan tender namun dengan proses seleksi yang tidak transparan atau ada juga yang tidak menggunakan sistem kompetisi sama sekali. Kontrak dengan sifat cost-plus berarti bahwa kontrak yang diberikan pembayarannya bersifat reimbursement dengan marjin keuntungan tetap sebesar 2% dan potensi keuntungan tambahan berupa insentif sebanyak 5% dari jumlah nilai akhir kontrak. Banyaknya jumlah proyek yang harus dikerjakan ditambah dengan kurangnya staf pengawas yang dimiliki Amerika Serikat menyebabkan minimnya pengawasan. Dari sekian banyak kontraktor yang mendapatkan kontrak pemerintah, ada enam kontraktor yang mendapat jumlah proyek dengan nilai kontrak terbesar dan memiliki kedekatan baik berupa patron-client maupun iron triangle dengan pemerintahan Bush yaitu Bechtel, Halliburton, KBR, Black & Veatch, Parsons Corporations, dan Perini Corporations (USLAW, 2003). Masing – masing dari keenam kontraktor tersebut merupakan

Jurnal Analisis Hubungan Internasional, Vol. 5 No. 3, Oktober 2016

69

Joshua Francis

kontributor finansial dari kampanye presidensial Bush dan juga memiliki petinggi yang merangkap jabatan sebagai anggota kabinet atau dewan pertimbangan dan penasehat terdekat presiden. Salah satu pegawai Bechtel yaitu presiden firma Bechtel George Shultz yang juga pernah menjabat beberapa jabatan kementrian seperti Menteri Ketenagakerjaan pada tahun 1969 – 1970, Direktur Lembaga Keuangan Presiden pada tahun 1970 – 1972, Menteri Keuangan pada tahun 1972 – 1974, dan Menteri Luar Negeri pada tahun 1982 – 1989 (Shultz, 1993) merupakan ketua dari dewan penasihat dari Komite Pembebasan Irak menggunakan pengaruh politiknya untuk mendorong terjadinya Perang Irak seperti melalui salah satu pidatonya yang berjudul “A Changed World” pada 11 Februari 2003. Sesuai dengan namanya, komite ini mendorong invasi Amerika Serikat ke Irak dengan alasan untuk membebaskan rakyat Irak dari kekuasaan diktator rezim Saddam Hussein. Selain itu komisaris dan CEO dari Bechtel yaitu Riley P. Bechtel bagian dari Dewan Ekspor Presiden yang merupakan para penasehat Bush di bidang perdagangan internasional (Buffa et al, 2003). Posisi ini juga menjadi sangat penting untuk peluang ekspansi Bechtel ke wilayah Timur Tengah karena melalui Dewan ini, presiden Bush merencanakan untuk mendirikan zona free trade area antara Amerika Serikat dan Timur Tengah setelah kampanye di Irak berakhir. Selain kedua personel Bechtel yang disebutkan diatas, terdapat beberapa personel Bechtel lainnya yang juga menjabat posisi – posisi penting di pemerintahan Bush. Purnawirawan Jenderal Jack Sheehan yang merupakan salah satu wakil presiden senior Bechtel adalah anggota dari Dewan Kebijakan Pertahanan yang sangat berpengaruh. Dewan ini adalah dewan penasehat untuk Pentagon yang terdiri dari tokoh – tokoh neo-konservatif dan mendorong terjadinya Perang Irak dalam sebuah

