BAGIAN I PRINSIP-PRINSIP HUKUM INTERNASIONAL MENGENAI

January 8, 2018 | Author: Anonymous | Category: Ilmu sosial, Ilmu politik, Hubungan internasional
Share Embed Donate


Short Description

Download BAGIAN I PRINSIP-PRINSIP HUKUM INTERNASIONAL MENGENAI...

Description

BAGIAN I PRINSIP-PRINSIP HUKUM INTERNASIONAL MENGENAI YURISDIKSI NEGARA Yurisdiksi negara tidak dapat dipisahkan dari Azas Kedaulatan Negara (State Souvereignty) yang merupakan ciri hakiki dari setiap negara. Yurisdiksi Negara merupakan konsekuensi logis dari adanya azas kedaulatan ataupun hakhak tertentu yang dapat dimiliki negara. Negara memiliki yurisdiksi dalam batas-batas teritorialnya karena negara memiliki kedaulatan yang menunjukkan adanya kekuasaan tertinggi dalam bidang apapun di dalam batas-batas teritorial dari negara yang bersangkutan (Mochtar Kusumaatmadja, 1972:15). Inilah yang disebut Kedaulatan Teritorial (Territorial Souvereignty) yang dengan sendirinya menimbulkan apa yang disebut Yurisdiksi Teritorial (Territorial Jurisdiction). Menurut Malcolm N. Shaw (1986:342), yurisdiksi itu menyangkut kewenangan negara untuk mempengaruhi orangorang, harta benda dan keadaan serta merefleksikan adanya prinsip dasar mengenai Kedaulatan Negara (State Souvereignty), persamaan negara-negara (equality of states) dan tidak campur tangan dalam urusan domestik (non-interference in domestic affairs). Sesungguhnya yurisdiksi adalah suatu ciri hakiki dan vital dari kedaulatan negara karena yurisdiksi adalah suatu pelaksanaan kekuasaan yang dapat mengganti

Prinsip-Prinsip Hukum Internasional

1

atau menciptakan atau mengakhiri hubungan dan kewajiban hukum. Yurisdiksi itu dapat dicapai atau diwujudkan dengan mempergunakan (by means of) tindakan legislatif atau tindakan eksekutif atau tindakan pengadilan sehingga keadaan seperti ini menimbulkan dua macam kategori yurisdiksi, yaitu: 1) Yurisdiksi Preskriptif (Prescriptive Jurisdiction), yaitu kewenangan untuk membuat peraturan perundang-undangan atau menciptakan aturan-aturan hukum, dan 2) Yurisdiksi Pelaksanaan (Enforcement Jurisdiction), yaitu kekuasaan untuk menerapkan aturan-aturan tersebut melalui tindakan peradilan atau eksekutif (judicial or executive action). Parlemen yang meloloskan undang-undang yang sifatnya mengikat, pengadilan yang membuat putusan yang mengikat dan aparat pemerintah memiliki kekuasaan dan yurisdiksi atau kewenangan hukum untuk memaksakan aturan-aturan hukum (legal authority to enforce the rules of law). Perbedaan antara kemampuan atau kewenangan untuk membuat peraturan hukum (the prescriptive jurisdiction) dan kewenangan untuk menjamin pentaatan terhadap peraturanperaturan

hukum

tersebut

(the enforcement jurisdiction)

menjadi dasar untuk memahami yurisdiksi negara. Sesungguhnya pengertian yurisdiksi itu sendiri jauh lebih luas daripada pengertian kedaulatan negara, karena pengertian yurisdiksi tidak hanya mencakup pengertian yurisdiksi teritorial, tetapi juga dapat mencakup pengertian

2

Prinsip-Prinsip Hukum Internasional

yurisdiksi yang menjangkau seseorang atau beberapa orang, hal-hal atau masaalah-masalah yang berada atau terjadi di luar batas-batas teritorial suatu negara. Apabila yurisdiksi teritorial adalah merupakan konsekuensi logis dari adanya azas kedaulatan teritorial serta hanya dapat menjangkau siapa atau apa saja yang berada atau terjadi dalam batas-batas teritorial negara tersebut (wilayah daratan, perairan pedalaman, laut wilayah dan perairan kepulauan), maka pengertian yurisdiksi dalam arti yang luas keberadaannya bersumber bukan hanya dari azas kedaulatan negara melainkan juga bersumber atau didasarkan atas hak atau kewenangan dalam bidang-bidang tertentu yang diberikan oleh hukum internasional kepada suatu negara, karena pengertian yurisdiksi negara bukan saja meliputi pengertian yurisdiksi teritorial, maka dalam hukum internasional dikenal dan diakui adanya berbagai bentuk atau variasi dari (pengertian) yurisdiksi negara. Ada yang disebut yurisdiksi negara dalam bidang legislatif atau yurisdiksi legislatif, yurisdiksi eksekutif, yurisdiksi administratif dan yurisdiksi yudikatif. Ada juga yang dinamakan yurisdiksi personal, yurisdiksi kebendaan, yurisdiksi kriminal, yurisdiksi sipil atau yurisdiksi dalam perkara perdata dan yurisdiksi ekstra territorial (extra territorial jurisdiction), seperti misalnya yurisdiksi negara di jalur tambahan, di zona ekonomi eksklusif, di landas kontinen, yurisdiksi di laut bebas, yurisdiksi di ruang udara dan ruang angkasa,

Prinsip-Prinsip Hukum Internasional

3

yurisdiksi universal dan pelbagai macam yurisdiksi yang bisa timbul sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan masyarakat internasional di masa mendatang. Namun demikian di antara segala macam bentuk atau variasi pengertian yurisdiksi negara, maka yang paling menonjol dan signifikan adalah pengertian yurisdiksi teritorial. Yurisdiksi teritorial itu paling menonjol dan signifikan karena yurisdiksi semacam inilah sepanjang terpenuhi persyaratannya, maka paling efektif untuk diterapkan atau dilaksanakan oleh Negara setempat. Yurisdiksi teritorial adalah hak, kekuasaan atau kewenangan dari suatu negara untuk membuat peraturan-peraturan hukum nasionalnya (prescripttive

jurisdiction),

memaksakan

menerapkan

berlakunya

atau

melaksanakan

peraturan-peraturan

dan

tersebut

terhadap siapapun yang melanggarnya (enforcement jurisdiction). Yurisdiksi

teritorial

sebagaimana

dikemukakan

pengertiannya oleh J. G. Starke (1984:194) adalah yurisdiksi yang dimiliki oleh suatu negara terhadap orang, benda, peristiwa atau masalah yang terdapat dan atau terjadi di dalam batas-batas teritorialnya. Siapapun orangnya baik warganegara maupun orang asing yang berada di dalam wilayah suatu negara harus tunduk pada yurisdiksi atau kekuasaan hukum dari negara yang bersangkutan. Setiap

benda

apapun

bentuknya

baik

bergerak

maupun tidak bergerak yang terdapat di dalam wilayah suatu

4

Prinsip-Prinsip Hukum Internasional

negara harus tunduk pada kekuasaan hukum negara tersebut. Demikian pula peristiwa atau masalah apapun yang berlangsung atau terjadi di dalam batas-batas teritorial suatu negara

dapat

diselesaikan

menurut

peraturan-peraturan

hukum dari negara yang bersangkutan. Apapun yang terjadi di negara tersebut harus tunduk pada yurisdiksi teritorialnya. Negara tersebut mempunyai hak atau kewenangan untuk menciptakan peraturan-peraturan hukumnya sendiri, menerapkan dan memaksakan berlakunya peraturan-peraturan tersebut dalam kaitan dengan siapapun atau apapun yang berada atau terjadi di dalam batas-batas teritorial dari negara tersebut. Dengan kemajuan ilmu pengetahuan serta teknologi terutama teknologi transportasi dan komunikasi maupun informasi mengakibatkan timbulnya perluasan yurisdiksi teritorial mengingat kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi serta hasil-hasilnya bagaimanapun harus dapat ditampung dan diakomodasi oleh masyarakat dan hukum internasional. Hal ini disebabkan karena kemajuan dan kecanggihan teknologi tersebut tidak jarang dapat dimanfaatkan dan disalahgunakan oleh mereka yang berniat melakukan pelanggaran

atas

peraturan-peraturan

hukum

nasional

suatu

negara dan mereka itu dapat meloloskan diri dari kekuasaan hukum negara tersebut dengan menggunakan fasilitas teknologi yang semakin lama semakin canggih. Dengan latar belakang seperti ini hukum internasional memperkenankan

Prinsip-Prinsip Hukum Internasional

5

suatu negara untuk memperluas yurisdiksi teritorialnya dan perluasan ini dapat dilakukan melalui dua pendekatan. Kedua pendekatan ini adalah pendekatan berdasarkan prinsip Teritorial Subyektif (the Subjective Territorial Principle) dan pendekatan yang didasarkan atas prinsip Territorial Obyektif (the Objective Territorial Principle). Kedua macam

prinsip

tersebut

dengan

demikian

mengandung

semacam muatan yang disebut Persaingan Yurisdiksi (Concurrent Jurisdiction), yakni persaingan yurisdiksi di antara negara tempat terjadinya pelanggaran atau tindak pidana dengan

negara

yurisdiksi

sering

tempat tidak

pelakunya terhindarkan

berada. dalam

Persaingan hubungan

antarnegara, namun tidak perlu selalu dipersoalkan sebab hal ini terkait dengan azas kedaulatan dan yurisdiksi teritorial dari masing-masing negara yang berkepentingan atas suatu kasus. Apabila salah satu negara yang merasa berkepentingan dan mempunyai kemampuan dan kemauan untuk menjalankan yurisdiksinya dan melakukan tindakan hukum terhadap pelaku tindak pidana atau terhadap mereka yang terlibat karena mereka ini berada di wilayah negara tersebut, maka negara lain yang juga memiliki kepentingan sama harus dapat menerima pelaksanaan kekuasaan hukum dari negara yang disebut terlebih dahulu karena negara inilah yang paling efektif untuk melaksanakan yurisdiksi teritorialnya, kendati pelanggaran atau tindak pidana tadi tidak dilakukan di

6

Prinsip-Prinsip Hukum Internasional

negara yang disebut terlebih dahulu, tetapi dilakukan di negara lain. Hal ini menunjukkan bahwa setelah melakukan suatu tindak pidana di suatu negara, dia mungkin melarikan diri ke negara lain dengan memanfaatkan produk teknologi maju, dan apabila negara ini merasa memiliki kepentingan serta memiliki kemauan dan kemampuan, maka sesungguhnya negara ini harus diakui paling efektif untuk melakukan tindakan hukum terhadap pelakunya, karena pelakunya sudah berada di dalam genggaman kekuasaan hukumnya, sehingga negara tempat terjadinya tindak pidana tidak boleh mempermasalahkan pelaksanaan yurisdiksi teritorial oleh negara tempat pelakunya berada. Ada juga kemungkinan sebagian pelakunya dikenai tindakan hukum di negara tempat kejahatan itu terjadi sebab mereka kebetulan berada di sana, tetapi sebagian lainnya harus menjalani proses hukum di negara lain sebab masingmasing negara mempunyai kepentingan yang sama dan secara efektif dapat menjalankan yurisdiksi teritorialnya terhadap mereka yang tersangkut tindak pidana tersebut. Prinsip teritorial subyektif menunjukkan pengertian bahwa suatu negara diperkenankan untuk mengklaim dan menjalankan yurisdiksi teritorialnya atas suatu tindak pidana yang mulai terjadi atau mulai dilakukan di dalam wilayahnya sendiri, tetapi tindak pidana itu berakhir dan diselesaikan di negara lain. Prinsip ini tidak lazim diterapkan oleh negara-

Prinsip-Prinsip Hukum Internasional

7

negara sehingga prinsip ini tidak menjadi kaidah hukum kebiasaan internasional. Namun demikian prinsip teritorial subyektif yang mungkin pada awalnya adalah suatu teori atau doktrin, ternyata diterapkan dalam beberapa perjanjian internasional, seperti misalnya Konvensi Geneva mengenai Pemberantasan Mata Uang Palsu pada tahun 1929 (Convention on the Suppression of Counterfeiting Currency 1929), dan Konvensi mengenai Pemberantasan Obat-Obat Terlarang tahun 1936 (Convention on the Suppression of the Illicit Drug Traffic 1936). Berdasarkan prinsip teritorial subyektif, negara tempat dimulainya kejahatan pemalsuan mata uang, ataupun kejahatan memproduksi obat-obat terlarang, mempunyai kewenangan untuk mengklaim atau menyatakan yurisdiksinya atas kejahatan tersebut, maupun pelakunya, sekalipun kejahatan tersebut berakhir dan mendatangkan bahaya bagi negara lain. Dalam keadaan demikian tentu sering tidak dapat dihindari terjadinya persaingan yurisdiksi antarnegara peserta, ataupun persaingan yurisdiksi dengan negara bukan peserta perjanjian itu sesuai dengan kepentingannya masingmasing. Dalam hal ini persaingan yurisdiksi antara negara tempat mulai dilakukannya kejahatan tersebut (kegiatan produksi obat-obat terlarang ataupun pemalsuan mata uang) di satu pihak, dengan negara tempat kejahatan itu berakhir dan membahayakan negara tersebut (negara tempat pereda-

8

Prinsip-Prinsip Hukum Internasional

ran atau pemasaran obat terlarang ataupun peredaran mata uang palsu) di lain pihak. Dalam praktek perlu dilakukan kerjasama internasional, termasuk pula kerjasama regional dan bilateral guna mengatasi timbulnya persaingan yurisdiksi, sehingga negara manapun yang merasa mempunyai kepentingan, serta kemauan dan kemampuan untuk melaksanakan kekuasaan hukumnya terkait kasus pemalsuan mata uang maupun obatobat terlarang, sehingga diakui paling efektif untuk melakukan tindakan hukum atas pelakunya, atau mereka yang terlibat tidak perlu dipermasalahkan oleh negara lain yang juga mempunyai kepentingan yang sama atas kasus tersebut. Negara lain mempunyai kewajiban untuk menghormati tindakan hukum, dan pelaksanaan yurisdiksi teritorial oleh negara yang secara efektif dapat menjalankannya, sebab hal ini bersangkut paut dengan prinsip kedaulatan negara yang tidak dapat diintervensi oleh negara lain. Berbeda dengan prinsip teritorial subyektif, maka prinsip Teritorial Obyektif (the Objective Territorial Principle) memperkenankan

suatu

negara

untuk

mengklaim

dan

menyatakan yurisdiksinya atas suatu tindak pidana yang terjadi di luar negeri, namun tindak pidana ini diselesaikan serta mendatangkan bahaya terhadap wilayah, masyarakat, bangsa dan negaranya. Prinsip teritorial obyektif sudah lazim digunakan dalam praktik negara-negara, sehingga prinsip ini telah berkembang menjadi kaidah hukum kebiasaan interna-

Prinsip-Prinsip Hukum Internasional

9

sional, malahan prinsip ini juga telah diterima melalui pelbagai instrumen perjanjian internasional. Kedua konvensi yang telah dikemukakan sebelumnya, yaitu the Geneva Convention on the Suppression of Counterfeiting Currency 1929, dan the Geneva Convention on the Suppression of the Illicit Drug Traffic 1936, serta pelbagai perjanjian

internasional

lainnya,

seperti

Konvensi

PBB

mengenai anti korupsi (UN Convention against Corruption), Konvensi

PBB

mengenai

Pemberantasan

Terorisme

(UN

Convention on the Suppression of Terrorism), ternyata sudah menerapkan prinsip tersebut di mana negara-negara pesertanya, diperkenankan untuk mengklaim dan menyatakan yurisdiksinya, terhadap siapapun yang terlibat dalam tindak pidana pemalsuan mata uang dan obat-obat terlarang, maupun peredaran dan pemasarannya, terutama apabila tindak pidana seperti itu yang mulai dilakukan di luar negeri, tetapi berakhir di negaranya serta membahayakan negaranya sendiri. Perjanjian-perjanjian tersebut bertujuan untuk mengatasi kemungkinan timbulnya persaingan yurisdiksi di antara beberapa negara, khususnya di antara negara tempat dimulainya kejahatan, misalnya, pemalsuan mata uang ataupun obat-obat terlarang di satu pihak, dengan negara tempat diselesaikannya kejahatan tersebut dan membahayakan negara tersebut, dan juga negara tempat para pelakunya berada maupun melarikan diri di lain pihak.

10

Prinsip-Prinsip Hukum Internasional

Dalam praktik perlu dijalin kerjasama internasional, regional

ataupun

bilateral

untuk

mengatasi

persaingan

yurisdiksi terkait dengan kasus pemalsuan mata uang ataupun obat-obat terlarang, dan tentu saja pelbagai kejahatan lain yang bersifat transnasional, sehingga negara manapun yang pada akhirnya dapat menjalankan yurisdiksi territorialnya, entah negara tempat mulainya tindak pidana tersebut dilakukan (negara produsen), atau negara korban tempat tindak pidana tersebut berakhir (negara tempat pemasaran hasil-hasil kejahatan itu), ataukah negara tempat para pelakunya berada atau melarikan diri, sesungguhnya tidak perlu dipersoalkan, sebab yang paling utama adalah bahwa kasus kejahatan tadi tidak boleh dibiarkan berlalu tanpa proses hukum dari negara setempat, tetapi negara setempat di mana

para

pelakunya

berada

seharusnya

melakukan

tindakan hukum seperti penangkapan, penahanan, penyidikan, penuntutan, peradilan hingga dilaksanakannya keputusan pengadilan sesuai dengan peraturan perundang-undangan dari negara yang bersangkutan. Bilamana hal ini dapat dijalankan secara efektif oleh negara tempat para pelakunya berada, sesuai dengan kepentingannya,

maka

negara-negara

lain

yang

juga

memiliki

kepentingan yang sama harus menghormati proses hukum, atau pelaksanaan yurisdiksi territorial terkait dengan kasus tersebut, sebab apa yang dilakukan oleh negara yang bersangkutan adalah bagian dari kedaulatannya yang tidak

Prinsip-Prinsip Hukum Internasional

11

dapat dicampuri oleh negara manapun (I Wayan Parthiana, 1990:301). Prinsip teritorial obyektif yang menurut Starke selain telah menjadi kaidah hukum kebiasaan internasional, serta diterima dan diterapkan di dalam pelbagai macam perjanjian internasional, juga penerapannya dapat ditemukan di dalam sebuah putusan yang sangat terkenal dari Mahkamah Internasional Permanen (the Permanent Court of International Justice) dalam hubungan dengan timbulnya kasus Lotus (the Lotus Case) pada tahun 1927 (L.C. Green, 1978:211). Kasus ini melibatkan dua negara, yakni Perancis dan Turki. Perkara ini timbul karena adanya tubrukan kapal yang terjadi di laut bebas di luar perairan teritorial Turki. Peristiwa

ini

mengakibatkan

tenggelamnya

kapal

Turki, sebagian awak dan penumpangnya tewas ataupun hilang. Kapal Perancis yang bernama MV Lotus berhasil menyelamatkan sebagian orang yang berasal dari kapal pengangkut batu bara atau kapal Turki. Kemudian kapal Lotus meneruskan perjalanannya menuju pelabuhan Turki. Setibanya di tempat tujuan, maka mereka yang dianggap bertanggungjawab khususnya

atas

nahkoda

timbulnya

kapal

Perancis

musibah

tersebut,

dikenai

tindakan

penahanan oleh aparat hukum negeri Turki. Dia diseret ke depan pengadilan Turki, dengan tuduhan bahwa dia telah melakukan

12

tindak

pidana

Prinsip-Prinsip Hukum Internasional

pembunuhan

(manslaughter),

disebabkan kelalaiannya sehingga kedua kapal bertubrukan dan menewaskan banyak orang berkewarganegaraan Turki. Hukum pidana Turki menyatakan bahwa barang siapa melakukan tindak pidana di luar negeri dan menimbulkan kerugian terhadap bangsa dan warganegara Turki, diancam dengan sanksi pidana penjara paling lama 5 tahun. Peraturan hukum pidana negeri tersebut memuat semacam azas perlindungan warganegara atas kejahatan di luar wilayah nasionalnya, tetapi menimbulkan kerugian terhadap bangsa dan warganegaranya. Dengan menerapkan ketentuan pasal hukum pidana Turki, pengadilan menjatuhkan putusan yang mempersalahkan dan menghukum kapten kapal Lotus. Pemerintah Perancis mengajukan protes terhadap Pemerintah Turki akibat putusan tersebut. Pemerintah Perancis beranggapan bahwa tindakan Turki yang menjalan-kan kekuasaan hukum atau yurisdiksi teritorialnya atas tindak pidana (criminal jurisdiction) yang terjadi di luar batas-batas teritorialnya

adalah

sesuatu

yang

bertentangan

dengan

hukum internasional umum. Sebaliknya pihak Turki berpendapat bahwa peristiwa tubrukan yang menewaskan banyak warganegaranya itu harus tunduk di bawah yurisdiksi (yurisdiksi teritorial) Turki. Karena kedua negara tidak dapat menyelesaikannya secara bilateral, maka dengan menggunakan dan menerapkan suatu perjanjian yang disebut perjanjian Laussanne yang telah mengikat banyak negara pada waktu itu, termasuk kedua

Prinsip-Prinsip Hukum Internasional

13

negara yang bersangkutan, maka Pemerintah Perancis yang merasa dirugikan kemudian mengajukan gugatan melawan Pemerintah Turki di depan Mahkamah Internasional Permanen. Tuntutan Perancis antara lain adalah agar Mahkamah Internasional menyatakan bahwa yurisdiksi teritorial dalam perkara

kriminal

(criminal

jurisdiction)

yang

dijalankan

pengadilan Turki adalah tidak sah serta bertentangan dengan kaidah hukum kebiasaan internasional. Di samping itu Perancis juga menuntut kompensasi atau sejumlah uang gantirugi atas kerugian yang dideritanya akibat tindakan pengadilan Turki yang menghukum warga Perancis. Masalah yang dipersengketakan di depan Mahkamah Internasional adalah apakah yurisdiksi yang dijalankan pengadilan Turki terhadap kapten kapal Lotus dalam kasus tubrukan kapal di laut bebas adalah bertentangan dengan hukum internasional umum? Pemerintah Perancis berpendapat bahwa hanya Negara Bendera (Flag State) yang dapat menjalankan yurisdiksinya terhadap setiap peristiwa yang terjadi di atas kapal yang sedang berlayar di perairan laut bebas. Pemerintah Perancis berpegang pada apa yang disebut doktrin laut bebas sebagai prinsip yang berlaku umum. Menurut doktrin ini Laut bebas (High Seas) memiliki status sebagai bagian laut yang terlepas dari kedaulatan negara manapun, dan dengan demikian laut lepas tidak tunduk di

14

Prinsip-Prinsip Hukum Internasional

bawah yurisdiksi, atau kekuasaan hukum dari negara manapun, terkecuali kekuasaan hukum dari negara bendera (Flag State), yaitu kekuasaan hukum atau yurisdiksi dari negara yang benderanya dipergunakan dan dikibarkan oleh kapal yang bersangkutan. Karena kapal yang melakukan tubrukan dan menimbulkan korban jiwa di laut bebas adalah kapal yang berbendera Perancis, maka negeri Perancis selaku negara bendera yang mempunyai wewenang untuk menjalankan yurisdiksi, atau kekuasaan hukumnya terhadap peristiwa tubrukan di laut bebas di luar wilayah laut teritorial Turki. Turki mengemukakan pendapat bahwa suatu kapal di manapun berlayar atau berada, baik di laut teritorial maupun di laut bebas adalah merupakan bagian dari wilayah negara bendera. Pandangan Turki ini didasarkan atas doktrin mengenai Pulau Terapung (Floating Island). Dengan pendekatan demikian, kapal Turki yang berada di laut bebas di luar laut teritorialnya, adalah bagian integral dari wilayah teritorial Turki. Peristiwa apapun yang dialami kapal tersebut, khususnya peristiwa tubrukan kapal, harus tunduk pada kekuasaan hukum dan yurisdiksi teritorial Turki, yang berarti peristiwa tersebut harus diselesaikan berdasarkan hukum Turki. Hukum Pidana Turki harus diterapkan dalam kasus tubrukan yang menyebabkan kapal Turki tenggelam, dan sebagian awaknya tewas. Ketentuan hukum pidana negeri itu (Turki) antara lain menyatakan bahwa siapapun yang melaku-

Prinsip-Prinsip Hukum Internasional

15

kan tindak pidana di luar negeri, atau di luar wilayah nasional Turki, dan menyebabkan kerugian terhadap bangsa dan warganegaranya, diancam dengan sanksi pidana paling lama 5 tahun. Ketentuan hukum negeri itu memuat suatu Azas Perlindungan (Protective Principle), atau memuat yurisdiksi negara menurut azas perlindungan (jurisdiction according to the protective principle), yang memperkenankan Turki untuk menangani kasus tubrukan yang membawa korban jiwa terhadap warganegaranya. Mahkamah Internasional Permanen tidak mempermasalahkan sah tidaknya penerapan hukum pidana negeri itu di dalam hukum internasional umum, sebab hukum pidana Turki memang memuat suatu azas hukum internasional yang disebut

yurisdiksi

negara

menurut

azas

perlindungan.

Mahkamah hanya menyatakan bahwa tidak terdapat larangan di dalam hukum kebiasaan internasional bagi suatu negara untuk melaksanakan yurisdiksinya terhadap suatu peristiwa yang terjadi di luar wilayahnya, namun merugikan negara tersebut ataupun warganya. Dengan demikian berdasarkan hukum kebiasaan internasional,

Turki

tidak

dilarang

untuk

menjalankan

yurisdiksi teritorialnya, dan menerapkan ketentuan hukum pidananya, terhadap kasus tubrukan kapal yang terjadi di perairan laut lepas di luar perairan teritorialnya. Hukum

Pidana

Turki

memberikan

kewenangan

kepada aparat hukumnya untuk bertindak dalam kasus terse-

16

Prinsip-Prinsip Hukum Internasional

but guna memberikan perlindungan bagi warganegaranya (jurisdiction according to the protective principle). Di samping azas perlindungan yang melandasi kekuasaan hukum dan yurisdiksi territorial Turki, Mahkamah Internasional juga ternyata menggunakan dan menerapkan prinsip teritorial obyektif (the objective territorial principle), sebagai landasan kekuasaan hukum, dan yurisdiksi teritorialnya dalam menangani kasus tubrukan kapal di laut bebas. Diterapkannya prinsip teritorial obyektif oleh Mahkamah Internasional, karena menurutnya, kapal Turki yang mengalami

musibah

akibat

bertubrukan

dengan

kapal

Perancis, dipersamakan dengan wilayah teritorial atau wilayah nasional Turki. Turki mempunyai kewenangan untuk menjalankan yurisdiksi teritorialnya terhadap peristiwa tubrukan yang membawa korban jiwa, karena peristiwa ini mulai terjadi di atas kapal Perancis di laut bebas, tetapi berakhir di atas kapal Turki, dan menimbulkan kerugian bagi negara tersebut sehingga tindakan aparat hukum Turki adalah sah atau tidak bertentangan dengan hukum internasional umum.

