Hewan Pendeteksi Gempa

January 12, 2018 | Author: Anonymous | Category: Ilmu, Ilmu kebumian, Seismologi
Share Embed Donate


Short Description

Download Hewan Pendeteksi Gempa...

Description

Mentafakuri Fenomena Aneh di Seputar Gempa Minang Fenomena alam yang tak lazim, biasanya muncul di daerah yang ditimpa bencana gempa bumi, tak terkecuali hal itu juga dijumpai pula di Padang, Sumatera Barat. Anomali yang diperlihatkan oleh alam ini terkadang muncul sebelum terjadinya gempa, atau pada saat terjadinya gempa, atau sesudah terjadinya gempa. Tak tertutup pula, muncul berturut-turut mulai dari sebelum gempa terjadi, dan selama terjadinya gempa, berlanjut ke masa sesudah terjadinya gempa. Fenomena yang biasa muncul sebelum terjadinya gempa, salah satunya adalah ‘awan gempa’. Awan yang biasa disebut juga dengan nama ‘awan Cirrostratus’ ini bentuknya berbeda memanjang seperti asap yang keluar dari pesawat. Awan ini untuk wilayah tropis berada di ketinggian sekitar 6.00018.000 meter di daerah permukaan laut. Di Jepang, fenomena awan gempa ini disebut dengan nama ‘Kagida Cloud’ atau ‘Awan Kagida’. Awan ini dipakai sebagai salah satu isyarat tanda-tanda alam akan terjadinya gempa bumi, dengan perkiraan sumber gempa berada di titik paling tengah awan gempa tersebut. Peristiwa fenomena awan gempa ini ditengarai muncul di beberapa wilayah-wilayah yang pernah dilanda gempa besar. Misalnya, diantaranya, tahun 1622 di Guyuan Ningxia, China. Lalu, tahun 1978 di Kanto Jepang awan ini muncul sehari sebelum terjadinya gempa. Selanjutnya, tahun 1995 di Kobe Jepang, awan ini muncul 8 hari sebelum terjadinya gempa yang dahsyat. Tahun 2006, awan ini juga muncul di langit kota Yogyakarta saat wilayah itu diguncang gempa yang dahsyat. Sementara itu, sampai dengan saat ini, belum ada laporan tentang kemunculan awan gempa ini sebelum terjadinya gempa dahsyat yang mengguncang wilayah Sumatera Barat. Bisa jadi, kemunculan awan itu sebenarnya ada, hanya luput dari perhatian masyarakatnya saja. Luputnya perhatian masyarakat itu adalah hal yang dapat dimaklumi, mengingat bagi sebagian kalangan Islam kelompok mazhab modernis, mengingat perilaku membaca tanda-tanda isyarat alam untuk praduga sebuah peristiwa itu seringkali ditanggapi dengan skeptis. Dianggap sebagai takhayul klenik yang melanggar akidah ajaran Islam, bahkan tak jarang perilaku mengamati gejala alam ini dicap sebagai salah satu ciri khasnya kelompok umat Islam yang bermazhab Ahlul Bidah Wal Jamaah dengan penyakit menahun TBC (Takhayul, Bidah, Khurafat) yang menjurus ke arah perilaku Syirik dan Musryik. Sebagai catatan bahan perenungan, khusus soal yang berkait dengan fenomena astronomi, sesungguhnya Islam mengajarkan untuk melakukan Sholat Sunnat Gerhana saat terjadi fenomena gerhana bulan atau gerhana matahari. Hal lainnya, khusus berkaitan dengan fenomena awan gempa ini pernah diteliti oleh para ilmuwan dengan metode ilmiah secara empiris berdasarkan pola-pola awan hasil pencitraan satelit. Hasilnya, dari 36 awan yang diteliti, 29 terbukti merupakan pertanda awal akan terjadinya gempa. Konfigurasi awan gempa ini berhubungan dengan fenomena Listrik Semesta (Electric Universe) termasuk juga di dalamnya fenomena aural, radio dan gangguan gelombang VLF (Very Low Frequency).

Fenomena formasi awan gempa ini di tahun 505-587 sudah pernah diamati dan dituliskan oleh orang India bernama Varahamihira. Pengamatannya itu ditulisnya dalam sebuah buku berjudul ‘Brihat Samhita’. Dalam buku itu dibahas beberapa isyarat gejala alam yang berkait pertanda bakal munculnya gempa bumi, seperti tanda awan, dan kelakuan binatang-binatang, pengaruh astrologi (baca : astronomi tentang letak posisi planet dan benda-benda langit terhadap bumi), pergerakan bawah air tanah, dan beberapa aspek terkait lainnya. Kegemaran dalam mengamati gejala tanda isyarat alam ini, yang seringkali disebut orang sebagai kegemaran nggothak-nggathuke, di khazanah budaya masyarakat Jawa disebut sebagai ‘ilmu titen’ atau ‘ilmu niteni’. Titen atau niteni yang jika diterjemahkan secara garis besar berarti mengamati perilaku alam, lalu mengelompokkan dan menandai perilaku alam itu, selanjutnya kumpulan perilaku itu disimpulkan sebagai sebuah kesimpulan. Terlepas dari perdebatan soal Takhayul, Bidah, Khurafat, ada fenomena aneh yang terjadi pada waktu sebelum terjadinya gempa bumi mengguncang daerah Minangkabau yang menganut sistem ‘Matriarkat / Matrilineal‘ dengan semboyannya ‘Adat bersendikan Syara dan Syara bersendikan Kitabullah’ ini. Pada awal bulan Desember 2008 langit diatas kota Padang dijumpai fenomena aneh, yang sempat terekam dalam dokumentasi foto. Hari Senin malam sekitar pukul 19.30 WIB, bulan sabit laksana tersenyum di langit kota Padang. Fenomena ini berlangsung sekitar beberapa jam lamanya. Bulan sabit yang berada di tengah-tengah agak kebawah diantara dua planet itu seakan membentuk seraut wajah yang sedang tersenyum. Posisi dan konfigurasi dari bulan sabit tersenyum ini tak lazim, sebab biasanya posisi bulan sabit itu berada di di samping tengah-tengahnya dua planet, yaitu MarsJupiter atau Venus-Merkerius. Subhanallah, inikah cara Allah SWT menyapa dan memberikan isyarat kepada para hamba-Nya yang disampaikan-Nya melalui benda-benda langit yang notabene juga merupakan makhluk ciptaan-Nya ?. Hal lainnya, yang terjadi pada saat berlangsungnya gempa, adalah suhu temperatur udara yang terasa panas, yang dirasakan melebihi hari-hari biasanya. Suhu udara yang panas tersebut diiringi dengan debu dan tingkat kelembaban yang relatif lebih tinggi daripada biasanya. Beberapa warga, dilaporkan juga merasakan perihal temperatur udara yang meningkat ini. Memang, hujan juga mendatangkan kendala. Bisa dimaklumi, manusia pada dasarnya adalah makhluk yang tak pernah puas, selalu mengeluh dengan apapun yang dianugerahkan oleh-Nya. Sehingga tak tertutup kemungkinan bahkan ada pula yang mengumpat dan mengeluhkan turunnya