70

pertemuan tertutup dengan Donald Rumsfeld dan beberapa petinggi pemerintahan Bush lainnya seperti Paul Wolfowitz (New York Times, 2001 ; Steinberg, 2002). Daniel Chao yang juga salah satu wakil presiden senior Bechtel menjabat di dewan penasihat Bank Ekspor-Impor Amerika Serikat, dan yang terakhir Ross J. Connelly yang telah bekerja di Bechtel selama 21 tahun dan sekaligus menjabat sebagai wakil presiden eksekutif dan COO dari US Overseas Private Investment Corporations (Buffa et al, 2003). Tidak berbeda jauh dengan Bechtel, Parsons Corporations juga memiliki hubungan yang dekat dengan pemerintahan Bush. Salah satu anggota dewan direksi Parsons adalah Elaine Chao yang tidak lain adalah Menteri Ketenagakerjaan pemerintahan Bush dan seperti yang telah disebutkan dalam bab 2, Elaine Chao mendukung berjalannya Perang Irak. Suami dari Elaine Chao adalah Mitch McConnell yang merupakan asisten dari ketua United States House of Representatives Majority dan ketua Sub-Komite Persetujuan Operasi Luar Negeri yang merupakan posisi penting dalam proses pengambilan kebijakan luar negeri Amerika Serikat. McConnell sendiri juga memiliki hubungan dengan kontraktor swasta lain yang terlibat dalam Perang Irak seperti kontraktor pertahanan Northrop Grumman, dan telah menerima sumbangan dana dari Halliburton dan firma persenjataan Lockheed-Martin yang merupakan penyedia senjata bagi militer Amerika Serikat. McConnell juga terlibat langsung dengan proses pengambilan kebijakan untuk menyerang Irak dimana pada Oktober 2002, McConnell memilih untuk meloloskan Resolusi Irak yang memberikan ijin untuk melakukan operasi militer di Irak (Washington Post, 2002). Parsons Corporation juga banyak memberikan sumbangan dana kepada Partai Republikan selama periode 1999-2002 dengan total sumbangan yang mencapai 152 ribu

Analisis Terhadap Indikasi

dolar Amerika Serikat dan 2000 dolar sumbangan pribadi kepada Presiden Bush (USLAW, 2003). Dari penjelasan diatas ada dua poin utama yang dapat dilihat. Yang pertama adalah banyak sekali uang yang dikeluarkan oleh pemerintah Amerika Serikat untuk upaya rekonstruksi di Irak. Yang menarik adalah, dari penjelasan diatas dapat kita lihat bahwa dana senilai milyaran dolar tersebut pada akhirnya juga kembali masuk kedalam kantong Amerika Serikat sendiri melalui kontraktor – kontraktor swasta yang merupakan perusahaan dari Amerika Serikat yang dipekerjakan untuk mengerjakan berbagai proyek yang termasuk pada upaya rekonstruksi di Irak. Kontrak yang digunakan pada semua proyek rekonstruksi ini bersifat cost-plus dan metode pembayaran reimbursement dengan persentase keuntungan dan insentif tetap yang menyebabkan nilai uang yang sangat besar harus dibayarkan kepada kontraktor – kontraktor swasta yang berasal dari Amerika Serikat. Yang menarik dari kebijakan ini adalah, banyak proyek rekonstruksi Irak yang sebetulnya redundant karena banyak proyek pembangunan yang tidak diperlukan atau cukup hanya dengan memperbaiki sarana dan infrastruktur yang sudah ada tanpa harus membangun yang baru lagi atau ada proyek yang seharusnya bisa dikerjakan oleh perusahaan dari Irak namun pemerintah Amerika Serikat bersikeras untuk memberikan kontrak proyek tersebut kepada kontraktor Amerika Serikat (Miller, 2006). Poin yang kedua adalah bahwa kontraktor – kontraktor yang mendapatkan proyek – proyek besar dalam rekonstruksi Irak juga memiliki hubungan yang dekat dengan pemerintahan Bush. Kedekatan hubungan ini dapat berupa kontribusi finansial kepada pemerintahan Bush atau adanya hubungan personal diantara oknum – oknum elit dari kedua belah pihak. Yang menarik adalah