Prinsip-Prinsip Hukum Internasional

17

18

Prinsip-Prinsip Hukum Internasional

BAGIAN II PELBAGAI MACAM YURISDIKSI DAPAT DI KLAIM SELAIN DARIPADA YURISDIKSI TERITORIAL Hukum Internasional mengakomodasi dan mengakui hak suatu negara untuk mengklaim apa yang dinamakan yurisdiksi perseorangan atau Yurisdiksi Personal (Personal Jurisdiction), atau yurisdiksi negara menurut azas personalitas, yaitu yurisdiksi terhadap seseorang, baik dia adalah warganegaranya sendiri ataupun orang asing, yang melakukan kesalahan atau pelanggaran atas peraturan hukum nasionalnya. Hanya saja, orang yang bersangkutan tidak berada di dalam batas-batas teritorial, atau tidak berada di dalam wilayah kedaulatan, ataupun wilayah yurisdiksi dari negara yang bersangkutan, tetapi berada di dalam wilayah dari negara lain (J. G. Starke, 1984:224). Negara tersebut baru dapat menjalankan yurisdiksi atau kekuasaan hukumnya, dan melakukan proses hukum terhadap orang itu, hanya apabila dia sudah berada di dalam wilayah dari negara tersebut (yurisdiksi territorial). Pertanyaannya adalah bagaimana dia bisa berada di dalam wilayah kekuasaan dari negara tersebut? Ada beberapa kemungkinan jawabannya. Kemungkinan pertama dia berada kembali dalam wilayah kekuasaannya, karena orang tersebut datang sendiri secara sukarela, atau tanpa tekanan maupun paksaan. Kemungkinan kedua dia berada kembali dalam wilayah ke-

Prinsip-Prinsip Hukum Internasional

19

daulatannya, karena dia didatangkan dengan cara paksaan, misalnya melalui proses ekstradisi. Proses ekstradisi dapat dilakukan baik berdasarkan perjanjian ekstradisi, ataupun berdasarkan azas saling menghormati dalam hubungan antarnegara, khususnya di antara negara-negara yang berkepentingan atas pelaku pelanggaran atau tindak pidana tersebut. Hukum Internasional memperkenankan suatu negara, untuk mengklaim dan menyatakan yurisdiksi atau kewenangannya, atas suatu kasus tindak pidana yang terjadi di luar negeri, karena pelaku dan atau korbannya adalah warganegara dari negara yang bersangkutan. Negara tersebut berkepentingan untuk menyatakan yurisdiksi atau kekuasaan hukumnya berdasarkan azas personalitas. Penggunaan azas personalitas untuk mengklaim dan menyatakan yurisdiksinya, atas kasus yang terjadi di luar wilayah dari negara yang bersangkutan didasarkan atas dua macam prinsip, yaitu Prinsip Nasionalitas Aktif (Active Nationality Principle) serta Prinsip Nasionalitas Pasif (Passive Nationality Principle). Prinsip nasionalitas aktif memperkenankan suatu negara

untuk

mengklaim,

dan

menyatakan

yurisdiksinya,

terhadap seseorang yang bersalah dalam pengertian melakukan pelanggaran terhadap peraturan hukum nasionalnya. Klaim dan pernyataan yurisdiksi seperti ini, dapat dilakukan oleh negara tersebut apabila pelakunya adalah warganegaranya sendiri. Seorang warganegara di manapun dia berada,

20

Prinsip-Prinsip Hukum Internasional

serta ke manapun dia pergi, akan selalu diikuti dengan hukum nasional dari negerinya sendiri. Dia berada di luar negeri dan melakukan suatu tindak pidana, seperti pembunuhan, penganiayaan atau kejahatankejahatan lain yang semuanya ini diatur dalam hukum nasional dari negara-negara pada umumnya, termasuk pula hukum nasional dari negara asal pelakunya. Apabila Negara asalnya merasa berkepentingan atas kasus yang melibatkan warganya di luar negeri, maka negara itu dapat mengklaim dan menyatakan yurisdiksinya berdasarkan prinsip nasionalitas aktif. Untuk dapat melaksanakan yurisdiksinya dan melakukan tindakan hukum secara nyata dan efektif terhadap warganegaranya yang melakukan tindak pidana di luar negeri, maka tidak ada jalan kecuali orang yang bersangkutan harus kembali atau dikembalikan oleh negara setempat kepada negara asalnya. Sejauh mana negara setempat akan mengembalikan orang tersebut kepada negeri asalnya, sehingga negeri ini benar-benar dapat menjalankan yurisdiksinya secara efektif, hal ini adalah merupakan urusan domestik dari negara setempat. Kalau negara setempat mengembalikan atau menyerahkan si pelaku kepada negara asalnya, maka sudah barang tentu negara asalnya yang mengklaim yurisdiksi berdasarkan prinsip nasionalitas, dapat melakukan tindakan hukum secara efektif terhadap warganya, sesuai dengan

Prinsip-Prinsip Hukum Internasional

21

peraturan hukum nasionalnya, asal saja yang bersangkutan sudah berada di dalam wilayah teritorial negara asalnya. Hal ini berarti negara asalnya telah dapat menjalankan yurisdiksi teritorialnya secara nyata dan efektif, terhadap warganya yang sudah berada di wilayah kekuasaan hukum negara asalnya. Sebaliknya, kalau negara setempat berkepentingan untuk tidak mengembalikan, karena negara tersebut mampu dan mau menjalankan proses hukum, terhadap orang yang bersangkutan sesuai dengan peraturan hukum nasionalnya sendiri, maka dalam hal ini kita melihat timbulnya Persaingan Yurisdiksi (Concurrent Jurisdiction) antara kedua negara,

yaitu

antara

negara

asal

dari

warganya

yang

kebetulan tidak berada di negaranya sendiri, di satu pihak dengan negara tempat kejahatan itu terjadi, dan atau negara tempat pelakunya berada pada lain pihak. Namun demikian, dengan dilaksanakannya yurisdiksi teritorial dan tindakan hukum oleh negara setempat, maka negara asalnya harus menerima dan menghormati yurisdiksi, dan proses hukum yang dijalankan oleh negara setempat, karena apa yang dijalankannya adalah merupakan pelaksanaan dari kedaulatan, dan yurisdiksi teritorialnya yang tidak dapat dicampuri oleh negara manapun, termasuk negara asal dari pelaku kejahatan tersebut. Kasus pembunuhan dua warganegara Indonesia, dan seorang warganegara India, serta pelaku kejahatan ini adalah seorang warganegara Indonesia yang terjadi di Los Angeles

22

Prinsip-Prinsip Hukum Internasional

(Amerika Serikat/AS) belasan tahun lalu, sesungguhnya telah menimbulkan persaingan yurisdiksi antara AS dan Indonesia. AS mengklaim dan menyatakan yurisdiksinya, berdasarkan azas yurisdiksi territorial terkait dengan tempat kejadian, korban kejahatan, alat bukti dan barang bukti semuanya terdapat di dalam wilayah teritorial AS. Sebaliknya, negeri kita (Indonesia) mengklaim dan menyatakan yurisdiksinya juga berdasarkan atas azas yurisdiksi teritorial dan azas yurisdiksi personal. Yurisdiksi atau kewenangan Indonesia, berdasarkan azas yurisdiksi teritorial itu dikaitkan dengan fakta, di mana pelaku kejahatan dengan nama Harmoko Dewantono alias Oki, telah terlanjur masuk ke dalam wilayah Indonesia, kendati yang bersangkutan memakai paspor palsu. Klaim yurisdiksi Indonesia menurut azas yurisdiksi personal, harus dikaitkan dengan kenyataan di mana pelaku peristiwa pembunuhan di AS adalah seorang warganegara Indonesia, demikian pula korban kejahatan yaitu Gina Sutan Aswar, serta adik kandung dari si pelaku sendiri yang bernama Erik, adalah juga warganegara Indonesia, sehingga Indonesia mempunyai kepentingan untuk menangani kasus tersebut. Walaupun aparat hukum AS telah berkali-kali mengajukan permintaan ekstradisi, namun hal ini ditolak oleh Pemerintah Republik Indonesia. Sikap Indonesia ini didasarkan atas alasan tidak ada perjanjian ekstradisi antara kedua negara.

Seandainya

juga

terdapat

perjanjian

ekstradisi,

Prinsip-Prinsip Hukum Internasional

23

pelaksanaan ekstradisi dalam kasus seperti itu mungkin sulit dijalankan, sebab berdasarkan prinsip-prinsip umum yang berlaku dalam pelbagai perjanjian ekstradisi, pada umumnya suatu negara yang dimintai ekstradisi tidak terikat untuk menyerahkan warganegaranya sendiri guna menjalani proses hukum di negara yang meminta ekstradisi. Demikian pula dengan Indonesia, tidak berkewajiban untuk menyerahkan warganegaranya sendiri (Oki) kepada aparat hukum AS, kendati misalnya ada perjanjian ekstradisi yang berlaku di antara kedua negara, apalagi kalau kedua negara tidak memiliki perjanjian ekstradisi. Karena negeri kita (Indonesia), berkepentingan dengan kasus kejahatan yang terjadi di Los Angeles, terkait dengan fakta-fakta tersebut di atas, mempunyai kemauan serta kemampuan untuk melaksanakan tindakan hukum, apalagi pelakunya telah berada di dalam wilayah kedaulatan dan kekuasaan hukum Indonesia, maka negeri kita (Indonesia) harus diakui paling efektif untuk menjalankan yurisdiksi teritorialnya, terhadap pelaku kejahatan yang terjadi di luar negeri. Pihak AS ternyata menghormati tindakan dan proses hukum yang dilakukan oleh aparat hukum Indonesia, serta menyerahkan seluruh alat bukti dan barang bukti kepada aparat hukum kita (Indonesia) dalam usaha menyelesaikan kasus tersebut sesuai dengan hukum Indonesia.

24

Prinsip-Prinsip Hukum Internasional

Di samping prinsip yurisdiksi teritorial dan yurisdiksi personal, menurut azas nasionalitas aktif yang melandasi klaim kewenangan Indonesia, klaim kewenangan ini juga didasarkan atas prinsip nasionalitas pasif, mengingat para korban kejahatan lebih banyak yang berasal dari Indonesia. Para korban, termasuk pihak keluarga korban adalah warganegara Indonesia, yang menuntut perlindungan hukum dan keadilan dari Pemerintah Republik Indonesia. Klaim yurisdiksi personal telah berkembang dan beralih menjadi klaim yurisdiksi territorial, dan yurisdiksi territorial ini ternyata dapat dilaksanakan secara efektif, karena pelaku kejahatan yang terjadi di AS, sudah berada dalam wilayah kedaulatan dan yurisdiksi teritorial Indonesia. Prinsip Nasionalitas Pasif (the Passive Nationality Principle atau the passive Personality principle), memungkinkan dan memperkenankan suatu negara, untuk mengklaim dan menyatakan yurisdiksinya atas suatu tindak pidana yang terjadi di luar negeri, di mana pelakunya adalah orang asing, tetapi korbannya adalah warganegaranya sendiri. Orang asing yang melakukan suatu tindak pidana di luar negeri, serta menimbulkan kerugian terhadap warganegaranya sendiri, maka negara yang warganya menjadi korban dapat mengklaim, dan menyatakan yurisdiksinya guna melakukan proses hukum, baik dari segi pidana maupun perdata. Proses hukum ini dapat dijalankan secara nyata dan efektif, sepanjang pelakunya sudah berada di dalam wilayah

Prinsip-Prinsip Hukum Internasional

25

kedaulatan dan yurisdiksi territorial dari negara korban, yaitu di negara yang warganya dirugikan, misalnya akibat penghinaan atau pencemaran nama baik. Kasus terkenal (the leading case), mengenai azas ini adalah the Cutting Case pada tahun 1886, yang menyangkut sebuah pemberitaan di Texas yang berisi pernyataan fitnah yang dilakukan oleh warga Amerika terhadap seorang warganegara Meksiko (Malcolm N. Shaw, 1986:357). Cutting ditahan sementara di Meksiko, serta dihukum atas kejahatan memfitnah (kejahatan di bawah hukum Meksiko), serta Meksiko mempertahankan hak yurisdiksinya berdasarkan Azas Personalitas Pasif (the Passive Personality Principle). AS mengecam keras tindakan Meksiko, tetapi karena hal ini tidak meyakinkan, maka pihak yang dirugikan terpaksa menanggung akibatnya. Kasus

pencemaran

nama

baik

mantan

Presiden

Republik Indonesia (Soeharto dan keluarganya) pernah terjadi beberapa tahun lalu, ketika Majalah Time yang kantor pusatnya berkedudukan di AS, memberitakan tentang harta kekayaannya dalam jumlah spektakuler, yang berbentuk valuta asing dan tersimpan di perbankan luar negeri. Bagi mantan Presiden RI dan keluarganya, berita majalah mingguan itu adalah sesuatu yang tidak benar sehingga dianggap fitnah dan merupakan pencemaran nama baik. Kuasa hukum mantan Presiden ini melaporkan dan mengadukan masalah tersebut kepada Kepolisian RI agar

26

Prinsip-Prinsip Hukum Internasional

melakukan

proses

hukum

terhadap

Kantor

Perwakilan

Majalah Time yang ada di Jakarta. Pengacaranya juga mengajukan gugatan gantirugi melalui Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Kedua belah pihak sudah sempat melakukan perdebatan, baik di depan aparat penyidik maupun terutama di pengadilan. Bagaimana kelanjutan proses hukumnya dalam sidang perkara pencemaran nama baik mantan Presiden RI tersebut, baik dari aspek pidana maupun perdata, masih belum jelas sampai saat ini. Mungkin kasusnya sudah dihentikan penyidikannya atau di SP3 kan. Mungkin pula telah diselesaikan secara damai antara keluarga Pak Harto dengan pihak majalah Time tanpa suatu publikasi sehingga tidak diketahui masyarakat luas. Terlepas dari hal ini, maka sebenarnya kasus pencemaran nama baik tersebut mengandung unsur persaingan yurisdiksi antara AS

dan Indonesia, yang masing-masing

memiliki kepentingan. AS berkepentingan untuk menyatakan ataupun tidak menyatakan yurisdiksinya berdasarkan azas yurisdiksi

territorial,

mengingat

pelakunya

yaitu

pihak

Majalah Time (pemilik, pengelola dan lain-lainnya termasuk asset-asetnya) berada di dalam wilayah kedaulatan atau wilayah hukum AS. Sedangkan Indonesia berkepentingan untuk mengklaim atau menyatakan yurisdiksinya berdasarkan azas personalitas pasif, mengingat korban pencemaran nama baik adalah warganegara Indonesia.

Prinsip-Prinsip Hukum Internasional

27

Sesuai dengan kepentingannya AS tidak berbuat apaapa, atau tidak menyatakan yurisdiksinya dalam kaitan dengan kasus pencemaran tersebut, tetapi sesuai pula dengan kepentingannya, pihak Indonesia menyatakan yurisdiksinya dan berupaya untuk menjalankan proses hukum kendati upaya ini tidak dapat berjalan secara efektif mengingat pelaku utamanya berada di dalam wilayah hukum AS. Selain azas yurisdiksi teritorial dan yurisdiksi personal, maupun bermacam-macam azas yurisdiksi lainnya yang dapat digunakan oleh suatu negara untuk mengklaim dan menyatakan yurisdiksinya atas suatu kasus, maka di dalam hukum internasional, diakui juga apa yang dinamakan azas yurisdiksi universal, atau yurisdiksi negara menurut azas universal (jurisdiction according to the universal principle atau the principle of universal jurisdiction). Terdapat berbagai macam tindak pidana yang memungkinkan semua negara tanpa terkecuali, untuk mengklaim dan menyatakan yurisdiksinya terhadap beberapa tindak pidana tertentu maupun pelakunya. Karakteristik dari pelbagai tindak pidana seperti pembajakan laut (piracy), pembajakan udara (hijacking), kejahatan perang (war crimes), kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes against humanity), kejahatan

terhadap

perdamaian

dunia

(crimes

against

international peace), kejahatan terorisme (terrorism crimes) dan berbagai kejahatan kemanusiaan lainnya, memungkinkan dan memperkenankan semua negara tanpa terkecuali, untuk

28

Prinsip-Prinsip Hukum Internasional

mengklaim dan menyatakan yurisdiksinya guna melakukan proses

hukum,

mengadili

dan

menghukum

siapapun

pelakunya, tanpa memperhatikan kebangsaan dari pelakunya, atau mereka yang terlibat tindak pidana tersebut, tanpa memperhatikan siapa yang menjadi korban tindak pidana tersebut, apakah korbannya adalah warganegara dari negaranya sendiri, ataukah dari negara lain, juga tanpa memperhatikan kapan terjadinya maupun tempat terjadinya tindak pidana tersebut. Secara

singkat,

dapat

dikatakan

bahwa

hukum

internasional memperkenankan semua negara, untuk mengklaim dan menyatakan kekuasaan hukumnya, dalam hal terjadi kejahatan-kejahatan yang dapat menggerogoti kepentingan semua negara, atau seluruh umat manusia, karena kejahatan-kejahatan seperti itu bertentangan dengan sendisendi

kemanusiaan,

serta

keadilan

bagi

seluruh

umat

manusia, tanpa melihat nasionalitas dari pelaku dan korbannya, maupun tanpa memperhatikan waktu dan tempat terjadinya kejahatan tersebut. Namun

untuk

dapat

menjalankan

yurisdiksinya

secara efektif, maka pertama-tama masing-masing negara yang merasa berkepentingan, seharusnya mengatur melalui hukum nasionalnya sesuai dengan kepentingannya terkait dengan pelbagai jenis kejahatan yang bertentangan dengan perasaan kemanusiaan dan keadilan dalam rangka mengan-

Prinsip-Prinsip Hukum Internasional

29

tisipasi, mencegah serta menanggulangi timbulnya kejahatankejahatan seperti itu. Misalnya saja Indonesia yang telah berhasil mengundangkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2003 mengenai Pemberantasan Terorisme, karena kejahatan terorisme (sebagaimana halnya dengan pelbagai macam

kejahatan

melawan

kemanusiaan),

memberikan

yurisdiksi atau kekuasaan hukum kepada masing-masing negara tanpa terkecuali, untuk melakukan tindakan hukum sesuai dengan peraturan perundang-undangan nasionalnya. Para pelakunya ataupun mereka yang terlibat dalam aksi terorisme, sudah banyak yang dinyatakan terbukti bersalah,

serta

dijatuhi

hukuman

berat

berdasarkan

keputusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap. Sejauh mana suatu negara entah negara tempat terjadinya kejahatan, negara asal dari pelakunya, negara asal dari korban, negara tempat pelaku berada, atau negara tempat pelarian, ataukah negara lain yang juga merasa berkepentingan telah mengimplementasikan yurisdiksi negara menurut azas universal atau azas yurisdiksi universal? maka jawabannya

sangat

bergantung

pada

kepentingan

dan

kemauan politik dari negara yang bersangkutan, sehingga dalam konteks ini, suatu negara dapat memiliki kepentingan, baik untuk menyatakan yurisdiksinya, maupun untuk tidak menyatakannya terkait dengan suatu kasus tindak pidana

30

Prinsip-Prinsip Hukum Internasional

yang sesungguhnya tunduk di bawah azas yurisdiksi universal. Preseden (Precedent) yang menjadi tonggak awal timbulnya pengakuan masyarakat internasional, atas yurisdiksi negara menurut azas universal adalah ketika terbentuk Mahkamah Pengadilan Kriminal Internasional di Nuremberg dan Tokyo berdasarkan perjanjian London (the London Agreement tahun 1942I, yaitu suatu perjanjian internasional yang diadakan oleh negara-negara sekutu yang menjadi pemenang perang dalam Perang Dunia II. Sejak terbentuknya, maka banyak pelaku kejahatan yang berhasil diseret ke depan pengadilan nasional di pelbagai negara, khususnya pengadilan nasional di negara-negara yang menjadi korban dalam Perang Dunia II atau negara-negara yang warganya banyak dibunuh oleh para pejabat Nazi (Hitler). Salah satu negara yang dianggap paling menderita selama Perang Dunia II, akibat kekejaman rezim Nazi terhadap jutaan warganya adalah Negara Yahudi atau Negara Israel yang baru eksis sebagai satu negara merdeka dan berdaulat beberapa tahun usai Perang Dunia II. Ketika bangsa Yahudi yang selama berabad-abad warganya kebanyakan hidup tersebar di benua Eropa (diaspora), katanya mengalami perlakuan yang sangat kejam dari para pejabat Nazi, maka pada waktu itu bangsa Yahudi atau Israel belum eksis sebagai satu negara merdeka dan berdaulat.

Prinsip-Prinsip Hukum Internasional

31

Kasus kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan yang sangat terkenal setelah Perang Dunia II, adalah kasus Rudolph Eichmann (Eichmann Case). Kasus ini diadili dan diputuskan melalui Pengadilan Nasional Israel, dan merupakan kasus kejahatan perang dan kejahatan kemanusiaan yang sangat tersohor, dan sekaligus kontroversial. Hal ini disebabkan karena perbuatan yang dituduhkan atas diri Eichmann, yaitu melakukan kejahatan perang, kejahatan terhadap kemanusiaan khususnya, terhadap bangsa Yahudi yang dituduhkan terhadapnya berlangsung selama Perang Dunia II, yang pada waktu itu bangsa Yahudi belum eksis sebagai negara berdaulat. Dengan demikian belum memiliki sebuah sistem hukum, termasuk dan terutama peraturan hukum pidana, yang dapat digunakan dalam melakukan proses hukum, khususnya yang terkait dengan kasus kejahatan tersebut. Setelah merdeka karena diberi kemerdekaan oleh Inggeris yang merupakan tindak lanjut dari Balfour Declaration (sebuah deklarasi yang dibuat oleh Menteri Luar Negeri Inggeris pada waktu itu), maka Pemerintah Negara Yahudi membuat pelbagai macam peraturan hukum, termasuk peraturan hukum pidana yang dapat menjerat mereka yang dianggap

bertanggungjawab

atas

kejahatan

perang

dan

kejahatan terhadap kemanusiaan, yang katanya menyebabkan jutaan orang Yahudi tewas dan hilang.

32

Prinsip-Prinsip Hukum Internasional

Salah

seorang

penjahat

perang

yang

bernama

Rudolph Eichmann, yang sejak lama menjadi buronan pihak intelijen Israel (mossad), telah berhasil diculik dari Argentina, dan kemudian diterbangkan ke Israel untuk menjalani proses hukum sesuai dengan peraturan hukum yang berlaku di negeri tersebut. Pengadilan Nasional Israel berhasil membuktikan kesalahan terdakwa, yaitu terbukti melakukan kejahatan perang, kejahatan terhadap perdamaian dunia, serta kejahatan terhadap kemanusiaan, khususnya terhadap bangsa Yahudi, sehingga pengadilan menjatuhkan putusan hukuman mati atas diri Eichmann, yang pelaksanaan atau eksekusi ini dijalankan di atas kursi beraliran listrik. Pelbagai kalangan, terutama kalangan ahli hukum melontarkan kecaman atas tindakan pengadilan Israel yang menjatuhkan

putusan

hukuman

mati

atas

terdakwa

Eichmann. Protes yang dilontarkan itu pada prinsipnya didasarkan atas terjadinya penyimpangan dari azas hukum yang pada waktu itu dianggap berlaku secara universal, yaitu azas legalitas atau azas Nullum Delictum. Azas ini menegaskan bahwa tidak ada suatu perbuatan yang dapat dihukum apabila tidak ada peraturan hukum yang telah dibuat sebelum terjadinya perbuatan itu. Berdasarkan azas ini, Negara Israel atau pengadilan distrik

dari

negara

Yahudi,

sesungguhnya

tidak

boleh

menerapkan peraturan hukum pidananya atas perbuatan

Prinsip-Prinsip Hukum Internasional

33

yang dituduhkan telah dilakukan oleh Eichmann, karena perbuatan

yang

dituduhkan

berupa

kejahatan

perang,

kejahatan terhadap perdamaian dunia dan kejahatan melawan kemanusiaan, khususnya kejahatan terhadap bangsa Yahudi itu terjadi sebelum dibuatnya hukum pidana negara itu, bahkan negara itu sendiri belum eksis. Pada waktu itu, Perbuatan yang dituduhkan atas diri Eichmann, dilakukan sebelum bangsa Yahudi mendapat kemerdekaan dari Inggeris, sehingga banyak yang beranggapan bahwa tindakan pengadilan Israel dengan menjatuhkan hukuman mati atas diri Eichmann merupakan suatu penggerogotan, atau penyimpangan terhadap azas legalitas yang ketika itu masih dianut secara universal, yakni azas yang melarang suatu negara untuk menerapkan atau memberlakukan secara retroaktif (surut) peraturan hukum nasionalnya, pada perbuatan yang dilakukan sebelum peraturan hukum itu sendiri dibuat. Kasus kejahatan perang, serta kejahatan terhadap kemanusiaan umumnya diadili melalui Mahkamah Pengadilan Internasional di Nuremberg (The Nuremberg Tribunal atau the Nuremberg Trial) dan di Tokyo (the Tokyo Tribunal atau the Tokyo Trial), yang terbentuk berdasarkan Perjanjian London. Akan tetapi tidak sedikit kasus-kasus kejahatan seperti itu yang diajukan dan diselesaikan melalui pengadilan nasional dari pelbagai negara, terutama negara-negara yang menjadi korban kejahatan tersebut.