rahmat Allah ini. Namun, dibalik kendala akibat turunnya hujan, ada hikmah keuntungan yang lebih besar dibandingkan jikalau Allah SWT tak menurunkan rahmat-Nya berupa hujan. Mungkin oleh sebab itulah, maka Allah SWT memerintahkan Malaikat Rahmat untuk menurunkan rahmat-Nya berupa hujan. Hal mana, hujan ini menurunkan suhu udara pasca gempa yang meningkat, serta membersihkan udara dari debu-debu yang berterbangan memenuhi udara kota. Selain itu, ada fenomena lain yang dijumpai di langit diatas wilayah Sumatera Barat ini yang pada masa lalu pernah mencatat sejarah perjuangannya Tuanku Imam Bonjol dalam menegakkan ajaran Islam. Beberapa saat sesudah terjadinya gempa, muncul 2 fenomena alam tak lazim yang terjadi. Yakni, fenomena ‘Halo’ atau ‘Lingkaran Halo’. Pada hari Jumat tanggal 2 Oktober 2009, sekitar pukul 11.00 WIB, langit Padang dihiasi fenomena unik, yakni matahari terlihat dikelilingi lingkaran seperti cincin pelangi. Fenomena ini biasa disebut sebagai fenomena ‘halo’. Biasanya ini dijumpai pada saat bulan purnama atau pada saat matahari bersinar terang di siang hari. Fenomena ini adalah sejenis fenomena optik yang menampilkan bentuk cincin di sekitar sumber cahaya. Hal ini akibat dari refleksi dan refraksi cahaya matahari/bulan oleh kristal es atau uap air yang berada dalam awan sirus, sehingga lingkaran cahaya itu menampilkan penampakan yang seakan-akan ada pelangi mengelilingi Matahari atau Bulan. Fenomena halo ini sebenarnya bukanlah monopoli fenomena yang muncul saat suatu daerah sedang terkena gempa. Seringkali fenomena ini muncul di beberapa daerah yang tak terkena bencana gempa. Diantaranya, tercatat pernah terjadi di Bandung, Bogor, Jakarta pada tanggal 27 september 2007, kemudian di Makasar pada tanggal 29 oktober 2007, lalu di Padang pada tanggal 29 maret 2008. Namun, fenomena halo yang berkait dengan refleksi dan refraksi cahaya matahari/bulan oleh uap air, jika dikaitkan dengan fenomena awan gempa yang berkaitan dengan uap air, maka sangat bisa jadi kedua fenomena ini ada korelasi keterkaitannya. Dalam arti kata, sangat bisa jadi akibat dari tumbukan lempengan kerak bumi yang mengakibatkan gempa, itu memicu meningkatnya temperatur suhu udara di lokasi, selanjutnya memicu peningkatan penguapan air, sehingga tercipta konsentrasi partikel uap air, lalu menimbulkan fenomena halo yang merupakan pembiasan cahaya matahari. Sangat bisa jadi, awan gempa ini sesungguhnya telah muncul di langit kota padang, akan tetapi karena tipisnya awan itu maka tanda kehadirannya adalah lingkaran cahaya di sekeliling matahari, atau lingkaran halo. Di luar fenomena awan gempa, bulan sabit tersenyum, lingkaran halo, ada fenomena satu lagi yang tercatat dilaporkan terjadi di kota Padang beberapa saat setelah

berlangsungnya gempa. Yaitu, kemunculan ‘awan berlafazkan huruf Allah’. Sesaat seusai sholat Jumat pada tanggal 2 Oktober 2009, dilaporkan adanya awan yang membentuk huruf hijaiyah bertuliskan ‘Allah’ menghiasi langit di atas tanah Minang dimana dahulu pernah dilahirkan tokoh ulama besar, Buya Hamka. Tentunya fenomena awan ini tak terkait dengan fenomena awan gempa. Apakah ini cara Allah SWT menyapa para hamba-Nya ?. Seakan Dzat Maha Tunggal dan Maha Berkehendak mengingatkan kepada para hamba-Nya bahwa segala yang terjadi di jagad raya ini, termasuk gempa, adalah tanda Kebesaran Kekuasaan-Nya ?. Bahwasanya Anugerah dan Bencana adalah Kehendak-Nya ?. …Semua yang ada di bumi itu akan binasa. Dan tetap kekal Wajah Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan. Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan ?… [QS. Ar-Rahman : 55 : 26-28]. Agama Islam mengajarkan bahwa disemua peristiwa tak ada yang lepas dari Kehendak dan KuasaNya, dan di semua tindakan Allah SWT dalam peristiwa tersebut senantiasa meliputi seluruh dimensi dari sifat-Nya dan nama-Nya. Sesungguhnya, ilmu pengetahuan dan penalaran serta logika hamba-Nya tak akan pernah mampu menyibak semua Hikmah-Nya, kecuali hanya secuilnya saja. Maka tak heran jika terdapat beragam pandangan atau pendapat yang saling bertentangan dalam memahami ssesuatu peristiwa, termasuk peristiwa gempa. Apakah gempa ini merupakan bencana ?, apakah bencana ini diturunkan-Nya sebagai bentuk kasih sayang atau ujian atau teguran atau peringatan atau azab atau murka-Nya ?. Boleh jadi untuk tujuan pelipur duka para korban, serta merta akan dikatakan bahwa gempa ini semata hanyalah ujian dari Allah SWT bagi para hamba-Nya. Sangat bisa jadi, memang benar begitu. Namun sesungguhnya tak hanya dimensi ujian saja yang ada dibalik Kehendak-Nya melalui peristiwa gempa ini, sebab semua tindakan Allah SWT senantiasa meliputi seluruh dimensi yang merupakan pengejawahan dari sifat-Nya dan nama-Nya. Ada dimensi dan aspek lainnya yang tak boleh dikesampingkan begitu saja. Jika itu dikesampingkan, maka para hamba-Nya akan kehilangan kesempatan bermuhasabah diri serta kesempatan meraih Hidayah dan Kasih Sayang-Nya yang menyertai peristiwa itu. Betul bahwa ini adalah ujian dari Allah SWT kepada para hamba-Nya yang saleh agar istiqamah dan semakin menyakini keimanannya atas Kuasa dan Kehendak-Nya. Benar belaka bahwa ada teguran dari Allah SWT kepada para hamba-Nya yang sedang lalai agar segera bertaubat sehingga tidak berlarut-larut terseret dalam perbuataan maksiat dan dosa serta pelanggaran terhadap segala Hukum dan Peraturan-Nya. Sangat benar bahwa ini adalah Kasih Sayang-Nya agar para hamba-Nya yang saleh terselamatkan dari nistanya dunia yang bergelimang maksiat dan dosa. Sangat betul bahwa ini adalah azab dari

Allah SWT kepada para hamba-Nya yang durhaka dimana nyata-nyata melalaikan-Nya bahkan terang-terangan menantang Hukum dan Peraturan-Nya. Oleh sebab itu, bertawakal dan iklhas ridho atas semua Kehendak dan Takdir-Nya diiringi tindakan bermuhasabah dan instrospeksi diri adalah cara terbaik dalam memaknai dan memahami peristiwa gempa ini. Bagi mereka yang beriman dan merasa sudah soleh, tak pernah melakukan maksiat dan dosa, selalu taat dengan Hukum dan Peraturan-Nya, maka inilah Ujian dari-Nya sebagai wahana agar semakin meningkat derajat iman serta takwanya. Bagi mereka yang beriman dan merasa sedang melalaikan-Nya, maka inilah Teguran dari-Nya sebagai wahana untuk segera melakukan taubatan nasuha mumpung masih diberi kesempatan sebelum ajal menjemputnya. Bagi mereka yang beriman yang telah dipanggilnya, maka inilah Kasih Sayang dari-Nya agar segala timbangan amal ibadah yang telah diperbuatnya selama ini tak akan terkurangi lagi oleh perbuatan maksiat dan dosa. …Tidak ada seorang muslim pun yang ditimpa gangguan semacam tusukan duri atau yang lebih berat daripada itu melainkan dengan ujian itu Allah SWT menghapuskan perbuatan buruknya serta digugurkan dosa-dosanya sebagai mana pohon kayu menggugurkan daun-daunnya… [HR. Bukhari dan Muslim] …Dan peliharalah dirimu dari siksaan yang tidak khusus menimpa orang-orang yang zalim saja diantara kamu. Dan ketahuilah bahwa Allah amat keras siksaan-Nya… [QS. An-Anfal : 8 : 25]. Bagi mereka yang durhaka dan menentang serta melecehkan segala Hukum dan Peraturan-Nya, maka inilah Azab dari-Nya akibat dari segala kedurhakaannya. …Bila perzinahan dan riba (penyelewengan) telah terang-terangan dilakukan oleh penduduk suatu negeri maka sesungguhnya mereka telah menghalalkan bagi diri mereka untuk terkena azab Allah… [HR. Bukhari] …Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya… [QS. Al-A’raaf : 7 : 96] Tanpa mengurangi rasa simpati dan empati kepada mereka yang menjadi korban, baik yang meninggal maupun mereka yang terluka ataupun mereka yang kehilangan sanak saudaranya dan harta bendanya, barangkali gempa yang merupakan Kehendak-Nya ini dapat menjadi wahana untuk semakin meningkatkan diri baik dalam tingkat keimanannya dan amal ibadahnya maupun ketakwaannya. Pada waktu yang lalu, di Aceh, yang biasa disebut sebagai Tanah Serambi Mekkah, diberikan-Nya peristiwa gempa disertai tsunami yang dahsyat. Seusai itu, ada hikmah yang mampu dipetiknya, Insya Allah, terlihat ada perbaikan dalam tata masyarakatnya, ada peningkatan dalam iman takwa-Nya.