bagaimana perusahaan – perusahaan yang seringkali memiliki personel yang menduduki jabatan rangkap di pemerintahan dan di perusahaan – perusahaan atau perusahaan yang telah memberikan kontribusi signifikan terutama berupa kontribusi finansial selama masa kampanye Presiden Bush lah yang memenangkan kontrak proyek tersebut. Hal ini kemudian dieksploitasi oleh kontraktor untuk menagihkan biaya yang dilebih – lebihkan kepada pemerintah Amerika Serikat untuk memperoleh keuntungan yang sangat besar meskipun hasil pengerjaannya seringkali tidak memenuhi target atau bahkan tidak terselesaikan. Kontraktor dapat menagihkan biaya yang dilebih – lebihkan karena mekanisme kontrak yang longgar dan minim pengawasan menyebabkan kontrak tersebut rawan untuk dieksploitasi. Pada bab selanjutnya, penulis akan menjelaskan bagaimana hubungan antara petinggi – petinggi dari pihak kontraktor swasta dan pemerintah sebagai klien mempengaruhi proses pemberian kontrak serta nilainya dan bagaimana hubungan antara industri dan pemerintahan ini dapat berujung pada praktek war profiteering dan keberadaannya sebagai motif terjadinya Perang Irak. Seperti yang telah disebutkan di awal penelitian, penulis akan berfokus pada kepentingan war profiteering oleh kelompok elit sebagai motif Amerika Serikat menginvasi Irak. Untuk melihat adanya motif – motif war profiteering dalam Perang Irak maka harus ada tiga hal yang dilihat yaitu adanya inkonsistensi dalam justifikasi resmi, adanya keleluasaan dalam mekanisme kontrak, dan adanya hubungan antar elit baik berupa hubungan patron-client maupun iron triangle. Dalam pembahasan sebelumnya, penulis telah menjelaskan mengenai bagaimana alasan – alasan resmi yang dikeluarkan oleh Amerika Serikat inkonsisten dan berubah – ubah serta tidak ditemui

Jurnal Analisis Hubungan Internasional, Vol. 5 No. 3, Oktober 2016

71

Joshua Francis

bukti konkret yang mendukung keuntungan yang sudah ditetapkan sejak kebenaran dari alasan – alasan awal dan pengawasan yang minim tersebut.. Karena itu penulis kemudian membuka peluang besar bagi praktek mencari penjelasan alternatif mengenai war profiteering. Hal ini juga invasi Amerika Serikat ke Irak pada memenuhi indikasi kedua motif – motif tahun 2003. Dalam penjelasan war profiteering dalam Perang Amerika sebelumnya penulis telah menjelaskan Serikat di Irak yaitu adanya keleluasaan bagaimana perekonomian Amerika mekanisme kontrak. Serikat sangat dipengaruhi oleh perang Penulis juga telah menjabarkan dalam dan bagaimana keuntungan yang penjelasan diatas bagaimana diperoleh dinikmati oleh hanya perusahaan – perusahaan yang sekelompok elit saja seusai dengan teori memenangkan kontrak dengan jumlah Kepentingan Elit dimana suatu negara terbanyak dan nilai terbesar maju berperang karena ada merupakan perusahaan yang kepentingan partisan dari memiliki kedekatan dengan kelompok elit sebagai aktor Terdapat motif – motif pemerintahan George W. sub-negara dimana mereka war profiteering dalam Bush dalam bentuk berusaha memperoleh Perang Amerika hubungan personal maupun keuntungan dari tindakan finansial atau juga terlibat perang tersebut. Karena itu Serikat di Irak. Ada langsung didalamnya dan syarat pertama dari indikasi pula motif – motif lain juga terlibat dalam keputusan adanya motif - motif war yang bermain dalam untuk maju menyerang Irak profiteering yaitu adanya perang tersebut namun pada tahun 2003 atau inkonsistensi justifikasi melalui penelitian dan bahkan melibatkan aktor – telah terpenuhi. data – data yang sudah aktor yang memiliki jabatan dikumpulkan dan Dalam penjelasan rangkap dalam pemerintahan disajikan maka penulis sebelumnya telah dijelaskan dan perusahaan yang bagaimana Amerika Serikat menjadi kontraktor. Hal ini mencapai kesimpulan menjalankan proyek memenuhi indikasi ketiga bahwa motif – motif rekonstruksi di Irak dan yaitu adanya hubungan antar war profiteering nilai uang yang berputar aktor elit yang terlibat baik merupakan salah satu dalam proses tersebut berupa patron-client maupun motif yang dominan sangatlah besar dengan iron triangle. dalam Perang Irak. dana sebesar 60 milyar Dengan terpenuhinya ketiga dolar dialokasikan oleh indikasi yang menandakan keberadaan pemerintah Amerika Serikat untuk motif – motif war profiteering dalam membangun kembali Irak setelah invasi. perang Amerika Serikat di Irak tersebut, Proyek rekonstruksi ini dikerjakan oleh maka dapat dilihat bahwa memang kontraktor swasta yang memperoleh terdapat motif – motif war profiteering kontrak untuk mengerjakan berbagai dalam Perang Amerika Serikat di Irak. proyek rekonstruksi dan pembangunan Penulis juga mengakui bahwa ada motif sarana dan infrastruktur dalam berbagai – motif lain yang bermain dalam perang sektor di Irak (Bowen Jr, 2013). tersebut namun melalui penelitian dan Seperti yang telah dijelaskan data – data yang sudah dikumpulkan sebelumnya, kontrak yang digunakan dan disajikan maka penulis mencapai dalam proyek rekonstruksi Irak kesimpulan bahwa motif – motif war memiliki mekanisme yang memberikan profiteering merupakan salah satu motif keleluasaan bagi kontraktor yang rawan yang dominan dalam Perang Irak. untuk dieksploitasi. Sistem pembayaran reimbursement dengan persentase