34

Prinsip-Prinsip Hukum Internasional

Mereka yang terlibat dalam kejahatan perang dan kejahatan melawan kemanusiaan, baik pejabat tinggi negara atau pejabat pemerintah, pejabat tinggi militer dan lainlainnya, dibebani dengan pertanggungjawaban yang bersifat individual (individual responsibility), sehingga mereka tidak boleh berlindung di belakang kepentingan dan tanggungjawab dari negaranya sendiri (State Responsibility). Para pelakunya, terutama para pejabat dari rezim Hitler dan pejabat negeri Sakura, dan negara-negara lain yang dikategorikan sebagai negara-negara poros yang diadili, baik di

depan

pengadilan

internasional

maupun

pengadilan

nasional dari beberapa negara, sekalipun mereka senantiasa membela diri, dengan menyatakan bahwa tindakan mereka dilakukan atas kebijakan, instruksi maupun perintah dari negara atau pemerintahnya sendiri, namun pihak pengadilan pada umumnya menolak alasan dan dalih seperti itu, karena kejahatan-kejahatan

yang

tunduk

di

bawah

yurisdiksi

universal harus dipertanggungjawabkan secara individual. Pada tahun 1998 Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) melalui Majelis Umum, mensahkan atau mengadopsi sebuah perjanjian internasional yang disepakati di Roma, yaitu perjanjian

mengenai

pembentukan

Mahkamah

Kriminal

Internasional (The International Criminal Court), yang berkedudukan di Den Haag. Perjanjian internasional yang berhasil dirumuskan dan disepakati dalam bentuk Statuta Roma (The Rome

Prinsip-Prinsip Hukum Internasional

35

Statute),

dimaksudkan

untuk

membawa

siapapun

yang

tersangkut atau terbukti terlibat dalam pelbagai kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan, termasuk kejahatan etnis (Genocide), entah mereka itu pejabat tinggi sipil ataupun militer, dapat diajukan ke depan Mahkamah Kriminal Internasional guna mempertanggungjawabkan perbuatannya. Pembentukan Mahkamah ini, dilatarbelakangi dengan pelbagai kejadian yang menimpa rakyat dari berbagai negara, seperti peristiwa pembantaian etnis yang disebut Ethnic Cleansing terhadap rakyat Bosnia, yang mayoritas penduduknya adalah muslim atau beragama Islam, pembantaian etnis Albania di Kosovo. Bosnia dan Kosovo, selain Herzegovina, Kroasia dan Slovenia maupun Serbia adalah merupakan negara-negara bagian yang tergabung di dalam Negara Federal Yugoslavia. Kini negara-negara bagian tersebut, umumnya telah berstatus sebagai negara-negara merdeka dan berdaulat, tetapi ditinjau dari beberapa aspek, negara-negara ini sangat kecil dan lemah ketimbang ketika negara-negara bagian tersebut masih berada di bawah naungan Negara Federal Yugoslavia. Sebagian besar dari negara-negara bagian tersebut telah merdeka, setelah meletusnya perang saudara antara pasukan pemerintah negara federal yang dikuasai oleh etnis Serbia, berhadapan dengan pasukan dari masing-masing

36

Prinsip-Prinsip Hukum Internasional

megara bagiannya, khususnya dari negara bagian Kroatia serta Bosnia. Selama perang saudara yang sebenarnya adalah urusan domestik dari Negara Federal Yugoslavia, dan tidak dapat diintervensi oleh negara manapun, bahklan oleh PBB sekalipun, terkecuali untuk tujuan kemanusian (humanitarian intervention), maka kelompok negara-negara tertentu dengan motif yang sangat primitif dan tidak terkait dengan tujuan kemanusiaan, dan dengan mengatasnamakan masyarakat internasional,

melontarkan

tudingan

bahwa

pemerintah

Yugoslavia yang dikuasai oleh etnis Serbia, melakukan kejahatan perang dan kemanusiaan, serta kejahatan genocide khususnya terhadap komunitas muslim di negara bagian Bosnia, maupun terhadap etnis Albania di negara bagian Kosovo. Seusai Perang saudara yang menelan banyak korban jiwa,

dengan

dukungan

negara-negara

tertentu

yang

mengatasnamakan masyarakat internasional, dan memberikan bantuan kemanusiaan kepada pemerintah negara-negara bagian tersebut, pada akhirnya bermuara pada kemerdekaan negara-negara bagian tersebut. Timbulnya pelbagai kejahatan kemanusiaan dan genosida (genocide) di bekas negara-negara bagian Yugoslavia, berkontribusi bagi terbentuknya Mahkamah Kriminal Internasional yang bersifat ad hoc untuk menangani kasus pembantaian etnis di Yugoslavia, di mana

Prinsip-Prinsip Hukum Internasional

37

pembentukannya didasarkan atas Pasal 24 dan Pasal 25 Piagam PBB. Mereka tersebut,

yang

harus

dianggap

terlibat

dalam

kejahatan

diserahkan kepada pengadilan

kriminal

internasional ad hoc di Den Haag untuk menjalani proses peradilan. Kendati demikian diserahkan tidaknya mereka itu sangat tergantung pada kebijakan negara setempat. Apabila negara atau pemerintah negara setempat tidak berkeinginan menyerahkan pelakunya, hal ini tidak menjadi permasalahan, selama

pemerintah

negara

setempat

masih

mempunyai

komitmen untuk melakukan proses hukum berdasarkan peraturan hukum nasional yang mengacu pada standar internasional. Berdasarkan

standar

internasional,

mereka

yang

tersangkut kejahatan perang dan kejahatan kemanusiaan, tidak boleh dibatasi hanya pada tingkatan tertentu saja, tetapi peradilannya

seharusnya

dapat

menjangkau

siapapun,

termasuk pejabat tinggi bahkan pejabat tertinggi sekalipun, baik dari kalangan sipil maupun militer sehingga mereka yang diadili bukan hanya terdiri dari para pelaku operasional, melainkan juga dan terutama mereka yang mempunyai kebijakan dan memberikan perintah ataupun membiarkan terjadinya tindak kejahatan tersebut. Melalui Resolusi Dewan Keamanan PBB tahun 1993 yang sesungguhnya bersumber dari ketentuan Pasal 24 dan Pasal 25 Piagam PBB, disepakati pembentukan Mahkamah

38

Prinsip-Prinsip Hukum Internasional

Kriminal Internasional yang bersifat ad hoc, yang secara khusus bertugas untuk mengusut kasus pembantaian etnis yang terjadi di daerah Balkan atau di bekas negara bagian Yugoslavia, atau yang dikenal dengan The International Criminal Tribunal for Yugoslav Case tahun 1993. Demikian pula dengan kejadian di salah satu Negara Afrika yang dilanda perang saudara, sehingga menimbulkan pembantaian etnis atas salah satu suku di Negara Rwanda, Dewan Keamanan PBB juga berhasil menyepakati pembentukan peradilan internasional, guna melakukan pengusutan atas kejahatan kemanusiaan, berupa pembantaian etnis Tutsi yang merupakan etnis minoritas di negeri tersebut. Peradilan internasional yang juga sifatnya ad hoc dikenal dengan The International Criminal Tribunal for Rwanda Case yang dibentuk berdasarkan Resolusi Dewan Keamanan PBB tahun 1994 yang berlandaskan Pasal 24 dan Pasal 25 Piagam PBB. Pemerintah Yugoslavia, yang sebelum dan selama berkecamuknya perang saudara di wilayah Balkan, dianggap bertanggungjawab atas apa yang dinamakan kejahatan pembersihan etnis atas penduduk Bosnia yang sebagian besar beragama

Islam,

juga

dianggap

bertanggungjawab

atas

kejahatan perang dan kemanusiaan atas penduduk Kroatia, yang mayoritasnya beragama Katolik maupun bertanggungjawab atas kejahatan perang dan kemanusiaan atas penduduk Kosovo yang kebanyakan berasal dari etnis Albania.

Prinsip-Prinsip Hukum Internasional

39

Para pejabat Serbia yang pada waktu itu menguasai dan mengendalikan pemerintahan Yugoslavia, baik sipil maupun militer yang menjadi sasaran untuk diserahkan dan diajukan di depan The International Criminal Tribunal for the former Yugoslavia (ICTY), antara lain adalah mantan Presiden Yugoslavia, Slobodan Milosevic, pemimpin Serbia di negara bagian Bosnia, Radovan Karadzik dan lain-lainnya, yang semuanya harus mempertanggungjawabkan tindakan-tindakan yang telah dilakukannya. Mantan Presiden Yugoslavia telah berhasil diekstradisi kepada ICTY di Den Haag, atas kerjasama antara PBB dengan pemerintah baru Yugoslavia, yang menggantikan Slobodan Milosevic. Kejahatan kemanusiaan yang dilakukan mantan Presiden

itu

sebenarnya

dapat

saja

diadili

di

negeri

Yugoslavia, tetapi karena pemerintah baru negeri itu dianggap tidak mampu untuk membentuk pengadilan nasional yang khusus menangani kasus kejahatan itu, maka atas Resolusi Dewan Keamanan PBB tahun 1993 dibentuk peradilan khusus yang disebut The International Criminal Tribunal for the former Yugoslavia (ICTY). Demikian pula mereka yang terlibat kasus kejahatan kemanusiaan di negeri Rwanda, tempat terjadinya pembantaian etnis Tutsi yang dilakukan orang-orang dari suku Hutu, dapat saja ditangani melalui pengadilan nasionalnya. Namun Pemerintah Rwanda yang diduga tersangkut dalam kejahatan tersebut, atau paling tidak pemerintahnya sendiri membiar-

40

Prinsip-Prinsip Hukum Internasional

kan terjadinya tindak kekejaman itu, dianggap tidak memiliki kemampuan dan kemauan untuk membentuk pengadilan di tingkat nasionalnya, sehingga PBB dalam rangka memulihkan situasi yang terjadi di negeri Rwanda, dan membahayakan perdamaian dan keamanan internasional, terpaksa membentuk peradilan internasional yang bersifat ad hoc pada tahun 1994 yang dinamakan The International Criminal Tribunal for Rwanda (ICTR). Apakah mereka yang dianggap bertanggungjawab atas kejahatan kemanusiaan selama Perang Saudara di negeri Rwanda telah diserahkan kepada pengadilan internasional di Den Haag? Jawabannya tergantung pada siapa yang memegang kekuasaan pemerintahan di negeri tersebut. Sampai saat ini belum ada orang dari kalangan pemerintah dan militer Rwanda yang diduga tersangkut dalam kejahatan etnis yang berhasil diserahkan kepada ICTR yang dibentuk berdasarkan Resolusi Dewan Keamanan PBB tahun 1994. Hal ini menunjukkan bahwa negeri Afrika tersebut, tidak mempunyai kemampuan dan kemauan untuk melakukan proses hukum terhadap mereka yang terlibat, padahal para pelakunya sebenarnya berada di negeri tersebut. Pemerintah Rwanda mungkin sekali tidak berkepentingan dengan kasus kejahatan etnis, sebab ada kemungkinan mereka sendiri secara langsung atau tidak langsung adalah bagian dari kasus kejahatan itu sendiri, sehingga hal ini membuka peluang bagi masyarakat internasional guna

Prinsip-Prinsip Hukum Internasional

41

melakukan tekanan terhadap Pemerintah Rwanda, guna membentuk pengadilan nasional ataupun menyerahkan para pelakunya kepada ICTR di Den Haag. Kasus kejahatan kemanusiaan atas jutaan orang di Kamboja yang terkenal dengan istilah The Killing Fields, yang terjadi selama masa pemerintahan Khmer Merah, telah mendesak

masyarakat

internasional

untuk

membentuk

pengadilan internasional yang khusus menangani musibah kemanusiaan di negeri itu. Masyarakat internasional melalui PBB bersuara agar dibentuk Mahkamah Internasional bagi kasus kejahatan kemanusiaan di Kamboja (The International Criminal Tribunal for Campuchea), dalam usaha mengadili para mantan petinggi Khmer Merah, baik sipil maupun militer yang diduga bertanggungjawab atas tewas dan hilangnya kurang

lebih

dua

juta

warga

Kamboja

selama

masa

pemerintahan Khmer Merah, pimpinan Perdana Menteri Pol Pot yang terkenal sangat kejam terhadap rakyat tidak berdosa. Hingga kini, desakan dan wacana pembentukan peradilan internasional untuk mengusut kasus kejahatan kemanusiaan di negeri itu belum dapat diwujudkan, karena Perdana Menteri Hun Sen selaku kepala pemerintahan Kamboja,

menolak

dibentuknya

peradilan

internasional

seperti itu, karena pemerintahnya masih memiliki kemampuan untuk menyelesaikan sendiri masalah tersebut, dan

42

Prinsip-Prinsip Hukum Internasional

mengadili para mantan pejabat Khmer Merah di depan pengadilan nasionalnya. Rencana

pembentukan

Mahkamah

Kriminal

Internasional untuk kasus the Killing Fields (1975 – 1979) mengalami penangguhan untuk sementara, hal ini dimaksudkan untuk memberikan kesempatan bagi aparat hukum negeri tersebut, untuk mengadili mantan pejabat Khmer Merah yang dianggap bertanggungjawab atas tragedi kemanusiaan. Pengadilan Kamboja sudah menggelar peradilan atas beberapa orang mantan pejabat tinggi Khmer Merah, seperti Noan Chea, Khieu Samphan, Dukh yang masing-masing didakwa telah melakukan kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan, terutama dituduh beranggungjawab atas tewas dan atau hilangnya 1,7 (satu koma tujuh) juta rakyat Kamboja pada masa pemerintahan Khmer Merah di bawah pimpinan bekas PM Pol Pot yang terkenal sangat kejam, suatu pertanda bahwa Pemerintahan Kamboja yang dipimpin

Perdana

Menteri

Hun

Sen

tidak

menyia-nyia

kesempatan dan kepercayaan yang diberikan kepadanya oleh masyarakat initernasional, sekaligus membuktikan martabat, harga diri dan kedaulatannya yang tidak perlu diintervensi oleh siapapun, termasuk PBB sekalipun. Dugaan masyarakat internasional atas kemungkinan terjadinya kejahatan kemanusiaan di bekas Propinsi Republik Indonesia ke-27, Timor Timur (East Timor), sebelum dan

Prinsip-Prinsip Hukum Internasional

43

terutama

setelah

pelaksanaan

referendum

atau

jajak

pendapat juga turut menggugah sebagian masyarakat internasional untuk memikirkan dan merencanakan kemungkinan pembentukan Mahkamah Kriminal Internasional untuk kasus kejahatan internasional yang terjadi di wilayah itu (The International Criminal Tribunal for East Timor). PBB telah membentuk apa yang dinamakan Komisi Penyelidik Internasional (The International Inquiry Commission), guna menyelidiki pelbagai bentuk kejahatan yang terjadi di Timor Timur, dan terutama menyelidiki orang-orang, baik dari kalangan Pemerintah Pusat dan daerah, kalangan militer, kalangan milisi pro integrasi maupun dari kalangan masyarakat luas yang terlibat dalam kejahatan kemanusiaan, seperti pembunuhan, penganiayaan dan perlakuan tidak manusiawi atas warga sipil yang tidak bersenjata ataupun atas warga sipil yang terlibat secara aktif dalam konflik bersenjata di wilayah itu. Aksi pembantaian terhadap warga Timor Timur yang tidak bersenjata, terutama dari kelompok pro kemerdekaan, aksi perkosaan, pembumihangusan infrastruktur di Timor Timur serta pelbagai tindak kekejaman, khususnya setelah jajak pendapat yang menghasilkan opsi kemerdekaan dan menolak integrasi, serta mereka yang diduga terlibat dalam pelbagai bentuk kejahatan kemanusiaan itu, menjadi obyek penyelidikan komisi tersebut, yang hasilnya akan digunakan

44

Prinsip-Prinsip Hukum Internasional

sebagai masukan bagi kemungkinan pembentukan Mahkamah Kriminal Internasional untuk kasus Timor Timur. Namun demikian Pemerintah Republik Indonesia yang ketika itu di bawah pimpinan Presiden Gus Dur (Kiai Haji Abdurrachman Wahid), secara tegas menyatakan penolakannya terhadap rencana dan pemikiran bagi kemungkinan pembentukan pengadilan internasional yang bersifat ad hoc. Hal ini disebabkan karena kita sendiri sebagai negara berdaulat, masih mampu untuk melakukan proses hukum terhadap mereka yang diduga tersangkut dalam kejahatan perang dan kemanusiaan, yang di negeri ini (Indonesia) dinamakan pelanggaran HAM berat. Kita tidak menghendaki adanya intervensi dari mereka yang menamakan diri sebagai masyarakat internasional, termasuk intervensi dari PBB yang berupaya mendesak segera dibentuknya Mahkamah Kriminal Internasional untuk kasus Timor Timur, sebab kita sendiri masih mempunyai kehendak dan kemampuan untuk membentuk peradilan khusus, guna mengadili mereka yang terlibat. Peradilan HAM ad hoc yang terbentuk beberapa tahun lalu adalah bukti bahwa Pemerintah Republik Indonesia benar-benar mempunyai kemauan dan kemampuan untuk menjalankan proses hukum atas kasus pelanggaran HAM berat yang terjadi di bekas propinsi Republik Indonesia yang ke-27 tersebut. Proses peradilan melalui pengadilan HAM ad hoc terhadap mereka yang diduga terlibat sudah

berjalan,

Prinsip-Prinsip Hukum Internasional

45

dan beberapa di antaranya telah dijatuhi hukuman karena terbukti bersalah. Namun mereka yang terbukti tidak bersalah, dibebaskan dari segala tuduhan dan dakwaan. Para terpidana dipersilahkan menempuh upaya-upaya hukum, seperti upaya hukum banding dan kasasi maupun upaya-upaya hukum lain berdasarkan peraturan hukum yang berlaku di Indonesia. Pembentukan pengadilan internasional ad hoc seperti ICTY tahun 1993 dan ICTR tahun 1994, didasarkan atas Resolusi Dewan Keamanan PBB No.808 dan 827 pada tahun 1993 (ICTY), serta Resolusi Dewan Keamanan PBB No. 935 dan 955 pada tahun 1994 (ICTR), di mana kedua resolusi tersebut

dihasilkan

sesuai

dengan

kewenangan

Dewan

Keamanan sebagaimana diatur dalam Pasal 24 dan Pasal 25 Piagam PBB. Dengan demikian, yurisdiksi atau kewenangan dari kedua pengadilan internasional yang sifatnya ad hoc (ICTY dan ICTR), berlandaskan pada masing-masing resolusi tersebut, di mana Dewan Keamanan PBB membuat kedua resolusi terkait pembentukan ICTY dan ICTR (dan tidak tertutup kemungkinan pembentukan tribunal-tribunal lainnya), wewenangnya bersumber dari Pasal 24 dan Pasal 25 dari United Nations Charter. Sedangkan apa yang dinamakan International Criminal Court (ICC) yang juga berkedudukan di Den Haag dibentuk berdasarkan Statuta Roma tahun 1998, yang telah berlaku

46

Prinsip-Prinsip Hukum Internasional

secara efektif sejak 1 Juli 2002. Yurisdiksi Mahkamah ICC didasarkan atas Statuta Roma dan bukan atas Resolusi Dewan Keamanan PBB. Yurisdiksi ICC menjangkau pelanggaran HAM berat (gross violation of human rights) seperti kejahatan genosida (crimes of genocide), kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes against

humanity),

kejahatan

perang

(war

crimes)

dan

kejahatan agresi (crimes of aggression), dan pelbagai bentuk kejahatan kemanusiaan lainnya. ICC berwenang untuk menangani dan menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat yang dilakukan oleh siapapun, entah mereka itu pejabat tinggi negara atau bahkan pejabat tertinggi

negara

sekalipun,

pejabat

pemerintah,

pejabat

militer, namun mereka berkewajiban untuk bertanggungjawab secara individual, sehingga mereka tidak dapat lagi berlindung di belakang tanggungjawab negara (State Responsibility). ICC bukanlah pengadilan pada Instansi Pertama (the First Resort), melainkan pengadilan terakhir dari Instansi Terakhir (the Last of the Last Resort), sehingga dengan demikian, sistem peradilannya tidak akan menggerogoti kedaulatan negara peserta ICC atau negara peserta Statuta Roma. ICC hanya berfungsi sebagai pengadilan pelengkap terhadap pengadilan domestik. Sebab ICC, mengutamakan penerapan Upaya-Upaya Hukum Setempat (Exhaustion of Local Remedies).

Prinsip-Prinsip Hukum Internasional

47

Selama negara peserta ICC masih mau dan mampu menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat, maka ICC tidak memiliki yurisdiksi untuk menangani dan mengadili kasus pelanggaran HAM berat yang terjadi di negara peserta tersebut. Selain daripada itu, ICC juga hanya memiliki yurisdiksi untuk mengadili kasus pelanggaran HAM berat yang terjadi setelah tanggal 1 Juli tahun 2002 dan bukan sebelumnya.

48

Prinsip-Prinsip Hukum Internasional

BAGIAN III PENGECUALIAN DARI AZAS YURISDIKSI TERITORIAL Hukum Internasional dan hukum nasional, mengenal apa yang disebut dengan pengecualian dan pembebasan dari yurisdiksi territorial yang dinamakan dengan Azas Kekebalan (Immunity), yaitu suatu azas yang dapat mengecualikan dan membebaskan mereka yang tersangkut dalam suatu pelanggaran hukum di suatu negara, dari pelaksanaan kekuasaan hukum negara setempat. Dalam hukum internasional diakui adanya lembagalembaga, jabatan-jabatan, orang-orang, benda-benda, baik bergerak maupun tidak bergerak yang memiliki kekebalan dari penerapan peraturan-peraturan hukum nasional yang berlaku di negara setempat. Mereka dikecualikan dan dibebaskan dari penerapan atau pelaksanaan yurisdiksi teritorial, dan negara setempat berkewajiban untuk menghormati kekebalan yang melekat pada mereka. Pertanyaan yang dapat diajukan antara lain adalah, siapa-siapa serta apa saja yang berdasarkan hukum internasional umum dapat menikmati kekebalan (immunity)? Hukum Internasional mengakui adanya kekebalan yang melekat pada negara, Kepala Negara (Head of State), Kepala Pemerintahan (Head of Government), para pembantu dan para pejabatnya yang kebetulan berada di suatu negara, dibebaskan dan

Prinsip-Prinsip Hukum Internasional

49

dikecualikan dari pelaksanaan kekuasaan hukum di negara itu. Mereka senantiasa menikmati kekebalan dari penerapan yurisdiksi territorial negara setempat. Meskipun mereka tersangkut dalam suatu pelanggaran hukum di negara lain, mereka tidak dapat dikenai proses hukum di negara tersebut, karena mereka menikmati dan memiliki kekebalan, baik berdasarkan hukum internasional maupun hukum nasional. Kekebalan negara dan Kepala Negara atau Kepala Pemerintahan didasarkan pada azas yang dinamakan Par In Parem Non Habet Imperium yang menyatakan bahwa, suatu negara berdaulat tidak dapat menjalankan yurisdiksi teritorialnya terhadap negara berdaulat lainnya, termasuk terhadap Kepala

Negaranya

ataupun

para

pejabatnya,

terkecuali

terhadap warganegara asing yang berada di wilayah negara setempat. Warganegara asing, yang tersangkut pelanggaran hukum di negara setempat, tidak dibebaskan dari penerapan yurisdiksi territorial negara setempat, sehingga ketika tersangkut dalam suatu pelanggaran hukum, dia dapat menjalani proses hukum di negara setempat karena kekebalan hanya diberikan kepada negaranya, terutama kepala negara serta para pejabatnya dan bukan kepada orang yang bersangkutan. Ada juga prinsip yang dinamakan Azas Resiprositas atau Azas Komitas (Reciprocity or Comity Principle), yang

50

Prinsip-Prinsip Hukum Internasional

menyatakan bahwa kekebalan dari suatu negara berdaulat ataupun Kepala Negaranya di negara lain, hanya dapat diakui apabila hal ini dilakukan secara timbal balik, atau dengan kata lain kedua negara yang bersangkutan harus saling mengakui dan menerima adanya kekebalan seperti itu secara timbal balik. Kepala Negara dari Negara A dapat menikmati kekebalan ketika berada di Negara B, sebagaimana Negara B atau Kepala Negaranya juga menikmati kekebalan yang sama ketika berada di Negara A, demikian pula sebaliknya. Ada juga azas hukum internasional yang menyatakan bahwa keputusan pengadilan dari suatu negara tidak mungkin dapat dilaksanakan terhadap negara lain. Bilamana keputusan tadi dijalankan, maka hal ini akan dianggap sebagai pelanggaran internasional yang dapat menimbulkan masalah tanggungjawab negara. Masih terdapat beberapa prinsip lain yang melandasi pemberian kekebalan kepada negara atau kepala negara, maupun para pejabatnya ketika mereka tersangkut dalam pelanggaran hukum di negara setempat, sehingga aparat hukumnya tidak boleh melakukan tindakan hukum terhadap mereka berdasarkan kekebalan (immunity) yang melekat pada mereka. Inilah yang di dalam referensi internasional dinamakan Kekebalan Kedaulatan (Souvereign Immunity). Dalam suatu kasus klasik yang pernah terjadi pada Abad Ke-19, yang melibatkan seorang perempuan Inggeris

Prinsip-Prinsip Hukum Internasional

51

bernama Mighel dengan Sultan Johor. Wanita bernama Mighel menggugat Alberth Baker, yakni nama samaran Sultan Johor selama berada di Inggeris. Gugatan diajukan karena tergugat dianggap

melakukan

perbuatan

melawan

hukum,

yaitu

tergugat telah melakukan perbuatan ingkar janji. Tergugat mengingkari janjinya untuk mengawini penggugat, sehingga penggugat menuntut tanggungjawab dari pihak tergugat, sebab di Inggeris perbuatan ingkar janji dapat dikualifikasi sebagai perbuatan melawan hukum atau perbuatan yang dapat dihukum. Pihak Penggugat meminta kepada pengadilan, agar menyatakan bahwa perbuatan tergugat yang tidak mau mengawini penggugat, adalah merupakan perbuatan ingkar janji dan perbuatan melawan hukum, dan agar pihak tergugat membayar gantirugi atas kerugian yang diderita penggugat. Pengadilan Inggeris ternyata mengesampingkan perkara gugatan tersebut, dengan alasan pengadilan merasa tidak berkompeten, atau tidak berwenang untuk mengadili kasus gugatan tersebut, mengingat tergugatnya adalah seorang Sultan, seorang Raja atau Kepala Negara, yang padanya melekat kekebalan yang mengecualikan, serta membebaskan pihak tergugat dari pelaksanaan kekuasaan hukum atau yurisdiksi territorial Inggeris. Kekebalan Sultan Johor sebagai kepala negara, didasarkan atas pengakuan dan penghormatan Kerajaan Inggeris terhadap Kerajaan Malaka (kini disebut Malaysia) sebagai

52

Prinsip-Prinsip Hukum Internasional

Negara merdeka dan berdaulat, dan dengan demikian memiliki martabat negara yang sama seperti Kerajaan Inggeris. Selain daripada itu, kekebalan Sultan Johor selaku Kepala Negara juga didasarkan atas prinsip resiprositas atau prinsip saling menghormati, kekebalan kedaulatan dalam hubungan antara kedua kerajaan (Kerajaan Inggeris dan Kerajaan Johor di negeri Malaka) secara timbal balik. Raja Malaka, termasuk Sultan Johor menikmati kekebalan ketika berada di negeri Inggeris, sebagaimana halnya Raja Inggeris atau Keluarga Kerajaan Inggeris juga menikmati kekebalan yang sama selaku Kepala Negara ketika berada di negeri Johor (Malaka). Menurut Starke, Kekebalan dari yurisdiksi teritorial tidak hanya meliputi kekebalan dari proses hukum di negara setempat, tetapi juga kekebalan dari eksekusi keputusan pengadilan, sehingga dengan demikian, harta kekayaan yang dimiliki oleh suatu negara asing yang berada atau berlokasi di dalam wilayah suatu negara, tidak bisa dieksekusi dan disita oleh aparat hukum negara setempat. Sejalan dengan hal ini, Malcolm N. Shaw (1986:373) menyatakan, kasus klasik yang dapat menjelaskan adanya hubungan

antara

Yurisdiksi Territorial

(Territorial Juris-

diction), serta Kekebalan Kedaulatan (Souvereign Immunity), adalah kasus “the Schooner Exchange Vs. McFaddon” yang pada awalnya diadili dan diputuskan melalui Pengadilan Distrik Philadelphia, tetapi pada akhirnya kasus ini tiba di tangan Mahkamah Agung AS (the US Supreme Court).