Masyarakat Aceh yang religius seusai peristiwa dahsyat itu menjadi reda panasnya konflik yang melibatkan tindakan saling baku bunuh diantara saudara-saudara seiman Islam dan setanah air Indonesia. Seusai peristiwa itu, Insya Allah, terlihat mulai ada usaha untuk semakin mematuhi Hukum dan Peraturan-Nya dalam tata masyarakatnya. Semoga peristiwa gempa di Ranah Minang yang masyarakatnya sangat religius dengan faham ‘Matriarkat / Matrilineal‘ dan memegang teguh prinsip ‘Adat bersendikan Syara dan Syara bersendikan Kitabullah’ ini dapat mengambil iktibar dan hikmah serta manfaatnya, sehingga semakin meningkat usaha untuk semakin mematuhi Hukum dan Peraturan-Nya dalam tata masyarakatnya. . Sebagai catatan akhir, barangkali bagi kita semua, seluruh masyarakat Indonesia, mulai dari Sabang sampai Merauke, perlulah melakukan muhasabah dan intropeksi diri, tak ada salahnya merenungkan peristiwa gempa ini. Gempa memang merupakan peristiwa alam, namun apakah peristiwa alam ini tidak ada hubungannya dengan aspek Ketuhanan ?. Sesungguhnya, Islam mengajarkan bahwa Allah SWT telah ridho dengan hukum-hukum alam yang merupakan Sunattullah-Nya. Namun, hukum-hukum alam tersebut merupakan hukum-Nya yang berada dibawah Kehendak-Nya dan Kemaha Kuasaan-Nya. Gempa merupakan peristiwa yang tetap tergantung kepada Kehendak-Nya dan Iradah-Nya. Untuk itulah maka, mentafakuri segala peristiwa untuk mengambil hikmah dan manfaatnya dalam konteks bermuhasabah diri adalah suatu keniscayaan. Jika tidak ingin menyesal saat sudah berada di alam Barzah nantinya. Mumpung Allah SWT sedang memberikan kesempatan dengan melimpahkan Kasih Sayang-Nya agar menjadi kendaraan bagi para hamba-Nya semakin mendekatkan dirinya kepada-Nya. Gempa kali ini terjadi pada jam 17.16 WIB, selanjutnya ada gempa susulan pada jam 17.58 WIB. Esoknya terjadi gempa di Jambi pada jam 8.52 WIB. Jika kita buka Al-Qur’an, maka kita akan menemui ayat yang berkaitan dengan angka jam-jam tersebut diatas adalah sebagai berikut : …Dan jika Kami hendak membinasakan suatu negeri, maka Kami perintahkan kepada orang-orang yang hidup mewah di negeri itu (supaya mentaati Allah) tetapi mereka melakukan kedurhakaan dalam negeri itu, maka sudah sepantasnya berlaku terhadapnya perkataan (ketentuan Kami), kemudian Kami hancurkan negeri itu sehancur-hancurnya… [QS. Al Israa’ : 17 : 16] …Tak ada suatu negeri pun (yang durhaka penduduknya), melainkan Kami membinasakannya sebelum hari kiamat atau Kami azab (penduduknya) dengan azab yang sangat keras. Yang demikian itu telah tertulis di dalam kitab (Lauh Mahfuz)… [QS. Al Israa’ : 17 : 58] …(Keadaan mereka) serupa dengan keadaan Fir’aun dan pengikut-pengikutnya serta orang-orang sebelumnya. Mereka mengingkari ayat-ayat Allah, maka Allah menyiksa mereka disebabkan

disebabkan dosa-dosanya. Sesungguhnya Allah Maha Kuat lagi Amat Keras siksaan-Nya…[QS. Al Anfaal : 8 : 52] Tak ada artinyakah semua rentetan peristiwa bencana beruntun susul menyusul ini ?. Tak cukupkah Tsunami Aceh, disusul Gempa Yogya, ditimpali jebolnya tanggul Situ Gintung, dilanjutkan Gempa Tasikmalaya, diteruskan Gempa Jambi, termasuk beruntunnya kecelakaan pesawat terbang alutsistanya militer maupun angkutan sipil, sering terjadinya kecelakaan Kereta Api, tak sedikit Kapal Laut yang karam, kebakaran hutan selalu terjadi, kebanjiran menjadi langganan, kekeringan tak juga berkurang, wabah penyakit merebak, serta cerita nestapa dan duka lara lainnya ?. Akankah itu semua belum cukup untuk menggugah kesadaran kita agar mulai berusaha lebih taat untuk menjauhi larangan-Nya serta lebih patuh kepada perintah-Nya dan Hukum Peraturan-Nya ?. Ataukah kita tak perduli dan tak mau mentafakurinya ?. Lalu menganggap semua ini hanya sebuah kebetulan yang sekadar sebuah kebetulan semata saja, tanpa pesan ada yang Allah Swt sampaikan dalam peristiwa ini ?. Bahkan kemudian mentuhankan nalar logika terbatas kita sebagaimana dahulu kaum kafir menertawakan dakwah ajaran Islam yang diwahyukan melalui Sayyidina Muhammad Rasulullah SAW ?. Semua itu berpulang kepada diri kita masing-masing. Akan tetapi perlulah kita senantiasa ingat bahwa Allah SWT adalah Maha Rahman dan Maha Rahim, namun siksa Allah SWt sangatlah pedih. …Dan peliharalah dirimu dari siksaan yang tidak khusus menimpa orang-orang yang zalim saja diantara kamu. Dan ketahuilah bahwa Allah amat keras siksaan-Nya… [QS. An-Anfal : 8 : 25]. Akhirulkalam, ada dosa yang kita pikul akibat tidak menjalankan kewajiban Fardhu Ain, namun ada pula dosa yang harus kita pikul sebagai akibat dari umat Islam lalai menjalankan kewajiban Fardhu Kifayah. Wallahu a’lambishsawab.

Hewan Pendeteksi Gempa Oleh Murizal Hamzah 8 October 2009, 10:04 Opini Administrator Saya dibuat tak berkutik atas satu pertanyaan di Bangkok (Mei 2005) Diskusi yang dihadiri belasan jurnalis dari Asia Tenggara itu, saya presentasikan berdasarkan pengalaman di Aceh dan wawancara dengan warga di Phuket Thailand, salah satu hewan yang bisa diandalkan mendeteksi gempa bumi yakni gajah. Pomeurah (gajah) mampu merasakan pergerakan lempeng bumi hingga terjadi tabrakan sesama lempeng. Hasilnya, meletuplah energi yang menghasilkan gempa bumi. Pertanyaan jenaka dari wartawan Vietnamnegara yang tidak pernah terjadi gempa - apakah dengan demikian kita harus memelihara gajah untuk mengetahui gejala gempa bumi? Menguak ulang tragedi 26 Desember 2004, sekitar dua jam sebelum gempa berkekuatan 8,9 Skala Richter yang berpusat di perairan Calang Aceh Jaya, sekitar pukul 05.00 waktu Thailand - sama waktu Thailand dengan Waktu Indonesia Barat - gajah yang dirantai di kawasan wisata