72

Analisis Terhadap Indikasi

Daftar Pustaka [1] Abdel-Malek, Anouar, 1983. Contemporary Arab Political Thought. London: Zed Books. [2] Adams, Gordon, 1982. The politics of Defense Contracting: The Iron Triangle. New Brunswick. N.J. Transaction Books. [3] Anderton, Charles H, 2003. “Economic Theorizing of Conflict: Historical Contributions, Future Possibilities”, dalam Defence and Peace Economics 14, no. 3: 209-222. [4] Areen, M., Schwartz, E., Gilmer, G., 2004. “War Profiteering in Iraq: Corporate Contracts, Private Military Companies, and the National Resource Curse”, dalam EDGE Final Paper. [5] Aspaturian, V. V., 1972. "The Soviet military-industrial 'complex': does it exist?", dalam Journal of International Affairs 26 vol 1 pp 1-28. [6] Brown, C., dan Ainley, K., 2009. Understanding International Relations. Hampshire, Palgrave MacMillan. [7] Bentley, Michelle, 2014. Weapons of Mass Destruction: The Strategic Use of a Concept. Routledge Publisher [8] Bergen, Peter L., 2006. The Osama Bin Laden I Know. Free Press; First Free Press Trade Paperback Edition edition [9] Bolton, Patrick and Dewatripoint, Mathias, 2005. Contract Theory. MIT Press [10] Buffa, Andrea et. al., 2003. Bechtel: Profitting from Destruction, Why The Corporate Invasion of Iraq Must Be Stopped. CorpWatch Publication [11] Bush, George W., 2003. State of The Union Address. White House Press Release [12] Burchill, S., 2009. „Liberalism‟, dalam Burchill, S., Linklater, A., Devetak, R., Donnelly, J., Nardin, T., Paterson, M., ReusSmith, C., dan True, J. 2009 (Eds) Theories of International Relations. Hampshire: Palgrave MacMillan. [13] Dinstein, Yoram, 2004. “Legislation Under Article 43 of the Hague Regulations: Belligerent Occupation and Peacebuilding”, dalam Program on Humanitarian Policy and Conflict Research Harvard University Occasional Paper Series No. 1. [14] Dobbins, James; Jones, Seth G; Runkle, Benjamin; dan Mohandas, Siddarth, 2009. “Occupying Iraq: A History of the Coalition Provisional Authority”. RAND National Security Research Division [15] Donnelly, J., 2009. „Realism‟, dalam Burchill, S., Linklater, A., Devetak, R., Donnelly, J., Nardin, T., Paterson, M., ReusSmith, C., dan True, J. 2009 (Eds) Theories of International Relations. Hampshire, Palgrave MacMillan. [16] Doyle, M., 1986. “Liberalism and World Politics”, dalam American Political Science Review, 80 (December) pp. 1151-69. [17] Dunne, T., 2008. “Liberalism”, dalam Baylis, J., Smith, S., and Owens, P. 2008 (Eds) The Globalization of World Politics. An introduction to international relations. New York: Oxford University Press.