Prinsip-Prinsip Hukum Internasional

53

Sebuah kapal milik orang Amerika yang semula bernama MV. The Schooner Exchange, disita oleh Pemerintah Perancis

atas dekrit

dan perintah

dari

Raja Napoleon

Bonaparte ketika kapal itu sedang berada di perairan laut bebas. Setelah dilakukan penyitaan, kapal tersebut digunakan sebagai kapal Angkatan Laut Perancis, dan dengan begitu menjadi kapal perang milik Pemerintah Perancis. Suatu saat, kapal tersebut mengalami kerusakan hebat akibat badai di tengah laut, sehingga terpaksa harus diseret masuk ke pelabuhan terdekat, yaitu pelabuhan Philadelphia (AS). Bekas pemilik kapal yang mengetahui hal ini lalu mencoba mengajukan gugatan melalui pengadilan di AS, dengan menuntut dikembalikannya kapal tersebut kepada penggugat. Sesuai dengan hukum acara yang berlaku di AS, maka Pemerintah Perancis sebagai tergugat dapat diwakili oleh Jaksa Agung AS dalam hal timbul kasus gugatan perdata. Jaksa Agung menyatakan di depan pengadilan, bahwa pihak yang menjadi tergugat adalah Pemerintah Perancis, demikian pula dengan kapal yang dituntut oleh Penggugat, agar pengadilan melakukan tindakan penyitaan, serta menyerahkannya kepada pihak penggugat, kapal Angkatan Laut atau kapal Pemerintah Perancis. Oleh karena itu kuasa hukum

tergugat

meminta

kepada

pengadilan

distrik

Philadelphia, agar mengesampingkan gugatan tersebut karena tergugatnya memiliki kekebalan (souvereign immunity), yang

54

Prinsip-Prinsip Hukum Internasional

mengecualikan tergugat dari proses hukum di AS, demikian pula barang yang diminta, agar disita dengan sendirinya, juga memiliki kekebalan (kekebalan kapal perang ataupun kekebalan kapal pemerintah). Akhirnya pengadilan distrik Philadelphia menolak gugatan penggugat, sebab pihak pengadilan merasa tidak berwenang untuk mengadili negara lain. Dengan demikian pengadilan tidak berwenang untuk melakukan tindakan penyitaan atas kapal milik Pemerintah asing. Karena Pihak Penggugat merasa tidak puas dengan keputusan pengadilan distrik Philadelphia, maka pihak penggugat Naik Banding (The Court of Appeal) ke US Supreme Court. Ketua Majelis dari Mahkamah Agung AS (Chief Justice Marshall) menyatakan bahwa yurisdiksi suatu negara, di dalam wilayahnya sendiri bersifat eksklusif

dan absolute,

tetapi yurisdiksi itu tidak mencakup negara asing (foreign souvereigns). Chief Justice Marshall menyatakan bahwa, persamaan atau kesamaan yang sempurna dan kemerdekaan yang absolute, yang dimiliki negara telah memberi pelajaran mengenai kasus, di mana setiap negara dianggap melepaskan pelaksanaan

sebagian

dari

yurisdiksi

teritorialnya

yang

bersifat eksklusif dan penuh, yang dinyatakan sebagai hakikat dari setiap negara. Hal ini berarti bahwa menyangkut kasus perkara yang bersangkutan,

kapal

perang

dari

suatu

negara

yang

memasuki pelabuhan dari suatu negara sahabat, yang

Prinsip-Prinsip Hukum Internasional

55

terbuka untuk menerima kapal tersebut, harus dianggap dikecualikan atau dibebaskan dari yurisdiksi negara pelabuhan dengan persetujuan dari negara ini. Aturan-aturan seperti ini tidak akan berlaku pada Kapal-Kapal Swasta (the Private Ships) yang rentan dikenai Yurisdiksi Asing di Luar Negeri (Foreign Jurisdiction Abroad). Kekebalan kedaulatan (souvereign immunity) melekat, baik pada Kepala Negara (Head of State), Kepala Pemerintahan (Head of Government) maupun melekat pada para pembantunya. Pembantu Kepala Negara ataupun Kepala Pemerintahan seperti Menteri serta para pejabatnya, dikecualikan dan dibebaskan dari yurisdiksi territorial ketika berada di negara lain, dalam hal tersangkut dalam suatu pelanggaran hukum di negara setempat, karena mereka juga diakui kekebalannya selama menjalakan tugasnya di negara tersebut. Kasus pelecehan seksual yang pernah menimpa Menteri Pariwisata Republik Indonesia (Joop Ave) ketika berada di negeri, tepatnya di Selandia Baru (New Zealand) belasan tahun lalu, dapat diajukan sebagai salah satu contoh kasus yang menunjukkan bahwa, selaku pembantu Presiden Soeharto dia dibebaskan dari pelaksanaan yurisdiksi teritorial negeri Selandia Baru. Aparat hukum negara itu tidak boleh melakukan tindakan hukum apapun, seperti penahanan, penuntutan serta peradilan terhadapnya, kendati yang bersangkutan tersangkut pelanggaran hukum, akibat melakukan pelecehan

56

Prinsip-Prinsip Hukum Internasional

seksual atas seorang pramusaji di negeri tersebut. Hal ini terjadi karena aparat hukumnya memahami dan menghormati azas kekebalan kedaulatan yang melekat pada diri Joop Ave, dalam

kedudukannya

sebagai

Menteri

atau

Pembantu

Presiden. Namun demikian Pemerintah RI meminta maaf kepada pemerintah negara tersebut (Selandia Baru), sebagai bentuk dan bukti pertanggungjawaban negara dan Pemerintah RI atas pelanggaran hukum yang terjadi di negeri Selandia Baru. Permintaan maaf ini perlu dilakukan untuk memelihara hubungan baik di antara kedua negara, sehingga pada masamasa mendatang diharapkan tidak terjadi lagi penyalahgunaan atas prinsip kekebalan kedaulatan, yang merupakan prinsip hukum internasional yang membebaskan dan mengecualikan suatu negara asing atau kepala negaranya, kepala pemerintahannya termasuk para pejabatnya dari pelaksanaan yurisdiksi territorial negara setempat. Di samping kasus kekebalan kedaulatan yang melibatkan Menteri Pariwisata RI. Pada tahun 2007 lalu, telah terjadi pula kasus kekebalan kedaulatan yang menyangkut Gubernur DKI Jakarta (Sutiyoso), ketika berada di Sydney (New South Wales) yang merupakan salah satu negara bagian dari Australia. Insiden terjadi ketika dua Polisi Federal Australia, Sersan Steve Thomas dan detektif senior Constable Scrzvens, menerobos masuk kamar hotel tempat Sutiyoso menginap,

Prinsip-Prinsip Hukum Internasional

57

pada tanggal 29 Mei 2007 di Hotel Shangri-La, Sydney (lihat Harian Kompas, 2 Juni 2007, Hlm.10). Kedua

polisi

federal

tersebut,

meminta

Sutiyoso

menandatangani surat undangan untuk datang ke Pengadilan Sydney, guna memberi keterangan mengenai kasus Balibo yang terjadi di masa lalu. Hal ini jelas merupakan pelanggaran terhadap azas kekebalan kedaulatan, sebab bagaimanapun sebagai pejabat negara, yaitu sebagai seseorang yang masih menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta pada waktu itu, beliau masih memiliki kekebalan kedaulatan yang tidak memperkenankan aparat hukum negara setempat, dalam hal ini Polisi Federal Australia untuk melakukan tindakan menerobos masuk ke dalam kamar hotel tempat Sutiyoso menginap, serta memaksanya untuk menandatangani surat panggilan Pengadilan Sydney, guna menghadiri dan memberi keterangan mengenai kasus terbunuhnya lima wartawan Australia di Timor Timur pada tahun 1975. Akibat

terjadinya

pelanggaran

azas

kekebalan

kedaulatan (souvereign immunity) oleh pihak Australia, maka terjadi demonstrasi hebat di depan Kedutaan Besar Australia di Jakarta, yang dilakukan oleh ratusan orang yang menuntut agar Australia segera mengadili kedua polisi yang menerobos masuk ke kamar Sutiyoso. Menyadari terjadinya insiden pelanggaran azas kekebalan kedaulatan oleh aparat hukum Australia, maka Perdana Menteri New South Wales (NSW), pada akhirnya telah meminta maaf melalui surat yang

58

Prinsip-Prinsip Hukum Internasional

disampaikan oleh Duta besar Australia untuk RI (Bill Farmer) kepada Gubernur DKI Jakarta Sutiyoso atas insiden yang menimpanya di Sydney. Kekebalan negara dan Kepala Negara, Kepala Pemerintahan serta para pejabatnya yang berada di wilayah negara lain, serta terlibat dalam suatu pelanggaran hukum, pernah diterima sebagai suatu prinsip yang berlaku secara universal dan mutlak, sehingga tidak dapat diganggugugat oleh siapapun di negara setempat. Sebagaimana dikemukakan oleh Malcolm N. Shaw (1986:373-374), peranan negara dan pemerintah yang relatif tidak rumit pada abad 18 – 19, secara logis menimbulkan Konsep mengenai Kekebalan Absolut (the Concept of Absolute Immunity) dari yurisdiksi negara asing dalam kasus apapun, tanpa memperhatikan keadaan-keadaan yang timbul. Negara yang terutama mempraktikkan doktrin absolute immunity adalah Inggeris, di mana doktrin ini dapat dilihat dan ditemukan dalam berbagai kasus klasik. Selain kasus Sultan Johor dan kasus MV. The Schooner Exchange, juga kasus the Parlement Belge, di mana dalam kasus yang disebut terakhir ini, pengadilan banding di negeri Inggeris (The Court of Appeal) menggarisbawahi bahwa, setiap negara harus menolak melalui pengadilan nasionalnya, pelaksanaan yurisdiksi teritorialnya terhadap pribadi dari setiap penguasa negara (the person of any souvereign), duta besar (ambassador) dari negara lain, ataupun terhadap harta

Prinsip-Prinsip Hukum Internasional

59

kekayaan

dari

negara

manapun

yang

digunakan

bagi

kepentingan publik (public property of any state), meskipun pribadi penguasa, duta besar dan harta kekayaannya berada di dalam wilayah dari negara setempat. Inilah yang dinamakan Doktrin Kekebalan Mutlak (the Absolute Souvereign Immunity). Akan tetapi pertumbuhan yang tidak paralel dalam kegiatan-kegiatan negara, terutama menyangkut masalah-masalah komersial, telah menimbulkan permasalahan-permasalahan dan kebanyakan negara telah melakukan modifikasi terhadap prinsip kekebalan mutlak itu. Jumlah badan-badan pemerintah, industri-industri yang dinasionalisasi dan organ-organ lain yang dimiliki negara, menciptakan reaksi dan tantangan terhadap konsep absolute immunity, karena untuk sebagian hal-hal seperti ini, memungkinkan Perusahaan Negara (State Enterprises) untuk mendapatkan

keuntungan

melebihi

Perusahaan

Swasta

(Private Companies). Dengan demikian, banyak negara mulai menganut dan menerapkan Doktrin mengenai Kekebalan Terbatas (Restrictive Immunity), di mana berdasarkan doktrin ini, kekebalan itu dapat diberikan apabila menyangkut Kegiatan Pemerintahan (the Governmental Activity), namun kekebalan itu tidak dapat diberikan atau tidak ada dan menjadi hilang, apabila negara melakukan Kegiatan Komersial / the Commercial Activity (Malcolm N. Shaw, 1986:74).

60

Prinsip-Prinsip Hukum Internasional

Perbuatan atau Tindakan Pemerintah (the Governmental Acts) yang terhadapnya kekebalan itu dapat diberikan diistilahkan dengan acts jure imperii, sedangkan tindakan yang berkaitan dengan kegiatan privat atau kegiatan perdagangan diistilahkan dengan acts jure gestionis. Sejalan dengan doktrin restrictive immunity yang dikemukakan oleh Malcolm N. Shaw, maka menurut Sudargo Gautama, ada beberapa negara yang sudah tidak sepenuhnya dapat menerapkan azas kekebalan kedaulatan yang melekat pada negara secara mutlak (absolute immunity). Misalnya saja peraturan hukum nasional AS yang dinamakan “The Foreign Souvereign Immunity Act” (FSIA) atau Undang-Undang Kekebalan Kedaulatan Negara Asing, yang menyatakan bahwa kekebalan dari negara, Kepala Negara, Kepala Pemerintahan termasuk para pejabatnya tidak bisa lagi dipandang sebagai sesuatu yang bersifat sakral atau absolute, karena dalam halhal tertentu kekebalan seperti itu tidak selalu dapat diakui di depan pengadilan AS, sehingga ketika mereka tersangkut dalam pelanggaran hukum, mereka tidak dikecualikan dari yurisdiksi territorial AS. Dalam hubungan ini FSIA yang telah diundangkan pada tahun 1976 membedakan Perbuatan Negara (Act of State) atas perbuatan negara yang dikualifikasi sebagai Iure Imperii serta perbuatan negara yang dikualifikasi sebagai Iure Gestionis. Tindakan negara dalam kualifikasi Iure Imperii menunjukkan pengertian bahwa, apa yang dilakukan oleh

Prinsip-Prinsip Hukum Internasional

61

negara tersebut mempunyai tujuan yang terkait dengan kepentingan publik dari negara yang bersangkutan, atau dengan kata lain tindakan tersebut adalah merupakan tindakan publik dan bukan tindakan komersial. Sedangkan tindakan negara dalam kualifikasi Iure Gestionis mempunyai arti bahwa tindakan yang dilakukan oleh negara mempunyai tujuan yang terkait dengan kepentingan komersial, sehingga tindakannya disebut tindakan komersial dan bukan tindakan publik. Terhadap tindakan yang bersifat publik (Iure Imperii), maka berdasarkan FSIA, kekebalan yang melekat pada negara asing masih dapat diakui dan dihormati oleh aparat hukum AS, termasuk oleh pengadilan di negara tersebut. Sedangkan terhadap tindakan komersial atau tindakan negara yang mempunyai tujuan komersial (Iure Gestionis), maka aparat hukum AS tidak dapat lagi mengakui kekebalan yang melekat pada negara asing atau pejabatnya. Undang-Undang Kekebalan Kedaulatan AS ini pernah digunakan oleh Organisasi Serikat Buruh AS untuk menggugat negara-negara yang tergabung di dalam Organisasi Negara-Negara Pengekspor Minyak (Organization of Petroleum Exporting Countries atau OPEC) di depan Pengadilan Distrik Los Angeles AS. Gugatan ini diajukan karena pihak Serikat Buruh merasa sangat dirugikan oleh negara-negara anggota OPEC, yang membuat dan menerapkan suatu kebijakan yang disebut Price Fixing, dengan cara menaikkan harga minyak

62

Prinsip-Prinsip Hukum Internasional

dunia di pasar internasional, sehingga hal ini menyebabkan para buruh di AS terpaksa harus mengeluarkan biaya hidup yang berlipat ganda. Mereka mengalami penderitaan akibat tingginya harga kebutuhan hidup sehari-hari, sejak terjadinya kenaikan harga minyak yang demikian tinggi. Para buruh AS yang tergabung di dalam Organisasi Serikat Buruh, kemudian mengajukan tuntutan agar pengadilan distrik menyatakan bahwa, tindakan negara-negara OPEC yang membuat dan menerapkan kebijakan Price Fixing, yang menyebabkan naiknya harga minyak adalah merupakan tindakan yang dilakukan untuk kepentingan komersial (Iure Gestionis) dan bukan tindakan publik (Iure Imperii) sehingga dengan demikian negara-negara OPEC termasuk para pejabatnya, tidak dapat menikmati kekebalan di depan pengadilan AS. Selanjutnya pihak penggugat juga menuntut gantirugi kepada para tergugat, agar membayar gantirugi atas kerugian yang diderita oleh pihak penggugat akibat penetapan harga minyak (Price Fixing). Sebaliknya para wakil negara-negara OPEC menyatakan bahwa penetapan harga minyak, yang berakibat terhadap tingginya harga minyak dunia, dilakukan dengan tujuan untuk mengatur dan menata kembali sumbersumber kekayaan alam yang terdapat di dalam wilayah negara-negara OPEC, sehingga tindakan mereka bukan merupakan tindakan yang bertujuan untuk memperoleh keuntu-

Prinsip-Prinsip Hukum Internasional

63

ngan komersial semata-mata, melainkan terutama untuk kepentingan publik. Dengan kata lain tindakan penetapan harga minyak (Price Fixing) adalah tindakan negara dalam kualifikasi Iure Imperii dan bukan Iure Gestionis, sehingga bagaimanapun mereka masih memiliki dan menikmati kekebalan dari yurisdiksi territorial, dan dengan begitu pengadilan AS harus menyatakan diri tidak berwenang untuk memeriksa kasus gugatan tersebut. Pengadilan distrik AS ternyata dapat menerima dan mengabulkan alasan yang dikemukakan oleh pihak tergugat. Pengadilan mengesampingkan gugatan Organisasi Serikat Buruh AS, karena pengadilan merasa tidak berwenang untuk memeriksa dan mengadili negara-negara OPEC, yang masih diakui kekebalan kedaulatannya, karena penetapan harga minyak dengan tujuan untuk menata kembali sumber daya alam (natural resources) yang terdapat di dalam wilayahnya, dan merupakan tindakan negara dalam kualifikasi Iure Imperii. Dengan demikian keputusan pengadilan distrik AS di Los Angeles, memberi kemenangan kepada negara-negara OPEC dan apabila dianalisis keputusan tersebut, sesungguhnya hal ini tidak terlepas dari latarbelakang dan pertimbangan politik dan ekonomi AS di berbagai negara, khususnya di dalam wilayah dari negara-negara OPEC.

64

Prinsip-Prinsip Hukum Internasional

Demikianlah

uraian

atau

pembahasan

mengenai

Kekebalan Kedaulatan (Souvereign Immunity), yang melekat pada negara, Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan serta para pejabat negara yang menjalankan tugas di negara lain. Kekebalan juga dapat dinikmati oleh lembaga internasional atau organisasi internasional termasuk pula Markas Besarnya (Head Quarter) di suatu negara, gedung perwakilan maupun para pejabatnya yang sedang menjalankan tugas di pelbagai negara. Walaupun pejabat dari lembaga atau organisasi internasional tersangkut dalam suatu pelanggaran hukum, terutama tindak pidana berat, namun aparat hukum negara setempat tidak dapat melakukan tindakan hukum terhadapnya. Kekebalan yang dimiliki organisasi internasional dan para pejabatnya, didasarkan atas prinsip-prinsip hukum internasional, dan terutama perjanjian internasional yang dinamakan Convention on the Privileges and Immunities of the United Nations and of Specialized Agencies. Organisasi regional negara-negara Asia Tenggara yang beranggotakan 10 negara, termasuk di dalamnya Indonesia juga telah memiliki Piagam ASEAN (ASEAN Charter), setelah para Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan menandatangani Piagam tersebut di dalam Konferensi Tingkat Tinggi di Singapura pada tanggal 20 November 2007. Piagam ASEAN telah berlaku secara efektif dan di dalamnya terdapat pelbagai macam ketentuan yang menunjukkan Organisasi tersebut

Prinsip-Prinsip Hukum Internasional

65

bukan

lagi

sebagai

sebuah perhimpunan

yang

bersifat

longgar, melainkan sebagai sebuah organisasi regional yang sifatnya permanent. Hal ini bisa dilihat antara lain dari adanya pengaturan atas azas kekebalan kedaulatan yang melekat pada suatu negara anggota, termasuk para pejabatnya di negara anggota lainnya. Pengaturan azas kekebalan kedaulatan (souvereign immunity) di dalam Piagam ASEAN, yang dapat dinikmati oleh organisasi ASEAN, markas besar di salah satu negara anggotanya, kantor perwakilan di masing-masing negara anggota maupun para pejabatnya, tentu saja berpedoman pada Konvensi

mengenai

hak-hak

istimewa

serta

kekebalan

oraganisasi PBB dan badan-badan khusus organisasi ini (Convention on the Privileges and Immunities of the United Nations and of Specialized Agencies). Di samping itu kekebalannya juga diberikan oleh negara setempat, atau peraturan hukum dari negara yang bersangkutan, sebab selain menyangkut jaminan kepastian hukum soal kekebalan, juga terutama untuk memperlancar pelaksanaaan

tugasnya

secara

bersangkutan.

66

Prinsip-Prinsip Hukum Internasional

efektif

di

negara

yang

BAGIAN IV NEGARA DAN YURISDIKSI MAHKAMAH KRIMINAL INTERNASIONAL Mahkamah Kriminal Internasional (International Criminal Court) didirikan berdasarkan Statuta Roma yang diadopsi pada tanggal 17 Juli 1998 oleh 120 negara, yang berpartisipasi dalam suatu konferensi yang dikenal dengan “United Nations Diplomatic Conferenmce of Plenipotentiaries on the Establishment of an International Criminal Court” di kota Roma, Italia. Pada tanggal 1 Juli 2002, Mahkamah Kriminal Internasional berlaku secara efektif berdasarkan artikel 126 dari Statuta Roma mengenai Mahkamah Kriminal Internasional (Rome Statute of the International Criminal Court), yang telah dideklarasikan pada tanggal 17 Juli 1998 di Roma, Italia. Sebenarnya pada tanggal 11 April 2002, sebanyak 60 negara sudah meratifikasi Statuta Roma, sehingga telah memenuhi persyaratan bagi berlakunya (come into force) perjanjian tentang pembentukan Mahkamah Kriminal Internasional (International Criminal Court atau disingkat dengan ICC). Dunia agaknya tidak pernah sepi dari pelanggaran berat Hak Azasi Manusia (HAM). Patut disayangkan banyak di antara pelaku pelanggaran belum atau tidak bisa diadili di Negara tempat kejahatan berlangsung, karena sistem hukum yang

Prinsip-Prinsip Hukum Internasional

67

berlaku di negara tersebut tidak memadai, atau rezim yang berkuasa cenderung untuk melindungi para pelakunya. Dengan demikian, praktik impunity (adanya kejahatan tanpa proses hukum) dengan mudah dapat ditemukan di dalam negara-negara yang memang tidak serius dalam hal penegakan hak-hak azasi manusia. Di Negara-negara seperti itu, para pelanggar HAM berat secara leluasa berkeliaran tanpa proses hukum. Walaupun ada proses hukum, maka hal ini sebenarnya tidak lebih dari rekayasa dan dalam kejahatan HAM berat dinyatakan bebas oleh pengadilan. Publik dengan perih menyaksikan semua kenyataan pahit tersebut tanpa bisa berbuat banyak. Hingga saat ini, Pemerintah Republik Indonesia belum meratifikasi Statuta Roma, kenyataan ini menunjukkan bahwa pemerintah tidak segera menunjukkan komitmen dan kemauan politiknya untuk mengakhiri praktik impunity, sehingga pelaku pelanggaran HAM berat bebas berkeliaran tanpa proses hukum. Padahal selama ini, pemerintah sangat rajin

dalam

mengeluarkan

pernyataan

politik

mengenai

kesungguhannya dalam penegakan supremasi hukum, dan penghormatan terhadap hak-hak azasi manusia seperti dituntut oleh gerakan reformasi. Kenyataan belum diratifikasinya Statuta Roma, menunjukkan bahwa Pemerintah Republik Indonesia sesungguhnya tidak serius dalam melaksanakan penegakan hukum, dan

68

Prinsip-Prinsip Hukum Internasional

menghentikan rantai impunitas bagi para pelanggar HAM berat. Mahkamah Kriminal Internasional sebagai mahkamah yang bersifat permanen, mempunyai yurisdiksi atas delik pelanggaran hak azasi manusia berat (gross violation of human rights), seperti genosida (crimes of genocide), kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes against humanity), kejahatan perang (war crimes) dan kejahatan agresi (crimes of aggression). Dengan demikian, Statuta Roma mengatur kewenangan ICC untuk mengadili empat kejahatan paling serius yang mendapatkan perhatian dari masyarakat internasional, yaitu “crimes of genocide”, “crimes against humanity”, “war crimes” dan “crimes of aggression”. Yurisdiksi ICC terhadap empat macam kejahatan ini, dinamakan yurisdiksi berdasarkan materi atau ruang lingkup kejahatan yang menjadi kewenangan ICC (ratione materiae), sebagaimana diatur dalam Pasal 5 dari Statuta Roma. ICC juga mempunyai yurisdiksi berdasarkan pelaku kejahatan yang dinamakan yurisdiksi ratione personae, sebagaimana dapat ditemukan dalam Pasal 25 Statuta Roma. Dalam hal ini setiap orang (natural person) yang memiliki kebangsaan, dari salah satu negara peserta Statuta ICC, atau melakukan suatu kejahatan dalam cakupan yurisdiksi ICC, di dalam wilayah negara peserta, harus bertanggungjawab secara pidana atas kejahatan tersebut apabila:

Prinsip-Prinsip Hukum Internasional

69

(1) Melakukan kejahatan tersebut (baik secara individu, bekerjasama atau melalui orang lain; (2) Memerintahkan, mengajak, atau mendorong pelaksanaan kejahatan tersebut; (3) Membantu atau bersekongkol, atau membantu pelaksanaan atau percobaan pelaksanaan kejahatan tersebut; (4) Dengan cara lain turut menyumbang pada pelaksanaan, atau percobaan pelaksanaan kejahatan tersebut, oleh sekelompok orang yang bertindak dengan tujuan yang sama; (5) Berkaitan dengan kejahatan genosida, secara langsung atau menghasut orang lain secara terbuka untuk melakukan genosida. Demikian ICC mempunyai yurisdiksi, terkait dengan orang-orang atau siapa saja yang terlibat dalam kejahatankejahatan tersebut di atas. Inilah yang dinamakan yurisdiksi ratione personae (Manfred Nowak, 2003:374). Kejahatan Agresi (Crime of Aggression) dapat ditemukan dalam Statuta Roma (the Rome Statute of the International Criminal Court) tahun 1998. Akan tetapi struktur kejahatan agresi itu belum dirinci dan diyurisdiksikan, karena Statuta Roma menyatakan kejahatan seperti itu akan diatur lebih lanjut melalui amandemen yang akan dilakukan setelah 7 tahun berlakunya Statuta Roma. Ada kemungkinan tidak diaturnya struktur kejahatan agresi dalam Statuta Roma,

70

Prinsip-Prinsip Hukum Internasional

adalah

merupakan

akibat

dari

adanya

tekanan

yang

dilakukan oleh negara adidaya, karena negara seperti ini mempunyai maksud terselubung untuk melakukan agresi ke berbagai negara dalam kurun waktu satu dasawarsa ke depan terhitung sejak 1998. Dengan melihat ke belakang, sebenarnya kejahatan agresi dapat ditemukan di dalam Convention for the Definition of Agression tahun 1933, Charter of the International Military Tribunal tahun 1945, dan Principles of the Nuremberg Tribunal tahun 1950. Dua perjanjian terakhir ini menyebut istilah Kejahatan Terhadap Perdamaian (Crimes Against Peace), yaitu merencanakan, memprakarsai perang, atau memulai perang agresi, atau sebuah perang yang melanggar hukum internasional. Ketentuan mengenai Kejahatan Perang (War Crimes), selain terdapat dalam ketentuan tersebut di atas, juga dapat ditemukan dalam “Geneva Convention tahun 1949” dan “Additional Protocol tahun 1977”, “Statute for the International Tribunal for Rwanda tahun 1995”, dan “Statute for the International Tribunal for the Former Yugoslavia tahun 1993 (amended 1998). Kejahatan perang, di antaranya melancarkan serangan atas seorang atau sekelompok warga sipil atau obyek sipil. Melancarkan serangan yang menyebabkan kerugian bagi orang sipil, kerusakan obyek sipil atau kerusakan meluas, berjangka panjang dan berat terhadap lingkungan alam.