Phuket sepakat memberontak. Hasilnya, rantai yang melingkar di kaki gajah putus dan secepatnya kabur ke perbukitkan. Tentu saja ini membuat pawang tidak paham. Mengapa hewan itu meronta-ronta dan suara menggelegar padahal selama ini takzim pada pawang dan turis untuk melakukan tur wisata. Pertanyaan itu terjawab ketika pukul 07.58 WIB gempa menghentak tanah Aceh yang disusul gelombang tsunami hingga ke Benua Afrika. Gempa Padang Mengutip analisa ahli perilaku satwa Herve Fritz dari Pusat Riset Nasional di Prancis, gajah memiliki kemampuan mendengar suara gelombang sub-sonic hingga puluhan kilometer. Dia yakin gajah dapat mendengar deru gelombang air (tsunami), vibrasi permukaan tanah ataupun rambatan gemuruh gelombang suara di udara. Kaki dan belalai gajah sanggup merasakan getaran yang sangat kecil sekali. Jika ada derap langkah manusia, gajah segera mengulurkan belalai ke bawah untuk merasakan apakah itu berbahaya bagi dirinya. Hasilnya, tidak ada gajah yang terkapar karena lumpur tsunami di Phuket atau di Sri Lanka. Fenomena hewan ini juga terlihat pada gempa 7,3 Skala Richter di Jawa Barat 2 September lalu. Puluhan satwa di Taman Safari Indonesia (TSI) Cisarua, Bogor menunjukkan perilaku aneh dan gelisah sekitar 10-15 menit sebelum gempa. Misalnya, 40 Gajah Sumatera gelisah dan ketakutan. Hal ini juga dialami oleh simpanse yang berteriak-teriak 15 menit sebelum bumi Sunda dihayak. Masih pada bulan sama, gempa 7,6 Skala Richter menyapa Sumatera Barat pada 30 September sekitar 17.30 WIB. Diperkirakan 1.000 lebih warga meninggal dunia tertimbun tanah longsor atau terjepit bangunan. Lalu esoknya 1 Oktober 2009, giliran Jambi-Bengkulu diburu gempa bumi berkekutan 7,0 Skala Richter. Agaknya musim gempa bumi terus bergerak mengikuti patahan lempeng Asia dan Australia yang memagari negara kepulauan ini. Indonesia dikepung teror tiga lempeng tektonik yang merupakan jalur cincin api (ring of fire) Pasifik. Akibatnya, negara ini dihujani gempa dan Sumatera termasuk dari 28 daerah yang rawan gempa.. Berbeda dengan fenomena gerhana bulan atau gerhana matahari yang bisa dianalisa kapan terjadi hingga pada hitungan detik, maka tidak demikian dengan gempa. Dalam penayangan di televisi National Geography pada September 2009, dua pakar gempa India menyatakan akan terjadi gempa di salah satu daerah di sana. Mereka tidak asal bicara yang dilakukan dengan penentuan titik koordinat bulan dan bintang. Dari angkaangka itulah, pergerakan lempeng bumi menjalar yang melahirkan gempa. Pada hitungan detik yang ditentukan, mereka siaga di sana. Apa yang terjadi? Nihil gempa. Iqra tanda alam Kehebatan hewan menangkap gejala alam telah terungkap sejak Sebelum Masehi (SM). Pada tahun 373 SM, tikus, ular dan musang telah meninggalkan kota Helis di Yunani beberapa hari sebelum gempa menghancurkan kota itu. Kasus serupa juga dirasakan oleh nyak-nyak pencari tiram di perairan Alue Naga Banda Aceh. Dua hari sebelum gempa pada Minggu pagi, mereka tidak menemukan tiram. Karena itu, kita keliru menyatakan gempa datang tiba-tiba tanpa permisi. Alam telah memberi tanda-tanda untuk menyibak rahasia alam. Sebutan Iqra - perintah Allah yang pertama - tidak hanya membaca yang tersurat tapi lebih maha penting membaca tanda-tanda zaman dan tanda-tanda alam yang tersirat. Hewan-hewan yang bisa dijadikan pendeteksi gempa antara lain ikan, burung, ular, kucing, ayam, anjing, kuda, babi, kura-kura, kelelawar, ikan. Beberapa menit sebelum gempa di Aceh pada 26 Desember 2004, sekelompok bangau yang biasanya berumah di rawa-rawa terbang ke perbukitan sebagaimana yang disaksikan oleh para prajurit TNI di Krueng Raya Aceh Besar. Tak diragukan lagi, hewan bisa dijadikan sistem peringatan dini (early warning system). Dengan demikian, warga bisa mengambil langkah penyelamatan sekitar 15 menit dengan mengamati sensor stimulus binatang yang mujarab. Kucing bisa mendengar suara dari 30 mega hertz, anjing dan gajah bisa mendengar kurang dari 10 mega hertz yang sangat ampuh mendeteksi gempa. Gempa menimbulkan gelombang elektromagnetik ke udara dan suara Infrasound yang

ditangkap oleh hewan karena memiliki kapasitas pendengaran (auditory capacities) yang melebihi manusia, pancaran suara ultra (ultrasound) sebagai getaran mikroseismik dari patahan batuan. Sedangkan manusia hanya 80-100 mega hertz. Tidak ada teknologi sehebat apapun yang bisa menghentikan gempa. Tidak ada pakar yang bisa menentukan tanggal akan terjadi gempa. Yang bisa dilakukan oleh manusia adalah mengurangi korban karena bencana alam. Bencana kedua - setelah bencana pertama gempa - yakni meminalkan angka kematian manusia karena kecerobohan manusia. Caranya dengan tidak melakukan korupsi semen atau besi pada gedung sekolah, pasar, jembatan dan lain-lain sehingga tidak gampang runtuh. Selanjutnya, pemerintah mengingatkan setiap jengkal tanah di Indonesia rawan gempa karena kita bumi Nusantara ini berada Lempeng Hindia dan Lempeng Eurasia. Sosialisasi secara terus-menerus menjadi modal mengantisipasi bencana alam seperti kearifan lokal warga Simeulue terhadap smong. Hasilnya, minim korban manusia karena sudah mengetahu riwayat smong sejak ratusan tahun lalu. Dalam Islam, lebih elok memberikan dorongan semngat kepada warga yang ditimpa musibah. Kiriman doa dan bala-bantuan lebih menyentuh daripada berkhutbah gempa atau banjir karena merajalela maksiat di daerah itu. Tuduhan ini sangat perih dan pedih bagi korban yang berduka. Anda menzalimi korban yang mau bangkit dari cobaan. Hanya orang beriman yang diuji kesabaran dan keimanan.

Indonesia Daerah Rawan Gempa

Binatang-binatang Pendeteksi Gempa Binatang apa saja yang bisa mendeteksi gejala awal gempa? VIVAnews - Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika memastikan gempa bumi merupakan gejala alam yang sulit diprediksi kapan datangnya dengan alat secanggih apapun. Namun ilmuwanilmuwan di China sejak beberapa tahun lalu telah membuat terobosan baru dalam mendeteksi gejala awal gempa bumi. Bukan alat canggih, tapi perilaku binatang. Seperti diketahui banyak hewan dapat mendengar suara ultrasonik dan melihat di kegelapan. Yang pernah dilakukan negeri Tirai Bambu ini adalah meneliti tingkah polah dan kebiasaan ular. Penelitian Ular Air dilakukan terhadap peternakan ular selama 24 jam dengan bantuan kamera. Tepatnya di Nanning, sebelah selatan Provinsi Guangxi. Nanning adalah wilayah di China yang sering diterjang gempa. Kenapa ular? Karena dari hasil penelitian ular merupakan binatang paling sensitif karena memiliki gelombang seismik. Binatang melata ini bisa mendeteksi kemungkinan terjadinya gempa dari jarak 120 km atau sekitar 3-5 hari sebelum gempa benar-benar terjadi. Penelitian yang dilakukan di Nanning beberapa tahun lalu menunjukkan ular di kandang membenturbenturkan kepalanya di dinding untuk mencari jalan ke luar. Di habitatnya, ular akan ke luar dari sarang menjelang gempa, tidak peduli musim dingin sekali pun. Tidak hanya ular, ilmuwan China juga mengamati perilaku hewan-hewan lain yang ada di kebun binatang.