[18] Dunne, T. dan Schmidt, B.C. 2008 “Realism”, dalam Baylis, J., Smith, S., and Owens, P. 2008. (Eds) The Globalization of World Politics. An introduction to international relations. New York: Oxford University Press. [19] Dutta, Prajit, dan Radner, Roy, 1994. "Moral Hazard", dalam Robert Aumann dan Sergiu Hart (eds.) Handbook of game theory. Elsevier, hal. 870–903 [20] Fidler, David P., 2003. "Weapons of Mass Destruction and International Law", dalam American Society of International Law. [21] Franks, Tommy R., 2004. “American Soldier”, dalam Harper Colins, hal. 23. [22] Galbraith, J.K., 1967. The New Industrial State. New York: Signet. [23] Galbraith, J.K., 1969. How to Control the Military. New York: New American Library [24] Goldschmidt Jr, Arthur dan Davidson, Lawrence, 2006. “A Concise History of the Middle East”, dalam Westview Press, hal. 432–438. [25] Goodin, Robert E., 2009. The Oxford Handbook of Political Science. Oxford: Oxford UP Print. [26] Halchin, L. Elaine, 2005. “The Coalition Provisional Authority (CPA): Origins, Characteristics, and Institutional Authorities”, dalam CRS Report for Congress. [27] Hayden, G.F., 2002. “Policymaking Network of the Iron-Triangle Subgovernment for Licensing Hazardous Waste Facilities”, dalam CBA Faculty Publications Paper 8. [28] Hobden, S. dan Wyn Jones, R., 2008. “Marxist Theories of International Relations”, dalam Baylis, J., Smith, S., dan Owens, P. 2008. (Eds) The Globalization of World Politics. An introduction to international relations. New York: Oxford University Press. [29] Laffont, Jean-Jacques, dan Martimort, David, 2002. The Theory of Incentives: The Principal-Agent Model. Princeton University Press. [30] Lenin, V.I., 1996. Imperialism: the Highest Stage of Capitalism. London: Pluto Press. [31] Lieberfeld, Daniel, 2005. “Theories of Conflict in The Iraq War”, dalam International Journal of Peace Studies, Volume 10, Number 2, Autumn/Winter 2005 [32] Levy, J.S., 1989. “The diversionary theory of war: A Critique”, dalam Handbook of War Studies, hal. 259-288 [33] Marx, K. dan Engels, F., 2008. The Communist Manifesto, with The Condition of the Working Class in England, and Socialism Utopian and Scientific. Hertfordshire: Wordsworth Editions. [34] Miller, Christian T., 2006. Blood Money : Wasted Billions, Lost Lives, and Corporate Greed in Iraq. Back Bay Books. [35] Mills, John, 2002. A Critical History of Economics. Hampshire: Palgrave Macmillan.