Prinsip-Prinsip Hukum Internasional

71

Menyerang atau mengebom kota-kota, desa, perumahan atau gedung yang tidak dipertahankan atau bukan obyek militer. Melakukan serangan atas gedung-gedung untuk tujuan keagamaan, pendidikan, kesenian, keilmuan atau social, monumen bersejarah, rumah sakit. Membunuh atau melukai secara curang pihak musuh atau perlakuan mempermalukan tawanan perang. Selanjutnya mengenai Kejahatan Terhadap Kemanusiaan (Crimes Against Humanity), juga dapat ditemukan dalam pelbagai ketentuan yang telah dikemukakan sebelumnya. Pasal 7 Statuta Roma menyatakan bahwa, untuk tujuan statute ini, kejahatan terhadap kemanusiaan, dapat diklasifikasikan sebagai salah satu dari tindakan berikut: apabila dilakukan sebagai bagian dari serangan meluas atau sistematik, yang ditujukan kepada penduduk sipil dengan mengetahui serangan itu. Pembunuhan; pemusnahan; perbudakan; deportasi atau pemindahan penduduk secara paksa; penahanan ataupun bentuk lain, perampasan kebebasan fisik seseorang yang melanggar aturan dasar hukum internasional; penyiksaan; pemerkosaan, perbudakan seksual, pemaksaan prostitusi, penghamilan paksa, pemaksaan sterilisasi atau bentuk lain kekerasan seksual yang setara beratnya; persekusi terhadap kelompok yang dapat diidentifikasi atau kolektivitas politik, rasial, nasional, etnik, budaya, agama, jender atau atas dasar lainnya; penghilangan orang dengan secara paksa;

72

kejahatan

apartheid;

Prinsip-Prinsip Hukum Internasional

tindakan

tidak

manusiawi

lainnya, dengan karakteristik serupa yang dilakukan dengan sengaja dan menyebabkan penderitaan hebat, atau luka serius terhadap tubuh ataupun kesehatan mental atau fisik. Semua kondisi ini, digambarkan secara spesifik dan didefinisikan dalam Statuta Roma dan dalam elemen-elemen kejahatan. Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) sebenarnya sudah memiliki Mahkamah Internasional (International Court of Justice atau ICJ) yang bermarkas di Den Haag, Belanda. Akan tetapi ICJ tidak dapat mengadili kejahatan internasional, seperti kejahatan perang dan kejahatan hak azasi manusia. Di samping itu ICJ juga lebih efektif untuk mengadili perkara yang menyangkut negara, bukan orang (aktor bukan negara) yang melakukan kejahatan HAM. Hanya negaranegara (states)

yang dapat menjadi pihak-pihak dalam

perkara-perkara di depan mahkamah, sebagaimana tertera dalam Pasal 4 Statuta ICJ (only states may be parties before the court). Dengan demikian, ICJ menempatkan negara (state) sebagai subyek penanggungjawab, sedangkan ICC menempatkan individu sebagai subyek penanggungjawab, walaupun baik ICJ maupun ICC mempunyai tempat kedudukan yang sama di Den Haag, Belanda. Perjanjian internasional yang dinamakan Statuta Roma (The Rome Statute), dimaksudkan untuk membawa siapapun yang tersangkut atau terbukti terlibat dalam Kejahatan Perang (War Crimes), dan Kejahatan

Prinsip-Prinsip Hukum Internasional

73

Terhadap Kemanusiaan (Crimes Against Humanity), kejahatan etnis atau suku bangsa (genocide), entah mereka itu pejabat tinggi

sipil

ataupun

militer,

dapat

diajukan

ke

depan

Mahkamah Kriminal Internasional guna mempertanggungjawabkan perbuatannya secara individual, sehingga mereka tidak dapat berlindung di belakang kepentingan dan tanggungjawab negara. Artikel 17 dari Statuta Roma menyatakan bahwa, Mahkamah Kriminal Internasional bukanlah pengadilan “the first resort”, tetapi “the last of the last resort”. ICC bukanlah merupakan upaya hukum pertama, melainkan upaya hukum terakhir dari upaya hukum terakhir, sehingga ICC tidak akan merusak kedaulatan dari negara pesertanya. ICC mengutamakan apa yang dinamakan “exhaustion of local remedies”, yang artinya negara peserta yang bersangkutan, harus terlebih dahulu mengutamakan penggunaan semua remedy domestic atau semua upaya hukum yang tersedia. Negara peserta tetap mengadili terlebih dahulu pelaku pelanggaran HAM berat, dengan memanfaatkan segala upaya hukum yang tersedia di negara tersebut. Apabila negara tersebut tidak mempunyai keinginan (unwilling) atau tidak mempunyai

kemampuan

(unable),

untuk

menyelesaikan

kasus kejahatan tersebut secara tuntas, maka barulah kemudian menjadi yurisdiksi ICC dan terbuka akses ke ICC. Dengan demikian, lembaga seperti ini hanya mempunyai

74

Prinsip-Prinsip Hukum Internasional

fungsi sebagai pengadilan yang sifatnya komplementer dan melengkapi pengadilan domestik. ICC

tidak

memiliki

yurisdiksi

untuk

mengadili

kejahatan yang terjadi (ratione temporis) sebelum tanggal 1 Juli

2002.

Hingga

saat

ini

Republik

Indonesia

belum

meratifikasi Statuta Roma yang sudah dinyatakan berlaku secara efektif sejak 1 Juli 2002. Namun apabila pada suatu saat Indonesia meratifikasi Statuta Roma, maka yurisdiksi ICC hanya dapat menjangkau kejahatan kemanusiaan yang terjadi setelah tanggal ratifikasi. Kejahatan kemanusiaan yang terjadi sebelum tanggal ratifikasi, tidak termasuk dalam ruang lingkup yurisdiksi ICC. Akan tetapi, sekalipun Statuta Roma tidak atau belum diratifikasi, Indonesia dapat meminta pelaksanaan yurisdiksi ICC, dengan terlebih dahulu menyampaikan deklarasi penerimaan kepada Panitera ICC di Den Haag, Belanda (Pasal 11 dan Pasal 12 Statuta Roma). Semua dugaan delik pelanggaran HAM berat yang pernah mengemuka dan muncul ke permukaan, seperti dugaan pelanggaran HAM di Timor Timur (sekarang Negara Timor Leste), peristiwa Tanjung Priok, kasus penghilangan orang secara paksa pada masa Orde Baru, dan pelbagai kasus kejahatan kemanusiaan lainnya yang pernah terjadi, pada masa lampau tidak termasuk dalam yurisdiksi ICC. Walaupun delik-delik seperti itu tidak menjadi yurisdiksi ICC, namun perlu dicermati, bahwa tidak tertutup kemungkinan dapat

Prinsip-Prinsip Hukum Internasional

75

digelar semacam peradilan internasional, ketika kita dianggap tidak serius menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat secara tuntas. Melalui Resolusi Dewan Keamanan PBB, maka dapat dibentuk tribunal internasional yang bersifat ad hoc atau sementara, seperti pembentukan Tribunal Internasional untuk bekas Yugoslavia (International Criminal Tribunal for the Former Yugoslavia atau ICTY), di mana ICTY ditetapkan oleh Resolusi Dewan Keamanan PBB Nomor 808 dan 827 Tahun 1993; sedangkan ICTR ditetapkan dengan Resolusi Dewan Keamanan PBB Nomor 935 dan 955 Tahun 1994, di mana kedua resolusi ini dibuat berdasarkan Pasal 24 dan Pasal 25 Piagam PBB (Charter of the United Nations). Pasal 24 ayat (1) Piagam PBB menyatakan bahwa, agar PBB dapat menjamin adanya tindakan segera dan efektif, maka para anggotanya menyerahkan tangguingjawab utama (primary responsibility) kepada Dewan Keamanan, dalam rangka memelihara perdamaian dan keamanan internasional, serta para anggota PBB sepakat, bahwa dalam menjalankan kewajiban yang menjadi tanggungjawabnya, Dewan Keamanan

bertindak

atas

nama

para

anggota

PBB

(Michael

Akehurst, 1983:173). Selanjutnya Pasal 25 dari Piagam PBB menyatakan bahwa, para anggota PBB bersepakat untuk menerima dan melaksanakan putusan dari Dewan Keamanan PBB menurut Piagam. Dengan demikian Dewan Keamanan PBB mempunyai

76

Prinsip-Prinsip Hukum Internasional

wewenang untuk mengambil putusan yang bersifat mengikat (binding decisions), dan para negara anggota PBB berkewajiban untuk mematuhi putusan tersebut. Resolusi Dewan Keamanan terkait pembentukan ICTY pada tahun 1993, dan pembentukan ICTR pada tahun 1994, harus dipandang sebagai tindakan yang harus segera diambil, karena tindakan seperti ini sangat penting untuk melaksanakan tanggungjawab utama, yang dibebankan pada pundak Dewan Keamanan PBB dalam rangka memelihara perdamaian dan keamanan internasional secara efektif. Disinilah

terletak

perbedaan antara ICC

dengan

tribunal internasional, karena ICC melaksanakan yurisdiksinya tanpa melalui resolusi Dewan Keamanan PBB, tetapi kewenangannya ditentukan dalam Statuta Roma. Sedangkan yurisdiksi dari tribunal internasional yang bersifat ad hoc tidak dibatasi oleh ratione temporis, tetapi tergantung pada kasus yang hendak diangkat oleh PBB, disinilah ratione temporis itu diidentifikasi. Kita tidak mengetahui secara tepat, mengapa Pemerintah Republik Indonesia belum meratifikasi Statuta Roma mengenai pembentukan Mahkamah Kriminal Internasional. Karena pihak pemerintah sendiri memang tidak menjelaskan persoalan penting ini kepada publik. Sesungguhnya terdapat beberapa alasan yang menyebabkan Pemerintah Republik Indonesia, mengambil posisi tidak atau belum melakukan

Prinsip-Prinsip Hukum Internasional

77

ratifikasi terhadap perjanjian tersebut, atau dengan kata lain belum menjadi peserta ICC. Alasan pertama, adalah Pemerintah menyadari bahwa kondisi penegakan hukum di negeri ini masih rendah. Sementara di sisi lain, pelanggaran HAM berat masih terjadi. Kenyataan ini membuka peluang bagi para korban untuk mengadu ke ICC. Sebagaimana diketahui prinsip mekanisme kerja dari ICC, adalah sebagai mahkamah yang sifatnya melengkapi yurisdiksi pidana yang dijalankan oleh peradilan nasional. Hal ini berarti bahwa, mahkamah harus mendahulukan sistem peradilan nasional, terkecuali jika sistem peradilan nasional yang ada benar-benar tidak mampu dan tidak bersedia, melakukan penyelidikan dan tidak obyektif. Itu alasan pertama, sedangkan alasan kedua adalah, Pemerintah Indonesia masih berminat melanggengkan praktik impunitas bagi oknum-oknum tertentu. Sebagaimana Indonesia, Amerika pada masa pemerintahan Clinton, juga telah menandatangani Statuta Roma, tetapi pemerintah penggantinya, yaitu pemerintahan Presiden George Walker Bush, terkenal sebagai penggemar perang dan potensial tercatat sebagai penjahat perang, dan kemanusiaan dalam sejarah dunia, kemudian menolak meratifikasi Statuta Roma tersebut. Padahal jika suatu negara tidak meratifikasi, maka negara tersebut, dalam hal ini AS sangat khawatir bakal mendapat kendala, jika hendak melakukan agresi terhadap negara lain. Agresi dan pendudukan Afganistan dan Irak oleh

78

Prinsip-Prinsip Hukum Internasional

pasukan koalisi pimpinan AS, memberikan kontribusi bagi kekhawatiran negeri Paman Sam (julukan negara AS) terhadap yurisdiksi ICC, terkait dengan kejahatan perang dan kemanusiaan, yang dilakukan oleh pihak militer AS sehingga pemerintahnya tidak meratifikasi Statuta Roma. AS negara yang mengaku dirinya sebagai negara paling demokrasi, penjaga ketertiban dan hak-hak azasi manusia di seluruh dunia, menentang disahkannya perjanjian tersebut. Di samping itu, Amerika berdiri pada barisan terdepan

dari

negara-negara

yang

menentang

ratifikasi

Statuta Roma, sehingga negara tersebut dianggap sebagai negara yang tidak konsisten, ambiguous dan gemar menerapkan standar ganda (double standard). Bahkan AS pernah mengancam untuk menghentikan bantuan militer sebesar lebih dari 47 juta dollar AS kepada 35 negara, termasuk Negara Kolombia dan calon-calon anggota NATO, karena negara-negara tersebut mendukung Mahkamah Kriminal Internasional, dan tidak membebaskan warga AS dari kemungkinan diadili. Keputusan untuk menghentikan bantuan itu merupakan serangan yang pernah dilancarkan oleh mantan Presiden Bush terhadap ICC. Berdasarkan Undang-Undang Perlindungan Anggota Militer AS tahun 2002, yang merupakan dasar penghentian bantuan tersebut, Presiden Bush dapat mengeluarkan pernyataan pengecualian, bagi negara-negara yang menandatangani kesepakatan kekebalan, yang disebut kesepakatan Artikel 98,

Prinsip-Prinsip Hukum Internasional

79

atau ketika dia beranggapan bahwa bantuan militer dapat diberikan demi kepentingan nasional. Presiden Bush mengeluarkan pernyataan pengecualian bagi 22 negara pada tahun 2003, saat batas waktu lewat bagi pemerintah negara-negara tersebut untuk menandatangani kesepakatan kekebalan. Namun dari 22 negara tersebut, Negara Kolombia dan negara-negara Eropa Timur dan Baltik, seperti Bulgaria, Slovakia, Slovenia, Estonia, Latvia dan Lithuania sebagai negara-negara yang seharusnya menerima bantuan tidak termasuk dalam 22 negara yang dimaksud.

80

Prinsip-Prinsip Hukum Internasional

BAGIAN V KEKEBALAN DIPLOMATIK Perwakilan diplomatik, gedungnya, pribadi pejabat atau wakil diplomatik, tempat kediaman pejabat diplomatik, keluarganya, arsip surat menyurat pejabat diplomatik maupun paket diplomatik (diplomatic package), tidak dapat diganggu gugat oleh aparat hukum negara setempat. Inilah yang dinamakan Prinsip Inviolability. Mereka khususnya pribadi pejabat diplomatik, memiliki kekebalan dari yurisdiksi territorial Negara Penerima (Receiving State) dalam perkara pidana, administratif maupun perkara perdata. Namun demikian, kekebalan seorang pejabat diplomatik dapat dibatalkan atau dihapuskan, dan ditarik kembali oleh Pemerintah Negara Pengirim (Sending State), ataupun oleh Kepala perwakilan diplomatik itu sendiri. Kekebalan Diplomatic (Diplomatic Immunity) bukanlah merupakan hak prerogatif atau hak istimewa (praerogative right) dari pejabat diplomatik yang bersangkutan, melainkan sesungguhnya merupakan kekebalan dari Pemerintah Negara Pengirim (Sending State), sehingga kekebalan tersebut hanya dapat dibatalkan oleh negara pengirim, dan tidak mungkin dapat dibatalkan sendiri oleh pejabat diplomatik yang bersangkutan, kecuali dengan persetujuan dari negara pengirimnya.

Prinsip-Prinsip Hukum Internasional

81

Kalau seorang pejabat diplomatik harus dihapuskan atau dibatalkan kekebalannya, maka pertanyaannya adalah dalam hal-hal apa saja kekebalan itu dapat dibatalkan? Jawabannya dapat dikemukakan berikut ini. Seorang pejabat diplomatik terlibat dalam tindak pidana di negara penerima, terutama dalam tindak pidana yang benar-benar serius, dalam pengertian tindak pidana tersebut dapat mengganggu atau membahayakan keamanan dan ketertiban umum di negara penerima, maka memang yang bersangkutan tetap dianggap memiliki kekebalan dan dikecualikan dari pelaksanaan kekuasaan hukum negara setempat, sehingga dia tidak dapat menjalani proses hukum di negara setempat. Kendati demikian, negara penerima mempunyai hak dan wewenang untuk membuat Pernyataan Persona Non Grata (Person Not Wanted), atas diri pribadi pejabat diplomatik yang bermasalah. Dengan dijatuhkannya pernyataan persona non grata terhadap yang bersangkutan, maka implikasinya adalah pejabat diplomatik tersebut harus meninggalkan negara penerima dalam tenggang waktu yang telah ditetapkan oleh negara penerima. Seorang pejabat diplomatik yang tidak menjalankan tugasnya sebagaimana mestinya, karena melakukan pelanggaran terhadap peraturan hukum negara penerima, seperti terlibat dalam kejahatan narkotika dan atau psikotropika ataupun

82

kejahatan-kejahatan

Prinsip-Prinsip Hukum Internasional

berat

lainnya,

melakukan

tindakan yang bertujuan untuk mencampuri urusan dalam negeri dari negara penerima, dapat menjadi alasan bagi negara penerima untuk mem-persona non grata-kan pejabat diplomatik

tersebut,

dan

dalam

tenggang

waktu

yang

ditetapkan, dia diharuskan meninggalkan negara penerima serta kembali ke negeri asalnya, yakni negara pengirim. Pernyataan persona non grata merupakan hak dari negara penerima, yang tentu saja bersumber dari azas kedaulatan negara. Pernyataan persona non grata dilakukan dengan maksud, untuk mengimbangi dan sekaligus menjadi terobosan terhadap prinsip kekebalan diplomatic (diplomatic immunity), yang melekat pada setiap wakil diplomatik, yang tersangkut aksi kriminal sehingga dapat mengganggu dan membahayakan keamanan serta ketertiban umum di negara penerima. Walaupun pejabat diplomatik tetap memiliki kekebalan yang membebaskannya dari penerapan yurisdiksi teritorial negara penerima, dalam hal tersangkut suatu tindak pidana di negara penerima, namun setelah dia dinyatakan persona

non

grata

dan

kembali

ke

negerinya

(negara

pengirim), maka dia tidak dibebaskan dari masalah Tanggungjawab Hukum (Legal Liability) di negerinya sendiri. Negara pengirim mempunyai kewajiban untuk meminta pertanggungjawaban dari orang yang bersangkutan, atas kesalahan yang dilakukannya di negara penerima. Prinsip ini didasarkan atas ketentuan pasal yang terdapat dalam Kon-

Prinsip-Prinsip Hukum Internasional

83

vensi Wina Tahun 1961 (Vienna Convention on Diplomatic Relations), yang antara lain menegaskan bahwa, wakil diplomatik atas dasar kekebalan yang dimilikinya memang dikecualikan dan dibebaskan dari yurisdiksi teritorial negara penerima, namun dia tidak dibebaskan dari tanggungjawab hukum (legal liability) dari negara pengirim. Beberapa kasus yang pernah terjadi, dalam hubungan dengan persona non grata terhadap diplomat, yang tersangkut aksi kriminal di negara penerima, dapat kiranya dikemukakan untuk mematangkan pemahaman kita soal kekebalan diplomatik. Kasus dua orang diplomat AS di Indonesia tahun 1994, kasus diplomat Uni Soviet tahun 1982, demikian pula kasus yang pernah melibatkan diplomat RI di negeri Tanzania (yang penulis namakan kasus gading gajah), serta kasus yang melibatkan putera Duta Besar RI (Nana Sutresna) di Inggeris tahun 2003, yang semuanya ini dapat memberi klarifikasi soal kekebalan diplomatik dan aspek-aspek terkait khususnya persona non grata. Mengenai kasus diplomat Uni Soviet, pada tanggal 9 Januari 1982 seorang diplomat Uni Soviet yang bernama S.P. Egorov yang pada waktu itu menjabat sebagai Asisten Atase Militer pada Kantor Kedutaan Besar Uni Soviet di Jakarta, dijatuhi pernyataan persona non grata oleh Pemerintah RI, sehingga diplomat ini harus meninggalkan Indonesia serta kembali ke negerinya. Pemerintah RI mem-persona non gratakan diplomat dari negara yang pada waktu itu terkenal

84

Prinsip-Prinsip Hukum Internasional

sebagai negara tirai besi (Egorov), serta mengusirnya karena dia tersangkut dalam kegiatan mata-mata, yang berarti melakukan tindakan yang sifatnya mencampuri urusan domestik Indonesia sebagai negara penerima. Berdasarkan Konvensi Wina Tahun 1961 mengenai Hubungan Diplomatik, seorang pejabat diplomatik mempunyai kewajiban untuk tidak melanggar peraturan-peraturan hukum yang berlaku di negara penerima, serta tidak boleh mencampuri urusan dalam negeri negara penerima, seperti tidak boleh melakukan kegiatan mata-mata (espionage). Diplomat Uni Soviet diperintahkan untuk meninggalkan Indonesia setelah dia di persona non grata-kan oleh Pemerintah RI, akibat kegiatan mata-mata yang dilakukannya bersama dengan seorang warga Uni Soviet yang bernama Alexander Finenko, yang kemudian ditangkap oleh aparat keamanan Indonesia. Orang yang disebut terakhir ini (Alexander Finenko) bukan seorang pejabat diplomatik, melainkan sebagai Kepala Kantor Dinas Penerbangan Uni Soviet Aeroflot di Jakarta. Akan tetapi di balik tugasnya itu, ternyata Alexander Finenko diduga sebagai anggota teras dari Dinas Rahasia Uni Soviet KGB, sehingga penangkapan atas dirinya oleh pihak aparat keamanan adalah sesuatu yang tepat. Demikian pula pernyataan persona non grata dan pengusiran terhadap Egorov oleh Departemen Luar Negeri RI waktu itu (saat ini bernama Kementerian Luar Negeri RI), adalah merupakan tindakan

Prinsip-Prinsip Hukum Internasional

85

yang tepat karena berbeda dengan Alexander Finenko yang bukan seorang diplomat, melainkan anggota teras KGB. S. P. Egorov justru seorang diplomat yang tidak mungkin dapat ditangkap oleh aparat keamanan Indonesia, sebab dia memiliki kekebalan yang mengecualikan dan membebaskannya dari penerapan yurisdiksi teritorial Indonesia. Mengenai kasus dua diplomat AS yang dikenai tindakan atau pernyataan persona non grata dan kemudian diusir dari negeri Indonesia, hal ini disebabkan karena kedua diplomat tersebut ternyata terlibat dalam sindikat kejahatan narkoba, di mana keduanya adalah salah satu mata rantai penting jaringan peredaran narkoba di kawasan Asia Tenggara, sehingga dapat mengancam dan membahayakan keamanan negara-negara Asia Tenggara. Ditinjau dari sudut Konvensi Wina Tahun 1961, keterlibatan kedua diplomat negara adidaya tersebut (AS), dalam kejahatan yang sangat membahayakan tersebut, dapat dikategorikan sebagai pelanggaran terhadap kewajibannya sebagai pejabat diplomatik, untuk tidak melakukan pelanggaran terhadap peraturan-peraturan hukum negara penerima, sehingga sudah sewajarnya apabila mereka di persona non gratakan. Demikian pula tindakan pengusiran (expulsion) oleh Pemerintah RI terhadap kedua diplomat tadi (diplomat AS), adalah suatu tindakan yang tepat, guna memulihkan dan menunjukkan martabat kita sebagai negara berdaulat. Kedua

86

Prinsip-Prinsip Hukum Internasional

diplomat tersebut setelah di persona non grata-kan serta diusir, harus mempertanggungjawabkan kesalahannya di negaranya sendiri (AS), sebab sesuai peraturan hukum yang berlaku, walaupun seorang pejabat diplomatik dibebaskan dari

pelaksanaan

yurisdiksi

teritorial

negara

penerima,

namun pejabat diplomatik, tidak dibebaskan dari tanggungjawab hukum (legal liability) di negara pengirim. Setibanya di AS, kedua diplomat tersebut harus mempertanggungjawabkan perbuatannya di depan pengadilan AS. Keduanya dinyatakan bersalah oleh pengadilan AS, dipecat dan dihukum sesuai dengan peraturan hukum AS. Kedua kasus yang dikemukakan tersebut (Kasus diplomat Uni Soviet tahun 1982 dan kasus dua diplomat AS tahun 1994), Pemerintah RI yang menjatuhkan pernyataan persona non grata terhadap diplomat asing sesuai dengan kedudukan Indonesia sebagai negara penerima (receiving state), maka dalam kasus gading gajah di Tanzania, kasus Leo Lopulisa di Filipina dan kasus Nana Sutresna di Inggeris, justru para diplomat Indonesia yang dikenai pernyataan persona non grata oleh masing-masing negara penerima, sementara

Indonesia

mempunyai

posisi

sebagai

negara

pengirim yang berkewajiban untuk meminta pertanggungjawaban dari diplomatnya yang telah melakukan kesalahan di negara penerima. Dalam kasus gading gajah, seorang pejabat diplomatik Indonesia (bernama Abdul Gani), diketahui sudah sering

Prinsip-Prinsip Hukum Internasional

87

melakukan aksi penyelundupan gading gajah dalam jumlah sangat besar, padahal binatang ini termasuk satwa yang dilindungi oleh Pemerintah Negeri Tanzania, karena fauna seperti ini sudah sangat langka dan dikhawatirkan terancam bahaya kepunahan. Peraturan hukum negeri ini (Tanzania) melarang siapapun untuk menangkap, membunuh, memperjualbelikan, menyimpan,

menyelundupkan

bagian-bagiannya. dengan

pidana

Barang penjara

binatang

siapa

gajah

dan

melakukannya

selama

sekian

atau

diancam

tahun.

Karena

pelanggaran atas peraturan hukum negeri tersebut, dilakukan oleh diplomat Indonesia, maka Pemerintah Tanzania mempersona non grata-kan yang bersangkutan (diplomat RI) serta memerintahkan untuk segera meninggalkan Tanzania dan kembali ke Indonesia. Aparat hukum Tanzania tidak dapat melakukan proses hukum terhadap yang bersangkutan, karena pemerintahnya

menghormati

kekebalan

diplomatik

dari

pejabat

diplomatik Indonesia, yang bertugas di negeri tersebut. Namun demikian dia tidak dibebaskan dari tanggungjawab hukum (legal liability) di Indonesia sebagai negara pengirim. Otoritas terkait telah menjatuhkan sanksi administratif dalam bentuk

tindakan

pemecatan

atas

diplomat

yang

telah

melakukan kesalahan di Tanzania. Atas peristiwa yang sangat memalukan itu, Pemerintah RI telah menyampaikan permintaan maaf kepada Peme-

88

Prinsip-Prinsip Hukum Internasional

rintah

Tanzania,

terhadap

sebagai

pelanggaran

wujud

hukum

tanggungjawab

yang

dilakukan

negara diplomat

Indonesia ketika bertugas di negara itu (Tanzania). Namun terlepas dari masalah tanggungjawab negara, kasus Gading Gajah juga memperlihatkan prinsip kekebalan diplomatik, yang mengecualikan dan membebaskan pejabat diplomatik dari pelaksanaan yurisdiksi teritorial dari negara penerima. Tentang kasus Duta Besar RI (Leo Lopulisa) yang terjadi pada tahun 1980-an, Pemerintah Filipina di bawah Presiden Marcos melalui Departemen Luar Negerinya, telah menjatuhkan pernyataan persona non grata dan meminta kepada Pemerintah RI, agar menarik kembali Duta Besarnya dari Filipina. Pernyataan persona non grata serta pengusiran atas diplomat Indonesia dilakukan dengan alasan bahwa, ucapan-ucapan yang pernah dilontarkan Duta Besar Indonesia dianggap telah mencampuri urusan dalam negeri negara tetangga (Filipina), sehingga dia pernah dipanggil menghadap Menteri Luar Negeri Filipina (Carlos Romulo) pada waktu itu, sebelum di persona non grata-kan dan ditarik kembali ke Indonesia. Pemerintah RI kemudian memanggil pulang dan memberhentikannya sebagai pejabat diplomatik, serta meminta maaf kepada Pemerintah Filipina dalam rangka pertanggungjawaban Pemerintah RI atas terjadinya penyalahgunaan kekebalan

diplomatik,

di

mana

kekebalan

ini

memang

membebaskan Leo Lopulisa sebagai Duta besar dari penera-

Prinsip-Prinsip Hukum Internasional

89

pan yurisdiksi territorial Filipina, tetapi tidak membebaskannya dari tanggungjawab hukum di Indonesia. Akhirnya kasus kekebalan diplomatik juga pernah dialami Indonesia beberapa tahun lalu, ketika Nana Sutresna yang menjabat Duta besar RI untuk Kerajaan Inggeris. Salah seorang anggota keluarganya, yakni putera dari sang Duta besar RI ini tersangkut kasus narkoba, sehingga puteranya ini terpaksa harus berurusan dengan aparat kepolisian Inggeris, atas dugaan membawa sekian gram heroin yang ditemukan dalam mobil yang dikemudikannya. Pemerintah RI melalui Menteri

Luar

Negeri

kemudian

menarik

kembali

Nana

Sutresna dari tugasnya sebagai Kepala Perwakilan Diplomatik atas alasan dan pertimbangan bahwa, masa tugasnya sebagai Duta Besar RI bagi Kerajaan Inggeris telah berakhir. Namun demikian berbagai kalangan bertanya-tanya apakah kembalinya Nana Sutresna dari posnya di negeri Inggeris dengan dasar berakhirnya masa tugasnya, bukan merupakan suatu cara yang sangat diplomatis terkait dengan kemungkinan adanya pembicaraan rahasia antara kedua Pemerintah. Apa sebenarnya yang telah terjadi dan ada apa di balik kembalinya sang Duta Besar RI ini? Ada kemungkinan, Pemerintah Inggeris sebagai negara penerima telah secara diam-diam

meminta

kepada

Pemerintah

RI

agar

memulangkan saja Duta Besarnya atas dasar perbuatan tercela yang melibatkan keluarganya.