Dari pengamatan itu, beberapa jenis hewan memperlihatkan respons tertentu menjelang terjadinya gempa. Misalnya, hewan-hewan yang sedang melalui tidur panjang akan bangun dan keluar dari persembunyiannya atau hewan-hewan akuatik akan melompat-lompat dari permukaan air. Jenis-jenis hewan yang diamati antara lain burung merak, katak, ular, kura-kura, rusa, dan tupai. Kantor seismologi China mencatat setidaknya terdapat 130 jenis hewan yang memperlihatkan perilaku abnormal sebelum terjadinya gempa. Panda, binatang khas China juga bisa menjadi petunjuk. Sebelum gempa besar yang terjadi di Sinchuan beberapa waktu lalu, panda di cagar alam nasional Wolong terlihat gelisah. Tingkah laku aneh menjelang gempa juga diperlihatkan hewan lainnya. Pada tahun 2005, dilaporkan bahwa kawanan gajah meraung-raung dan berlari liar menjelang gempa besar yang memicu tsunami di Sri Lanka dan India. Gajah bisa mendeteksi bencana lewat kakinya. Menjelang gempa dan tsunami di Aceh dan Nias pada penghujung 2004 lalu kawanan burung bangau juga berbondong-bondong menjauhi laut/pantai. Gejala yang tidak pernah terjadi sebelumnya. Kalau China meneliti perilaku binatang, bagaimana dengan BMKG? Dalam situsnya, badan ini menyebutkan prediksi gempa bumi masih dalam taraf penelitian. Parameter prediksi adalah lokasi, besarnya dan waktunya. "Perkiraan lokasi dan besarnya gempa dapat saja dilakukan, namun tantangan yang paling sulit adalah menjawab kapan gempa tersebut terjadi," demikian BMKG. Berdasarkan sejarah gempa maka bisa dihitung probabilitasnya; makin kecil gempa maka makin besar probabilitasnya terjadi di lokasi yang memang potensi (seperti di daerah pertemuan lempeng tektonik). Sebaliknya makin besar gempanya maka makin kecil probabilitasnya. Berdasarkan monitoring tanda-tanda pendahuluan (precursor) gempa bumi besar, maka secara fisika bisa diungkapkan bahwa apabila materi mengalami stres maka beberapa sifat materi tersebut mengalami perubahan yang dapat di monitor, seperti kepadatan, kandungan air, kandungan electron, sifat kemanignitan, sifat radio aktif dan sebagainya. Di daerah pertemuan lempeng tektonik terjadi akumulasi stres akibat tekanan pergerakan lempeng tektonik. Maka bisa dilakukan monitoring perubahan gravitas, electron, kemagnitan, tinggi air tanah, radon (radio aktif), seismic dan sebagainya. Sampai saat ini yang dapat dibuktikan adalah setelah gempa besar maka hasil monitoring sebelum terjadi gempa dikaji lagi. Hasilnya memang ada beberapa tanda menunjukkan gejala anomali tertentu. Namun belum dapat disimpulkan bahwa tanda tersebut menandakan gempa akan terjadi, karena tanda tersebut sering juga muncul tanda tanpa disertai adanya gempa besar. Hal ini membuktikan bahwa prediksi gempa belum konsisten secara ilmiah dan belum dapat dikatakan sebagai teknologi yang dapat dipakai. "China mengoperasikan system prediksi gempa dengan memakai bermacam sensor seperti GPS (Global, Posisioning System), Gravity, magnit, radon, termasuk gejala tingkah laku binatang. Hasilnya memang beberapa kali sukses, namun lebih sering gagal memprediksi gempa besar."

Peta Zona Rawan Bencana di Jawa Barat VIVAnews - Hasil penelitian Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi, Departemen Energi memberkan peringatan pada sejumlah wilayah rawan bencana akibat gerakan tanah sepanjang Oktober 2009.

Hasil penelitian itu menyebutkan sejumlah wilayah yang berpotensi terjadi gerakan tanah sehingga bisa menimbulkan bencana. Wilayah itu mencakup Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Aceh, Sumatera Barat, Sumatera Utara, Nanggroe Aceh Darussalam dan Kalimantan Barat. Untuk wilayah Jawa Barat, Pusat Vulkanologi menyebutkan sejumlah wilayah yang rawan potensi gerakan tanah tinggi, bahkan bisa menimbulkan banjir bandang. Terutama cuaca yang mulai memasuki musim hujan dengan curah tinggi. Misalnya di wilayah Cianjur, terjadi potensi gerakan tanah menengah tinggi dan banjir bandang di Sukaresmi, Cugenang dan Cianjur. Di Bandung, potensi yang sama terjadi di Lembang dan Parongpong. Di Garut, cukup banyak wilayah yang berpotensi terjadi gerakan tanah tinggi dan banjir bandang di Cibiuk, Leles, Wanaraja, Tarogong, Cilawu, Cisurupan, Bayongbong, Pamulihan, Banyuresmi dan Cikajang. Di Tasikmalaya, potensi serupa terjadi di Cigalontang, Leuwisari, Pagarageung, Cisayong dan Indihiang. Lebih detilnya data gerakan gempa bisa lihat di dokumen Gerakan Tanah di Jawa Barat. Sedangkan, tampilan petanya sebagai berikut: Peneliti Pusat Vulkanologi memberikan warna pink untuk potensi gerakan tanah tinggi, dan warna kuning untuk potensi gerakan tanah menengah, serta warna hijau untuk potensi gerakan tanah rendah. Menurut Pusat Vulkanologi, daerah yang mempunyai potensi menengah dapat terjadi gerakan tanah jika curah hujan di atas normal, terutama pada daerah yang berbatasan dengan lembah sungai, gawir, tebing jalan atau jika lereng mengalami gangguan. Sedangkan, daerah yang mempunyai potensi tinggi untuk terjadi gerakan tanah dapat terjadi jika curah hujan di atas normal, sedangkan gerakan tanah lama dapat aktif kembali.

Sejarah Gempa dan Tsunami di Jawa Timur

VIVAnews - Mengantisipasi terjadinya gempa di wilayah pesisir selatan Jawa Timur, Gubernur Jawa Timur Soekarno terus berupaya melakukan tindakan dan antisipasi bila ternyata benar prediksi Jawa Timur sebagai salah satu daerah yang rawan tsunami. Soekarwo bukan saja melakukan langkah preventif diantaranya memasang 23 alat early warning system (EWS) atau alat deteksi dini yang ditempatkan di gunung dan laut, namun Gubernur juga telah mengirimkan radiogram ke seluruh kabupaten/kota beberapa hari lalu. Isinya, berupa himbauan agar setiap kepala daerah terutama di pantai selatan Jawa Timur meningkatkan kewaspadaan. Melakukan sosialisasi ke masyarakat, mengintensifkan langkah preventif untuk menghindari banyak jatuh korban akibat bencana. Jika mengacu pada sejarah gempa di Jawa Timur yang disebutkan oleh Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi, propinsi ini juga merupakan wilayah langganan gempa dengan jarak waktu yang berbedabeda, dari tujuh tahun hingga belasan tahun. Dari belasan kali gempa selama dua abad, Jawa Timur juga beberapa kali mengalami gempa besar, bahkan menimbulkan tsunami sehingga memakan korban dalam bilangan tak sedikit. Itu pernah terjadi di Trenggalek dan Banyuwangi. Misalnya, gempa yang terjadi di Blitar-Trenggalek pada 37 tahun lalu, tepatnya pada 4 Oktober 1972 dengan kekuatan 6 skala Richter dan skala intensitas gempa sebesar V-VI MMI. Gempa ini menimbulkan kerusakan sejumlah bangunan di Gandusari & Trenggalek. Goncangan terasa kuat sehingga mengakibatkan 250 orang meninggal, 127 orang hilang, 423 luka, 1.500 rumah rusak, 278 perahu rusak dan hilang. Gempa ini juga menimbulkan terjangan tsunami dengan ketinggian gelombang belasan meter dan terjangan ombak hingga mencapai 500 meter dari pantai. Berikut sejarah gempa Jawa Timur yang dikutip VIVAnews dari Pusat Vulkanologi Departemen Energi. 22/03/1836 Gempa terjadi di Mojokerto. Tidak diketahui berapa kekuatan gempa tersebut, namun skala intensitas dampak gempa mencapai VII-VIII MMI. Akibat gempa ini terjadi kerusakan pada bangunan.