Jurnal Analisis Hubungan Internasional, Vol. 5 No. 3, Oktober 2016

73

Joshua Francis [36] Mintz, Alex, 1985. “Military-Industrial Complex: The American Concepts and Israeli Realities”, dalam The Journal of Conflict Resolution, Vol 29, No.4 pp. 623639 [37] Naidu, M.V., 2001. "Anti-American Islamic Terrorism and War of Self Defence", dalam Peace Research 33, no. 2 p. 1-33. [38] Pauwels, Jacques R., 2003. “Why America Needs Wars?”, dalam Indy Media Belgium and Global Research. [39] Robinson, Edward Van Dyke, 1900. “War and Economics in History and in Theory”, dalam Political Science Quarterly 15, no. 4: 581-628. [40] Roniger, Luis, 2004. “Political Clientelism, Democracy and Market Economy”, dalam Comparative Politics, Vol. 36 no. 3, April, 353-37 [41] Schwedler, Jillian dan Gerner, Deborah, 2008. “Understanding the Contemporary: Middle East”, dalam Lynne Rienner Publishers, Inc, hal. 248–251. [42] Shultz, George Pratt, 1993. Turmoil and Triumph: My Years as Secretary of State. New York: Scribner's. [43] SIGIR, 2010. “Quarterly Report to the United States Congress”, dalam Special Inspector General for Iraq Reconstruction Reports, p. 90. [44] SIGIR, 2009. “Iraq Reconstruction: Lessons in Program”, dalam Special Inspector General for Iraq Reconstruction Reports [45] SIGI, 2006. “Quarterly Report to the United States Congress”, dalam Special Inspector General for Iraq Reconstruction Reports. [46] Singer, P.W., 2005. “Outsourcing War”, dalam Foreign Affairs. Vol. 84, No. 2 (Mar. - Apr., 2005), hal. 119-132. [47] Spagat, Michael, 2010. “Truth and Death in Iraq Under Sanctions”, dalam Significance Journal Vol.7 No.3 pp. 116-120. [48] Steinberg, Michael, 2002. “Rumsfeld‟s “Feith and Bum” Corps: What Is Defemse Policy Board”. Executive Intelligence Review.

74

[49] Stokes, Susan C; Dunning, Thad; Nazareno, Marcelo; Brusco, Valeria, 2013. Brokers, Voters, and Clientelism: The Puzzle of Distributive Politics. Cambridge: Cambridge University Press. [50] UNICEF, 2003. “Iraq Watching Briefs: Water and Environmental Sanitation,” 7/2003, hal. 2, 7–8. [51] UN/World Bank, 2010 “Joint Iraq Needs Assessment,” United Nations/World Bank Reports. [52] UN, Inter-Agency Information and Analysis Unit. 2011 “Water in Iraq Factsheet,” United Nations Reports. [53] USLAW. 2003. Profile of US Corporations Awarded Contracts in British/US Occupied Iraq. USLAW Publications [54] Waltz, K.N, 2001. Man, the State and War, a theoretical analysis. New York: Columbia University Press. [55] Zizek, Slavoj, 2004. “Iraq‟s False Promises”, dalam Foreign Policy, No. 140 (Jan. - Feb., 2004), hal. 42-49 [56] Gilfeather, Paul, 2002. "War, Whatever. Bush Aid: Inspections or Not, We'll attack Iraq," Mirror (U.K.). [57] Milbank, Dana & Deane, Claudia, 2003. "Hussein Link to 9/11 Lingers in Many Minds," Washington Post. [58] Milbank, Dana & Pincus, Walter, 2003. "Cheney Defends U.S. Actions in Bid to Revive Public Support". Washington Post p. 1, A19. [59] MSNBC, 2004. "Transcript for Sept. 14 Meet the Press", MSNBC. [60] MSNBC, 2004. “9/11 panel sees no link between Iraq, al-Qaida” MSNBC. [61] White House Press Release, 2001. "The Vice President Appears on NBC's Meet the Press". The White House. [62] Coalition Provisional Authorit, 2003. “Coalition Provisional Authority Regulation Number 1, CPA/REG/16 May 2003/01”. Coalition Provisional.

View more...

Comments

Copyright � 2017 NANOPDF Inc.
SUPPORT NANOPDF