90

Prinsip-Prinsip Hukum Internasional

Jawaban atas pertanyaan ini, tidak dapat dilepaskan dari reputasi atau nama besar yang dimiliki oleh Duta Besar Nana Sutresna, yang kebesaran namanya telah diakui baik pada tingkat nasional maupun pada tataran regional dan internasional.

Namun

demikian,

apabila

dugaan

dan

perkiraan oleh berbagai kalangan, mengenai adanya kontakkontak yang bersifat rahasia di antara kedua negara, yang bertujuan untuk menyelesaikan kasus yang telah menimpa anak dari Duta Besar RI yang diakui melekat padanya prinsip inviolabilitas serta immunitas, maka dugaan dan perkiraan itu mungkin

mengandung

unsur

kebenaran

yang

dapat

dipertanggungjawabkan, sehingga dalam keadaan demikian telah terjadi semacam persona non grata yang bersifat terselubung. Hal ini dilakukan kedua negara, dengan maksud untuk memelihara hubungan baik antara kedua negara, dan sekaligus melindungi nama baik dari seseorang yang begitu besar jasanya bagi bangsa dan negaranya. Apabila dalam hal tindak pidana yang dilakukan seorang pejabat diplomatik dan pejabat ini tetap diakui kekebalannya di negara penerima, maka keadaan ini tentu berbeda dengan ketika pejabat tersebut tersangkut kasus perdata. Pada dasarnya, pejabat diplomatik tetap memiliki kekebalan

dari

penerapan

yurisdiksi

territorial

ketika

tersangkut perkara perdata, tetapi hal ini tidak berlaku secara mutlak. Pejabat diplomatik bisa menjalani proses hukum, dan

Prinsip-Prinsip Hukum Internasional

91

diajukan sebagai tergugat ataupun saksi dalam perkara perdata melalui pengadilan negara setempat. Di samping itu, dalam masalah administratif yang melibatkan pejabat diplomatik, dia (diplomat) dapat saja dikenai semacam sanksi administratif di negara penerima, seperti tersangkut pelanggaran lalu lintas atau pelanggaran ringan lainnya, yang dilakukannya di negara penerima, sehingga sanksi administratif yang dikenakan terhadapnya, seperti

misalnya

hukuman

denda,

dapat

dijatuhkan

terhadapnya (diplomat) karena hukuman seperti ini dapat dikatakan

tidak

akan

mempengaruhi

kelancaran

dan

efektifitas pelaksanaan tugas-tugasnya di negara setempat, yang memang menjadi tujuan dari azas kekebalan diplomatik. Hukuman ringan seperti itu tidak akan mengurangi dan menggerogoti kekebalan diplomatik yang melekat pada dirinya sehingga

tidak

akan

mengganggu

pelaksanaan

tugas-

tugasnya di negara penerima. Seorang pejabat diplomatik dapat dijadikan tergugat dalam suatu perkara perdata, sebagaimana halnya dia dapat bertindak sebagai penggugat di depan pengadilan dari negara penerima, bilamana gugatan itu bertujuan untuk mendapatkan kembali harta tidak bergerak yang semata-mata bersifat pribadi. Seorang penduduk atau warganegara dari negara penerima, dapat saja menggugat pribadi pejabat diplomatik atas

dasar

suatu

perbuatan

wanprestasi.

92

Prinsip-Prinsip Hukum Internasional

yang

dikualifikasi

sebagai

Dalam hal ada perjanjian atau kontrak di antara dua pihak, yaitu antara seseorang dengan seorang diplomat, yang bertindak atas nama pribadinya sendiri, tetapi diplomat ini ternyata tidak melaksanakan kewajibannya sebagaimana diatur dalam kontrak tadi, sehingga merugikan pihak lain, maka pihak yang merasa dirugikan dapat mengajukan gugatan terhadap pribadi diplomat itu. Kelalaian diplomat dalam menjalankan kewajibannya, atau apa yang disebut dengan istilah wanprestasi, dapat digunakan sebagai alasan bagi pihak yang merasa dirugikan untuk menyeret sang diplomat dalam kapasitas pribadinya sebagai tergugat. Dia juga dapat diseret sebagai tergugat, apabila dia melakukan apa yang disebut Perbuatan Melawan Hukum (Onrechmatige Daad). Seorang diplomat dapat melakukan suatu perbuatan yang dikualifikasi sebagai perbuatan melawan hukum, apabila perbuatannya membawa kerugian kepada orang lain, baik yang berkaitan dengan masalah keperdataan, masalah profesi, masalah komersial ataupun bisnis. Diplomat yang melakukan perbuatan melawan hukum yang menimbulkan kerugian kepada orang lain, berkewajiban untuk membayar gantirugi atas kerugian akibat perbuatan diplomat yang sifatnya pribadi. Seorang diplomat yang bekerja sebagai pedagang, akuntan, manager perusahaan, peneliti ataupun konsultan hukum untuk kepentingan pribadinya, semata-mata dan samasekali tidak terkait dengan fungsinya

Prinsip-Prinsip Hukum Internasional

93

sebagai pejabat diplomatik, maka dia harus bertanggungjawab secara pribadi, dan tidak dapat berlindung di balik kekebalannya sebagai pejabat diplomatik, sebab dalam hal-hal seperti itu, kekebalan tersebut tidak lagi bersifat mutlak. Pihak yang merasa dirugikan akibat perbuatan diplomat yang bersifat melawan hukum, dapat menggugat diri pribadi diplomat itu serta menuntut gantirugi. melalui pengadilan negara penerima atau pengadilan setempat. Pembahasan tersebut di atas menunjukkan bahwa, sebenarnya ada jalan untuk melakukan terobosan terhadap kekebalan diplomatik, dan menyeret pejabat diplomatik yang bersangkutan sebagai tergugat di depan pengadilan negara penerima, dalam hal timbul wanprestasi maupun perbuatan melawan hukum yang dilakukan pejabat diplomatik, dalam kapasitas pribadi serta untuk kepentingan pribadinya sematamata. Namun

demikian,

untuk

melaksanakan

gugatan

tersebut secara efisien dan efektif, maka pihak yang merasa dirugikan harus menempuh prosedur tertentu, yaitu mengusahakan terlebih dahulu adanya Penghapusan kekebalan atau pembatalan kekebalan (Waiver of Immunity). Pembatalan kekebalan harus dilakukan secara tegas dan tertulis oleh pemerintah

negara

Diplomatiknya.

pengirim,

Pihak

yang

atau

Kepala

menderita

Perwakilan

kerugian

harus

pertama-tama meminta bantuan pada pemerintah negara penerima untuk menyelesaikannya dengan pemerintah negara

94

Prinsip-Prinsip Hukum Internasional

pengirim atau Kepala Perwakilan Diplomatiknya, menyangkut penghapusan kekebalan atas diri pejabat diplomatik itu, atas dasar wanprestasi atau perbuatan melawan hukum yang merugikan warganegara dari negara penerima. Setelah terjadi pembatalan kekebalan, maka proses pemeriksaan gugatan perdata atas diplomat tersebut, dapat diselenggarakan oleh pengadilan setempat. Wakil diplomatik yang

telah

melakukan

wanprestasi,

ataupun

perbuatan

melawan hukum dengan sendirinya, sudah dapat diseret sebagai tergugat di depan pengadilan setempat, atas dasar adanya penegasan soal penghapusan kekebalan itu. Penghapusan Kekebalan (Waiver of Immunity), prosesnya dapat berjalan dengan mudah dan lancar, bilamana sebelum timbulnya kasus gugatan tersebut, sudah ada semacam kontrak atau perjanjian antara pejabat diplomatik dalam kapasitasnya selaku pribadi dengan warga negara setempat, di mana di dalam kontrak itu dapat dicantumkan semacam klausul atau pasal yang mewajibkan pejabat diplomatik tersebut, untuk menanggalkan atau melepaskan kekebalannya dalam hal terjadi pelanggaran kontrak, atau wanprestasi maupun perbuatan melanggar hukum, yang menimbulkan kerugian terhadap warganegara dari negara setempat. Akan tetapi bilamana sudah ada putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap (in kracht van gewijsde), maka putusan ini tidak langsung dapat dimohon-

Prinsip-Prinsip Hukum Internasional

95

kan eksekusi atau pelaksanaan putusan. Untuk menjalankan eksekusi atau pelaksanaan keputusan terkait dengan pribadi diplomat yang bersangkutan, seperti misalnya dia dihukum untuk membayar gantirugi kepada penggugat, maka untuk melaksanakan keputusan pengadilan tersebut, terlebih dahulu harus diupayakan adanya semacam penghapusan kekebalan dari eksekusi secara tersendiri (Separate Waiver). Hal ini disebabkan karena penghapusan kekebalan sebelum berlangsungnya proses pemeriksaan gugatan perdata, hanya menyangkut penghapusan kekebalan dari proses pemeriksaan atau persidangan di pengadilan, dan samasekali belum menyangkut dan mencakup penghapusan kekebalan dari eksekusi. Oleh sebab itu diperlukan adanya penghapusan kekebalan dari eksekusi secara tersendiri, sehingga pengadilan setempat benar-benar dapat menjalankan eksekusi atas putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap.

96

Prinsip-Prinsip Hukum Internasional

BAGIAN VI POIN-POIN PENTING TERKAIT DENGAN PRINSIP-PRINSIP HUKUM INTERNASIONAL MENGENAI YURISDIKSI NEGARA Dengan mencermati pembahasan mengenai yurisdiksi negara, serta pengecualian terhadap pelaksanaan yurisdiksi teritorial, maka dapat ditarik beberapa poin-poin penting sebagai berikut. Terdapat berbagai macam azas atau prinsip dasar yang melandasi kepentingan suatu negara, dalam mengklaim atau menyatakan kewenangannya atas suatu peristiwa, atau kasus yang di dalamnya tersangkut seseorang atau beberapa orang, benda (benda bergerak dan atau tidak bergerak), baik yang terjadi di dalam wilayahnya sendiri, maupun di luar wilayahnya sehingga hukum internasional mengakui berbagai macam yurisdiksi negara, yang sering berimplikasi atas timbulnya persaingan yurisdiksi di antara negara-negara, karena masing-masing merasa memiliki kepentingan atas kasus yang sama. Namun demikian, yang paling menonjol dan signifikan adalah yurisdiksi teritorial, karena selama orang dan atau benda yang dipermasalahkan, tidak berada dalam wilayah kedaulatan suatu negara yang mempunyai kepentingan, maka negara ini tidak dapat dengan mudah dan efektif melakukan tindakan

hukum,

sesuai

dengan

peraturan

perundang-

undangan yang berlaku di negara tersebut, atau dengan kata

Prinsip-Prinsip Hukum Internasional

97

lain, efektivitas pelaksanaan yurisdiksi teritorialnya tidak dapat berjalan sebagaimana mestinya. Sebaliknya, apabila orang dan atau benda yang bersangkutan berada di dalam batas-batas teritorilanya, maka negara yang memiliki kepentingan, dapat dengan mudah dan efektif melaksanakan yurisdiksi teritorialnya. Pelaksanaan

yurisdiksi

teritorial

atau

penerapan

peraturan hukum negara setempat, bukan sesuatu yang bersifat mutlak, sebab dalam hukum internasional dan hukum nasional, diakui apa yang disebut Azas Kekebalan (Immunity Principle), yang mengecualikan lembaga-lembaga, jabatan-jabatan atau benda-benda dengan atribut tertentu dari pelaksanaan yurisdiksi negara setempat. Negara setempat, tidak dapat melakukan tindakan hukum terhadap mereka yang memiliki kekebalan, seperti Kekebalan Kedaulatan (Souvereign Immunity), Kekebalan Diplomatik (Diplomatic Immunity), dan Hak-Hak Istimewa (Privileges) yang dimilikinya. Pada prinsipnya, dalam kasus pidana yang melibatkan mereka yang menikmati kekebalan, kekebalan ini dapat dikatakan berlaku mutlak, sehingga aparat hukum setempat tidak dapat melakukan tindakan hukum apapun terhadap pemegang kekebalan itu, terkecuali ada semacam penghapusan kekebalan, yang dilakukan secara tegas oleh Pemerintah dari negara asal atau negara pengirim. Kekebalan seperti ini juga berlaku dalam hal timbul kasus perdata, yang meli-

98

Prinsip-Prinsip Hukum Internasional

batkan mereka yang menikmati atau memegang kekebalan tersebut. Berbagai macam kasus menunjukkan dan membuktikan kekebalan kedaulatan, tidak hanya membebaskan mereka yang menikmatinya dari proses pemeriksaaan oleh aparat hukum negara setempat, tetapi juga dari tindakan-tindakan penyitaan dan eksekusi terhadap harta kekayaan yang dimiliki oleh para pemegang kekebalan kedaulatan tersebut. Namun demikian kekebalan dalam kasus perdata, tidak selalu berlaku secara absolut, sebab dalam praktik negara-negara, sudah dibedakan antara perbuatan negara yang dinamakan iure imperii dan iure gestionis. Perbuatan yang dikualifikasi sebagai iure imperii, mewajibkan pengadilan negara setempat untuk mengakui dan menghormati kekebalan tersebut, sehingga pihak pengadilan setempat seharusnya mengesampingkan gugatan perdata oleh siapapun terhadap pemegang kekebalan kedaulatan tersebut. Sebaliknya kalau terbukti perbuatan atau tindakan yang dilakukan oleh suatu negara, dikategorikan sebagai iure gestionis, maka pengadilan setempat tidak terikat untuk mengakui dan menghormati kekebalan tersebut. Pengadilan negara setempat dapat memeriksa dan menyelesaikan kasus gugatan perdata atau gugatan gantirugi, yang diajukan oleh siapapun

terhadap

mereka

yang

menikmati

kekebalan

tersebut.

Prinsip-Prinsip Hukum Internasional

99

Terkait dengan kekebalan diplomatik dalam kasus pidana berat yang melibatkan pejabat diplomatik, maka pada prinsipnya kekebalan ini bersifat mutlak, sehingga aparat setempat tidak dapat melakukan tindakan hukum apapun, terkecuali pemerintah negara pengirim melakukan pembatalan kekebalan terhadap pejabat diplomatik. Kendati negara pengirim tidak membatalkan kekebalannya, namun pejabat yang terlibat, dapat dinyatakan persona non grata oleh negara penerima, yang kemudian diikuti dengan tindaskan pengusiran terhadap diplomat yang bersangkutan. Dalam kasus perdata, di mana pejabat diplomatik melakukan tindakan untuk kepentingan pribadinya, dan tidak terkait dengan pelaksanaan tugasnya sebagai pejabat diplomatik, maka pada prinsipnya yang bersangkutan tetap memiliki kekebalan dari pelaksanaan hukum di negara setempat atau

negara

penerima,

terkecuali

terjadi

penghapusan

kekebalan dari proses hukum (waiver of immunity). Penghapusan kekebalan seperti ini dapat terjadi, baik sebelum munculnya perkara maupun sesudahnya, sehingga pengadilan negara setempat dapat melakukan pemeriksaan tanpa hambatan. Walaupun sudah ada keputusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap, pelaksanaan atau eksekusinya masih memerlukan penghapusan kekebalan dari eksekusi secara tersendiri (separate waiver).

100

Prinsip-Prinsip Hukum Internasional

BAGIAN VII PENGATURAN HUKUM INTERNASIONAL MENGENAI TANGGUNGJAWAB NEGARA Yurisdiksi negara, dengan berbagai macam variasi atau bentuknya, bisa diklaim oleh suatu negara sesuai kepentingannya. Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya, yurisdiksi ini bersumber baik dari adanya kedaulatan, maupun hak-hak berdaulat dan hak-hak lain yang ditentukan dalam hukum internasional, sehingga pengertian yurisdiksi negara, jauh lebih luas daripada pengertian kedaulatan itu sendiri, walaupun dari aspek tertentu yurisdiksi negara, dalam hal ini Yurisdiksi Teritorial (Territorial Jurusdiction), adalah merupakan konsekuensi logis dari azas kedaulatan negara. Namun demikian, di balik yurisdiksi negara, terdapat pula

azas

Tanggungjawab

Negara

(State

Responsibility),

bahkan dapat dikatakan penerapan atau pelaksanaan dari yurisdiksi negara, tidak jarang dan bahkan sering menimbulkan

pertanggungjawaban

negara

(state

responsibility).

J.G.Starke dalam bukunya “Introduction to International Law”, demikian juga Malcolm N. Shaw dalam bukunya “International Law” menguraikan secara saksama pengertian tanggungjawab negara yang pada prinsipnya dapat dikemukakan sebagai berikut.

Prinsip-Prinsip Hukum Internasional

101

Tanggungjawab Negara (State Responsibility) adalah suatu azas hukum internasional yang bersifat fundamental, yang timbul dari hakekat sistem hukum internasional dan doktrin kedaulatan negara (State Souvereignty), serta Persamaan Negara-Negara (Equality of States). Pertanggungjawaban negara menunjukkan pengertian bahwa, bilamana suatu negara melakukan suatu perbuatan yang salah secara internasional (internationally wrongful act or internationally unlawful act) terhadap negara lain, maka di antara kedua negara tersebut tidak dapat dihindari adanya tanggungjawab internasional. Jika suatu negara dengan perbuatan atau kelalaiannya, melakukan pelanggaran atas kewajiban internasional, atau kewajiban yang ditentukan dalam hukum internasional, maka negara tersebut harus memikul dan dibebani dengan tanggungjawab internasional. Jika pelanggaran itu membawa kerugian terhadap negara lain, maka negara yang melakukan pelanggaran itu, harus bertanggungjawab untuk membayar gantirugi atas kerugian yang timbul, ataupun meminta maaf kepada negara yang dirugikan. Sebaliknya negara yang menderita

kerugian

akibat

pelanggaran

atas

kewajiban

internasional itu, mempunyai hak untuk menuntut pertanggungjawaban, maupun gantirugi dari negara yang melakukan pelanggaran tersebut. Menurut Malcolm N. Shaw, tanggungjawab negara memiliki ciri-ciri atau unsur-unsur pokok sebagai berikut.

102

Prinsip-Prinsip Hukum Internasional

Pertama-tama, di antara dua negara harus terdapat suatu kewajiban yang ditentukan di dalam hukum internasional. Kedua, harus ada suatu tindakan atau kelalaian dari suatu negara, yang merupakan dan dapat dikualifikasi sebagai pelanggaran kewajiban internasional, serta pelanggaran yang terjadi ini, dapat dihubungkan dengan negara yang bersangkutan. Ketiga, tindakan atau kelalaian yang dikualifikasi sebagai pelanggaran kewajiban internasional itu, menimbulkan kerusakan atau kerugian terhadap negara lainnya. Konsep

mengenai

tanggungjawab

negara

akibat

pelanggaran kewajiban internasional, serta kewajiban negara yang bersangkutan untuk membayar gantirugi atas kerugian yang diderita oleh negara lain, dapat ditemukan melalui yurisprudensi internasional, maupun rancangan kodifikasi Den Haag mengenai tanggungjawab negara, sebagaimana pernah dirumuskan oleh sebuah komisi yang dibentuk pada zaman Liga Bangsa-Bangsa (The International Law Commission’s Draft Articles on State Responsibility). Mahkamah Internasional Permanen (Permanent Court of International Justice atau disingkat PCIJ) dalam kasus the Chorzow Factory (the Chorzow Factory Case) menyatakan bahwa “adalah prinsip hukum internasional, dan bahkan sudah menjadi azas hukum umum, bahwa setiap pelanggaran atas suatu perjanjian menimbulkan kewajiban untuk mengadakan perbaikan, dalam pengertian kewajiban untuk membayar gantirugi”.

Prinsip-Prinsip Hukum Internasional

103

Dengan demikian apabila suatu negara melakukan pelanggaran terhadap kewajiban yang ditentukan dalam suatu perjanjian internasional dan pelanggaran ini membawa kerugian terhadap negara lain, maka negara yang bersangkutan harus bertanggungjawab dan membayar gantirugi atas kerugian yang diderita oleh negara lain. Artikel (Pasal) 1 dari The Draft Articles on State Responsibility (ILC Draft), menegaskan kembali apa yang dinyatakan oleh Mahkamah Internasional Permanen dalam kasus tersebut di atas, dengan menyebutkan bahwa setiap perbuatan yang salah secara internasional yang dilakukan oleh suatu negara, menghendaki dan menuntut adanya pertanggungjawaban. Selanjutnya di dalam artikel 2 dari ILC Draft (Draft Articles) dinyatakan bahwa, dalam hal suatu negara telah melakukan perbuatan yang salah secara internasional, maka secara internasional negara tersebut harus bertanggungjawab. Artikel 3 dari The Draft Articles menyatakan bahwa, suatu perbuatan yang dilakukan oleh suatu negara, dinamakan perbuatan yang salah secara internasional (internationally wrongful act), apabila perbuatan tadi memenuhi dua unsur atau dua syarat yaitu: Pertama, perbuatan yang dilakukan entah berupa tindakan (action), ataukah kelalaian (omission), dapat dikaitkan dengan negara yang bersangkutan berdasarkan hukum internasional. Kedua, perbuatan tersebut merupakan suatu pelanggaran terhadap kewajiban internasional.

104

Prinsip-Prinsip Hukum Internasional

Dalam hubungannya dengan “internationally wrongful act”, maka perlu dibedakan antara “international crimes” dengan “international delicts”. Artikel 19 dari The Draft Articles menyatakan bahwa, semua pelanggaran atas kewajiban internasional, adalah perbuatan yang salah secara internasional (internationally wrongful act). Suatu perbuatan yang salah secara internasional (internationally wrongful act), yang terjadi karena adanya pelanggaran kewajiban internasional, padahal kewajiban internasional ini adalah demikian esensialnya untuk melindungi kepentingan fundamental dari masyarakat internasional, maka masyarakat internasional secara keseluruhan, dapat menganggap pelanggaran tersebut sebagai suatu kejahatan internasional (international crime). Dengan kata lain “internationally wrongful act” dapat dikualifikasi sebagai “international crime”, apabila suatu negara melakukan pelanggaran atas suatu kewajiban internasional, yang sedemikian esensial dalam melindungi kepentingan

mendasar

dari

seluruh

masyarakat

internasional.

Sedangkan “internationally wrongful act” lainnya yang tidak termasuk di dalam “international crime” dinamakan delik internasional (international delict). Sebagai contoh yang dapat dikemukakan mengenai “internationally wrongful act” yang dapat dikualifikasi sebagai “international crime” adalah tindakan agresi, menciptakan dan memelihara wilayah kolonial dengan cara kekerasan, kejahatan genosida, pencemaran berat di atmosfer ataupun di laut.

Prinsip-Prinsip Hukum Internasional

105

Permasalahan mengenai apakah suatu negara dapat dipertanggungjawabkan

dari

sudut

hukum

pidana

atau

hukum kriminal adalah sesuatu yang sangat kontroversial. Ditinjau dari sudut hukum internasional tradisional, yang melihat hukum internasional hanya sebagai hukum antarnegara semata-mata, permasalahan ini pernah dibahas oleh seorang ahli hukum yaitu Ian Brownlie. Menurutnya konsep pemikiran mengenai tanggungjawab negara dari segi kriminal tidak memiliki nilai yuridis, dan pada dasarnya tidak dapat dibenarkan atau dipertanggungjawabkan. Kendati konsep tersebut dapat digunakan dalam bidang politik dan moral, namun penggunaan dan penerapan konsep tersebut dalam bidang hukum sia-sia saja, sebab tanggungjawab negara pada dasarnya hanya dibatasi pada

tanggungjawab

dan

kewajiban

untuk

membayar

gantirugi. Walaupun

ada

kemungkinan

untuk

menentukan

semacam sanksi pidana terhadap suatu negara, yang dianggap melakukan pelanggaran internasional, namun hal ini dapat menciptakan semacam ketidakstabilan (instability) dalam hubungan antarnegara (Ian Brownlie, 1979:111). Akan tetapi, ada juga beberapa ahli yang mempunyai pendapat lain dengan menyatakan bahwa, terutama sejak tahun 1945 telah terjadi perubahan sikap dari negara-negara atas kejahatankejahatan tertentu, dan perubahan sikap ini adalah sedemikian rupa, sehingga berbagai jenis kejahatan yang terjadi

106

Prinsip-Prinsip Hukum Internasional

selama Perang Dunia II, telah menciptakan permasalahan dari segi hukum internasional. Perubahan sikap negara-negara, atas berbagai jenis kejahatan itu sejalan dengan terjadinya perubahan-perubahan terutama sejak tahun 1945, di mana perubahan-perubahan ini adalah sebagai berikut: Pertama, perkembangan konsep jus cogens yang merupakan prinsip-prinsip atau kaidah-kaidah

dasar

hukum

internasional

umum

(the

peremptory norm of the general international law), yang harus dipatuhi oleh negara-negara, sehingga tidak boleh dilakukan penyimpangan dari kaidah-kaidah dasar tersebut. Kedua, timbulnya pembebanan tanggungjawab pidana, yang secara langsung dibebankan atas individu-individu. Berdasarkan hukum internasional, individu-individu yang terlibat dalam kejahatan-kejahatan tertentu, seperti kejahatan perang, kejahatan terhadap perdamaian dunia, dan kejahatan kemanusiaan dibebani secara langsung dengan tanggungjawab kriminal atau tanggungjawab pidana. Perjanjian London (The London Agreement) tahun 1942, mengenai pembentukan pengadilan internasional di Nuremberg (The Nuremberg Tribunal) dan di Tokyo (The Tokyo Tribunal), maupun perjanjian yang disebut Konvensi Genosida “The Genocide Convention” tahun 1948, menjadi bukti terkait adanya pembebanan secara langsung tanggungjawab pidana, atas diri individu yang tersangkut dalam kejahatan-kejahatan tersebut, sehingga siapapun yang terbukti terlibat (pejabat

Prinsip-Prinsip Hukum Internasional

107

negara, pejabat militer, dan lain sebagainya) tidak dapat berlindung di belakang tanggungjawab dari negaranya sendiri. Ketiga, terbentuknya Piagam PBB (United Nations Charte), di mana negara yang terbukti melakukan tindakantindakan yang mengancam dan membahayakan perdamaian dunia, ataupun melakukan tindakan agresi, dapat dikenai dan dijatuhi sanksi oleh Dewan Keamanan PBB (United Nations Security Council). Berdasarkan Piagam PBB, Dewan Keamanan dapat melakukan tindakan Penegakan Hukum (Law Enforcement), dengan menjatuhkan sanksi hukum terhadap negara yang terbukti melakukan tindakan, yang mengancam dan membahayakan misi atau tujuan organisasi, ataupun terbukti menciptakan situasi yang dapat membahayakan perdamaian dan keamanan internasional. Timbulnya persoalan tanggungjawab negara, tentu saja didasarkan atas adanya suatu pelanggaran internasional, atau pelanggaran kewajiban internasional. Pelanggaran ini, bukan hanya pelanggaran atas kewajiban yang ditentukan di dalam suatu perjanjian internasional, sebagaimana digambarkan dalam perkara antara Jerman dan Polandia (The Chorzow Factory Case), melainkan juga pelanggaran atas kewajiban internasional lainnya, termasuk kewajiban yang didasarkan atas kaidah-kaidah hukum internasional yang bersifat umum, sebagaimana ternyata dapat dilihat melalui kasus atau perkara antara Inggeris dan Albania (The Corfu Channel Case).