20/11/1862 Gempa terjadi di Madiun dengan skala intensitas gempa mencapai VII MMI. Akibat gempa ini sejumlah bangunan retak. 15/08/1896 Gempa terjadi di Wlingi dengan skala intensitas gempa mencapai VII MMI. Gempa terasa sampai Brangah. Kerusakan pada bangunan dan rumah penduduk. 20/08/1902 Gempa terjadi di Tulungagung dengan skala intensitas gempa mencapai VII MMI. Akibat gempa terjadi kerusakan pada bangunan. 11/08/1939 Gempa terjadi di Jawa Timur dengan skala intensitas VII MMI. Getaran gempa terasa hingga Rembang, Jawa Tengah. Sebuah rumah roboh di Brondong. 19/06/1950 Gempa terjadi di Jawa Timur dengan skala intensitas gempa mencapai VI MMI. Beberapa bangunan retak. Getaran terasa sampai Kalimantan dan Jawa Barat. 20/11/1958 Gempa terjadi di Malang dengan skala intensitas gempa mencapai VII-VIII MMI. Akibat gempa terjadi retakan pada bangunan, tanah, dan 8 orang tewas. 19/2/1967 Gempa terjadi di Malang dengan skala intensitas gempa sebesar VII - IX MMI. Kerusakan terparah terjadi di Dampit, 1.539 rumah rusak, 14 orang tewas, 72 orang luka-luka. Di Gondanglegi 9 orang tewas, 49 orang luka-luka, 119 bangunan roboh, 402 retak, 5 masjid rusak. Di Trenggalek 33 rumah bambu retak. Getara gempa terasa hingga Banyumas dan Cilacap di Jawa Tengah. 4/10/1972 Gempa terjadi di Blitar-Trenggalek dengan kekuatan 6 skala Richter dan skala intensitas gempa sebesar V-VI MMI. Akibatnya, terjadi kerusakan sejumlah bangunan di Gandusari & Trenggalek. Goncangan terasa kuat sehingga mengakibatkan 250 orang meninggal, 127 orang hilang, 423 luka, 1.500 rumah rusak, 278 perahu rusak dan hilang. Gempa ini juga menimbulkan terjangan tsunami dengan ketinggian gelombang belasan meter dan terjangan gelombang hingga mencapai 500 meter dari pantai. 3/6/1994 Gempa terjadi di Banyuwangi dengan kekuatan gempa mencapai 7 skala Richter dan skala intensitas gempa VIII MMI. Akibat gempa menimbulkan bencana di Rajegwesi, Gerangan, Lampon, Pancer, Pulau Sempu, Grajagan, Pulau Merah, Teluk Hijau, Sukamade, Watu Ulo, Teluk Sipelori dan Teluk Tambakan. Efek tsunami mencapai pantai Banyuwangi, Jember, Malang, Blitar, Tulung Agung, Trenggalek & Pacitan. 20/7/2003 Gempa terjadi di Pacitan dengan kekuatan 5,9 skala Richter. Akibatnya terjadi kerusakan pada sejumlah bangunan dan plester dinding lepas di rumah dinas Polres Pacitan, 4 rumah di desa Pucang Sewu, 1 rumah di desa Sambong, 1 rumah di desa Ponggok, Kecamatan Pacitan, Kabupaten Pacitan; 1 rumah di desa Wonocoyo, Kecamatan Panggul, Kabupaten Trenggalek; pasar Madiun dan sebuah Ruko di kota Yogyakarta. Getaran terasa di Pacitan, Trenggalek, Madiun, Surakarta, Yogyakarta hingga Surabaya. Terjadi gempabumi susulan.

http://sorot.vivanews.com/news/read/94096-indonesia_ladang_gempa

Indonesia Ladang Gempa Terjepit tiga lempeng, Indonesia rawan diguncang gempa.

http://sorot.vivanews.com/news/read/94095-petaka_gempa_padang Patahan bumi di Mentawai menyimpan energi besar. Tak selesai dalam satu hentakan.

VIVAnews – TINGGAL seperempat jam lagi kelas itu usai. Sejumlah remaja tanggung masih takzim menyimak pelajaran di gedung bimbingan belajar itu. Langit menjelang senja di Padang, pada Rabu, 30 Oktober 2009. Tiba-tiba bumi bergetar. Guncangan kian keras. Gedung tiga lantai itu berayun makin kencang. Detik selanjutnya: dinding terbelah. Lantainya pecah. Dalam sekejap, bangunan beton itu ambruk. Jam menunjuk pukul 17.16. Setelah gempa itu usai, sejumlah orang bergegas membantu korban. Tak terdengar ada suara dari celah reruntuhan itu. Puluhan pelajar telah terkubur. Tak jelas apakah mereka bertahan hidup atau tidak. Seorang ayah meratap setelah menatap onggokan puing-puing bekas gedung bimbingan belajar itu. Samsir termangu. Putrinya, Audita, terperangkap di gundukan puing. “Saya pasrah,” ujar Samsir, ayah Audita. Putrinya baru kelas dua SMP, dan belajar di tempat naas itu. Ketika bantuan alat-alat berat penyingkir puing datang, dia hanya berharap Audita bisa selamat. *** Gempa 7,6 Skala Richter melantak Padang dan Pariaman, meratakan sedikitnya 2.500 rumah, 4 rumah sakit, puluhan gedung, dan sejumlah hotel. Lebih separuh perkantoran rusak berat. Bila tak ambles, pasti retak. Pusat gempa berada di arah 57 kilometer barat daya Pariaman, Sumatera Barat. Kedalamannya 71 Km. Korban jiwa terus bertambah. Sampai Jumat malam, pemerintah setempat menaksir 777 tewas. Versi lain menyebut angka lebih besar. "Yang tewas mencapai 1.100 orang,” kata Ketua Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Urusan Kemanusiaan, John Holmes, di Padang, Sumatera Barat. Korban luka parah ditaksir sekitar 440 orang. Tentu, angka akhir bisa bertambah. Soalnya, sampai Jumat malam, para korban tertimbun runtuhan gedung masih coba diselamatkan. Mereka tersebar di sejumlah titik. Sebagian di wilayah Marapalam, Padang. Ada yang terperangkap di reruntuhan Adira Finance Sawahan, dan ruko sekitarnya. Sejumlah pelajar tadi, misalnya, terbenam di reruntuhan Gedung Bimbingan Belajar Gama. Ada juga korban terperangkap ruko di Simpang Haru. Sejumlah korban tertindih di bawah puing-puing mesjid Nurul Imam Padang, Apotik Sari depan Nurul Imam, BII Sudirman, dan PT AGD di Bypass Padang. Sebelumnya, Badan Nasional Penanggulangan Bencana melansir 220 orang dilaporkan tewas. Rinciannya, 144 orang meninggal di Kota Padang. Lalu, 62 korban tewas di Kabupaten Padang Pariaman, dan terakhir ada 14 korban meninggal di Kota Pariaman (lihat: kisah para korban). ***