108

Prinsip-Prinsip Hukum Internasional

Selat Corfu adalah suatu selat internasional, atau laut wilayah yang sebenarnya dimiliki oleh beberapa negara termasuk Albania, tetapi selat ini juga mempunyai fungsi sebagai selat internasional. Di Selat Corfu, bertaburan ranjauranjau yang menurut dugaan Inggeris, pemasangan ranjau tersebut dilakukan oleh Pemerintah Albania tanpa pemberitahuan. Akibat adanya pemasangan ranjau di perairan selat itu, maka kapal perang Inggeris ada yang rusak dan tenggelam, serta beberapa awaknya tewas atau hilang. Peristiwa ini kemudian dilaporkan dan diadukan oleh Inggeris kepada Dewan Keamanan PBB, tetapi Dewan Keamanan PBB menyarankan agar kedua belah pihak menyerahkan persengketaan itu kepada Mahkamah Internasional. Mahkamah dalam pertimbangannya antara lain mengatakan bahwa, negara pantai berkewajiban untuk menjaga keamanan jalur laut teritorialnya, dan apabila hal ini tidak dilaksanakan, dapat dianggap sebagai pelanggaran internasional, dan pada akhirnya dapat menimbulkan pertanggungjawaban. Demikian dalam perkara ini pihak Albania dinyatakan bersalah, yaitu tidak melaksanakan kewajibannya sebagai negara pantai, dalam menjamin keamanan berlayar di Selat Corfu serta harus membayar gantirugi kepada Inggeris. Walaupun pada umumnya, tanggungjawab negara didasarkan atas adanya kesalahan dari negara yang bersangkutan (wrongful act atau unlawful act), namun dalam keadaan tertentu, suatu negara dapat saja memikul pertanggung-

Prinsip-Prinsip Hukum Internasional

109

jawaban, karena kendati tindakan yang dilakukannya adalah sah, namun menimbulkan kerugian terhadap negara lain. Adanya tanggungjawab seperti ini, adakalanya didasarkan atas apa yang disebut azas yang melarang dilakukannya penyalahgunaan hak (abuse of rights). Masalah doktrin “abuse of rights” untuk pertama kalinya muncul di dalam pertemuan dari “The Advisory Committee of Jurists” yang ditugaskan untuk membuat rancangan Statuta Mahkamah Internasional. Ketika mereka membahas ketentuan Pasal 38 Statuta Mahkamah Internasional soal sumber-sumber hukum internasional, salah seorang anggota Komite tersebut asal Italia, menyebut azas larangan penyalahgunaan hak, sebagai salah satu di antara azas-azas hukum umum yang diakui oleh bangsa-bangsa beradab, sehingga dapat dipakai oleh Mahkamah dalam memeriksa dan memutuskan setiap sengketa yang diajukan. Kemudian para ahli merekomendasikan, agar prinsip larangan penyalahgunaan hak (abuse of rights), diterapkan secara progressif sebagai salah satu azas hukum umum yang dinyatakan dalam Pasal 38 Statuta Mahkamah Internasional. Prinsip tersebut tentu saja penting, dikaitkan dengan perkembangan hukum internasional, terutama dalam hubungan dengan prinsip-prinsip hukum yang mengatur soal tanggungjawab negara. Mengenai tanggungjawab negara atas pelanggaran kewajiban internasional, atau perbuatan yang salah secara

110

Prinsip-Prinsip Hukum Internasional

internasional (internationally wrongful act atau internationally unlawful

act),

baik

perbuatan

yang

dilakukan

dengan

kesengajaan atau kelalaian, maka persoalannya adalah, apakah tanggungjawab negara bersifat mutlak atau terlebih dahulu harus dibuktikan adanya kesalahan dari pejabat negara yang melakukannya. Dengan rumusan lain, dalam hal timbul pelanggaran internasional, apakah negara yang bersangkutan mempunyai tanggungjawab mutlak, ataukah tanggungjawabnya harus didasarkan atas pembuktian terlebih dahulu, mengenai adanya kesalahan dari negara yang bersangkutan? Pertanyaan ini dapat dijawab, dengan mempergunakan dua macam pendekatan atau dua macam prinsip, yakni prinsip Tanggungjawab Obyektif (the Objective Responsibility) atau Teori Resiko (the Risk Theory atau the Risk Liability Principle), serta prinsip Tanggungjawab Subyektif (the Subjective Responsibility) atau Teori Kesalahan (the Fault Theory atau the Fault Liability Principle). Berdasarkan prinsip tanggungjawab obyektif, maka tanggungjawab negara adalah sesuatu yang bersifat mutlak (strict). Hal ini berarti bahwa, apabila terjadi perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh pejabat negara, serta menimbulkan kerugian terhadap negara lain, maka menurut hukum internasional, negara itu harus bertanggungjawab kepada negara yang mengalami kerugian, tanpa memperha-

Prinsip-Prinsip Hukum Internasional

111

tikan

apakah

itikadnya

baik

atau

buruk,

atau

tanpa

memperhatikan apakah negara tersebut bersalah atau tidak. Sedangkan berdasarkan prinsip tanggungjawab subyektif, maka negara yang bersangkutan, hanya bertanggungjawab atas kerugian yang timbul, apabila dapat dibuktikan terlebih dahulu adanya kesalahan dari negara yang bersangkutan. Secara lebih tegas kita dapat mengatakan bahwa, berdasarkan prinsip tanggungjawab obyektif, atau disebut juga Prinsip Tanggungjawab Mutlak (Strict Liability Principle), maka negara yang melakukan pelanggaran, dan menimbulkan kerugian terhadap negara lain, harus bertanggungjawab secara mutlak atas kerugian tersebut. Negara yang menderita kerugian, tidak perlu membuktikan adanya kesalahan dari negara yang telah melakukan pelanggaran. Selanjutnya berdasarkan prinsip tanggungjawab subyektif, atau prinsip tanggungjawab atas dasar kesalahan (fault liability atau liability based on fault), maka negara yang menderita kerugian, berkewajiban untuk membuktikan adanya kesalahan, dari negara yang telah melakukan pelanggaran yang mengakibatkan timbulnya kerugian. Dengan demikian, prinsip tanggungjawab mutlak, membebaskan negara yang menderita kerugian dari kewajiban untuk membuktikan, apakah negara yang menimbulkan kerugian itu bersalah atau tidak bersalah, sebab berdasarkan prinsip tanggungjawab mutlak, begitu terjadi kerugian akibat pelanggaran internasional, mewajibkan negara yang melaku-

112

Prinsip-Prinsip Hukum Internasional

kan pelanggaran serta menimbulkan kerugian itu, untuk bertanggungjawab serta membayar gantirugi kepada negara yang menderita kerugian. Selanjutnya prinsip tanggungjawab yang didasarkan atas kesalahan, membebankan kewajiban bagi negara yang menderita kerugian, untuk membuktikan adanya kesalahan dari negara yang melakukan pelanggaran, serta menimbulkan kerugian (Mieke Komar Kantaatmadja, 1980:45). Prinsip tanggungjawab mana yang dianut oleh negaranegara pada umumnya, apakah prinsip tanggungjawab yang dinamakan strict liability ataukah liability based on fault ?. Walaupun ada kecenderungan untuk menganut pendekatan strict liability, namun berbagai kasus yang pernah terjadi, menunjukkan tidak satupun prinsip pertanggung jawaban yang dikemukakan di atas dapat berlaku secara mutlak dan terus menerus. Misalnya dalam kasus yang disebut “the Caire Claim” antara Perancis dan Meksiko, di mana seorang warganegara Perancis, ditembak oleh tentara-tentara Meksiko, karena dia menolak memberikan sejumlah uang (lima ribu dollar Meksiko) kepada tentara-tentara Meksiko. Kedua negara bersepakat, membentuk sebuah komisi untuk memeriksa dan memutuskan kasus tersebut (the French Mexican Claims Commission). Ketua Komisi berpendapat bahwa, Meksiko harus bertanggungjawab atas kerugian yang dialami pihak Perancis, sesuai dengan prinsip tanggungjawab mutlak (strict liability). Meksiko harus bertanggung-

Prinsip-Prinsip Hukum Internasional

113

jawab, atas tindakan yang dilakukan oleh para pejabat atau organ negara, dimana tindakan ini, dapat beralih menjadi tindakan dari negara Meksiko, yang harus bertanggungjawab kendatipun mereka tidak bersalah. Kasus terkenal yang menerapkan pendekatan atau prinsip tanggungjawab subyektif (fault liability atau liability based on fault), adalah kasus yang dinamakan “the Home Missionary Society Claim”, yang melibatkan Inggeris dan Perancis pada tahun 1920. Dalam kasus ini, penerapan pajak pemondokan (hut-tax) di dalam wilayah protektorat Inggeris di Sierra Leone, mengakibatkan meletusnya pemberontakan di wilayah itu. Peristiwa itu, menimbulkan kerugian atas harta benda milik komunitas misionaris, serta tewasnya para misionaris di Sierra Leone. AS menuntut

yang

mewakili

kepentingan

pertanggungjawaban

pemberontakan

di

wilayah

para

misionaris,

atas

timbulnya

Inggeris

tersebut.

Namun

demikian

Mahkamah Internasional menolak tuntutan AS, yang mewakili komunitas misionaris dengan menyatakan bahwa, menurut hukum internasional, Pemerintah tidak dapat dituntut pertanggungjawabannya atas tindakan yang dilakukan oleh para pemberontak (the acts of rebels), karena pemerintah tidak bersalah, baik dari segi itikad baik, maupun dari segi kelalaian dalam menumpas pemberontakan. Pemerintah

Inggeris,

tidak

dapat

dipertanggung-

jawabkan atas timbulnya kerugian akibat pemberontakan,

114

Prinsip-Prinsip Hukum Internasional

karena terjadinya pemberontakan di wilayah protektoratnya, bukan

merupakan

suatu

kesengajaan,

dan

Pemerintah

Inggeris tidak lalai dalam menumpas pemberontakan tersebut. Dalam kasus “the Corfu Channel Case”, Mahkamah Internasional

agaknya

tanggungjawab

yang

cenderung didasarkan

menggunakan atas

prinsip

kesalahan

(fault

liability). Hal ini dapat dilihat dari pertimbangan Mahkamah Internasional yang antara lain menyatakan bahwa, walaupun negara pantai berkewajiban untuk menjalankan pengawasan atas wilayah dan perairannya, namun menurut Mahkamah Internasional tidak dapat disimpulkan bahwa, negara pantai yang bersangkutan, harus mengetahui setiap perbuatan yang bertentangan dengan hukum yang terjadi di wilayah itu. Demikian

juga,

tidak

dapat

disimpulkan

bahwa

negara tersebut harus mengetahui pelaku atas perbuatan tersebut. Kenyataan bahwa, negara pantai menjalankan pengawasan, atas wilayah dan perairannya tidak pertamatama berarti bahwa, negara tersebut bertanggungjawab, tetapi juga tidak mengubah beban pembuktian. Hal ini berarti bahwa negara pantai hanya bertanggungjawab apabila negara korban dapat membuktikan kesalahan dari negara pantai yang bersangkutan. Kasus terkenal yang mengadopsi prinsip tanggungjawab yang didasarkan atas kesalahan (fault liability principle), adalah “the Home Missionary Society Claim”. Perkara yang

Prinsip-Prinsip Hukum Internasional

115

terjadi pada tahun 1920 melibatkan Inggeris dan AS. Perkara ini terjadi ketika Inggeris menerapkan aturan mengenai pajak pemondokan (hut-tax), di wilayah protektorat Inggeris (Sierra Leone), sehingga mengakibatkan terjadinya pemberontakan di wilayah tersebut. Pemberontakan ini membawa kerugian terhadap harta benda milik komunitas misionaris, serta terutama tewasnya para misionaris yang sedang menjalankan tugas di negeri Sierra Leone. Komunitas misionaris diwakili oleh Pemerintah AS. Atas nama keluarga korban, AS menuntut tanggungjawab dari Pemerintah Inggeris atas kelalaiannya, dalam memberi perlindungan bagi warganegara asing, yang menimbulkan kerugian harta benda maupun korban jiwa ketika terjadi pemberontakan. Atas pelanggaran serta kerugian ini, Pemerintah AS juga menuntut gantirugi. Namun Mahkamah Internasional (PCIJ) menolak tuntutan tersebut, dengan menyatakan bahwa menurut hukum internasional, pemerintah tidak dapat dipertanggungjawabkan atas tindakan para pemberontak (the acts of rebels). Pemerintah (dalam hal ini Pemerintah Inggeris) tidak bersalah baik dari segi itikad baik, maupun dari segi kelalaian dalam menumpas pemberontakan. Pemerintah Inggeris tidak lalai dalam melindungi kaum misionaris khususnya ketika terjadi pemberontakan di wilayah protektoratnya.

116

Prinsip-Prinsip Hukum Internasional

BAGIAN VIII DOKTRIN IMPUTABILITAS Sebagai suatu kesatuan atau lembaga yang sifatnya abstrak, maka bagaimanapun negara tidak dapat dan tidak mungkin bertindak sendiri, tetapi tindakannya harus melalui wakil, badan, organ atau pejabatnya. Perbuatan yang dilakukan oleh organ atau pejabat negara, dapat saja dikaitkan dengan negara, sehingga negara yang bersangkutan bertanggungjawab atas perbuatan tersebut. Inilah yang disebut Doktrin Imputabilitas (the Doctrine of Imputability), yaitu doktrin yang menyatakan bahwa perbuatan (baik berupa tindakan atau action ataupun kelalaian atau omission) dari organ negara, atau pejabat negara dipersamakan dengan perbuatan dari negara itu sendiri, dan dengan demikian, negara tersebut harus bertanggungjawab atas kerugian yang timbul akibat perbuatan tersebut. Menurut Starke, agar supaya negara bertanggungjawab atas perbuatan yang dilakukan oleh organ negara atau pejabatnya, maka dua syarat harus dipenuhi. Pertama, Perbuatan dari organ atau pejabat negara menimbulkan apa yang dinamakan pelanggaran internasional, atau pelanggaran kewajiban internasional. Kedua, pelanggaran tersebut, dapat dihubungkan dengan negara yang bersangkutan berdasarkan kaidah hukum internasional.

Prinsip-Prinsip Hukum Internasional

117

Artikel 5 dari ILC Draft (ILC Draft on State Responsibility) menegaskan bahwa, perbuatan dari setiap organ negara, yang memiliki status sebagai organ negara berdasarkan hukum nasional, harus dianggap sebagai perbuatan dari negara (Act of State) menurut hukum internasional, asal saja organ negara itu melakukan perbuatan sesuai dengan kappasitas atau kewenangannya dalam masalah tersebut. Kemudian artikel 7 dari ILC Draft menyatakan bahwa, perbuatan organ negara dari kesatuan pemerintahan teritorial di dalam suatu negara, harus juga dipersamakan dengan perbuatan negara (Act of State) berdasarkan hukum internasional, apabila organ dari pemerintahan teritorial itu, bertindak sesuai dengan kewenangannya, dalam masalah yang bersangkutan. Komisi Hukum Internasional dalam laporannya tahun 1974 menyatakan azas bahwa, negara bertanggungjawab atas tindakan dan kelalaian dari organ-organ pemerintah teritorial, seperti kota (municipalities), propinsi (provinces) dan wilayah (regions) sudah lama diakui secara tegas dalam putusanputusan pengadilan internasional, maupun praktik negaranegara. Bagaimana dengan Negara Federal atau negara yang terdiri dari negara-negara bagian, demikian pula dengan negara yang memiliki wilayah protektorat? Negara bagian atau negara anggota dalam suatu negara federal, sering juga melakukan perbuatan yang menyebabkan kerugian terhadap negara lain, sehingga menimbulkan

118

Prinsip-Prinsip Hukum Internasional

pertanyaan siapa yang bertanggungjawab, apakah negara federal ataukah negara bagiannya, negara yang memiliki daerah protektorat (protecting state) ataukah negara anggotanya. Prinsip yang diterima adalah bahwa, the Federal State serta the Protecting State harus bertanggungjawab atas perbuatan yang masing-masing dilakukan oleh negara bagian, atau negara anggota dari the Federal State maupun oleh negara anggota (member state atau protected state) dari the Protecting State. Hal ini disebabkan, karena menyangkut urusan-urusan luar negeri (foreign affairs), baik the Federal State maupun the Protecting State itu sendiri, yang diakui mempunyai kapasitas atau kemampuan untuk mengadakan hubungan dengan negara-negara lain. Tindakan yang dilakukan oleh organ atau pejabat dari negara bagian dalam negara federal, ataupun yang dilakukan oleh organ atau pejabat dari negara federal itu sendiri, dipersamakan dengan tindakan dari negara federal itu sendiri, demikian pula yang menyangkut tindakan dari organ atau pejabat dari negara anggota, dari the Protecting State serta tindakan dari organ atau pejabat dari the Protecting State itu dipersamakan dengan tindakan dari the Protecting State. Dengan demikian, negara bertanggungjawab atas tindakan yang dilakukan oleh organ atau pejabat negara, maupun organ atau pejabat dari pemerintah territorial, tetapi sejauhmana negara tersebut harus memikul tanggungjawab

Prinsip-Prinsip Hukum Internasional

119

seperti itu, ditentukan oleh dua hal. Pertama, apakah organ atau pejabat dari negara ataupun dari pemerintah territorial, yang melakukan perbuatan yang dikualifikasi sebagai pelanggaran internasional, sungguh-sungguh memiliki kewenangan sebagaimana diatur dalam hukum nasionalnya. Kedua, jika ternyata organ atau pejabat negara yang bersangkutan mempunyai kewenangan, maka pelanggaran yang dilakukannya, jelas dapat dikaitkan dengan negara itu, sehingga negara yang bersangkutan harus bertanggungjawab secara internasional. Bagaimana dengan organ atau pejabat negara yang melakukan tindakan yang sudah melampaui kewenangannya berdasarkan hukum nasional? Meskipun tindakan dari organ atau pejabat negara telah melampaui kewenangannya di dalam hukum nasional, namun

hukum

internasional

menghubungkan

(attribute)

tindakan atau pelanggaran itu dengan negara yang bersangkutan. Demikian

dalam kasus Youmans (Youmans Case),

seorang perwira dengan pangkat letnan dalam Angkatan Bersenjata Meksiko, yang mendapat perintah dari atasannya di sebuah kota untuk mengerahkan pasukannya, dalam usaha mengatasi huru-hara serta menghentikan serangan atas warganegara Amerika. Ketika tiba di lokasi huru-hara, pasukannya seharusnya membubarkan massa, tetapi ternyata menembaki rumah tempat pelarian orang Amerika sehingga salah seorang di antaranya tewas. Dua orang Amerika lainnya dipaksa untuk

120

Prinsip-Prinsip Hukum Internasional

meninggalkan rumah tersebut, dan kemudian mereka dibunuh oleh pasukan Pemerintah dan massa. Penembakan tersebut menunjukkan bahwa, pasukan itu tidak mematuhi perintah atasannya. Atas persetujuan AS dan Meksiko, lalu dibentuk sebuah komisi guna menyelidiki kasus penembakan serta siapa yang bertanggung jawab. Komisi tersebut memutuskan bahwa, Pemerintah Meksiko bertanggungjawab atas kesalahan yang dilakukan oleh pasukan Meksiko yang dipimpin oleh Youmans, meskipun tindakan mereka sudah melampaui wewenang yang telah ditentukan. Prinsip-prinsip hukum mengenai dikaitkannya tindakan dari organ atau pejabat negara, dengan negara itu sendiri sehingga negara harus bertanggungjawab, karena tindakan mereka dipersamakan dengan tindakan negara (Act of State), ditegaskan kembali dalam artikel 10 dari The Draft Articles yang menyatakan bahwa, tindakan dari organ negara, kesatuan pemerintah teritorial atau kesatuan yang diberi wewenang untuk menjalankan unsur-unsur kekuasaan pemerintah, dimana organ tersebut bertindak sesuai dengan kapasitas atau

kewenangannya, harus dianggap

sebagai tindakan

negara (Act of State) berdasarkan hukum internasional, meskipun dalam hal-hal tertentu, organ tersebut bertindak melampaui kewenangannya menurut hukum nasional, atau melanggar instruksi-instruksi menyangkut tugas dan kegiatannya.

Prinsip-Prinsip Hukum Internasional

121

Hal ini ditegaskan kembali melalui laporan yang dibuat Komisi Hukum Internasional (the International Law Commission) pada tahun 1974 sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya. Tindakan seseorang atau sekelompok orang, yang tidak bertindak atas nama negara, tidak boleh dianggap sebagai “Act of State”. Apabila suatu perbuatan melawan hukum dilakukan oleh warganegara biasa, dan bukan oleh organ atau pejabat negara, maka tidak ada alasan untuk mengkaitkan perbuatannya itu dengan negaranya, karena doktrin imputabilitas didasarkan atas asumsi bahwa, pelanggaran itu dilakukan oleh pejabat negara. Namun demikian, negara tersebut dapat saja memikul tanggungjawab, apabila negara itu lalai melakukan pengawasan guna mencegah timbulnya perbuatan orang itu. Dalam beberapa kasus yang sudah pernah diputuskan, negara dapat bertanggungjawab didasarkan atas keadaan-keadaan yang menunjukkan adanya kelalaian atasan (superior officers). Hal ini dapat dilihat melalui kasus yang disebut “the Zafiro Case”, sebuah kasus yang pernah terjadi antara Inggeris dan AS pada tahun 1929. AS dianggap bertanggungjawab atas peristiwa perampokan atau perampasan, yang dilakukan oleh awak kapal dagang yang ditugaskan sebagai kapal perbekalan oleh pihak Angkatan Laut AS. Kapal dagang itu berada di bawah perintah dari kapten kapal dagang, yang selanjutnya berada di bawah perintah dari pejabat Angkatan laut AS. Mahkamah menekan-

122

Prinsip-Prinsip Hukum Internasional

kan adanya kegagalan (pihak AS atau Angkatan Laut AS) untuk menjalankan pengawasan yang sewajarnya dalam situasi itu, yaitu pengawasan yang seharusnya dijalankan dalam keadaan tertentu, bukan pengawasan aktual. Pengadilan memutuskan bahwa, AS bertanggungjawab atas kerugian yang ditimbulkan oleh perbuatan awak kapal tersebut, karena para pejabat Angkatan Laut AS terbukti tidak mengambil tindakan efektif, guna mencegah terjadinya kerugian akibat peristiwa perampokan yang dilakukan oleh awak kapal dagang AS terhadap warga Inggeris. Dengan demikian dari kasus “the Zafiro Case”, terlihat bahwa, tindakan seseorang dapat dikaitkan dengan negara, atau dipersamakan dengan tindakan negara, apabila pejabat negara gagal dalam melakukan pengawasan atas tindakan orang itu. Oleh karena itu, dalam artikel 8 dari the Draft Articles menegaskan bahwa, tindakan seseorang atau sekelompok orang, harus dianggap sebagai “Act of State” apabila pertama, seseorang atau sekelompok orang itu terbukti, atau ternyata bertindak atas nama negara yang bersangkutan. Kedua, apabila orang atau kelompok orang itu, dalam kenyataannya menjalankan unsur-unsur kekuasaan negara, atau unsurunsur kekuasaan pemerintah, sejauh tidak ada pejabat pemerintah yang melaksanakan tugas dan kegiatan seperti itu, ataupun sejauh terdapat keadaan-keadaan yang dapat membenarkan dijalankannya unsur-unsur kekuasaan tersebut.

Prinsip-Prinsip Hukum Internasional

123

Dalam kasus Iran (kasus pendudukan gedung Kedutaan Besar AS, serta penyanderaan sekian banyak diplomat AS di Teheran), Mahkamah Internasional mengemukakan bahwa, pada mulanya serangan kaum militan terhadap Kedutaan Besar AS, tidak dapat dikaitkan dengan negara Iran, karena kaum militan itu bukanlah agen atau organ negara tersebut. Akan tetapi kemudian, dengan adanya restu dari Ayatollah Khomeini, serta organ-organ lain yang ada di Iran terhadap serangan kaum militan, dan dengan adanya keputusan untuk tetap mempertahankan pendudukan atas Kedutaan Besar AS, maka hal ini menyebabkan tindakan kaum militan tersebut bukan lagi tindakan dari sekelompok warganegara biasa, melainkan telah berubah menjadi tindakan negara Iran (Act of State), sehingga Iran atau Pemerintah Iran harus bertanggungjawab atas pendudukan gedung perwakilan AS, serta penyanderaan para diplomatnya yang merupakan pelanggaran terhadap Konvensi Wina Tahun 1961 mengenai Hubungan Diplomatik, khususnya terhadap prinsip inviolability dan immunity.

124

Prinsip-Prinsip Hukum Internasional

BAGIAN IX TANGGUNGJAWAB NEGARA DAN INVALIDITY PERJANJIAN (MOU HELSINKI 2005 RAWAN TERHADAP INVALIDITY) Pada bagian 9, tulisan ini sepenuhnya merupakan salah satu tulisan makalah penulis di tahun 2005 pada Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin dengan judul MOU Helsinki 2005 Rawan Terhadap Invalidity. Istilah MOU (Memorandum of Understanding) sebagaimana digunakan dalam perjanjian damai Helsinki, adalah salah satu di antara beraneka ragam istilah yang dapat digunakan untuk menyebut suatu perjanjian sebagai perjanjian internasional. Berbeda dengan istilah-istilah seperti: treaty, convention, covenant, statute,

pact,

declaration,

exchange

of

notes,

dan

lain

sebagainya, yang pada dasarnya dipakai dalam hubungan yang bersifat publik, yang kemudian melahirkan perjanjian internasional atau perjanjian antarnegara, maka istilah MOU pada awalnya hanya digunakan oleh individu-individu dengan kewarganegaraan yang sama atau berbeda atau mereka yang berdomisili entah di dalam satu negara tertentu ataupun lebih dari satu negara, di mana individu-individu ini, misalnya para pedagang menjalin hubungan dalam bidang perdagangan atau bisnis, yang kemudian melahirkan kesepakatan yang dituangkan dalam suatu perjanjian berbentuk MOU. Namun demikian perkembangan menunjukkan bahwa, istilah MOU tidak hanya diterapkan dalam hubungan

Prinsip-Prinsip Hukum Internasional

125

dagang atau bisnis semata-mata, tetapi juga dalam hubungan publik, sebab dewasa ini batas-batas antara hubungan internasional publik dan bukan publik (dagang atau perdata) semakin kabur, mengingat kompleks dan canggihnya hubungan

internasional

masa

kini,

dan

terlebih

lagi

masa

mendatang (I Wayan Parthiana, 1990:10). Hubungan

publik

yang

dulu

hanya

melibatkan

negara-negara dan atau organisasi internasional, kini tidak jarang dilakukan oleh korporasi nasional dan multinasional, bahkan juga oleh individu seperti terjadi dalam kasus perundingan antara Pemerintah RI dan GAM yang berlangsung di Helsinki (ibu kota Finlandia) yang di dalamnya berperan sebuah LSM atau NGO (Non Governmental Organization), yakni sebuah yayasan yang namanya Crisis Management Initiative (CMI). Perundingan yang berlangsung yang jauh di sana di negeri Finlandia, yang menghasilkan kesepakatan damai, dalam bentuk MOU sungguh memiliki Daya Tarik (Captivation) untuk dicermati, karena selain berlangsungnya proses perundingan di negeri yang berdekatan dengan Laut Utara (The North Sea), dan bukan di negeri tercinta ataupun di negara-negara yang benar-benar merasa prihatin atas Konflik Internal Murni (Pure Internal Conflict), yang terjadi di bumi serambi Mekkah sejak lama, juga karena pertemuan yang difasilitasi oleh mantan Presiden Finlandia (Marti Ahtisaari), mulai terselenggara tidak lama setelah terjadinya secara

126

Prinsip-Prinsip Hukum Internasional

mendadak musibah gempa dan tsunami “alamiah” yang meluluhlantakkan berbagai wilayah pesisir Samudera Hindia terutama wilayah pesisir Aceh. Banyak yang bertanya-tanya, apa sesungguhnya yang terjadi di balik perundingan, dan mengapa perundingan ini terkesan mendadak, di tengah masih berlakunya status darurat sipil bagi Nangroe Aceh Daroessalam (NAD), mengapa harus di benua Eropa, serta berbagai pertanyaan lain yang secara keseluruhan menunjukkan keprihatinan, kepedulian dan kecintaan terhadap bangsa dan negara. Pasal 2 Konvensi Wina tahun 1969 mengenai Hukum Perjanjian (Vienna Convention on the Law of Treaties) menyatakan treaty atau perjanjian internasional, adalah suatu persetujuan internasional yang diadakan di antara negaranegara (states), dalam bentuk tertulis (in written form) dan diatur oleh hukum internasional, baik dalam satu instrumen atau lebih atau apapun sebutannya. Demikian Konvensi Wina tahun 1969 hanya mengatur dan berlaku untuk perjanjian antarnegara dalam bentuk tertulis. Akan tetapi Konvensi Wina tahun 1969 juga mengemukakan bahwa, walaupun konvensi ini hanya berlaku pada perjanjian antarnegara dan dalam bentuk tertulis, konvensi ini tidak mengingkari kekuatan hukum yang ada pada perjanjian-perjanjian lain, dalam hal ini perjanjian yang diadakan antara negara dengan organisasi internasional, atau perjanjian antarorganisasi internasional ataupun perjanjian

Prinsip-Prinsip Hukum Internasional

127

antara negara, dan atau organisasi internasional dengan subyek hukum internasional lainnya. Konvensi Wina tahun 1969 juga tidak mengingkari kekuatan hukum dari perjanjian yang diadakan tidak dalam bentuk tertulis. Konvensi Wina tahun 1969 juga tidak melarang, tetapi memperkenankan penerapan azas-azas dan ketentuan pasal-pasal konvensi pada perjanjian yang dibuat oleh subyek-subyek hukum internasional lain yang bukan negara (Mieke Komar Kantaatmadja, 1985:77). Selanjutnya Pasal 1 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional (selanjutnya disebut Undang-Undang Perjanjian Internasional), menyebutkan perjanjian internasional adalah perjanjian dalam bentuk dan nama tertentu yang diatur dalam hukum internasional yang dibuat secara tertulis serta menimbulkan hak dan kewajiban di bidang hukum publik. Dalam Pasal 4 dari Undang-Undang Perjanjian Internasional tersebut ditegaskan bahwa, Pemerintah Republik Indonesia membuat perjanjian internasional dengan satu negara atau lebih, organisasi internasional atau subyek hukum internasional lain berdasarkan kesepakatan. Melalui pendekatan

baik dari segi Konvensi Wina

maupun Undang-Undang Perjanjian Internasional, suatu perjanjian digolongkan ke dalam perjanjian internasional, apabila perjanjian itu memenuhi unsur-unsur pengertian perjanjian internasional, seperti: Pertama, perjanjian itu

128

Prinsip-Prinsip Hukum Internasional

diadakan oleh subyek-subyek hukum internasional. Kedua, perjanjian itu dinyatakan dalam bentuk tertulis. Ketiga, perjanjian itu tunduk pada hukum internasional. Keempat, perjanjian itu dituangkan di dalam satu instrumen atau lebih, apapun istilahnya. Apabila dipertanyakan, apakah perjanjian Helsinki dapat diklasifikasi sebagai suatu perjanjian internasional? Maka jawabannya adalah perjanjian damai ini dapat diklasifikasi sebagai perjanjian internasional, sebab memenuhi unsur-unsur pengertian perjanjian internasional, sebagaimana diatur di dalam pasal-pasal Konvensi Wina tahun 1969 serta Undang-Undang Perjanjian Internasional. Misalnya saja, perjanjian itu diadakan oleh subyek-subyek hukum internasional, dalam hal ini antara Pemerintah Republik Indonesia dengan gerakan Aceh Merdeka. Berbagai fakta menunjukkan bahwa, GAM sudah diakui sebagai subyek hukum internasional, walaupun pengakuan terhadapnya tidak bersifat formal ataupun tegas. Pernyataan Pemerintah AS lewat Menteri Luar Negeri Negeri (Collin Powell), dan juga Sekretaris Jenderal PBB pada tahun 2003 yang meminta Pemerintah Republik Indonesia kembali berunding dengan pihak GAM beberapa saat setelah bencana gempa dan tsunami di tanah rencong (julukan bagi Propinsi Aceh), dapat dijadikan indikasi bahwa mereka mengakui GAM sebagai subyek hukum internasional.

Prinsip-Prinsip Hukum Internasional

129

Demikian pula ketika Pemerintah Republik Indonesia melakukan perundingan dengan pihak GAM, dengan mediatornya sebuah yayasan yang namanya Henry Dunant Centre di Geneva pada tahun 2002, yang menghasilkan Perjanjian Penghentian Permusuhan (The Cessation of Hostilities Agreement atau disingkat COHA), dan berbagai perundingan yang dilakukan sebelumnya, seperti Perjanjian Jeda Kemanusiaan (Humanitarian Pause Agreement), dan pada akhirnya perundingan yang difasilitasi oleh sebuah Organisasi Non Pemerintah (Non Governmental Organization) yang disebut Crisis Management Initiative pada awal tahun 2005, beberapa saat setelah terjadinya bencana kemanusiaan (humanitarian disaster) di propinsi yang sebenarnya sangat surplus dilihat dari sumber kekayaan alam yang ada di sana. Hal-hal tersebut mengindikasikan bahwa, sebagaimana yang dilakukan oleh beberapa negara, Pemerintah Republik Indonesia secara langsung ataupun tidak langsung telah mengakui GAM sebagai subyek hukum internasional, sehingga perjanjian damai yang ditandatangani oleh Ketua Delegasi

Republik

Indonesia

dengan

pihak

GAM

dapat

diklasifikasi sebagai perjanjian internasional. Akan tetapi ketika dipertanyakan sejauh mana perjanjian tersebut, atau memiliki tingkat validity yang dapat dipertanggungjawabkan yang apabila tidak mempunyai bobot keabsahan (validity) yang dapat dipertanggung jawabkan dari segi hukum? Maka perjanjian Helsinki, yang baru berlaku setelah ditanda-

130

Prinsip-Prinsip Hukum Internasional

tangani, rawan untuk terseret pada pernyataan invalidity sehingga bukan mustahil Republik Indonesia berpotensi untuk membatalkan keterikatannya pada perjanjian tersebut (consent to be bound by a treaty). Perjanjian Yang Mengandung

Kerawanan Terhadap

Invalidity. Kerawanan suatu perjanjian internasional terhadap Invalidity terkait erat dengan alasan-alasan yang dapat digunakan sebagai pedoman dalam menyatakan bahwa, persetujuan yang diberikan suatu Negara Peserta (Contracting State), untuk terikat pada perjanjian adalah tidak sah sehingga rawan untuk dibatalkan. Sejauh mana perjanjian damai Helsinki

memiliki

kerawanan

terhadap

invalidity

atau

pernyataan tidak sah? Jawabannya tergantung pada masalah apakah ada alasan untuk sampai pada pernyataan seperti itu. Konvensi Wina tahun 1969 memaparkan, beraneka ragam alasan yang dapat dipakai sebagai acuan (guiding principles) untuk menjatuhkan pernyataan invalidity, terhadap persetujuan yang diberikan dalam rangka keterikatannya pada suatu perjanjian internasional. Alasan-alasan ini tercantum secara jelas dalam Pasal 46 sampai dengan Pasal 53 Konvensi Wina tahun 1969 (I.M. Sinclair, C.M. G., 1973:89100). Adanya pelanggaran terhadap ketentuan yang bersifat fundamental, yang terdapat dalam hukum nasional negara peserta, menyangkut masalah kompetensi kuasa penuhnya,

Prinsip-Prinsip Hukum Internasional

131

dapat dijadikan alasan untuk menyatakan persetujuan yang diberikannya, sebagai sesuatu yang tidak sah. Walaupun pada prinsipnya, negara peserta tidak dapat menyatakan bahwa, persetujuannya untuk terikat pada perjanjian adalah tidak sah, karena menyimpang dari ketentuan hukum nasional, menyangkut kompetensi untuk membuat perjanjian, namun apabila penyimpangan atau pelanggaran ini adalah nyata (manifest), serta menyangkut kaidah hukum nasional yang bersifat fundamental, maka negara tersebut

dapat

menyatakan

persetujuan

keterikatan

itu

(consent to be bound by a treaty) tidah sah adanya. Pertanyaan apakah MOU Helsinki mengandung kerawanan untuk dinyatakan invalidity atas alasan adanya penyimpangan yang nyata dan mendasar? Kiranya hanya dapat

dijawab

Helsinki.

dengan

Karena

mencermati

substansi

substansinya bersangkut

perjanjian

paut

dengan

masalah politik, perdamaian, pertahanan-keamanan, penetapan batas-batas wilayah, masalah kedaulatan, hak-hak azasi manusia, pinjaman dan atau hibah dari luar negeri, serta pembentukan

kaidah-kaidah

hukum

baru,

dan

dengan

demikian memuat materi yang bersifat sensitif, sehingga para delegasi Republik Indonesia yang diketuai oleh Menteri Kehakiman pada waktu itu (Hamid Awaluddin), pada prinsipnya tidak memiliki kompetensi atau kewenangan untuk mengikatkan bangsa dan negeri tercinta ini (Indonesia) pada perjanjian tersebut.

132

Prinsip-Prinsip Hukum Internasional

Dengan memperhatikan substansi perjanjian yang diselenggarakan akibat gempa dan tsunami, seperti status GAM sebagai satu-satunya wakil masyarakat NAD, pembentukan partai lokal, penetapan batas-batas laut teritorial, mata uang tersendiri, dan kurs yang berbeda dari apa yang ditetapkan Bank Sentral, pemberian amnesty bagi para anggota GAM yang terlibat dalam kegiatan separatisme, penghancuran senjata GAM yang hanya berjumlah 840 unit, penarikan pasukan TNI dan POLRI yang non organik dari bumi Serambi Mekkah, Pembentukan badan pemantau yang dinamakan Aceh Monitoring Mission (AMM), dengan pemberian kekebalan (immunity) kepada para anggotanya, maka sesungguhnya kewenangan untuk memberikan persetujuan keterikatan pada perjanjian tersebut, seharusnya berada di tangan Pemerintah Republik Indonesia dan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (Harian Kompas, Edisi Selasa, tanggal 16 Agustus 2005). Berdasarkan Pasal 11 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 (UUD NRI 1945) yang telah dimandemen, setiap perjanjian internasional lain yang dibuat oleh Pemerintah, yang mempunyai akibat luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan negara, dan atau mengharuskan perubahan atau pembentukan undang-undang harus mendapatkan persetujuan DPR. Di samping itu, ketentuan Pasal 10 Undang-Undang Perjanjian Internasional menegaskan, perjanjian internasional

Prinsip-Prinsip Hukum Internasional

133

yang berisi masalah-masalah politik, perdamaian, pertahanan dan keamanan, perubahan wilayah atau penetapan batas wilayah, kedaulatan atau hak-hak berdaulat, hak-hak azasi dan lingkungan hidup, pembentukan kaidah hukum baru, soal pinjaman dan atau hibah luar negeri, haruslah disahkan, serta pengesahannya harus dalam bentuk undang-undang, sehingga bagaimanapun perjanjian dengan substansi seperti ini harus mendapatkan persetujuan dari DPR terlebih dahulu, sebelum pengesahannya dilakukan oleh Presiden Republik Indonesia. Ironisnya MOU Helsinki yang materinya cukup sensitif karena menyentuh konstitusi, serta beberapa peraturan perundang-undangan termasuk Pasal 10 Undang-Undang Perjanjian Internasional, MOU ini samasekali tidak mensyaratkan adanya pengesahan, yang merupakan perbuatan hukum untuk mengikatkan diri pada perjanjian, yang antara lain dapat dilakukan dalam bentuk ratifikasi, sehingga tidak sedikit kalangan bertanya-tanya, sejauhmana Ketua Delegasi Republik Indonesia yang juga menjabat Menteri Hukum dan HAM Republik Indonesia, mempunyai kompetensi untuk memberikan persetujuannya untuk terikat pada Perjanjian Helsinki, yang langsung berlaku setelah ditandatangani pada tanggal 15 Agustus 2005. Suatu perjanjian juga dapat terseret pada pernyataan invalidity, jika ternyata ada kekeliruan atau kesalahan yang dilakukan oleh negara peserta, atau wakilnya ketika memberi-

134

Prinsip-Prinsip Hukum Internasional

kan persetujuannya untuk terikat pada perjanjian tersebut. Adanya kekeliruan atau kesalahan mengenai fakta atau keadaan yang terkait dengan perjanjian (error in a treaty), rawan untuk terseret pada pernyataan invalidity (Harian Kompas, Edisi Selasa, tanggal 16 Agustus 2005). Namun alasan ini tidak berlaku, apabila negara peserta itu sendiri turut menyebabkan terjadinya kekeliruan tersebut, atau setidak-tidaknya telah mengetahui sebelumnya. Ditinjau dari alasan error, Nota Kesepahaman Republik Indonesia dan GAM (National Liberation Front of Aceh Sumatra) tidak memiliki kerawanan untuk dinyatakan invalidity, karena pihak Indonesia sendiri mempunyai andil atas terjadinya kekeliruan, setidak-tidaknya kekeliruan ini telah diketahui dimana Pemerintah Republik Indonesia, atau delegasinya ternyata keliru dalam menempatkan GAM (NLFAS) sebagai pihak berperang (belligerency) dan bukan sebagai kaum pemberontak atau separatis (Insurgency). Padahal

sesungguhnya

GAM

harus

diposisikan

sebagai kelompok pemberontak, yang selama ini gagal dalam memisahkan wilayah dan masyarakat Aceh dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), sehingga masalah ini seharusnya dianggap sebagai Masalah Dalam Negeri (Domestic Jurisdiction) yang harus diselesaikan sendiri oleh seluruh komponen bangsa, tanpa campur tangan asing. Karena kita sendiri sudah berbuat keliru (error) dengan menempatkan GAM sebagai pihak berperang, dan dengan demikian sebagai

Prinsip-Prinsip Hukum Internasional

135

pribadi internasional yang mandiri, ditambah lagi dengan pelibatan pihak asing yang disebut

Crisis Management

Initiative dengan ketuanya mantan Presiden Finlandia, dalam kapasitasnya sebagai fasilitator perundingan di Helsinki, maka alasan terjadinya kekeliruan tidak dapat diterapkan, sehingga persetujuan yang diberikan untuk terikat pada perjanjian tersebut tidak rawan terhadap invalidity. Alasan lain yang dapat digunakan untuk menyatakan persetujuan untuk terikat pada perjanjian, yang merupakan sesuatu yang tidak sah adalah karena terjadinya tindak penipuan, atau Tipu Muslihat (Fraud), maupun Tekanan atau Paksaan (coercion), yang dilakukan oleh satu negara peserta terhadap negara peserta lain, atau dilakukan satu pihak terhadap pihak lainnya (Mieke Komar Kantaatmadja, 1985:5253). Apakah perundingan di Heksinki yang menghasilkan Nota Kesepahaman (MOU) damai antara Republik Indonesia dan NLFAS tidak merupakan rekayasa, yang mengandung unsurunsur penipuan,

serta paksaan atau tekanan termasuk

tekanan ekonomi, yang dilakukan negara-negara besar yang sejak lama memiliki kepentingan besar terhadap GAM atau NLFAS? Perundingan yang secara formal diprakarsai mantan Presiden

Finlandia

(Marti

Ahtisaari),

menurut

berbagai

kalangan mempunyai keterkaitan dengan komitmen dari negara-negara tertentu, serta lembaga-lembaga internasional untuk memberikan bantuan kepada Pemerintah Republik

136

Prinsip-Prinsip Hukum Internasional

Indonesia, dalam rangka melaksanakan kegiatan rekonstruksi dan rehabilitasi Aceh pasca tsunami. Mereka baru bersedia untuk mencairkan bantuan yang dijanjikan, baik berupa hibah maupun pinjaman bagi pemerintah, dengan syarat pemerintah harus melakukan perundingan dengan pihak GAM, dalam rangka mencapai penyelesaian damai, komprehensif dan bermartabat bagi kedua belah pihak. Sudah menjadi rahasia umum bagi masyarakat internasional, bahwa bencana kemanusiaan yang menghancurkan berbagai kawasan pesisir Samudera Hindia, dengan merenggut ratusan ribu bahkan jutaan korban jiwa, adalah hasil rekayasa dari salah satu negara besar yang berhasil memasang bom nuklir dalam ukuran besar di lepas Pantai Barat Tanah Rencong (Aceh), dan meledakkannya sehingga menimbulkan gempa (earthquake) yang berkekuatan 8,9 pada Skala Richter. Kemudian disusul dengan badai tsunami akibat terjadinya keretakan yang panjangnya ribuan kilometer, mulai dari Pantai Barat Aceh hingga Pantai Selatan Thailand, serta lebarnya mencapai 150 kilometer dan menyebabkan kawasan pesisir menjadi kering untuk beberapa saat, namun kemudian gelombang air laut dengan ketinggian belasan meter, serta kecepatan yang melebihi kecepatan pesawat udara, menerjang apa saja yang terdapat di wilayah pesisir. Hampir semua infrastruktur menjadi binasa, serta kurang lebih 300.000 (tiga

Prinsip-Prinsip Hukum Internasional

137

ratus ribu) penduduk Aceh yang tewas, maupun hilang akibat gempa rekayasa dan tsunaminya. Untuk membangun kembali infrastruktur dari puingpuing kehancuran, dan merehabilitasi kembali kehidupan masyarakat Aceh, diperlukan anggaran yang luar biasa jumlahnya, yang tidak mungkin dapat dipenuhi melalui APBN, sehingga kita terpaksa tergantung pada pihak asing. Bencana kemanusiaan yang pada mulanya dianggap sebagai bencana alam yang bersifat alamiah, tetapi rahasia dunia itu adalah suatu kesengajaan, yang

mengindikasikan adanya

unsur-unsur Penipuan (Fraud) untuk berunding dengan pihak GAM. Selain itu, ditambah lagi dengan kenyataan, bahwa Indonesia terpaksa harus melakukannya akibat Indonesia, tidak

punya

dana

untuk

melakukan

rekonstruksi

dan

rehabilitasi Aceh, dan terkesan adanya unsur-unsur Pemaksaan atau Penekanan (Coercion), termasuk dalam bidang ekonomi, kiranya dapat juga dipakai sebagai dasar-dasar untuk menyatakan Perjanjian Helsinki, maupun persetujuan terutama persetujuan untuk terikat pada perjanjian ini, hanya melalui penandatanganan oleh Ketua Delegasi Republik Indonesia

tanpa

melibatkan

Dewan

Perwakilan

Rakyat

Republik Indonesia, sehingga rawan untuk terseret pada pernyataan invalidity. Sebenarnya masih ada alasan-alasan lain, berdasarkan Konvensi Wina tahun 1969 untuk menyatakan suatu

138

Prinsip-Prinsip Hukum Internasional

perjanjian rawan untuk terseret pada pernyataan invalidity. Seperti

misalnya,

kemungkinan

adanya

unsur-unsur

corruption, atau kemungkinan terjadinya penyuapan yang dilakukan satu pihak terhadap pihak lain, tetapi kiranya tidak perlu diuraikan mengingat tuntutan pertanggung jawabannya yang kadang-kadang inevitable. Apa yang telah dikemukakan tersebut, sehubungan dengan kemungkinan rawannya Nota Kesepahaman damai Helsinki, terhadap pernyataan invalidity semata-mata didasarkan atas kecintaan terhadap bangsa dan negara dalam naungan NKRI dari Sabang sampai Merauke, yang dibangun atas tonggak-tonggak sejarah, seperti Sumpah Pemuda yang dikumandangkan pada tanggal 28 Oktober 1928, Proklamasi 17 Agustus tahun 1945, dan Wawasan Nusantara tanggal 13 Desember 1957 (Hasjim Djalal dalam Harian Kompas, Edisi 19 September tahun 2000). Sebagai akhir dalam pembahasan ini, maka penulis dapat memberikan beberapa poin penting sebagai berikut. Berbagai kenyataan menunjukkan bahwa Nota Kesepahaman (Memorandum of Understanding) damai yang ditandatangani di Helsinki pada tanggal 15 Agustus tahun 2005, adalah suatu perjanjian internasional. Pengakuan yang bersifat informal atau terselubung terhadap GAM atau NLFAS sebagai subyek hukum internasional, baik oleh negara-negara yang mempunyai kepentingan tertentu maupun Pemerintah Republik Indonesia yang menghadiri berbagai pertemuan dengan pihak

Prinsip-Prinsip Hukum Internasional

139

NLFAS yang menghasilkan kesepakatan, termasuk MOU Helsinki mengindikasikan perjanjian antara Republik Indonesia dengan NLFAS bukan perjanjian biasa, melainkan perjanjian internasional. Di antara sekian banyak alasan terkait dengan kerawanan Perjanjian Helsinki untuk terseret pada pernyataan invalidity, maka terjadinya penyimpangan hukum nasional Republik Indonesia yang bersifat fundamental, dapat dipergunakan sebagai alasan yang kuat untuk suatu saat melakukan peninjaun kembali terhadap beberapa substansi perjanjian yang cukup sensitif terhadap keutuhan teritorial NKRI.

140

Prinsip-Prinsip Hukum Internasional

BAGIAN X PENUTUP Sebagai penutup, maka dari semua bagian (bagian 1 hingga bagian 9) dalam buku ini, penulis akan menyimpulkan beberapa hal-hal penting, yakni: terdapat berbagai macam azas atau prinsip dasar yang melandasi kepentingan suatu negara, dalam mengklaim atau menyatakan kewenangannya atas suatu peristiwa, atau kasus yang di dalamnya tersangkut seseorang atau beberapa orang, benda (benda bergerak dan atau tidak bergerak), baik yang terjadi di dalam wilayahnya sendiri, maupun di luar wilayahnya sehingga hukum internasional mengakui berbagai macam yurisdiksi negara. Hal tersebut berimplikasi terhadap timbulnya persaingan yurisdiksi di antara negara-negara, karena masingmasing merasa memiliki kepentingan atas kasus yang sama. Namun demikian, yang paling menonjol dan signifikan adalah yurisdiksi teritorial. Pelaksanaan yurisdiksi teritorial atau penerapan peraturan hukum negara setempat, bukan sesuatu yang bersifat mutlak, sebab dalam hukum internasional dan hukum nasional, diakui apa yang disebut Azas Kekebalan (Immunity Principle), yang mengecualikan lembaga-lembaga, jabatan-jabatan atau benda-benda dengan atribut tertentu dari pelaksanaan yurisdiksi negara setempat. Negara setempat, tidak dapat melakukan tindakan hukum terhadap mereka yang memiliki kekebalan, seperti

Prinsip-Prinsip Hukum Internasional

141

Kekebalan

Kedaulatan

(Souvereign

Immunity),

Kekebalan

Diplomatik (Diplomatic Immunity), dan Hak-Hak Istimewa (Privileges) yang dimilikinya. Pada prinsipnya, dalam kasus pidana yang melibatkan mereka yang menikmati kekebalan, kekebalan ini dapat dikatakan berlaku mutlak, sehingga aparat hukum setempat tidak dapat melakukan tindakan hukum apapun terhadap pemegang kekebalan itu, terkecuali ada semacam penghapusan kekebalan, yang dilakukan secara tegas oleh Pemerintah dari negara asal atau negara pengirim. Kekebalan seperti ini juga berlaku dalam hal timbul kasus perdata, yang melibatkan mereka yang menikmati atau memegang

kekebalan

tersebut.

Berbagai

macam

kasus

menunjukkan dan membuktikan kekebalan kedaulatan, tidak hanya membebaskan mereka yang menikmatinya dari proses pemeriksaaan oleh aparat hukum negara setempat, tetapi juga dari tindakan-tindakan penyitaan dan eksekusi terhadap harta kekayaan yang dimiliki oleh para pemegang kekebalan kedaulatan tersebut. Namun demikian kekebalan dalam kasus perdata, tidak selalu berlaku secara absolut, sebab dalam

praktik

negara-negara,

sudah

dibedakan

antara

perbuatan negara yang dinamakan iure imperii dan iure gestionis. Yurisdiksi negara, dengan berbagai macam variasi atau bentuknya, bisa diklaim oleh suatu negara sesuai kepentingannya. Namun demikian, di balik yurisdiksi negara, terdapat pula azas Tanggungjawab Negara (State Responsi-

142

Prinsip-Prinsip Hukum Internasional

bility), bahkan dapat dikatakan penerapan atau pelaksanaan dari yurisdiksi negara, tidak jarang dan bahkan sering menimbulkan pertanggungjawaban negara (state responsibility). Tanggungjawab Negara (State Responsibility) adalah suatu azas hukum internasional yang bersifat fundamental, yang timbul dari hakekat sistem hukum internasional dan doktrin kedaulatan negara (State Souvereignty), serta Persamaan Negara-Negara (Equality of States). Pertanggungjawaban negara menunjukkan pengertian bahwa, bilamana suatu negara melakukan suatu perbuatan yang salah secara internasional (internationally wrongful act or internationally unlawful act) terhadap negara lain, maka di antara kedua negara tersebut tidak dapat dihindari adanya tanggungjawab internasional. Jika suatu negara dengan perbuatan atau kelalaiannya, melakukan pelanggaran atas kewajiban internasional, atau kewajiban yang ditentukan dalam hukum internasional, maka negara tersebut harus memikul dan dibebani dengan tanggungjawab internasional. Jika pelanggaran itu membawa kerugian terhadap negara lain, maka negara yang melakukan pelanggaran itu, harus bertanggungjawab untuk membayar gantirugi atas kerugian yang timbul, ataupun meminta maaf kepada negara yang dirugikan. Sebaliknya negara yang menderita kerugian akibat pelanggaran atas kewajiban internasional itu, mempunyai hak untuk menuntut pertanggungjawaban, maupun gantirugi dari negara yang melakukan pelanggaran tersebut.

Prinsip-Prinsip Hukum Internasional

143

View more...

Comments

Copyright � 2017 NANOPDF Inc.
SUPPORT NANOPDF