Gempa besar di dekat Padang Pariaman, Sumatera Barat itu adalah kesekian kali terjadi dalam satu bulan. Guncangan bumi itu sesungguhnya dialami di sejumlah wilayah Indonesia, dengan kekuatan bervariasi. Selama September 2009, misalnya, Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) mencatat lebih dari 30 kali gempa terjadi di atas 5 Skala Richter (SR). Kekuatan terbesar di antaranya mengguncang Tasikmalaya (7,3 SR), Yogyakarta (6,8 SR), Tolitoli (6,0 SR), Nusa Dua (6,4 SR), Ternate (6,4 SR) dan Padang Pariaman (7,6 SR). Kerapnya goyangan gempa belakangan ini, menurut Badan Geologi Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral, akibat penunjaman lempeng tektonik Samudera Hindia di bawah lempeng Asia di Pantai Barat Sumatera. “Ini dinamika lapisan bumi”, ujar Kepala Badan Geologi di departemen itu, R. Sukhyar. Di wilayah Pariaman, penunjaman lempeng itu tampaknya melepaskan energi besar. “Hampir 30 kali lipat gempa di Yogyakarta,” ujar Kepala Pusat Vulkonologi dan Mitigasi Bencana Geologi, Surono membandingkan gempa di Yogyakarta tiga tahun silam. Setelah Aceh digetarkan gempa 9,1 Skala Richter, dan membangkitkan ombak gergasi tsunami, kawasan pantai barat Pulau Sumatera itu dinyatakan rawan gesekan lempengan bumi. Tapi, kata Surono, meskipun sering dilanda gempa, bencana alam itu tak bisa diramal kedatangannya. "Alam tidak bisa seperti itu, sulit diprediksi," kata dia. Gempa di Sumatera, Surono melanjutkan, sama dengan Gempa Garut. Guncangan terjadi akibat bergesernya lempeng IndoAustralia dan Eurasia, bukan karena aktifnya cincin api. Terletak pada pertemuan tiga lempeng utama dunia, Indo-Australia, Eurasia, dan Pasifik, Indonesia ditakdirkan hidup dengan ancaman gempa. Di lapisan bumi, lempeng itu saling bergerak, dan bertumbukan. Jejak gempa pun bisa ditelisik dari jalur pertemuan antar lempeng. Misalnya, lempeng Eurasia dan Indo-Australia, bertumbukan di lepas pantai barat Pulau Sumatera. Lalu di lepas pantai selatan pulau Jawa, lepas pantai selatan kepulauan Nusatenggara, dan berbelok ke arah utara ke perairan Maluku sebelah selatan. Antara lempeng Indo-Australia dan Pasifik terjadi tumbukan di sekitar pulau Papua. Sementara pertemuan antara ketiga lempeng itu terjadi di sekitar Sulawesi. Itu sebabnya, pulau-pulau di sekitar pertemuan tiga lempeng itu kerap diterjang gempa. Menurut Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi, Lempeng Eurasia bergerak sangat lambat ke arah tenggara. Kecepatannya 0,4 sentimeter per tahun. Lempeng samudera Indo-Australia bergerak ke utara. Kecepatannya tujuh sentimeter per tahun. Lempeng tercepat adalah Samudera Pasifik. Dia bergerak 11 cm per tahun ke arah Barat. *** Pergerakan bumi itu memang tak kasat mata. Tapi, satu metode disebut koral mikroatol, tampaknya bisa merekam turun naiknya permukaan bumi akibat pergerakan lempeng tadi. Mikroatol tadi, secara alamiah, meninggalkan bekas ketinggian air laut pada sedimennya.

Pulau Sumatera beruntung punya banyak mikroatol di sepanjang pantainya. “Ini penting untuk meneliti sejarah gempa,” ujar Dr Danny Hilman Natawidjaya, Ahli paleotsunami Pusat Penelitian Geoteknologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Dari penelitian koral mikroatol, kata Danny, bisa direkonstruksi siklus gempa besar di Mentawai sejak 100 tahun lalu. Menurut rekonstruksi siklus itu, periode ulangnya sekitar 200 tahunan (lihat: wawancara). Berdasarkan riset itulah, dia mengingatkan adanya potensi guncangan lebih besar dari gempa di Padang Pariaman, Sumatera Barat (lihat wawancara). "Kekuatannya kira-kira 8,8 SR,” ujarnya. Gawatnya, energi yang tersimpan 30 kali lebih besar dari gempa Padang. Pusat gempa itu, kata Danny, diperkirakan di segmen Mentawai, Sumatera Barat. Catatan lain, Gempa Padang tidak mengurangi potensi pelepasan energi di segmen Mentawai. Peristiwa itu justru memicu pelepasan energi lebih cepat. Watak gempa di Sumatera, Danny melanjutkan, sudah diketahui. Apalagi Tim Peneliti gempa dari LabEarth LIPI dan Tim Prof. Kerry Sieh dari Earth Observatory of Singapore, NTU sudah meneliti sumber-sumber gempa di Sumatera sejak 1990. Dalam catatan mereka, periode gempa besar terakhir terjadi tahun 1797, dan 1833. Menariknya, kata dia, pelepasan akumulasi tektonik di akhir siklus gempa itu hampir selalu berupa kejadian gempa besar lebih dari satu kali. Nah, sejak gempa besar kembar tahun 1797 dan 1833 itu, status “zona subduksi” (atau biasa disebut juga sebagai “megathrust”) dari segmen Mentawai sudah berada di siklus akhir. Para ahli menyimpulkan gempa pada September 2007 adalah awal periode pelepasan tekanan tektonik. Itu pun tak tuntas. “Gempa 2007 hanya melepaskan sepertiga energi tekanan tektonik yang terakumulasi di Mentawai," kata Danny. Artinya, masih ada dua pertiga energi lagi yang tersimpan. Jika sisa energi ini meletup sekaligus, Padang dan sekitarnya terancam gempa berkekuatan sampai 8,8 SR. Tentu, ini bukan kabar gembira. Laporan" Eri Naldi (Padang)

Sorot Edisi 51

“Kekuatan Gempa Masih Ada 8,8 SR” Wawancara ahli paleotsunami, Dr Danny Hilman Natawidjaya. VIVAnews – GEMPA 7,6 skala ritcher menguncang Padang dan Pariaman. Ratusan orang tewas, puluhan rumah ambruk dan rusak berat. Riset gempa menyebutkan masih ada sisa energi tektonik yang bertumpuk di Mentawai. Lantas bagaimana proses terjadinya gempa di Padang? Daerah mana saja di Indonesia rawan gempa? Berikut wawancara wartawan VIVAnews, Indra Dharmawan, dengan ahli paleotsunami Pusat Penelitian Geoteknologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Danny Hilman Natawidjaya. Bisa Anda ceritakan tentang gempa di Pariaman dan Jambi. Mengapa terjadi hampir bersamaan? Dua gempa tersebut tidak ada keterkaitan sumber. Yang dekat Padang adalah gempa berasal dari patahan aktif pada lempeng Indo-Australia yang menunjam di bawah Pulau Sumatra, dan yang di barat Jambi terjadi pada Patahan Sumatra yang membelah wilayah bukit barisan. Meskipun mungkin saja gelombang seismik dari gempa Padang punya kontribusi memicu gempa pada patahan Sumatra tersebut karena kebetulan segmen tersebut sudah penuh terisi akumulasi tekanan tektonik. Anda telah mendeteksi kemungkinan gempa di sekitar Padang jauh-jauh hari. Apa dasar perkiraan Anda saat itu? Kami dari Tim Peneliti gempa LabEarth LIPI dan Tim Prof. Kerry Sieh yang sekarang di Earth Obervatory of Singapore, NTU sudah mulai meneliti sumber-sumber gempa bumi di Sumatera sejak tahun 1990 sehingga karakteristik kegempaan di Sumatera sudah cukup diketahui. Data dan analisis yang kami lakukan, utamanya ada 5 macam. Pertama, sejarah kegempaan dari catatan dan laporan dulu. Kedua, pemetaan patahan-patahan gempa terutama untuk di darat, yaitu Patahan Sumatra. Ketiga, data seismologi. Keempat, pengukuran turun naiknya pulau-pulau di Mentawai dari terumbu karang. Ada tipe terumbu karang yang kita sebut mikroatol, yang pola pertumbuhannya sangat sensitif terhadap perubahan muka laut. Mereka bisa merekam pergerakan turun naiknya pantai. Kelima, jaringan pemantau pergerakan mukabumi continuous GPS (Global Positioning System) yang sudah mulai kami pasang sejak 2002. Jaringan ini kami namakan SuGAr (Sumatran GPS Array). Apa yang bisa dicatat dari pengamatan atas mikroatol itu? Dari penelitian koral mikroatol kami dapat merekonstruksi siklus gempa besar di (zona subduksi) Mentawai sejak 1000 tahun lalu. Menurut rekonstruksi siklus tersebut periode ulangnya sekitar 200 tahunan. Periode gempa-gempa besar terakhir terjadi tahun 1797 dan 1833. Menariknya pelepasan akumulasi tektonik di akhir siklus gempa tersebut hampir selalu berupa kejadian gempa besar lebih dari satu kali. Nah sejak gempa besar kembar tahun 1797 & 1833 tersebut status “zona subduksi” (atau biasa disebut juga sebagai “megathrust”) dari segmen Mentawai adalah sudah di siklus akhir. Gempa megathrust yang terjadi pada bulan September 2007 bisa dianggap sebagai permulaan periode pelepasan tekanan tektonik tersebut. Apa saja alasan memperkuat perkiraan itu? Dari hasil kalkulasi kami, gempa 2007 tersebut hanya melepaskan tidak lebih dari 1/3 jumlah energi tekanan tektonik yang terakumulasi di Mentawai. Dengan kata lain masih ada sekitar 2/3 lagi yang tersimpan. Apabila yang 2/3 ini dilepaskan sekaligus maka bisa menghasilkan gempa dengan kekuatan sampai 8,8 SR (energinya kurang lebih 30x lebih besar dari gempa yang baru terjadi). Lokasi dan jumlah dari energi, atau tekanan tektonik di bawah Mentawai dapat dihitung dari data yang kami peroleh dari SuGAr tersebut. Pada prinsipnya pergerakan relatif Lempeng Indo-Australia terhadap Sumatra dapat diketahui dari Jaringan GPS SuGAr yang kami pasang. Kemudian dari data SuGAr (pergerakan muka

bumi di Kep. Mentawai–Batu-Nias-Simeulue dan pantai barat Sumatra) kami bisa memodelkan berapa banyak pergerakan relatif antar lempeng bumi ini diakumulasi menjadi tabungan energi (regangan) pada batas lempengnya, yaitu zona megathrust tadi. Hasil penelitian kami ini sudah banyak dipublikasikan sebagai makalah-makalah ilmiah di berbagai International Journal bergengsi seperti Science, Nature, Journal of Geophysical Research dan lainnya. Data dan pengetahuan sumber, dan siklus gempa di Sumatra ini boleh dibilang sudah dianggap menjadi salah satu sumber referensi yang terbaik di kalangan para ahli gempa di dunia. Metode apa yang Anda pergunakan dalam memperkirakan terjadinya gempa di masa depan? Apakah metode tersebut lebih akurat ketimbang metode penelitian sedimen? Apakah ada metode-metode lain yang lebih canggih yang tengah berkembang? Metoda koral mikroatol ini (disebut juga sebagai paleogeodesi) jauh lebih baik dari yang dengan mempergunakan sedimen (paleoseismologi/paleotsunami). Akurasi dan kekomplitan datanya tidak ada bandingannya diantara metode geologi untuk meneliti sejarah gempa. Masalahnya, mikroatol ini tidak hidup/tumbuh disemua tempat. Hanya kebetulan mikroatol ini banyak sekali hidup di pulau-pulau di wilayah barat Sumatra ini, dan lebih beruntungnya pulau-pulau ini letaknya persis di atas sumber gempa megathrust ingin kami teliti. Itulah kelebihan metoda kami dan keunikan dari wilayah barat Sumatra. Metoda cGPS ini umum diakui dikalangan peneliti gempa sebagai alat modern yang sangat powerfull untuk merekam proses gempabumi. Kelebihannya dibandingkan seismometer adalah GPS dapat merekam proses tektonik pada periode antar gempa (selagi terjadi pengumpulan tekanan tektonk) sedangkan seismometer hanya mendeteksi/merekam kejadian gempanya saja (yaitu ketika patahan melepaskan akumulasi tekanan tektoniknya). Meskipun demikian dua metoda ini punya kekurangan dan kelebihannya masing-masing. Untuk peralatan modern: mainstreamnya adalah peralatan seismometer dan GPS. Metode yang cukup umum dipakai terutama untuk prediksi medium to short term adalah strain meter (di Indonesia belum dipasang). Masih ada tentunya metoda lain seperti dengan electromagnetic, gravitasi, pengukuran muka air tanah dan sebagainya. Untuk geologi yang biasa dipakai adalah: paleoseismologi, paleotsunami, dan paleogeodesi. Perlu ditekankan bahwa saat ini belum ada satu pun metode di dunia yang sudah valid bisa meramal kapan tepat waktunya gempa akan terjadi (short-term prediction). Umumnya kami lebih mengkaji ke arah “intermediate to long-term prediction”. Siapapun yang mengaku dapat meramal kapan terjadinya gempa bahkan sampai menyebut tanggal pasti bohong atau omong kosong atau tidak berdasarkan sains. Apa benar daerah Padang sudah mengalami interlock dua lempeng Eurasia dan Australia sejak lama? Berapa lama gempa bisa terjadi sejak terjadinya interlock? Bidang batas lempeng (pada zona subduksi dua lempeng) ini punya sifat (daya rekat) berbeda-beda segmen satu dengan yang lainnya. Ada yang 100 persen, tapi ada juga yang 0 persen. Arti 0 persen adalah tidak ada akumulasi tekanan tektonik. Jadi, tidak akan ada gempa di segmen ini. Lamanya periode “interlock” atau bisa dibilang juga sebagai periode antar gempa atau bahasa ilmiahnya “interseismic period” bisa puluhan sampai ribuan tahun tergantung dari “degree of locking” dan ukuran/panjang dari segmentasi-nya. Untuk Sumatra setiap segmennya tipikal memunyai perioda interlock ratusan tahun untuk gempa 8SR atau lebih besar. Apakah bisa diceritakan hasil riset gempa yang Anda lakukan di sekitar Mentawai-Sumatera Barat? Sudah banyak disinggung di atas. Riset ini sudah dimulai sejak tahun 1990-an, merupakan kerjasama riset antara Puslit Geoteknologi LIPI dan Tectonic Observatory/Seismological Laboratory Caltech (California Instutute of Technology, USA). Sebagian dari riset ini merupakan bahan disertasi Ph.D saya di Caltech dari tahun 1995-2003. Caltech adalah universitas/institusi sangat ternama di dunia dalam penelitian gempa.

Salah satu pendiri seismological laboratory di Caltech adalah Prof. Charles Richter, yang namanya sekarang kerap dipakai untuk skala kekuatan gempa. Pembimbing utama saya adalah Prof. Kerry Sieh, ahli earthquake geology ternama di dunia, yang sekarang mendirikan institusi baru di Singapore, yaitu Earth Observatory of Singapore di Nanjang Technological University. Sponsor utamanya dari NSF (National Science Foundation USA) dan Caltech sendiri. Sebagian dana juga didapat dari LIPI dan RISTEK (melalui RUTI). Dalam tiga tahun terakhir ini kami (LIPI) juga bekerjasama dengan tim seismologist dari Cambridge dan Liverpool Univ (UK) dan GFZ (Germany) untuk pemasangan jaringan survei seismik di Sumatra (juga bekerjasama dengan BMKG dalam hal ini). Studi ini baru berakhir tahun lalu, datanya masih terus intensif kami analisa. Ada satu hal menarik: dari data seismik ini kami terheran-heran melihat demikian banyak aktifitas gempa di bagian utara Patahan Sumatra (dari khatulistiwa ke Utara), tapi bagian selatannya sepi sekali. Dalam diskusi tim, saya katakan agak ngeri melihat “kesenyapan gempa” di bagian selatan ini karena seringkali patahan gempa itu lebih terkunci penuh tatkala sudah siap memuntahkan tekanan tektoniknya sehingga “sepi”. Dan itu yang terjadi di barat Jambi, yaitu gempa 6.8SR di Patahan Sumatra. “Perioda Kesenyapan” ini biasa disebut sebagai “seismic gap” salah satu pertanda wilayah yang berpotensi gempa. Apakah hasil riset sudah berhasil melakukan modeling untuk menduga gempa di daerah lain? Kami sudah memulai penelitian gempabumi untuk wilayah lainnya, khususnya Jawa-Bali-NTT dalam beberapa tahun terakhir tapi tidak se-intensif seperti yang dlakukan di Sumatra. Setelah Padang, apakah Anda sudah memiliki data daerah lain yang sudah mengkhawatirkan? Ya, banyak sekali wilayah di Indonesia yang rawan gempa dan tsunami. Indonesia Timur (Irian dan Maluku) itu potensi bahaya gempa dan tsunaminya dua kali lipat lebih tinggi dibandingkan Sumatra, hanya memang populasi dan infrastruktur di sana masih rendah sehingga tingkat risiko bencana-nya jadi lebih rendah.

View more...

Comments

Copyright � 2017 NANOPDF Inc.
SUPPORT NANOPDF